Anak Berpuasa, Antara Reward dan Kecerdasan Bertahan Hidup

   
maria-g-soemitro.com

Anak Berpuasa, Antara Reward dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Reward untuk anak yang berpuasa Ramadan? Setuju aja pemberian “reward” sih, tapi tidak dalam bentuk “hadiah”. Lho, apa bedanya? Reward atau penghargaan ada banyak macam, salah satunya adalah hadiah. Nah penghargaan yang tepat untuk anak sebaiknya dalam bentuk afirmasi positif.

Afirmasi positif bisa diartikan sebagai pernyataan positif, misalnya Boy (nama anak) berhasil puasa setengah hari, maka beri penghargaan dengan kalimat positif: “Wah hebat, Allah bakal tambah sayang ke Boy, nih”

Sedangkan “hadiah” umumnya berbentuk materi. Contohnya ketika Boy berhasil puasa setengah hari maka akan mendapat hadiah uang Rp 50.000, atau Rp 100.000 kala Boy berpuasa penuh.

Banyak alasan yang membuat saya gak setuju hadiah materi (salah satunya uang). Puasa kan merupakan salah satu rukun Islam. Jadi wajib hukumnya untuk dilaksanakan. Karena wajib hukumnya, anak harus dibiasakan berpuasa sejak dini.

Mungkin ada yang menyanggah “Puasa kan gak mudah, anak harus menahan lapar dan haus”.

Ups, justru ini kelebihan ibadah berpuasa, yaitu bisa menjadi latihan kecerdasan bertahan hidup! Terlebih ketika anak-anak berlatih sejak kecil, mereka berlatih bahwa hidup gak selalu perut dalam keadaan kenyang. Mereka harus menahan diri. Termasuk berjuang menahan godaan, kala makanan tersedia di depan mata.

Baca juga:

Ingin Bunuh Diri Gara-gara Stigma Kusta

Kini dan Ramadan dalam Kenangan

Daftar Isi:

  • Anak Berpuasa, Antara Reward dan Adversity Quotient
  • Adversity Quotient, Kecerdasan Bertahan Hidup
  • Antara Berpuasa dan Adversity Quotient

Jujurly, saya merasa berat hati mengajarkan anak-anak berpuasa. Lha gimana gak sedih, anak-anak saya tuh susah makan. Apalagi makan sahur, biasanya mereka gak berhasil menghabiskan makanan dalam piring. 

Situasi bertambah berat karena semasa di bangku SD, banyak teman-teman sekolah mereka tidak berpuasa. Alasan orangtuanya: Takut anaknya kurang gizi!

Tapi, hidup bukan melulu opini orang lain kan ya? Orangtua harus bertanggungjawab mempersiapkan masa depan anaknya. Puasa Ramadan hanya setahun sekali. Saya yakin banget Allah SWT akan melindungi  anak-anak saya dalam beribadah. Serta ketika mereka menapaki jalan yang diridoi Sang Pencipta.

Di kemudian hari, tatkala melihat berita tentang maraknya bunuh diri, saya melihat ada benang merah antara kecerdasan bertahan hidup dengan berpuasa di bulan Ramadan sebagai latihan menaklukan kesulitan hidup

Seorang sepupu punya analogi yang bagus tentang kewajiban menjalankan ibadah ini:

Ketika anak-anak sedang tidur nyenyak, dan tiba-tiba rumah terbakar, apa yang kita pilih? Membangunkan mereka atau membiarkan mereka dengan alasan kasihan: Lagi asyik tidur kok dibangunin?

Jawabannya pasti ngebangunin anak kan ya? 

Analogi tersebut menggambarkan posisi kita sebagai orang tua yang kerap dilematis, antara menunda mengajarkan anak untuk beribadah, atau segera menuntun anak menjalankan ibadah. Walau sulit, dan sebagai orangtua kita merasa tak tega.

maria-g-soemitro.com

Adversity Quotient, Kecerdasan Bertahan Hidup

Diperkenalkan Paul G. Stoltz, yang menjelaskan Adversity Quotient (AQ) sebagai berikut:

AQ adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.

Banyak alasan membahas tentang Adversity Quotient (AQ) dan menghubungkan dengan berpuasa di bulan Ramadan. Yang pertama, saya bukan ahli agama, wawasan saya terlalu dangkal untuk membahas rukun Islam ke-4 ini, terlebih mengutip ayat-ayat suci yang terkait.

Alasan lainnya, berita bunuh diri yang semakin marak, membuat saya gelisah. Semakin bikin galau dengan berita satu keluarga bunuh diri yang melompat dari lantai 22 Apartemen Teluk Intan Tower Topaz, Penjaringan, Jakarta Utara.

Diduga penyebab EA (51), istri dan kedua anaknya, JWA (13), serta JL (18) bunuh diri disebabkan kesulitan keuangan. Sebelum bunuh diri, sang istri (AIL) sempat sembahyang di kelenteng yang berada di lantai 22 tersebut.

Penjelasan sempat sembahyang di kelenteng ini membuat saya mengernyit. Karena setahu saya, setiap agama, termasuk Khonghucu, menganjurkan umatnya untuk berpuasa.

Mirip penganut agama nonmuslim lainnya, secara jasmani penganut Khonghucu berpuasa dengan berpantang makanan tertentu, misalnya tidak makan makanan yang bernyawa (daging), atau berpantang hal yang sulit dihilangkan seperti merokok. 

Serta puasa rohani, yaitu membatasi diri terhadap 4 pantangan, yaitu “tidak melihat yang tidak susila, tidak mendengar yang tidak susila, tidak membicarakan yang tidak susila, dan tidak melakukan yang tidak susila.”

Ini menjelaskan bahwa setiap agama mengajarkan berpuasa, suatu cara untuk menahan diri dari kebutuhan manusia yang sangat mendasar, yaitu makan dan minum, sampai menahan diri terhadap keinginan yang tidak berhubungan dengan kebutuhan dasar, bahkan membahayakan jiwa manusia seperti merokok.

maria-g-soemitro.com


Antara Berpuasa dan Adversity Quotient

Pernah dengar kisah sedih yang dialami para peserta beasiswa Bidikmisi (sekarang KIP-K)? Banyak diantara mereka kesulitan karena uang yang dibutuhkan tak kunjung turun? Agar tetap bertahan di perantauan sambil terus kuliah, mereka melakukan berbagai cara, diantaranya berjalan kaki ke kampus, dan berpuasa.

Yups, cara puasa umat Islam yang diajarkan orangtua sejak anak-anak masih kecil, bisa menjadi pintu bertahan hidup. Mereka relative lebih mudah melakukannya, dibanding peserta Bidikmisi yang tidak terbiasa berpuasa.

Mungkin hal ini juga jawaban bagi kasus keluarga EA yang tidak mengajarkan soft skill dalam bentuk adversity quotient pada anak-anaknya. Secara nalar, anak berusia belasan tahun harusnya memiliki kemampuan bertahan hidup.

Andai dugaan keluarga tersebut kesulitan keuangan, bukankah uang hanya tools untuk bertahan hidup? Bukankah manusia yang menciptakan uang, bukan sebaliknya. 

Jadi sungguh tepat yang dianjurkan psikolog Elly Risman, agar sebagai orangtua, kita harus membiarkan anak mencoba melakukan banyak hal. Walau berpotensi gagal. Biarkan mereka jatuh supaya punya kemampuan untuk bangkit lagi.

Anda bukan anggota tim SAR!

Anak anda tidak dalam keadaan bahaya.

Tidak ada sinyal S.O.S

Jangan selalu memaksa untuk membantu dan memperbaiki semuanya.

Kalau bala bantuan muncul tanpa adanya bencana,

Apa yang terjadi ketika bencana benar-benar datang?

Berikan anak2 kesempatan untuk menemukan solusi mereka sendiri.

Andai dugaan keluarga tersebut kesulitan keuangan, bukankah ini fase yang tepat untuk memberi contoh tentang kejatuhan, sekaligus kesempatan berjuang untuk bangkit dan merangkak naik bersama-sama menuju puncak?

Di sekeliling kita banyak sekali insan yang bertahan hidup dengan kondisi yang “tak masuk akal”.  Mereka berjuang mengumpulkan uang seribuan, malah mungkin seratusan rupiah per hari dari menjajakan makanan murah, pemulung, bahkan jika terpaksa mengemis.

Dalam setiap agama, kalimat “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” selalu ada dengan berbagai versinya.

Izinkanlah anak Anda melewati kesulitan hidup…

Tidak masalah anak mengalami sedikit luka,

sedikit menangis,

sedikit kecewa,

sedikit telat,

dan sedikit kehujanan.

Tahan lidah, tangan dan hati dari memberikan bantuan.

Ajari mereka menangani frustrasi.

Kalau Anda selalu jadi ibu peri atau guardian angel,

Apa yang terjadi jika Anda tidak bernafas lagi esok hari?

Bisa-bisa anak Anda ikut mati. (Elly Risman)

Kalimat terakhir sangat tepat menggambarkan kasus keluarga EA yang mati bunuh diri dari lantai 22. Sang ayah dan ibunya tidak mengajarkan keterampilan bertahan hidup, sehingga ketika keluarga tersebut terbelit masalah, sang ortu merasa tak tega dan mengajak anak-anaknya untuk tewas berjamaah.

Atau, …. Jangan-jangan baik sang ayah maupun sang ibu, tidak memiliki kecakapan bertahan hidup?

Baca juga:

Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Tetap Cantik, Glowing dan Bugar Selama Berpuasa, Ini Tipsnya!


4 comments

  1. Hmm... masih ada orang tua yang karena alasan takut anaknya kekurangan gizi, lalu tak mengijinkan anaknya berpuasa. Yang begini mesti sering diberi edukasi ya mbak.

    Eh jaman saya kuliah dulu, mensiasati uang saku yang mepet, selain membatasi makan hanya 2 hari sekali, juga dengan berpuasa lho. Puasa Daud malah, sehari puasa, sehari tidak puasa.

    ReplyDelete
  2. Iya juga ya, kalau sejenak orangtua membiarkan si anak jatuh, jadi membuat dia belajar lebih mandiri dan tahun harus berjuang untuk bangkit.

    ReplyDelete
  3. Saya beruntung. Saat anak-anak mulai mengenal tentang ibadah puasa, mereka sedang mengenyam pendidikan di sekolah Islam yang mumpuni (Al-Azhar). Pendidikan atau ilmu tentang makna puasa sebagai satu kewajiban muslim/muslimah pun diuraikan/disampaikan kepada mereka oleh para guru. Sering banget malah, apa yang disampaikan guru, mereka ceritakan kembali ke saya (yang saat itu masih jadi mbak-mbak kantoran). Alhamdulillah sejak kelas 1SD, anak-anak saya mendapatkan asupan ilmu agama yang tepat.

    ReplyDelete
  4. Kalau aku sih ambu tahun ini udah mulai ngajarin anak puasa full, walau beberapa kali sahurnya telat jadi jam 6, tapi setidaknya dia tahu kalau puasa tuh dalam islam seperti ini.

    ReplyDelete