Ego atau Cinta? Akar Kekerasan yang Terabaikan

   
maria-g-soemitro.com

Ego atau Cinta? Akar Kekerasan yang Terabaikan 

Menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia 2023, publik dikejutkan dengan peristiwa seorang pemuda berusia 23 tahun, warga Tapos, Depok yang nekad berusaha membunuh kedua orangtuanya.

RA, nama sang anak, tersulut amarahnya setelah sang ayah menegur dengan kalimat:

“Kamu (tersangka) dari lahir sampai detik ini coba sebutkan satu aja apa yang membuat orang tuamu bangga”.

Masa sih? Di dunia ini kan banyak banget orang tua yang melontarkan kata serupa? Mereka beralasan melakukannya demi “cinta” pada anaknya. Mereka beragumen sedang memicu sang anak, agar anaknya sukses. Supaya anaknya berhasil melampaui keberhasilan ayah ibunya.

Tapi benarkah alasannya adalah “cinta”?

Jangan-jangan alasannya adalah “ego”? Agar mereka bisa membanggakan sang anak pada kerabat dan banyak orang. Tanpa mau tau kebutuhan, keinginan dan kapasitas sang anak!

Ya, banyak orangtua mengukur kemampuan anak dengan parameter atau nilai yang diterapkannya sendiri. Mereka tak mau tau, apakah sang anak suka atau tidak. Apakah anak mampu atau tidak. Sehingga akhirnya bisa ditebak: muncul konflik!

Baca juga:

Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Kritik Sosial via Stand Up Comedy, Jangan Baper!

Daftar Isi:

  • Anakmu Bukanlah Milikmu
  • Kekerasan Menurut Éric Weil
  • Kekerasan Menurut Johan Galtung

Kisah tentang RA yang berupaya menghabisi nyawa orangtuanya membuat saya trenyuh sekaligus mengernyitkan dahi. Kok bisa sih kepikiran membunuh ayah dan ibu yang telah mencurahkan kasih sayang pada anak-anaknya? Ayah dan ibu yang telah berupaya melengkapi sandang, pangan dan papan?

Kerap blogwalking ke websitenya mom blogger, saya hanya melihat taburan cinta di situ. Banyak postingan tentang parenting, seperti ide permainan sensori. Tujuannya agar anak-anaknya tidak sekadar sukses, namun juga mempunyai kualitas hidup yang lengkap. Sebagai pertanda ilmu parenting telah melaju pesat.

Jadi, di mana salahnya?

Mungkin kita harus melihat potongan puzzle yang dibagikan Kapolsek Cimanggis Kompol Arief Budiharso. Beliau menjelaskan bahwa orangtua RA menginginkan anaknya meneruskan bisnis keluarga dalam bidang pengelolaan kertas/kardus.

Untuk itu, RA mendapat tugas mengurus keuangan. Sayang, menurut orangtua RA, anaknya kurang transparan, banyak aliran uang yang disembunyikan. RA menyangkal tuduhan orangtuanya. Dia tidak menggelapkan uang perusahaan, ada pembayaran yang delay.

Orangtua RA rupanya tak puas dengan penjelasan anaknya, sehingga terlontar kalimat yang membuat RA tersinggung.

Dibutakan oleh amarah, RA menyerang orangtuanya. Mengalami luka bacok di leher, sang ibu menghembuskan nafas terakhir di dapur.  

Al-Fatihah untuk almarhumah 🙏🙏

Sedangkan ayah RA mengalami luka berat.

Peristiwa anak tega membunuh orangtua, sebetulnya pernah terjadi di Magelang. Sang anak tega berulangkali meracuni ayah, ibu dan kakak kandung hingga ketiganya tewas. Alasannya pun mirip dengan RA, yaitu jengkel, sakit hati dan merasa dibebani keinginan orangtua.

Kebetulan bulan Agustus ini “Ngaji Filsafat” nya Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag di channel YouTube MJS Channel (singkatan dari Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta), sedang membahas filsafat perdamaian.

Filsafat perdamaian dari dua filsuf terkenal,  Éric Weil dan Johan Galtung, terasa relate banget. Bisa digunakan untuk membedah dan memahami akar masalah  kasus kekerasan oleh anak terhadap orangtuanya di atas. 

  

maria-g-soemitro.com
sumber: ecclesiae.com.br

Kekerasan Menurut Éric Weil

Walau beda generasi, Éric Weil lahir 4 Juni 1904 - meninggal 1 Februari 1977, sedangkan Johan Galtung lahir 24 Oktober 1930 dan masih aktif mengajar hingga kini, namun keduanya sepakat bahwa tujuan seseorang atau sekelompok orang melakukan kekerasan adalah kedamaian.

Tentu saja kedamaian menurut versinya sendiri. Seperti contoh kasus di atas. RA merasa tertekan karena ayah ibunya berungkali memberondong dengan kalimat bernada tuduhan. RA berpikir membunuh orangtuanya akan membuatnya merasa damai.

Lebih jelasnya, Éric Weil memaparkan bahwa hakikat manusia adalah hidup secara rasional dan hidup irrasional. Penentunya adalah akal budi. Dibanding akal budi, mereka yang irrasional lebih suka melakukan kekerasan demi kepentingan pribadi.

Tidak ada definisi yang cukup untuk mendefinisikan kekerasan, karena itu Éric Weil memberikan ciri-cirinya, yaitu:

  • Cara/tindakan yang menabrak prinsip-prinsip akal budi
  • Tidak mau cape, mereka tidak mau berjerih payah untuk hidup rasional seperti terbuka dan melakukan dialog serta usaha konkret untuk membebaskan diri dari kekerasan
  • Anti filsafat, sebab kekerasan merupakan antithesis nya filsafat.

Secara lebih spesifik, Éric Weil menjelaskan tentang orang yang hidup irrasional dan menyukai kekerasan sebagai berikut:

1. Insting

Mereka bertindak sesuai instingnya, mau maki-maki ya maki-maki, tanpa mempedulikan/menenggang perasaan orang lain 

2. Hawa nafsu

Mereka hanya mengikuti ambisi hawa nafsunya saja

3. Egois

Mereka tidak mempertimbangkan perspektif, keinginan, dan keadaan orang lain disekelilingnya. Mereka hanya memikirkan dirinya sendiri saja. Orang lain akan diatur menurut versi dirinya, dengan alasan dia tahu apa yang terbaik untuk orang tersebut.

Setiap orang punya kecenderungan egois yang seharusnya ditekan. Bukannya malah memenangkan ego dalam segala hal.

Orang yang irrasional inilah yang umumnya melakukan kekerasan. Perilakunya sangat berbeda dengan orang rasional yang memiliki akal budi dan selalu mempertimbangkan untung rugi setiap perbuatannya.

Orang rasional juga mengutamakan kedamaian, kebersamaan dan dialog, serta membebaskan diri dari insting, hawa nafsu dan egoism. Dialog dilakukan untuk saling memahami dan memaafkan.

Dari sekelumit penjelasan akar kekerasan menurut Éric Weil (karena durasi aslinya 2 jam), kita bisa memahami apa yang terjadi. Tindakan irrasional RA dipicu oleh tindakan irrasional orangtuanya.

Di lain pihak, orangtua RA tidak menyadari tindakan irrasional yang dilakukan (dalam bentuk kekerasan verbal) bukanlah pertanda cinta, melainkan ego.

  

maria-g-soemitro.com
sumber: rcnv.org

Kekerasan Menurut Johan Galtung

Kasus kekerasan di atas, jika  menyimak filsafat perdamaian Johan Galtung termasuk kategori kekerasan kultural.

Kekerasan kultural adalah kekerasan yang dilakukan untuk menjustifikasi kekerasan langsung dan kekerasan structural dengan berbasis ideologi, budaya, agama, seni, ilmu, filsafat dan lainnya.

Cara kerja kekerasan kultural adalah mengubah “warna moral” dari tindakan yang “salah” menjadi “benar” atau setidaknya dapat diterima.

Sampai di sini semakin jelas ya? Orangtua dengan ucapan-ucapannya melakukan kekerasan kultural, dengan alasan supaya kelak anaknya lebih sukses, bla…bla..bla

Lebih lanjut Johan Galtung memaparkan bahwa kekerasan muncul karena adanya konflik

Konflik/perselisihan terjadi antara 2 orang yang mengejar tujuan yang sama. Perselisihan tersebut (meskipun tidak selalu) dapat dengan mudah mengarah pada upaya untuk menyakiti orang yang menghalangi.

  

maria-g-soemitro.com
sumber: sites.chapman.edu

Ada segitiga konflik yang menjadi penentu lahirnya kekerasan/tidak, yaitu:

  • Behavior. Perilaku-perilaku yang berkonflik
  • Attitude. Sikap/persepsi/cara pandang orang yang berkonflik terhadap hidup, tentang dirinya dan lawannya
  • Contradiction. Adanya kepentingan yang bertabrakan

Kombinasi behaviour, attitude dan contradiction akan menentukan skala konflik. 

Konflik sih, tapi attitude-nya bisa dijaga sehingga muncul kedamaian. Sebaliknya jika yang berkonflik mempunyai attitude negative, maka akan terjadi kekerasan.

Demikian pula dengan behaviour. Pak Faiz memberi contoh 2 mahasiswa yang kos bersama di suatu kamar. Terjadi kontradiksi, mahasiswa A punya kebiasaan tidur dengan lampu menyala, sedangkan mahasiswa B memiliki kebiasaan tidur gelap-gelapan.

Apabila kedua mahasiswa mempunyai attitude negative, bisa dipastikan akan terjadi “perang”. Sebaliknya terjadi ketika keduanya memiliki attitude positif, mereka akan mengutamakan dialog untuk bernegosiasi dan mengambil keputusan yang sama-sama menguntungkan.

Setiap orang pasti mengalami konflik dalam hidupnya. Apabila dia memiliki attitude dan behaviour positif, maka konflik akan berbuah hal positif.

Barangkali potongan kajian filsafat Pak Faiz terlalu pendek atau bahkan mungkin kurang tepat. Saya hanya berusaha memahami kasus rumit, anak membunuh orangtuanya, dari kaca mata filsafat perdamaian ini.

Karena itu sungguh tepat apa yang dikata Kahlil Gibran tentang hubungan orangtua dan anak sebagai berikut:

Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu.

Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu.

Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka, tetapi bukan jiwa mereka.

Sebab, jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.

Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, tetapi jangan menjadikan mereka seperti kamu.

Sebab, kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.

Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga, dan Ia melengkungkanmu sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat cepat dan jauh.

Biarlah tubuhmu yang melengkung di tangannya merupakan kegembiraan.

Sebab, seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat, Ia pun mencintai busur yang kuat.

Baca juga:

Fenomena Anak/Ibu Durhaka dan Luka Pengasuhan

Tragedi Binatang Bernalar dalam Kasus Mario Dandy

12 comments

  1. Efek trauma masa lalu juga bisa ya menyebabkan seseorang bertindak kekerasan. Dan hal ini perlu mendapat penanganan serius agar tidak berkembang tambah parah

    ReplyDelete
  2. Miris banget ya kalau mendengar berita pembunuhan, apalagi pelaku masih keluarga dekat korban. Menurut saya selain hawa nafsu, tingkat keimanan dan ketaatan pelaku dalam menjalankan perintah-Nya masih kurang, hingga sering lalai. Semoga keluarga kita dijauhkan dari perbuatan hina semacam itu.... Aamiin

    ReplyDelete
  3. ya Allah, makin sedih kalo baca berita kriminal jaman now

    tapi klo ditelusuri lagi, pembunuhan dalam kluarga udah terjadi sejak zaman anak2 Nabi Adam ya

    semoga Allah jaga dan lindungi kita

    ReplyDelete
  4. Duh, ngeri. Membesarkannya anak memang PR besar, ya. Tugas berat orang tua. Makanya saya paling kesel kalau ada orang yang menggampangkan pernikahan. Kumaha engke, gimana nanti. Salah membesarkan anak aja udah nabung masalah besar. Sebaiknya para calon pasutri memang harus membereskan trauma yang masing-masing sebelum punya anak.

    ReplyDelete
  5. Perlunya berakal sehat dalam menghadapi tekanan kehidupan ya, sehingga tidak gegabah apalagi sampai tega melakukan hal² yang tidak baik tersebut kepada keluarga sendiri juga. Dan kepada si keluarga juga sebisa mungkin untuk gak menekan maupun merundung anggota keluarga lainnya

    ReplyDelete
  6. Kalau dipikir secara akal sehat, kok bisa, tapi ternyata terjadi dan ada beberapa kasus. Anak yang terlihat normal ternyata mudah tersulut emosi hingga melakukan kekerasan pada kedua oragtua. Apa mungkin ada luka pengasuhan juga yg jadi pemicunya?

    ReplyDelete
  7. Miris sekali kalau mendengar atau membaca konflik-konflik yang terjadi antara orang tua dan anak ya, Mbak. Dan memang sebagian besar faktornya dipicu oleh keinginan orang tua untuk membentuk dann mengarahkan anaknya untuk jadi A atau B. Harus menjadi begini atau begitu. Padahal, anak juga punya keinginan dan jalan hidup sendiri. lainnya, karena anaknya yang kurang keimanannya. Misalnya pernah ada membunuh orang tua karena tidak dipenuhi keinginannya meminjam sertifikat tanah. Jadi memang antara orang tua dan anak ada saling pengertian dan memahami. Anak pun harus terus hormat pada orang tua.

    ReplyDelete
  8. Mendengar kasus tidak baik yang dilakukan anak kpd ortu sendiri rasanya nyesek banget. Ya Allah semoga kita semua dijauhkan dari sifat tidak baik pada orang tua. Semoga anak-anak yang membaca artikel ini bisa semakin menyayangi orang tua mereka, tetap hidup rukun dan damai.

    ReplyDelete
  9. Bagus banget bahasannya Ambu.
    Dari segi keilmuan, semua jadi make a sense yaa.. Bahwa menurut Éric Weil dan Johan Galtung kekerasan adalah jalan keluar untuk berdamai. Terbiasa menerima perlakuan dari luar, orangtua terutama, circle terdekat, maka luka yang timbul pun semakin membekas lara yang tak termaafkan.

    ReplyDelete
  10. Benar ambu, setiap orang pasti mengalami konflik dalam hidupnya. Jika dia memiliki attitude dan behaviour positif, maka konflik akan berbuah hal positif. Karena mereka mengatasinya dengan kepala dingin. Nah, ini peran orangtua yang berpengaruh dalam proses pengasuhan anak sejak dini.

    ReplyDelete
  11. Wah, semoga kita dijauhkan dari sifat buruk pada orang tua ya.. inilah kenapa berakal sehat dalam menghadapi kehidupan itu penting, jadi kitanya nggak panik n gegabah

    ReplyDelete
  12. Saya jadi ingat waktu pertama kali kos, sekamar dengan anak tentara yang disiplin dan tidurnya dengan lampu mati sementara saya ketakutan kalau gelap. Diskusi berkali-kali tak ketemu, akhirnya dia pindah kamar. Kasus R itu komunikasi juga kunci, menurut saya, karena tipilkal keluarga kebanyakan itu miskin komunikasi. Anak yang terbiasa mendengar dan didengar secara aktif akan panjang akal.

    ReplyDelete