Perbedaan Pola Pikir Gen Z dan Gen Kolonial Terkait Perubahan Iklim

  
maria-g-soemitro.com
sumber: pexels/markusspiske

Perbedaan Pola Pikir Gen Z dan Gen Kolonial Terkait Perubahan Iklim

“Bingung ngejawabnya, ini anak-anak mau bikin aplikasi bank sampah,”curhat seorang teman, pejabat lingkungan hidup yang sama-sama bergabung dalam komunitas Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS). 

Saya cuma manggut-manggut. Saya membayangkan betapa sulitnya menjelaskan tentang bank sampah pada generasi Z. Mereka hanya berpatokan pada data yang dilaporkan pemerintah Kota Bandung.

Memang sih tercatat ada ratusan buah bank sampah di Kota Bandung. Tapi realitanya? Mungkin hanya tersisa 5-10 bank sampah yang masih beroperasi.

Mengapa? Karena ada salah kaprah tentang makna bank sampah itu sendiri. Selama ini digembar gemborkan  adalah bank sampah berhasil menyulap sampah menjadi rupiah. 

Pelakunya tentu saja generasi kolonial atau generasi baby boomers (lahir sekitar tahun 1946-1964) yang gemar bermain gimmick. 

Gak percaya? Simak deh debat pilkada yang bisa kita lihat rekamannya di YouTube dan TikTok. Para kandidat yang sebagian besar merupakan gen kolonial punya jawaban yang mirip. Untuk urusan penanggulangan sampah, mereka menjawab dapat mengubah sampah menjadi uang.

Jawaban yang berbeda apabila kandidat tersebut merupakan perwakilan dari gen Z yang lahir pada 1997-2012. Mereka akan menganalisis dan membuat solusi masalah sampah sejak awal, yaitu melalui proses 3 R (reduce, reuse, recycle). 

Jadi mereka paham bahwa proses berjalan berurutan, dimulai dari “reduce” dulu, gak ujug-ujug “recycle” seperti yang dilakukan gen kolonial.

Mengapa?  Karena mereka terbiasa berselancar di dunia maya, sehingga paham permasalahan sampah secara holistik. Mereka paham tentang mikroplastik. Mereka paham bedanya sampah terurai dan terdegradasi. Mereka juga paham alasan sampah anorganik tidak bisa terurai di alam.

Gen Z sangat berbeda dengan gen kolonial yang mengagung-agungkan teknologi bisa menyelesaikan semua masalah. Khususnya teknologi Jerman yang dianggap dewanya teknologi.

Baca juga:

Jennifer Lopez dan Cara Mendidik Anak Agar Punya Kebanggaan Diri

Fenomena Anak/Ibu Durhaka dan Luka Pengasuhan

Daftar Isi

  • Perubahan Iklim, Mispersepsi Gen Kolonial dan Gen Z
  • Perbedaan Gen Z dan Gen Kolonial Terkait Perubahan Iklim
  • Gen Z dan Gen Kolonial harus “Temenan”

Contoh kasus pola pikir gen kolonial termudah adalah kebijakan Jokowi, Presiden RI ke 7 dalam mengatasi sampah. Sebagai perwakilan gen kolonial, Jokowi menginstruksikan 12 daerah untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah, yaitu DKI Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado.

Bahkan Jokowi mewajibkan PLN membeli listrik PLTSa dengan harga US$ 13,3 per kWh, sesuai  Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah. (sumber)

Sekarang kita lihat, andai proyek ini terwujud, maka PLN harus membayar 211.102,26 Rupiah/kwh (sesuai kurs dollar pada saat tulisan ini diposting)

Di pihak lain, PLN menetapkan tarif Listrik pada masyarakat, yang tertinggi adalah Rp 1.699,53/kWh untuk daya 3.500-5.500 VA, serta golongan R-1/TR daya 900 VA, seharga Rp 1.352,00 per kWh. Untuk daya 450 VA pastinya lebih rendah lagi. CMIIW.

Kok boncos? Yup demikianlah cara berpikir gen kolonial yang sangat mendewakan teknologi. Terbuai dengan gimmick “sampah disulap jadi listrik” apa pun dilakukan, termasuk harus membuat PLN merugi.

Hasilnya? Bisa diduga proyek ini gagal! Memang ada 4 kota yang berusaha mewujudkannya, namun rata-rata masih dalam tahap pembangunan yang membutuhkan dana triliunan rupiah.

Kasus ini tak akan terjadi andai gen Z yang menjadi pemimpin. Mereka mempunyai pola pikir yang jauh berbeda dengan gen kolonial. Dan mispersepsi ini harus disamakan agar tidak terjadi pemborosan/inefisensi sumber daya alam dan sumber daya manusia.

Pengelolaan sampah sebagai sub sektor perubahan iklim, saya ambil sebagai kasus karena kebetulan selama 10 tahun lebih saya menggeluti sektor ini.

Yuk, kita lanjut bahas perbedaan cara pandang perubahan iklim, antara gen Z dan gen kolonial.

  

maria-g-soemitro.com
sumber: pexels/rdne

Perbedaan Cara Pandang Gen Z dan Gen Kolonial Terkait Perubahan Iklim

1. Nilai-nilai Sosial

Ketika muncul ramalan bahwa perubahan iklim akan menyebabkan Jakarta tenggelam, dengan segera Jokowi sebagai perwakilan gen kolonial, membuat keputusan memindahkan ibukota Indonesia dari Jakarta ke IKN.

Apa yang akan dilakukan gen Z apabila mereka menjadi pemimpin? Mereka tidak akan segegabah itu. Sebagai generasi melek digital, mereka tahu bahwa memindahkan ibukota tidaklah sesederhana memindahkan permainan lego dari ruang tengah ke kamar tidur.

Generasi Z memang ingin menciptakan dunia yang lebih baik untuk masa depan, tapi “gak ngasal”. Pandangan mereka lebih holistik. Andai harus memindahkan ibukota,  mereka akan peduli  isu sosial dan lingkungan, karena mereka melek berita internasional, mereka juga mengikuti akun-akun NGO terkait, seperti Greenpeace dan Walhi.

2. Konektivitas Digital

Tumbuh dengan teknologi digital membuat generasi Z kerap mendapat penilaian negative. Namun berkat kebiasaan mengakses setiap informasi melalui internet, seperti penelitian ilmiah, berita terkini, dan kampanye lingkungan, mereka memiliki wawasan yang lebih dalam terkait perubahan iklim

Terkait kasus pemindahan ibukota, gen Z tahu banyak  negara yang gagal memindahkan ibukota, salah satunya Myanmar yang telah menggelontorkan US$4 miliar (60 triliun rupiah pada tahun 2005), namun apa hasilnya? Ibukota baru berakhir menjadi “kota hantu”!

Demikian juga Malaysia, Australia, Tanzania dan Korea Selatan, negara K-pop ini ternyata punya ibukota baru bernama Sejong, tapi kok setau kita ibukota Korsel adalah Seoul ya?

3. Konsumerisme Berkelanjutan

 Berbeda dengan gen kolonial yang termakan promosi industry fast fashion, atau model bisnis dalam industri pakaian yang memproduksi pakaian dengan cepat, murah, dan mengikuti tren terbaru. 

Gen Z lebih memilih produk dan layanan yang ramah lingkungan. Mereka sangat peduli jejak karbon yang mereka hasilkan. Salah satunya dengan berbelanja melalui market place.

Salah seorang  environmentalist, David Sutasurya pernah meramal bahwa akan tiba saat ketika jalan raya hanya akan dilewati kurir yang membawa paket barang!

4. Aktivisme

Tidak hanya peduli, generasi Z juga aktif dalam mengambil tindakan. Seperti membawa tumbler, membawa makanan bekal dalam wadah pakai ulang dan lainnya.

Gen Z juga sering terlibat dalam demonstrasi, kampanye online, dan inisiatif lingkungan lainnya.

  

maria-g-soemitro.com
sumber: pexels/polina tankilevitch

Gen Z dan Gen Kolonial harus “Temenan”

Kembali ke kasus bank sampah di atas, gen Z tidak mendapat informasi yang cukup karena selain kurangnya artikel yang komprehensif membahas tentang bank sampah, juga bank sampah hanya ada di Indonesia!

Gen Z hanya tahu bahwa bank sampah merupakan salah satu solusi masalah persampahan. Ketika mereka melihat masalah sampah tak kunjung selesai, maka gen Z akan berpikir: “Gimana jika dibuat aplikasinya? Agar setiap individu bisa terhubung’.

Mereka tidak tahu bahwa “bank sampah” sebagai penemuan gen kolonial, hanyalah tools memilah sampah. Hal yang tidak dipahami oleh penemunya akibat cara berpikir mereka yang konservatif.

Jadi, apa yang harus dilakukan agar gen kolonial agar nyambung dengan gen Z, mengingat mereka lah yang akan menjadi pemimpin di masa depan?

Paling tidak, ada 4 langkah yang bisa dilakukan:

Pendidikan yang Komprehensif

Penting banget gen kolonial untuk jujur menyajikan data. Seperti bank sampah yang jumlahnya ternyata tidak signifikan. Gen kolonial sebagai pelaku kebijakan harus membuka diri terhadap kemungkinan bank sampah menjadi solusi sesuai pola pikir dan cara kerja gen Z.

Dengan kata lain, jangan mencekoki mereka dengan data, namun juga mengupas tentang permasalahan bank sampah dari aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan lainnya.

Memperkuat Suara

Libatkan gen Z  dalam setiap keputusan. Tentu saja tidak dengan cara konvesional seperti yang biasa dilakukan gen kolonial, melainkan dengan cara gen Z, seperti membuat polling melalui media sosial, serta aktivitas digital lainnya yang memungkinkan gen Z mendapat ruang untuk berbicara dan berpartisipasi.

Mendukung Inisiatif

Inisiatif gen Z sering membuat gen kolonial mengernyitkan dahi seperti pengajuan aplikasi bank sampah di atas. Jangan “mematikan” inspirasi mereka, melainkan dengarkan dan buka kemungkinan suara mereka diadopsi dalam setiap kebijakan.

Menjadi Role Model

Pernah melihat narasumber di suatu event perubahan iklim yang minum dari air minum dalam kemasan (AMDK)?

Bayangkan betapa sakit hatinya para gen Z melihat ulah para senior mencemari lingkungan, kemudian mewariskan bumi yang rusak pada gen Z?

Ternyata lumayan panjang ya mengupas perbedaan perubahan iklim antara gen Z dan gen kolonial? Padahal saya juga mau ngobrolin kredit karbon, inovasi yang pasti menarik gen Z. 

Kita kupas di postingan berikutnya ya?

Baca juga:

Beda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang pada Orangtua yang Telah Tiada

Anak Berpuasa, Antara Reward dan Kecerdasan Bertahan Hidup


2 comments

  1. Waduh gen kolonial yah? Jauh bangeet...seperti di zaman penjajahan, padahal kita udah merdeka sejak tahun 1945. Hehe...becanda, saking mau menunjukkan betapa kunonya pola berpikir pemimpin kita di masa lalu.
    Pola berpikir Gen Z memang berbeda, belum tahu juga sih, nantinya bila mereka diberi kesempatan sebagai penentu kebijakan. Semoga di tangan mereka, bumi bisa makin hijau, dan masalah sampah bisa terkendali.

    ReplyDelete
  2. Sangat disayangkan jika dari ratusan bank sampah yang beroperasi hanya segelintir ya Ambu. Aku sendiri waktu kerja berurusan dengan baby boomers tuh ya allah capeknya. Belom sampe ke akar masalah, mereka lebih banyak ngebahas soal lain yang gak relevan dengan masalah yang dihadapi.

    Terkait perubahan iklim, setuju dengan saran Ambu generazi Z dan boomers harus bersinergi. Tapi catatannya, generasi boomers harus siap menerima masukan dari anak muda. Kalau belum apa-apa udah merasa dilangkahi/kalah pinter (padahal emang gak lebih pinter dari generasi muda) ya susah.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat