Distraksi (2) Tentang Lolly, Penganiayaan Dokter Koas dan Anak Bos Toko Roti
Distraksi terkadang dibutuhkan. Selama bisa memilah dan memilih, distraksi bisa menjadi contoh kasus dari banyak materi yang telah kita pelajari, salah satunya tentang parenting. Seperti kasus Gus Miftah yang sangat terkait dengan manners matter (tatakrama).
Distraksi season 2 ini tentang kasus penganiayaan terhadap seorang dokter koas bernama Luthfi, dan kasus peniayaan yang dilakukan anak pemilik toko roti bernama George kepada karyawannya, Dwi Ayu Darnawati.
Belum sempat mencoba membahas kasus tersebut, di awal tahun 2025 muncul kasus yang punya benang merah, yaitu kaburnya putri sulung selebriti Nikita Mirzani yang bernama Laura Meizani Nasseru Asry alias Lolly, dari safe house/rumah aman.
Adversity Quotient (AQ) menjadi benang merah ketiga kasus di atas.
AQ adalah skor yang mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup. Atau dapat diartikan sebagai kecerdasan untuk mengatasi masalah atau kemalangan dalam kehidupan.
Jadi Intelligent Quotient (IQ) saja tidak cukup. Karena IQ hanya mengukur kemampuan kognitif seseorang.
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan inti otak Anda untuk berpikir, belajar, mengingat, dan memusatkan perhatian.
Banyak kasus telah membuktikan, seseorang dengan IQ tinggi berakhir naas. Mulai dari kasus lulusan S2 yang mengeluh tidak mendapat pekerjaan hingga mereka yang memutuskan bunuh diri, bahkan ada yang bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari lantai atas gedung bertingkat.
Baca juga:
Ego atau Cinta? Akar Kekerasan yang Terabaikan
Perbedaan Pola Pikir Gen Z dan Gen Kolonial Terkait Perubahan Iklim
Daftar Isi:
- Tiga Kasus Terkait Adversity Quotient (AQ)
- Pengertian Nilai Adversity Quotient (AQ) dan Cara Mengasahnya
- Benang Merah Kasus dengan Adversity Quotient (AQ)
Kasus pertama terkait penganiayaan terhadap Luthfi, dokter koas yang menjadi ketua tim pembagian jadwal jaga di RSUD Siti Fatimah Palembang. Salah seorang anggota tim bernama Lady Aurellia Pramesti merasa diperlakukan tidak adil, karena kebetulan dia mendapat jadwal bertepatan dengan akhir tahun.
Kasus merembet pada Ibu Lady Aurellia Pramesti yang tidak terima anaknya diperlakukan secara “tidak adil”. Dia menghubungi Luthfi untuk membahas jadwal piket anaknya.
Sungkan dan merasa harus menghormati orang yang lebih tua, pasca menyelesaikan tugas, Luthfi datang ke tempat yang disepakati bersama kedua rekannya.
Pertemuan berakhir ricuh karena bu Lady merasa permintaannya tidak dihargai, dan terjadi “senggol bacok” yang dilakukan Fadilla alias Datuk, orang yang menemani ibu Lady.
Kasus kedua merupakan dan kasus peniayaan yang dilakukan anak pemilik toko roti bernama George kepada karyawannya, Dwi Ayu Darnawati.
Tidak hanya melakukan pelecehan verbal, George juga melakukan kekerasan fisik setelah permintaannya, yaitu mengantar makanan yang dipesan ke kamar pribadinya, ditolak korban.
Alasan korban menolak permintaan tersebut karena tidak sesuai dengan job description. Akibatnya George marah dan melemparkan berbagai barang seperti patung, mesin EDC ke arah korban.
Ketika korban memutuskan pergi dan mencoba mengambil tas dan ponselnya yang tertinggal, George kembali menyerang dengan melempar kursi dan loyang kue yang naasnya mengenai kepala korban dan mengakibatkan luka berdarah.
Kasus ketiga tidak berkaitan dengan penganiayaan fisik, melainkan penganiayaan psikis yang menimpa Lolly, anak dari seleb Nikita Mirzani (Nikmir)
Punya prestasi gemilang dengan memenangkan medali emas dan perak di ajang Kejuaraan Panahan ASCI Internal 4, Lolly terlibat konflik dengan ibunya setelah sang ibu menjemput paksa Lolly dari rumah pacarnya.
Pasca penjemputan, Nikmir melaporkan pacar Lolly atas dugaan pencabulan anak di bawah umur. Kemudian memasukkan Lolly ke safe house (rumah aman).
Setelah bertahan 5 bulan, Lolly rupanya tidak betah berada di rumah aman, dia pun melarikan diri, minta bantuan ke Razman Nasution, pengacara kekasihnya Vadel Badjideh.
![]() |
sumber: pexels/Daryl Wilkerson Jr |
Pengertian Adversity Quotient (AQ) dan Cara Mengasahnya
Adversity Quotient (AQ) diperkenalkan pertama kali oleh Paul G. Stoltz, Ph.D pada tahun 1997, yang dijelaskan dalam bukunya berjudul “Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opportunities”.
Usia AQ memang jauh lebih muda dibanding Intelligent Quotient (IQ) yang telah dikenal sejak akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1890-an. Dengan hadirnya AQ, keduanya saling melengkapi.
IQ tinggi akan mendukung seseorang menjadi problem solver yang sukses. AQ nya akan semakin meningkat setelah berulangkali berhasil mengatasi masalah. Karena dia mampu mengubah hambatan menjadi peluang, dan akhirnya menjadi individu yang tidak mudah menyerah.
Adversity Quotient (AQ) merupakan tolok ukur sejauh mana seseorang itu bisa menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya.
Dalam bukunya, Paul G. Stoltz mengklasifikasikan individu berdasarkan daya juangnya menjadi tiga kelompok utama:
Quitter (Penyerah):
Kelompok ini mencakup individu yang cenderung menyerah ketika menghadapi tantangan atau kesulitan. Mereka mungkin cepat merasa putus asa dan memilih untuk mundur daripada terus berjuang.
Camper (Bertahan):
Camper adalah individu yang cenderung bertahan pada posisi atau keadaan saat ini tanpa berusaha untuk maju lebih jauh. Mereka mungkin merasa nyaman dengan apa yang sudah dicapai dan tidak memiliki dorongan kuat untuk terus berkembang atau menghadapi tantangan baru.
Climber (Pendaki):
Climber adalah individu yang memiliki daya juang tinggi dan selalu berusaha untuk terus maju dan mencapai tujuan yang lebih tinggi. Mereka tidak mudah menyerah, selalu mencari cara untuk mengatasi rintangan, dan memiliki motivasi yang kuat untuk berkembang.
Dari ketiga klasifikasi di atas, Stoltz menekankan pentingnya memiliki mentalitas "climber" agar dapat menghadapi berbagai tantangan dan mencapai kesuksesan. Menurutnya, individu dengan daya juang tinggi akan lebih mampu bertahan dan berkembang dalam menghadapi berbagai situasi kehidupan.
Dikutip dari deeparenting.org ada beberapa prinsip utama pola asuh AQ meliputi:
Pola Asuh Berkembang
Menekankan bahwa kemampuan dan kecerdasan dapat dikembangkan melalui dedikasi dan kerja keras, daripada menjadi sifat yang tetap.
Membangun Ketahanan
Membantu anak-anak mengembangkan mekanisme penanganan untuk menangani stres, kemunduran, dan tantangan emosional.
Keterampilan Memecahkan Masalah
Mendorong anak-anak untuk mengidentifikasi masalah, mencari solusi, dan menerapkan strategi untuk mengatasi hambatan.
Pengambilan Risiko
Menciptakan ruang yang aman bagi anak-anak untuk bereksperimen, membuat kesalahan, dan belajar dari pengalaman mereka.
Empati dan Kasih Sayang
Memupuk pemahaman dan kebaikan terhadap orang lain, serta kasih sayang terhadap diri sendiri.
Kesadaran Penuh dan Pengaturan Emosi
Mengajarkan anak-anak untuk mengelola emosi, pikiran, dan perilaku mereka dengan cara yang sehat.
![]() |
pexels/pixabay |
Benang Merah Kasus dengan Adversity Quotient (AQ)
Kasus Lady Aurellia
Andai, ya andai saja Lady Aurellia memiliki AQ tinggi dan orangtuanya merasa cukup telah membekali anaknya, maka tak kan terjadi kasus penganiayaan yang dialami Luthfi.
AQ tinggi, justru akan membuat Lady bersyukur mendapat jadwal piket bertepatan dengan akhir tahun. Dia melihat hambatan sebagai peluang. Piket di akhir tahun, hanya terjadi sekali dalam setahun, pengalaman yang diperoleh Lady kemungkinan besar tak dimiliki dokter koas lainnya.
Kasus George
Sayang anak, itu yang terjadi pada pemilik toko roti Lindayes Patisserie and Coffee yang bilang bahwa anaknya, George mengalami keterbelakangan dalam Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ).
Kebetulan saya punya contoh kasus yang mirip. Teman anak saya di kelas 1 SD divonis “idiot” oleh psycholog, sehingga terpaksa orangtuanya memindahkan sang anak ke sekolah inklusi.
Sekolah inklusi adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan bagi semua peserta didik tanpa diskriminasi. Sekolah ini bertujuan untuk mengoptimalkan potensi semua peserta didik, baik yang memiliki kebutuhan khusus maupun tidak.
Selain pendidikan akademis, orangtuanya juga membekali dengan soft skills, diantaranya tata krama, seperti wajib mengucapkan tolong, terimakasih, permisi dan maaf yang diucapkan dengan tulus.
Ibu sang anak (kebetulan sahabat saya) bilang bahwa dia tak mungkin terus menerus menemani anaknya. Sehingga dia harus membekali anaknya kemampuan bertahan hidup.
Lulus SMA, sang anak tak mau kuliah, dia ingin membuka café. Sang ibu pun berupaya mewujudkannya. Kini café yang berada di sekitaran Gedung Sate ini berjalan lancar, berkat ide-ide kreatif yang dimunculkan teman-temannya.
Next time saya tulis review-nya ya?
Kasus Lolly
Kebetulan saya pernah menonton video percakapan antara Nikmir dan anaknya, Lolly di channel YouTubenya. Dalam video dengan gesture tubuh “elu elu gue gue” itu, Nikmir menanyakan jumlah uang saku Lolly yang diterima dari sang ibu, dan ternyata gede banget!
Nikmir nampaknya memang “membeli” kasih sayang anaknya dengan uang. Semacam: “Kamu nurut enggak, kalo enggak mau nurut, saya gak jadi ngasih duit.”
Ini terlihat dari kisah Lolly yang diiming-imingi uang sebelum sekolah ke London, Inggris. Serta janji uang 5 M dalam kasus percintaannya dengan Vadel.
Atau dengan kata lain, Nikmir mengukur kesuksesan dengan jumlah uang. Sebetulnya Lolly sudah membuktikan kemampuannya bertahan hidup tanpa uang berjibun dari ibunya.
Sayang usianya masih sangat muda. Tahun 2025 ini Lolly baru berusia 18 tahun. Usianya ABG labil. Sehingga, selama ibunya masih bersikap sama, maka kisah perseteruan keduanya akan terus berlanjut.
Tentu saja kasusnya mungkin lebih kompleks. Kita hanya melihat di permukaan, menilainya dan kemudian mencoba mengambil hikmahnya.
Kurikulum Merdeka yang diluncurkan tahun 2022, sejatinya bertujuan untuk membentuk karakter Profil Pelajar Pancasila. Tentang bagaimana seorang anak tidak hanya cerdas, juga memiliki soft skills berupa tata krama, toleransi (terkait SARA), humanis, menjunjung kesetaraan, serta soft skill lainnya.
Soft skills yang sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup, khususnya ketika kelak terjun ke masyarakat luas. Sehingga ketika keberuntungan datang menyapa, dia tak berakhir seperti Gus Miftah atau Raffi Ahmad yang dicemooh netizen.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Kurikulum Merdeka, bisa banget klik link Home Education Centre ini ya?
Baca juga:
Anak Berpuasa, Antara Reward dan Kecerdasan Bertahan Hidup
Beda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang pada Orangtua yang Telah Tiada
Ketika kesulitan hidup datang dan dia bisa melaluinya maka AQ-nya terbilang bagus ya? Apalagi ketika melaluinya tanpa banyak drama, tapi ya kudu dengan mental kuat sih alias tahan banting
ReplyDeleteSudah jelas sekali ya, Mbak, IQ itu harus dibarengi dengan Adversity Quotient (AQ). Jadi bagaimana seseorang melihat masalahya dengan bijak dan mengatasi masalahnya dengan baik. Karena banyak kasus, orang pintar, terpelajar, dan punya jabatan, malah jadi sombong, akhirnya merendahkan orang lain. Yang kayak bapak parkir mobil di jalanan, lalu meludah, padahal dia sebenarnya yang salah.
ReplyDeleteSepakat, memang harus berimbang. Semoga makin banyak orang tua yang paham tentang AQ ini ya, sehingga dalam mendidik anaknya tak melili menekankan pada hal kognitif saja
DeleteTernyata selain IQ, EQ dan SQ yang sudah saya kenal, ada lagi Adversity Quotient (AQ). Iyah AQ ini emang sangat dibutuhkan, dan selayaknya dibekalkan ke anak-anak sejak dini
ReplyDeleteKisahnya Lolly aku malah baru baca secara runut disini, Trims mbak kupikir selama ini Lolly yang salah, karena sejelek-jeleknya mamanya pasti ingin yang terbaik buat anaknya
ReplyDeleteFaktor pola asuh memang sangat penting, ya. Tidak hanya membuat anak menjadi cerdas. Tetapi, juga mendidik anak memiliki emosi yang terkontrol. Orangtua juga harus jadi role model
ReplyDeleteSaya tu ga ngikutin kasus Lolly malah dapat insight lengkap nih Ambu. Kalau yg dokter coass itu cukup tau Krn rame di pemberitaan seputar Palembang dan bubble adik saya yg dokter.
ReplyDeletePe-er banget jadi ortu utk membimbing anak mengasah AQ (selain EQ, IQ&SQ) agar kelak mrk punya daya resiliensi & semoga jadi modal utk jd lebih baik jg. Makasih tipsnya ya Ambu
Kisah² yang viral daku gak mengikuti. Tapi jadi tahu soal tipe AQ. Gak semuanya seperti climber, apalagi kalau dalam internalnya gak mendukung. Peran diri dan dari keluarga di rumah ini bisa menumbuhkan sisi climber itu
ReplyDelete"IQ tinggi akan mendukung seseorang menjadi problem solver yang sukses. AQ nya akan semakin meningkat setelah berulangkali berhasil mengatasi masalah. Karena dia mampu mengubah hambatan menjadi peluang, dan akhirnya menjadi individu yang tidak mudah menyerah."
ReplyDeleteSaya suka banget dengan rangkaian paragraf di atas. Menunjukkan tentang keseimbangan hidup dan kehidupan. Apalagi di zaman sekarang di mana urusan moralitas mulai berkurang, berlimpahnya saingan dan cobaan dalam melewati hidup, dan mempersiapkan diri agar bisa menjadi lebih baik dan bermanfaat di masa mendatang.
3 contoh kasus yang cukup viral dan menjadi perhatian publik. Benang merahnya adalah berhubungan dengan kemampun AQ.
ReplyDeleteKeseimbangan baik itu IQ, EQ, atau AQ sama pentingnya ya.. untuk dimiliki seseorang.sehingga setodaknya akan lebih bisa mengelola emosi dengan baik tapi tetap bisa memahami situasi kehidupan.
PUntuk kondisi sekarang, anak wajib memiliki Adversity Quotient (AQ) yang baik selain IQ agar bisa bertahan di kehidupan yang semakin keras, mental harus kuat dan tidak mudah menyerah pada situasi yg jauh dr kata ideal atau yg seperti dalam gambarannya, apalagi saat berurusan dengan orang lain.
ReplyDeletezaman sekarang makin banya kasus orang tua - anak yg viral. molly baru pernah denger soal AQ ini deh.. kudu banyak baca lagi
ReplyDeleteAQ dengan tipe Climber (Pendaki), tentu jadi impian banyak orang tua. Tapi mengasuh anak menuju tipe Climber memang butuh skill parenting khusus sepertinya, ya Ambu.
ReplyDeleteMinimal dari Ortunya sendiri harus kuat mental ketika melihat anak jatuh bangun saat menata hidupnya sendiri agar dia lebih tegar dan mandiri, cmiiw.
IQ tinggi mendukung seseorang menjadi problem solver yang bagus.
ReplyDeleteAQ nya juga akan semakin meningkat setelah berulangkali berhasil mengatasi masalah. Ini juga berpengaruh sama daya juang anak untuk gak gampang menyerah ya mba