Healthy Boundaries, Agar Kamu Gak Meledak!
Ada pemandangan baru di aktivitas pengajian kali ini. Salah seorang teman kami membawa bayi lengkap dengan buaian dan tas berisi perlengkapan bayi.
Bukan, bayi itu bukan anaknya. Mayoritas anggota pengajian kami sudah melewati masa hamil dan menyusui. Bayi tersebut adalah cucunya. Sang nenek aka teman kami menjadi penanggungjawab bayi selama ortu sang bayi bekerja.
Alhamdulilah selama pengajian sang bayi anteng. Dia tidur dengan nyenyaknya, tak terganggu dengan celotehan ibuk-ibuk anggota pengajian yang berangsur senyap, diganti tausiah ustaz dan tanya jawab.
Bayangkan andai sang bayi mendadak menangis, entah karena mengompol atau haus atau terusik suasana yang berbeda dengan rumahnya. Bakal semakin “horror” ketika tangisnya tak kunjung berhenti.
Baca juga:
Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup
Ego atau Cinta? Akar Kekerasan yang Terabaikan
Daftar Isi:
Katakan Tidak untuk Kesehatan Mentalmu
5 Manfaat Healthy Boundaries
- Melindungi Kesehatan Mental
- Meningkatkan Harga Diri
- Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
- Meningkatkan rasa kendali dan otonomi atas hidup
- Mempromosikan Keseimbangan Kehidupan Kerja yang Sehat dan Mendukung Kesejahteraan Secara Keseluruhan
Mengapa kisah di atas sangat menarik?
Karena jujur saya gak mau melakukannya. Bertahun-tahun saya hidup untuk anak-anak saya, sejak mereka lahir sampai usia remaja. Sendirian bangun selagi seisi masih tertidur pulas dan malamnya baru bisa beranjak keperaduan setelah seluruh anggota bermimpi indah. Cukup sudah!
Hihihi iya, cukup sudah! Hari-hari ketika saya dilarang sakit. Karena jika saya sakit maka gak ada yang membangunkan anak-anak untuk berangkat sekolah. Gak ada yang menyiapkan seragam mereka yang berbeda setiap harinya, dan seterusnya.
Di usia senior ini, kala ke-empat anak saya mohon restu melangkah ke jenjang pernikahan, saya harus mulai stop cawe-cawe. Saya harus merawat healthy boundaries. Tidak lagi terbebani harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan serta tugas rumah tangga lainnya.
Di usia senior ini, saatnya saya bebas menentukan jadwal. Mau tidur usai solat subuh? Boleh! Mau jajan aja karena malas masak? Boleh! Bahkan mau tidur seharian juga gak ada yang melarang karena gak ada kewajiban mengurus rumah tangga (jadi inget isian kolom KTP untuk pekerjaan ibu rumah tangga 😀😀)
5 Manfaat Healthy Boundaries
Apa sih yang dimaksud dengan Healthy Boundaries?
Healthy boundaries merupakan komponen penting dari self-care atau perawatan diri. Hal tersebut dapat dilihat dari batasan yang buruk (poor boundaries) dalam suatu hubungan pribadi ataupun profesional akan menyebabkan kebencian, kemarahan, dan kelelahan. (Nelson, 2016)
Ini kejadian nyata, salah seorang teman kantor susah banget untuk bilang “tidak”. Apa pun yang dia miliki, ketika ada orang yang mau pinjam, pasti dia berikan. Termasuk mobil pribadinya.
Hal ini membuat banyak orang menyalah gunakan kebaikan hatinya. Dengan alasan mobil sang teman berukuran besar, mobilnya sering dipinjam untuk pindahan, untuk piknik dan keperluan lain.
Yang bikin sedih sang teman, saat mobil dipinjam dalam keadaan bersih dan wangi, BBM penuh. Eh para peminjam ini banyak yang gak tau diri, mengembalikan mobil dengan bahan bakar kosong, dan kotor penuh sampah.
Huhuhu jadi paham kan alasan kita harus menetapkan healthy boundaries? Karena paling tidak berikut ini manfaatnya
1. Melindungi Kesehatan Mental
“Meledak!” demikian potensi yang bakal terjadi dalam kasus teman yang sulit bilang “tidak” di atas. Awal kekecewaan setelah meminjamkan mobil mungkin bisa dia abaikan dan lupakan. Namun ketika terjadi berulangkali, dan dia tetap kesulitan menolak, maka kesehatan mentalnya bisa terganggu.
Apabila sang teman “meledak” ke temannya yang pinjam mobil, itu bagus. Walaupun si peminjam mungkin bakal ngeyel ngerasa gak bersalah.
Ledakan menghancurkan bisa terjadi andai sang teman bukannya marah ke si peminjam, melainkan ke orang lain, seperti anak-anaknya, ART serta orang yang dianggap lemah lainnya.
2. Meningkatkan Harga Diri
Diremehkan! Merupakan konsekuensi seseorang yang tidak dapat menetapkan healthy boundaries-nya. Sebagai contoh kasus adalah teman yang terlalu “baik” di atas sehingga tidak bisa menolak ketika ada yang meminjam mobilnya.
Para peminjam mungkin berpendapat: “Butuh mobil? Pinjam aja ke si A, pasti dikasih”.
Terjadi berulangkali. Para peminjam menyalah gunakan kebaikan sang teman, dan kemudian meremehkannya. Andai sejak awal sang teman memberi batasan dan menegur peminjam mobil dengan berkata:
“Kemarin saya meminjamkan mobil dalam keadaan BBM penuh dan bersih. Tolong kembalikan dalam kondisi yang sama.”
Atau malah dengan tegas sang teman memberi batasan: Dia menolak meminjamkan mobil!
“Maaf, saya gak bisa meminjamkan mobil.”
Soal penghargaan, bisa dicari contoh yang lebih mudah. Misalnya publik akan lebih menghargai seorang selebriti yang tidak mengumbar kehidupan pribadinya, dibanding selebriti yang mirip “orang telanjang”, gemar mengumbar ke publik apa pun yang dialami, termasuk privasinya.
3. Meningkatkan Keterampilan Berkomunikasi
Yep, dalam hal menolak orang yang meminjam, nampaknya sang teman kesulitan berkata “tidak”. Andai dia cakap dalam berkomunikasi hal yang tidak menyenangkan tersebut bisa dihindari.
Sang teman bisa menolak halus dengan menggunakan banyak alasan, seperti kendaraan mau dipakai keluarganya, kendaraan sudah waktunya di-service, dan “bohong putih” lainnya.
Atau bisa juga menjawab dengan lugas: “Mau pinjem mobil? Kan bisa nyewa? Sekarang banyak lho aplikasi penyewaan mobil”. 😀😀
4. Meningkatkan rasa kendali dan otonomi atas hidup
Pernah dengar/baca berita tentang anak yang mengalami depresi setelah ponselnya dijual oleh ibunya?
Bermula dari keinginan Arya memiliki HP seperti teman-temannya, dia menabung selama setahun dan akhirnya bisa membeli HP yang dicita-citakan.
Ibu Arya, dengan alasan untuk kebutuhan makan sehari-hari, meminta izin Arya untuk menjual HP tersebut. Arya mengiyakan, tentunya dengan terpaksa, karena tak lama kemudian Arya mengalami depresi. Arya sering tiba-tiba ngamuk. Kisah selanjutnya bisa dibaca di sini.
Healthy boundaries sebaiknya diterapkan sejak dini. Anak diajarkan untuk menetapkan batasan-batasan, dan orangtua harus menghargainya dengan tidak memaksa anak melanggar batasannya.
Dengan cara ini, diharapkan sang anak akan mampu mengendalikan hidupnya untuk mengejar cita-cita hidupnya. Dia juga tidak rentan dirundung dan disalahgunakan kebaikan hatinya.
5. Mempromosikan Keseimbangan Kehidupan Kerja yang Sehat dan Mendukung Kesejahteraan Secara Keseluruhan
Apa yang terjadi dengan teman baik hati dalam contoh di atas, andai mampu menerapkan healthy boundaries? Pastinya kehidupan kerjanya akan lebih menyenangkan, baik relasi antar teman kantor maupun dengan dirinya sendiri.
Sang teman akan tenang bekerja dan fokus pada karir. Tidak terdistraksi hal-hal yang tidak menyenangkan akibat dia kesulitan mengkomunikasikan penolakannya.
Mental yang sehat akan mendukung kesejahteraan sang teman, baik di kantor, lingkungannya, dan tentu saja di rumahnya. Jika sudah demikian, bisa dipastikan kesehatan fisiknya juga akan meningkat.
Menjadi manusia yang suka menolong adalah hal yang baik, terlebih dalam kasus di atas, membantu anak dan cucu. Atau kisah Arya yang mau berkorban HP kesayangannya dijual sang ibu untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.
Tetapi jangan lupa, kita wajib mengutamakan kepentingan diri sendiri Atau lebih tepatnya menetapkan healthy boundaries agar kita bisa membangun dan memelihara hubungan yang sehat, mencegah kelelahan dan kebencian, menghemat waktu dan energi, serta menciptakan keseimbangan hidup yang sehat dan kebahagiaan secara keseluruhan.
Karena kebahagiaan itu menular, kala kita memiliki kebahagiaan maka nafasnya akan menguar dan melingkupi orang-orang di sekitar kita, baik teman, kerabat, terlebih anggota keluarga.
Berbanding terbalik andai kita hanya punya stress dan kemarahan, maka orang sekeliling kita hanya bisa mendengar desis gusar dan aroma kebencian.
Hiii…serem!
Baca juga:
Pelajaran baru dari self care ya kak.
ReplyDeleteSejujurnya, baru ini dengar soal healthy boundaries, mungkin kedepannya akan diterapkan. Terimakasih kak
Halo kak (ibu?)! saya paham sekali mengenai healthy boundaries ini. tapi pada kenyataannya masih cukup sulit ya diterapkan, apalagi kalau di tempat kerja sebenarnya. apalagi kalau kantornya masih menerapkan sistem "kekeluargaan". aduh mengsedih deh :"(
ReplyDeleteTapi nanti kalo saya punya cucu bisa nolak ngga ya kalo dimintai tolong momong? Hahaa
ReplyDeleteSama orang lain bisa nolak, tapi kalo sama anak sendiri belum tau deh ini.
Mungkin nanti dikasi tambahan hal-hal lain sama anak untuk emaknya ini sebagai healthy boundaries karna udah momong cucu hiiihiii
Jaga kesehatan mental diri ini udah harus banget sih. Baik di rumah, di kantor ataupun dalam bersosialisasi. Jangan merasa gak enakan, tapi malah tersiksa batin ya?
ReplyDeleteDulu saya sempat jadi orang yang sangat baik waktu SMP. Temen pinjem apa, saya bolehin. Bahkan sampai dibalikin dalam keadaan rusak pun masih sabar.
ReplyDeletePas SMA, setelah diterjang hormon pubertas, saya malah jadi orang yang menutup diri. Gak mau diajak main apalagi dimintai tolong.
Ternyata dulu orang tua saya belum mendidik secara gamblang soal boundaries ini. Akhirnya tugas ini diambil alih suami.
Salah satu didikannya, boleh berbuat baik selama dilakukan kepada orang yang tepat dan tidak menganggu ritme kehidupan keluarga kami.
Healthy Boundaries ini harus bisa diaplikasikan utk karakter seorang ga enakan. Kendati isu kesehatan mental tengah menggaung saat ini, rasanya bkn hal mudah sebab masih banyak di sekitar yg ga aware yg justru memperburuk kondisi
ReplyDeleteSetuju akan pentingnya menetapkan healthy boundaries demi keseimbangan hidup dan kebahagiaan diri. Mirip kisahnya, ibu saya juga 'menolak momong/dititipi' cucu, anak dari kakak" (perempuan) saya yang memang ibu bekerja semua. Sepertinya ini yang membuat di usia 79 saat ini Ibu saya sehat, masih hobi jalan-jalan dan bisa melakukan aneka kegiatan.
ReplyDeleteLalu, kini saat dua kakak saya punya cucu, mereka melakukan hal yang sama demi kesehatan jiwa raga:)
Saya juga berada di titik ini Mbak Maria. Meski si bungsu masih dalam tanggungan karena sedang kuliah. Tapi saya selalu pesankan kepada anak-anak agar saat menginjak usia dewasa, mereka wajib berdiri di atas kaki sendiri. Belum ataupun sudah menikah. Mengatur hidup sendiri dengan segala tanggung jawab yang harus dipikul.
ReplyDeleteKita berhak hidup dalam keseimbangan setelahnya. Mempersiapkan diri untuk fase yang lebih mendekatkan diri pada unsur spiritual. Selalu berusaha mandiri juga secara finansial agar tidak menyusahkan anak-anak kedepannya. Plus mempersiapkan diri menyambut kematian dengan ibadah sebaik-baiknya.
Saya membaca artikel ini dengan rasa haru Mbak Maria. Karena nyatanya healthy boundaries itu nyata. Jiwa kita harus sehat bukan hanya mikirkan kesehatan fisik semata.
Saya sudah sering ngobrol dengan suami, nanti kalau sudah tua, pengen menikmati hidup berdua, tak direpotkan dengan momong cucu. Berkaca dari beberapa kenalan, yang laki udah pensiun, sering ditinggal istrinya ke luar kota, ke rumah anaknya untuk momong cucu.
ReplyDeleteSoal nggak tegaan, ini saya banget mbak.
Untung suami lebih tegas orangnya, jadi bisa ngerem.
merasa tertampar nih ambu, saya termasuk yang susah bilang tidak kalau dimintain tolong. padahal emang beberapa case bikin ganggu kehidupan saya sendiri sampai kadang saya stres pengen meledak huhu. Sekarang lagi belajar menolak dengan halus walau beberapa masih tetep diri sendiri yang jadi korban. punya healthy boundaries emang sepenting itu sih
ReplyDeleteAku juga orangnya gabisaeun, Ambu..
ReplyDeleteTrus dapet suami, SAMA.
Jadi kita tuh paling gak bisa kalo ketemu orang tus minta tolong even itu adalah SPG yaa..
Kita pernah khilaf ngabisin duid karena ditawarin kompor listrik di mall.. Hadiahnya jadi banyak karena merembet kemana-mana. Ini paraah banget.. Huhuhu, tapi memang bermanfaat siih..
Kayaknya aku cocoknya memang di Bandung, Ambu tinggalnya.
Kalau di tempat lain, bisa jadi kami jadi seperti crita Ambu di atas.
Dulu saya termasuk orang yang gak enakan, anggap memang inilah kerjaan saya, akhirnya memang betul seperti diremehkan, lama-lama saya stress. Beruntung punya teman curhat yang support agar saya bisa ledakkan emosi, langsung bilang kalo gak suka, berani nolak. Saya pun mengikuti sarannya, eh bener dong sampai sekarang sikap begitu tuh enak juga haha, selama orang gak mikirin kita, ngapain mikirin orang itu, itu prinsip saya sekarang supaya gak stress lagi
ReplyDeleteWah ini si anaknya kurang ajar nitipin cucu ke mamanya. Dikira mamanya baby sitter apa yah. Kasian uda tua masi direpotin. Hire baby sitter seharusnya sih.
ReplyDeleteWow... Selamat Mbak. Dikala masih banyak oma yang kudu momong cucunya. Bikin iri loh ini. Semoga kelak saya juga bisa begitu. Tapi masih jauh, Wakkakaka anak anak saya masih piyik, masih TK. WAKAKAKK
ReplyDelete