Beda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang pada Orangtua yang Telah Tiada

     

maria-g-soemitro.com

Berbeda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang pada Orangtua yang Telah Tiada

“Kita berduka karena ada keterikatan dengan almarhum/almarhumah,” kata Ustaz Aam Amirudin dalam salah satu tausiahnya. Beliau sedang menjelaskan hubungan intens antara anak dengan orang tuanya.

Menurut Pak Aam (saya memanggilnya demikian, karena terasa seperti guru dan murid), hubungan anak dengan orangtuanya harus dipupuk sedini mungkin. Karena itu walau seorang ulama, beliau menyarankan mengirimkan anak ke pesantren, setelah menamatkan Sekolah Dasar.

Di usia emas itu orangtua harus meningkatkan bonding/kelekatan dengan anak, seperti sering-sering memeluk, memuji dan tidak pelit mengucapkan kata: “sayang”, “cantik”, “anak ganteng” dan panggilan tanda kasih lainnya, serta meniadakan ungkapan yang berpotensi memojokkan anak, dari kamus kata.

Di tengah kesibukannya (selain sebagai ulama yang kerap harus memberi tausiah, Pak Aam juga menjadi owner perusahaan jasa ibadah haji dan umroh, pemimpin pesantren dan masih banyak lagi), Pak Aam selalu meluangkan waktu untuk anak-anaknya.

Seperti ketika bepergian ke luar negeri, Pak Aam selalu membagikan view dan pengalaman kepada anak dan istrinya. Sepulang dari bepergian, secapek apa pun, Pak Aam tak pernah lupa menanyakan makanan/atau apa pun yang diinginkan anggota keluarganya.

Bahkan salah satu bukunya yang ditujukan untuk remaja, berjudul “Ketika Shofie Bertanya”. Shofie adalah nama anak perempuan pertama Pak Aam.

Baca juga:

Fenomena Anak/Ibu Durhaka dan Luka Pengasuhan

Doddy Sudrajat dan Pelajaran Sebagai Orang Tua

Daftar Isi:

  • Kelekatan, Alasan Kita Kehilangan Orang yang Disayangi 
  • Ayahku, Rd. Aloysius Soemitro Pringgosastro 
  • Ibuku, Rr. Sri Soehari Mardiwardoyo
  • Beda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang Pada Ortu yang Telah Tiada

Mengapa saya membahas tentang kelekatan emosi antara Pak Aam dengan anak-anaknya? Karena saya gak seberuntung anak-anak Pak Aam. Keluarga besar saya (gak hanya keluarga inti) gak terbiasa mengungkapkan rasa kasih mereka.

Akibatnya, kala membina keluarga,  saya gak punya role model parenting. Diperparah dengan kehadiran dua kakak ipar yang ikutan ngatur rumah tangga (mereka belum menikah). Maunya mungkin menganggap anak-anak saya sebagai anaknya, tapi ya gak harus ngacak-ngacak rules mendidik anak, dong ya?

Saya sering berandai-andai ilmu parenting telah berkembang di masa emas anak-anak saya, pastinya saya bisa mengasuh anak-anak saya dengan lebih baik. Seperti seorang teman blogger, Mama Rani yang salah satu tulisannya “Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional pada Anak” begitu inspiratif.

Tapi bukan berarti saya minim kasih sayang, lho. Selain ilmu parenting belum berkembang, ibu saya yang menjanda di usia 33 tahun, kesulitan membagi waktu.

Ayah saya meninggal saat saya masih duduk di kelas 3 SD. Ibu diwarisi 6 krucils (tertua kakak saya kelas 4 SD, anak paling bungsu baru 3 bulan, masih bayi merah). Ibu saya tidak menikah lagi.

Kebayang kan repotnya ibu saya? Ya harus mencari nafkah, ya harus mendidik 6 anak, gak heran jangankan leyeh-leyeh dengan anak, memanjakan diri sendiri pun merupakan hal yang mewah untuknya.

Jadi ingin share tentang kedua orang tua saya 😊😊💗💗 

maria-g-soemitro.com

Ayahku, Rd. Aloysius Soemitro Pringgosastro 

Ini ayah saya, Rd. Aloysius Soemitro Pringgosastro. Rupanya zaman dulu orang Jawa seneng banget memberi nama anaknya dengan awalan “Soe” (ejaan lama) atau “Su”, seperti Soedirman, Soeharto, Soekarno. Bahkan ibu saya namanya Soehari. 

Setelah nanyak ke Eyang Google, saya menemukan bahwa kata "su-" merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta. Artinya adalah sangat, lebih, selalu, paling, unggul dan terbaik.  Jadi Sumitro punya makna “harapan dapat menjadi sahabat yang baik”, Sedangkan artinya "telinga yang baik”.

Uniknya, nama “su” ini unisex,  bisa digunakan untuk laki-laki maupun perempuan.

Lha kok jadi ngebahas nama ya? Mungkin baru kepikiran alasan orang jadul hobi banget memberi nama anaknya dengan kata “Su”.

Selain “Su”, nama “Aloysius” dapat dengan mudah disimpulkan bahwa ayah saya beragama Katolik. Karena hanya umat Katolik yang punya kebiasaan memberikan nama santa/santo sesudah yang bersangkutan menerima sakramen pembaptisan.

Walau bapak meninggal saat saya masih duduk di kelas 3 SD, bukan berarti gak banyak kenangan. Bahkan kayaknya saya harus menulis khusus tentang beliau deh.

Salah satunya kebiasaan bapak memuji anak-anaknya. Seperti ketika saya membantu ibu mencuci sayuran, kemudian ibu bilang bahwa saya tadi membantunya memasak, bapak langsung memuji: “Pantesan sayur supnya enak”.

Demikian pula kala saya membantu ibu merangkai bunga. Bapak memuji seolah karya saya master piece, padahal ya hasil rangkaian bunga anak SD pastinya acak-acakan. 

  

maria-g-soemitro.com

Ibuku, Rr. Sri Soehari Mardiwardoyo

Sebetulnya ada nama baptis di depan nama Sri Soehari, tapi gak saya cantumkan karena nama itu jadi “kode rahasia” yang digunakan perbankan. 

Ibu saya beragama Katolik karena kedua orangtuanya beragama Katolik, sedangkan bapak saya beragama Katolik atas inisiatif sendiri. Rupanya beliau terpanggil masuk agama Katolik ketika belajar di sekolah yang bernaung di bawah yayasan Katolik.

Kedua orangtua saya sangat taat beragama Katolik. Mereka merasa berdosa jika tidak mengikuti ibadah di hari Minggu. Mereka juga aktif di kegiatan keagamaan, seperti menjadi pengurus organisasi, serta aktivitas temporer: menyiapkan makanan untuk biarawan/biarawati, mengunjungi penjara, mengunjungi pesien rumah sakit dan masih banyak lagi.

Tanpa terasa, teladan (termasuk omelan) orangtua untuk beribadah terpatri dalam ingatan saya dan menerapkannya. Termasuk ketika saya pindah agama, dari Katolik ke Islam.

Saya merasa gelisah jika terlambat menjalankan ibadah salat. Saya juga jadi terbiasa berkegiatan sosial, baik dalam aktivitas keagamaan atau lainnya, seperti membantu komunitas pengelola sampah. 

maria-g-soemitro.com

Beda Agama, Ini Cara Menyampaikan Kasih Sayang Pada Ortu yang Telah Tiada

Bakal menyakiti hati ibunda, merupakan langkah terberat saat saya memutuskan pindah agama. Baik ayah maupun ibu, sangat meyakini agamanyalah yang terbaik. Sementara saya, sudah lama merasa tidak nyaman dengan agama yang “diwariskan” kedua orangtua.

Terlebih jika ayanda masih ada. Beliau pasti akan merasa terpukul. Beliau akan merasa gagal mendidik anak, serta perasaan sedih lainnya. Sayangnya, waktu itu saya tidak mendapat tausiah Ustadz Abdul Somad (tayang di channel YouTube resmi Ustadz Abdul Somad Official) berikut ini:

Buat saudaraku yang mualaf, baru masuk Islam, jangan setelah kau masuk Islam orang tuamu kehilangan kamu. Islam justru membuat orang tuamu jadi dapat anak yang baru, yang lebih baik, lebih sopan, lebih lembut, lebih dermawan. Belikan bajunya, belikan pakaiannya, kalau uangmu banyak belikan mobil, belikan perhiasan, sehingga orang tuamu. Sehingga anakmu melihatmu berubah, setelah masuk Islam anakku jadi lebih baik, anakku jadi lebih dermawan, anakku jadi lebih berbakti," kata UAS.

Masih dalam konten yang sama, andai orangtua non muslim sudah meninggal dunia, UAS memberi tausiah:

(Cukup membaca) doanya, ya Allah ini hambamu ku serahkan dia kepadamu, itu saja," katanya.

Selain itu, masih banyak menyampaikan rasa sayang kepada mereka berdua, seperti berkisah tentang hal-hal baik yang telah dilakukan almarhum/almarhumah, serta:

1. Menjalin Silaturahmi dengan Kerabat dan Teman Orang Tua

Berpuluh tahun tinggal di kota Sukabumi, membuat ibu saya memiliki banyak kerabat atau teman yang keakrabannya lebih dari sekadar kerabat. Sewaktu ibu saya sakit, beliau-beliau inilah yang rajin menjenguk, mengerok punggungnya, membawakan makanan kesukaan almarhumah dan masih banyak lagi.

Di sela waktu nyekar/ziarah  ke makam keluarga di Sukabumi, saya mengunjungi teman-teman bapak dan ibu terbut. Tentu saja keberadaan mereka makin menipis, ada yang sudah meninggal, ada pula yang pindah ke rumah anaknya di luar kota Sukabumi.

2. Selalu Menjaga Nama Baik Orang Tua

Hal pertama yang saya ingat ketika mendapat penghargaan adalah betapa bangganya ayah dan ibu saya, andai keduanya masih ada.

Walau saya yakin ayah dan ibu gak pernah meminta banyak pada anak-anaknya. Cukup hidup sesuai standar kebahagiaan yang ingin diraih, serta menjaga nama baik. Karena nama baik merupakan modal terbesar dalam menjalani hidup/

3. Meneladani dan Meniru Sifat Baik Orang Tua

Seperti telah saya tulis di atas, teladan orangtua akan terpatri di benak anak-anaknya dan mereka akan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu teladan ibunda adalah bersosialisasi dengan lingkungan sosial beliau tinggal, walau berarti harus bersusah payah belajar berkomunikasi dan menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat Sukabumi  yang sangat berbeda dengan kediamannya dulu di kota Yogyakarta.

Walau non muslim, setiap menjelang Lebaran, ibunda punya kebiasaan membagikan beras, kue kaleng dan sirop. Kebiasaan yang juga saya terapkan hingga kini.

4. Mengamalkan Ilmu

“Tidak pelit berbagi ilmu,” merupakan kebiasaan lain ibunda yang saya tiru. Sebagai single parent, beliau jadi mahir berdagang, mulai dari batik hingga perhiasan berharga. 

Ibunda juga mahir memasak sampai akhirnya memutuskan membentuk perusahaan catering. Untuk semua skill tersebut, ibunda tak segan berbagi ilmunya, dan ikut bahagia ketika muridnya bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat dan sukses menjalankan bisnis.

Kebiasaan baik ini otomatis saya tiru. Bahkan tersaya mendapat hikmah, setiap ilmu yang saya bagikan, saya akan mendapat ribuan ilmu baru. Menyenangkan bukan?

Auto mellow menulis kenangan demi kenangan tentang ayah dan ibu ini. Semula saya pikir gak banyak, karena itu saya membuat draft isi tulisan tentang ayah, kemudian ibu, barulah kesimpulan.

Ternyata gak sesederhana itu. Kisah ayah, terpaksa saya potong. Demikian pula tentang ibu. Andai menulis semuanya, mungkin membutuhkan ribuan lembar, atau bahkan bisa membuat satu buku tersendiri. 

Begitu bermaknanya kehadiran mereka dalam kehidupan kita, sehingga sesuai kata Pak Aam,  ketika mereka telah tiada: 

“Kita berduka karena ada keterikatan dengan almarhum/almarhumah,”


Baca juga:

Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Tragedi Binatang Bernalar dalam Kasus Mario Dandy



10 comments

  1. Happy New Year 2024 ambu. Semoga di tahun baru ini berkat, sukacita senantiasa hadir dalam kehidupan ambu. Aku punya teman justru kebalikannya. Dulu dia muslim pindah ke non muslim. Orangtua tetap orangtua yang harus tetap dihormati. Walaupun beda keyakinan rasa hormat itu selalu ditunjukan

    ReplyDelete
  2. Kita berduka karena ada keterikatan dengan almarhum/almarhumah.
    Iya bener juga ya mbak.
    Dan bagaimanapun, walau pilihan agama kita berbeda dengan orang tua, tetap harus menghormati mereka, dan menunjukkan bahwa kita jadi anak yang lebih baik lagi di dalam agama pilihan kita

    ReplyDelete
  3. Masih banyak cara yang bisa dilakukan anak untuk berbakti meskipun berbeda agama dengan orangtuanya ya ambu. Terima kasih sudah berbagi kisah ini.

    ReplyDelete
  4. Kalau melihat dari fotonya, wajah Ambu perpaduan kedua orangtua, walau lebih berat ke mendiang ayah ya sepertinya.
    Kita ada karena orangtua kita.
    Hal2 baik yang dilakukan semasa hidupnya bisa dilanjutkan kembali

    ReplyDelete
  5. Membaca tulisan pembuka saja sudah sangat menyentuh. Mengulas kisah Pak Aaam/ Ustaz Aam menunjukkan betapa seorang ayah harus selalu hadir di tengah keluarga.Slaut dengan yang dilakukan Pak Aam.
    Artikel ini sangat bermanfaat bagi mereka yang berbeda agama dengan orang tuanya. Terima kasih, Kak.

    ReplyDelete
  6. Masyaallah tabarokallah, nikmat betul membaca tulisan kak Maria, membuatku jadi cooling down, tetap terasa indah dan nyaman meski kita berbeda dengan orangtua ya kak, tetap ambil hatinya dengan kebaikan bukan malah menjauh dan bermusuhan, aku jadi banyak belajar nih

    ReplyDelete
  7. Betul, memang mesti bijak-bijak menyikapi hubungan dengan ortu yang beda agama. Kalau aku sih bukan dengan ortu, tapi dengan nenek alm, adik-adik bapak, plus sepupu-sepupuku. Mereka sepupu yang asik-asik, btw :))

    ReplyDelete
  8. Keberagaman bikin hidup lebih berwarna, kebebasan beragama adalah hak setiap individu semua tinggal bagaimana kita membuatnya jadi harmonis deh

    ReplyDelete
  9. Masya Allah...beruntung sekali punya orang tua yang banyak memuji anaknya...menghargai jerih payah anak

    ReplyDelete
  10. Saya belajar banyak dari Ambu.
    Betapa Allah mudahkan Ambu untuk mendapatkan hidayah dan tidak melepaskannya. Semoga Allaah selalu menjaga Ambu dalam kemudahan dalam hidup dan kisah Ambu ini menjadikan jariyyah untuk Ambu dan kedua orangtua.

    ReplyDelete