Jennifer Lopez dan Cara Mendidik Anak Agar Punya Kebanggaan Diri

  
maria-g-soemitro.com
sumber: billboard.com

Jennifer Lopez dan Cara Mendidik Anak Agar Punya Kebanggaan Diri

Pernah lihat aksi Jenifer Lopez di atas panggung? Maksudnya bukan menonton langsung (itu mah saya juga mau banget), namun dari video short yang sering muncul di YouTube serta media sosial lain.

Usia JLo tahun ini sudah 55 tahun lho, dia lahir 24 Juli 1969, tapi lihatlah, dengan energik dan penuh percaya diri JLo masih melenggak lenggokkan tubuhnya dengan sexy, seolah mau bilang: “Inilah gue!”.

Padahal menurut beberapa sumber, JLo gak sempurna. Banyak yang mengkritik tubuhnya yang montok, atau lebih spesifik termasuk curvy, yaitu  melengkung di bagian pinggul, sehingga banyak yang menyarankan JLo untuk diet.

JLo juga pernah merasa tidak percaya diri setelah melahirkan anak kembar. Dia takut punggung, perut, dan bokongnya yang membesar tak bisa langsing lagi.

Khas emak-emak ini mah ya?

Baca juga:

Anak Berpuasa, Antara Reward dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Ego atau Cinta? Akar Kekerasan yang Terabaikan

Daftar Isi

  • Jenifer Lopez dan Kebanggaan Diri
  • Kegiatan Ekstrakurikuler yang Membangkitkan Kebanggaan Diri
  • Berikan Target, dan Jangan Pelit Pujian

Tema one day one post kali ini adalah “Sebagai manusia, bagaimana cara kamu memanusiakan diri di hadapan manusia kuat dalam berbagai kondisi seperti privilege dan values?”

Untuk sejenak, saya merenung. Emangnya seribet itu berhadapan dengan “manusia kuat”?

Mengapa harus terintimidasi? Bukankah privilege dan values adalah hasil kesepakatan suatu kerumunan? Jika punya kebanggaan diri seperti yang dimiliki Jenifer Lopez, maka kita tidak mempedulikan privilege dan penilaian values yang berada diluar jangkauannya

Maksudnya begini:

Privilege

Contoh kasus Kaesang Pangarep  yang mendapat privilege karena dia anak Jokowi, presiden ke-7 Indonesia. Jokowi menjadi presiden atas kesepakatan kerumunan, yaitu penduduk Indonesia.

Values

Contoh kasus Emil Salim, mantan menteri dan Begawan Lingkungan Hidupnya Indonesia. Kerumunan yang terdiri dari penduduk Indonesia lah yang menjadikan Pak Emil sebagai begawan lingkungan hidup.

Kedua contoh di atas merupakan hasil kesepakatan kerumunan, yang membuat penerima privilege dan pemilik values mendapat tempat yang “lebih terhormat” dibanding anggota kerumunan lainnya.

Atas hasil kesepakatan tersebut, keputusan berada di tangan kita, apakah kita akan mengikuti kehendak kerumunan atau tidak. Terlebih ketika kita tidak diuntungkan atau malah terintimidasi. 

Dan hanya individu yang punya kebanggaan diri yang mampu membuat keputusan. Individu yang  mengenal diri sebagai manusia utuh. Bukan individu yang selalu mengekor apa pun suara mayoritas kerumunan.

Bagaimana cara memiliki kebanggaan diri? 

Harus dimulai dari unit terkecil suatu kerumunan, yaitu keluarga. Seorang anak akan mempunyai kebanggaan jika orang tuanya tak pelit memuji.

Saya inget banget, dulu ayah saya selalu memuji ketika ibunda mengatakan bahwa saya sudah menolong pekerjaan ibunda. Seremeh apa pun pekerjaan itu.

Setelah menjadi orangtua, saya berusaha mempraktikkan juga, termasuk memanggil anak dengan sebutan: sayangku, cintaku, cantikku, dan seterusnya

maria-g-soemitro.com

Kegiatan Ekstrakurikuler yang Membangkitkan Kebanggaan Diri

Dalam event kelulusan pascasarjana ITB, seorang pemuda maju sebagai perwakilan mahasiswa/mahasiswi. Dia mendapat tugas memberi kata sambutan. Tanpa teks!

Saya merasa bangga karena pemuda itu adalah anak saya. Anak yang sewaktu masih balita selalu bersembunyi di belakang pintu, ketika ada kerabat yang datang.

Saya bersyukur, anak saya memiliki kebanggaan diri sehingga mampu mengendalikan demam panggung. Dia pun mampu melaksanakan tugasnya dengan lancar.

 Saya memilih kata kebanggaan diri dibanding kepercayaan diri, karena seseorang yang memiliki kebanggaan diri berarti telah berhasil mendapatkan values, minimal bagi dirinya sendiri.

Values tersebut bisa berasal dari mana pun. Baik dari keluarga, lingkungan maupun akademis. Nah, selama anak-anak menempuh jalur akademis, saya “mencekoki” mereka dengan berbagai aktivitas non akademis.

Seperti contoh anak saya di atas, sejak di bangku Taman Kanak-kanak saya mendampinginya les menggambar. Disebut mendampingi, karena usai jam sekolah, dengan angkutan umum, saya mengantarnya ke tempat kursus menggambar, sekitar 1-2 jam menunggu, kemudian pulang ke rumah.

Pertimbangan saya waktu itu, mumpung pulang sekolah pukul 10-an, daripada langsung pulang, mending menambah ilmu.

Di bangku SD, saya memilih memasukkan anak saya les musik (piano) yang kebetulan lokasinya berseberangan dengan sekolah Taruna Bakti, tempat anak-anak saya menempuh ilmu.

Mereka juga ikut les berenang dengan segala keribetannya, seperti PP naik kendaraan umum, menyiasati  waktu untuk makan siang, dan seterusnya.

Setelah memasuki sekolah lanjutan, mereka diberi kepercayaan untuk memilih  latihan musik. Akhirnya anak sulung memilih gitar, anak ke-2 drum, anak ke-3 keyboard dan anak ke-4 biola.

Banyak yang meng-kritik keputusan saya tersebut, alasannya keluarga kami gak punya latar belakang seniman, ngapain belajar alat musik?

Para pengkritik lupa bahwa untuk memperoleh values, kita harus membongkar belenggu: gak bakat, gak minat dan hal-hal yang memenjarakan dengan kalimat “saya gak bisa”. Sebagai mahluk bernalar, semua skill di dunia ini bisa kita pelajari.

Karena itu, mumpung gratis 😊😊 , saya mendorong anak-anak ikut kegiatan  ekstrakurikuler. Anak bungsu memilih menari dan drumband, anak kedua memilih sepak bola dan paskibra,  demikian seterusnya.

Dengan memiliki skill, anak-anak memiliki kebanggaan diri. Mereka juga memperoleh networking. Serta pengalaman hidup tentang kesulitan memperoleh sesuatu. Ibunya naik turun kendaraan umum untuk antar jemput mereka.

Sebetulnya hal di atas terkait erat dengan kecerdasan bertahan hidup atau Adversity Quotient yang menjadi tugas orang tua dalam membekali anak-anaknya.


Berikan Target, dan Jangan Pelit Pujian

Memberikan target pada anak, bukan ide orisinal saya, melainkan almarhum adik saya yang dipenghujung karirnya menjabat pimpinan cabang bank swasta.

Sebagai lulusan fakultas hukum Universitas Parahyangan, dia merintis karir di dunia perbankan. Paham latar belakang keilmuannya masih sangat kurang, bahkan tidak nyambung, adik saya membuat target belajar yang ditempelkannya di dinding di depan meja belajar. Isinya seputar materi perbankan, seperti perpajakan, ekonomi mikro dan makro, serta banyak meteri lain agar dia bisa mengembangkan karirnya.

Apa yang dilakukan adik saya, saya terapkan pada anak-anak saya. Seperti ketika ingin melanjutkan ke sekolah lanjutan negeri, saya memberikan target sekolah lanjutan favorit, dulu sih SMPN 5 dan SMP 2 Bandung. 

Mengapa?  Agar mereka mengejar target yang ditetapkan. Andai gagal, apesnya mereka akan diterima dengan grade sedikit di bawah target utama. Jadi gak terlalu jatuh ke bawah, atau malah gak diterima di sekolah mana pun.

Anak sulung saya malah lebih ambisius. Dia menetapkan harus rangking pertama di kelas. Andai gagal, dia masih masuk 5 besar di kelas.

Cara ini tetap dia gunakan ketika kuliah di jurusan Teknik Sipil ITB. Dia berambisi mencapai IPK cum laude. Sehingga ketika mahasiswa lain absen dari mata kuliah yang tidak disukai, anak saya tetap masuk dan tekun belajar.

Adiknya punya ambisi yang berbeda. dia ingin kuliah ke luar negeri. Menyadari orangtuanya tidak sanggup membiayai dan dia gagal lolos LPDP, dia mencoba berbagai pintu beasiswa yang ternyata sangat banyak!

Bagaimana dengan anak nomor 3 dan anak bungsu? Keduanya lebih santai. Malah sewaktu masih duduk di SMA, anak nomor 3 memutuskan masuk jurusan IPS. Cukup mengejutkan karena keluarga kami masih “mendewakan” jurusan IPA. 

Gak semua anak suka IPA kan? Seperti gak semua anak suka warna putih, karena lebih memilih warna hitam dan biru.

Karena itu saya mengajaknya ngobrol dari hati ke hati. Saya bilang bahwa di IPS gak ada pelajaran fisika dan kimia yang tidak disukainya. Pelajaran matematika di IPS pun gak sesulit di IPA. Akhirnya dia memantapkan diri memilih jurusan IPS.

Kisah di atas hanya sekadar berkisah tentang peran orangtua dalam memberikan values pada anak-anaknya. Setelah itu, terserah dia untuk mengembangkannya.

Apakah akan dia kembangkan hingga mencapai pejabat/penguasa yang mempunyai privilege? Ataukah menjadi sosok berilmu yang memiliki values seperti Emil Salim. Biarlah dia yang menentukan.

Kembali ke judul tulisan tentang JLo, dia menyadari tidaklah mudah memenangkan persaingan dalam suatu kerumunan. Ada banyak perempuan cantik. Ada banyak perempuan cantik yang pandai bernyanyi. Apabila dia terintimidasi dengan standar yang ditetapkan kerumunan, habislah sudah.

Karena itu Jlo memutuskan menggunakan valuesnya sendiri. Dia memupuk kebanggaan diri dan seolah bilang pada kerumunan dengan penuh percaya diri: Gue cantik dan suara gue bagus lho”.

Dan Jlo berhasil. 

Nah, bagaimana teman-teman yang diberkahi sebagai orangtua, siapkah atau sudahkah membekali anak-anak kita dengan values yang menciptakan kebanggaan diri?

Baca juga:

Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Tragedi Binatang Bernalar dalam Kasus Mario Dandy


5 comments

  1. Masya Allah, tulisan ini keren banget, Ambu!
    Selamat ya untuk si mas yang berhasil berpidato tanpa teks di wisuda pasca sarjana ITB! Sungguh membanggakan!

    Abis baca, aku jadi terinspirasi sama cara Jennifer Lopez membangun kebanggaan dirinya lewat kerja keras dan komitmen. Pas banget buat diingat, apalagi kita sebagai ibu-ibu juga harus ajarin anak supaya percaya diri tapi tetap rendah hati.

    Btw, cara Ambu mengaitkan JLo dengan parenting itu smooth banget, bikin aku sadar pentingnya menanamkan value ke anak sejak dini. Salut deh!

    ReplyDelete
  2. Menghadirkan kebanggaan pada diri sendiri memang perlu sekali. karena itulah salah satu motivasi besar untuk maju. Apalagi setiap anak mempunyai kemampuan masing-masing. Dan orang tua harus terus memberi dukungan. Seperti anak Mbak Maria. Walau sekeluarga memilih jurusan IPA, tapi karena dia enjoy di IPS, pasti hasilnya akan maksimal.

    ReplyDelete
  3. Values haruslah ditanamkan sejak dini loh, terlebih jaman sekarang dengan banyaknya tantangan yang ada di masyarakat dan dunia digital.

    ReplyDelete
  4. Nah itu, baiknya rasa akan percaya dan berbangga diri mesti diberikan sejak usia anak karena kehidupan mereka seperti saat ini akan dihadapkan pada berbagai tekanan dan tantangan. Dengan membangun rasa berbangga diri karena skill tentu akan membantu mereka membangun harga diri yang kuat

    ReplyDelete
  5. Kadang-kadang untuk bangga pada diri sendiri itu kok sedikit susah ya, di tengah gempuran orang lain yang kelihatannya lebih berprestasi dibanding kita. Tapi memang butuh keberanian untuk bangga dan juga percaya pada diri sendiri

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat