Tradisi Makan Siang di Indonesia ternyata Sarat Makna

   
maria-g-soemitro.com

Tradisi Makan Siang di Indonesia ternyata Sarat Makna

“Laperrr… demikian kata yang terucap ketika mulai membuka mulai membuka lembaran buku berjudul “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khasanah Ragam dan Penyajiannya”. Bagaimana tidak? Buku dengan hardcover mewah itu bergambar aneka makanan khas Indonesia.

Langsung kebayang deh nasi tutug oncom dengan aneka lauknya, seperti ayam goreng, telur, orek tempe dan tentu saja lalap serta sambalnya. Tak lupa es buah sebagai minuman penutup.

Tapi, setelah lembar demi lemar terbuka, saya menyadari bahwa tradisi makan siang di Indonesia bukan sekadar makan dan minum. Di sana ada gelak tawa ketika beberapa orang berkumpul untuk makan siang.

Mereka mengelilingi nasi liwet dan lauk pauk yang  tersaji memanjang di atas daun pisang. Mungkin lauk pauknya hanya ikan asin, tempe, tahu, lalapan serta sambal, tapi terasa sangat lezat karena dinikmati bersama orang-orang terdekat.

Baca juga:

Buku Halusinasi Kopi, Kala Secangkir Kopi Mendulang Kata, Meretas Batas Angan

Sukses itu Soal Rasa. Ini Suksesku Mana Suksesmu?

Daftar Isi:

  • Karena Tradisi Makan Siang bukan Sekadar Menyantap Makanan
  • Tulisan Para Juara
  • Ada Cinta Pada Tradisi Makan Siang di Indonesia

Di belahan Indonesia lainnya terdengar gelak tawa ketika beberapa orang bersepakat untuk botram, atau potluck. Setiap peserta membawa nasi dan lauk pauk dari rumahnya masing-masing. Saat itulah setiap peserta saling menyicipi lauk pauk yang dibawa peserta lain.

Suasana penuh keakraban kala makan siang bersama ini dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia, hanya namanya yang  berbeda. Jika liwetan dikenal masyarakat Jawa/Sunda, dan botram menjadi istilah suku Sunda, maka Minangkabau/Melayu mengenal Behidang, makan besar secara komunal di dulang besar dengan aturan dan etika, yang merupakan simbol kebersamaan.

Serta Mo Mulayadu di masyarakat Gorontalo, dan Bancakan dalam masyarakat Jawa. Semuanya menyiratkan budaya kebersamaan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Tradisi makan siang di Indonesia juga menyiratkan kearifan lokal dan keberlanjutan. Dibutuhkan daun pisang (bukan kertas nasil hasil pabrikan) agar liwetan bisa berlangsung.

Demikian pula sayuran dan lalapan hasil panen, termasuk ikan segar atau lauk pauk lainnya yang tersaji dari lingkungan sekitar, tempat berlangsungnya makan siang bersama.

Banyaknya makna yang terkandung dalam tradisi makan siang di Indonesia membuat Ibu Amanda Katili Niode, Ketua Omar Niode Foundation, sebuah lembaga nirlaba yang mempromosikan kesadaran akan pertanian, pangan, dan budaya kuliner Indonesia, tergerak untuk membukukannya.

Untuk itu Ibu Amanda menggandeng komunitas Food Blogger Indonesia yang punya tagline “Dari Cita Rasa ke Cerita” yang dipimpin Katerina S Rianti.

Mengapa blogger? Tentu saja karena blogger terbiasa menulis dengan gaya bertutur yang khas, sehingga isi buku tidak terkesan kaku atau bahkan menyerupai “buku resep makanan”.

Agar bertambah seru, event ini bernama “Undangan Menulis Berhadiah” dengan harapan setiap blogger menuliskan pengalaman terbaiknya, dan sewaktu dibukukan bisa menjadi rujukan, tidak hanya di Indonesia, juga secara internasional.

Siapa aja pemenangnya? Yuk kita kupas isi tulisannya.

maria-g-soemitro.com

Tulisan Para Juara

Saya membayangkan kesulitan para juri: Ibu Amanda, Katerina S Rianti, serta  Chef Ragil Imam Wibowo dari Nusa Indonesian Gastronomy Foundation dalam menentukan pemenang

Karena seperti yang saya lihat di buku “Tradisi Makan Siang Indonesia”, semua tulisan bagus, semua berkisah tentang tradisi makan siang di daerahnya, lengkap dengan resep.

Namun para juri tetap harus memilih tulisan yang paling sesuai dengan kriteria yang ditentukan, dan keputusannya adalah 3 tulisan pemenang utama dan 3 pemenang harapan berikut:

Tulisan Juara 1: Simfoni Rasa dalam Sajian makan Siang (Agustinus Bertolomeus Eko Dony Prayudi)

Menempati urutan penulis pertama dalam buku” Tradisi Makan Siang Indonesia”. (halaman 23-38) Eko berkisah tentang berlimpahnya sumber makanan di Pontianak, baik hasil hutan maupun dari sungai.

Sumber makanan tersebut diolah dalam akulturasi Melayu, Dayak dan Tionghoa, maka tercipta sajian lezat yang sarat makna. Salah satunya ikan Baung Masak Lemak, yaitu cara memasak dengan menggunakan santan dan aneka rempah.

Sebelum dimasak lemak, ikan Baung (suer baru kali ini saya membaca nama ikan ini) disalai atau diawetkan dengan cara mengeringkan ikan di atas tungku memasak.

Tak lupa Eko menulis dengan detail tentang daging ikan Baung yang putih berlapis dan empuk berenang dalam masak lemak yang super gurih. Berpadu dengan tumis pakis dan sambal cincalok.

Tulisan Juara 2: Ngidang, Simfoni Rasa dan Kebersamaan dalam Tradisi Kuliner Palembang (Deddy Huang)

Sebagai warga Palembang, Deddy menulis tentang Ngidang,  tradisi makan bersama khas masyarakat Palembang. Tradisi ini mensyaratkan Ngidang haruslah terdiri dari 1 nampan nasi dan 8 lauk pauk, untuk disajikan dan dinikmati bersama-sama secara melingkar di atas kain. (halaman 95 – 106)

Deddy menjelaskan, 9 komponen makanan utama mengandung filosofi bahwa Palembang pernah berjaya sebagai pusat kekuasaan dari 9 aliran sungai. Karena itu nasi sebagai menu utama bukan nasi putih biasa melainkan nasi minyak yang kaya rempah dan berwarna kuning keemasan.

Ngidang juga punya makna sebagai refleksi kehidupan. Peserta duduk mengelilingi nampan yang sama, berbagi rezeki yang dimiliki dan saling melengkapi satu sama lain.

Tulisan Juara 3: Aku dan Mnahat Feu di Tengah Musim Panen (Jetriyanus Nino Banola)

Ada ritual Wiwitan Panen di Jawa Tengah, sedangkan di Timor, Propinsi NTT ada Mnahat Feu , kurang lebih hal inilah yang dimaksud Nino, tentang tradisi makan siang bersama sebagai ungkapan syukur dan terimakasih kepadaNya. (halaman 193-204)

Nino juga berkisah tentang hidangan tradisional yang selalu tersaji tatkala Mnahat Feu, yaitu mak’sala, yang artinya makanan  (maka/mak’) yang diiris (sala). Hidangan ini mirip bubur Manado, bahan-bahan yang digunakan merupakan hasil panen kebun maupun halaman rumah.

Selain itu ada ciri khas lain, mak’sala dimasak dengan menggunakan tungku kayu api, semua bahan dimasak perlahan sehingga nutrisi dan rasa alaminya tetap terjaga. Hasil akhirnya berupa mak’sala beraroma smoky dan rasa lezat dengan sensasi yang khas.

Dari cuplikan 3 tulisan pemenang utama di atas bisa terbayang kan betapa kayanya budaya kita?  Juga keanekaragaman hayati yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Apalagi jika ditambahkan cuplikan 3 pemenang harapan berikut ini serta tulisan kontributor lainnya, bisa dipastikan apabila kita bertekad mengaplikasikannya, maka beberapa tujuan SDGs (Sustainable Development Goals) seperti: Tanpa Kemiskinan (No Poverty), Tanpa Kelaparan (Zero Hunger), Kehidupan Sehat dan Sejahtera (Good Health and Well-being) dan tujuan lainnya, dapat terpenuhi.

Tiga tulisan pemenang harapan:

  • Juara Harapan 1: Ikatan Kebersamaan dalam Tradisi Makan Balanjuang di Minang (Novarty Eka Putriana), halaman 265-278.
  • Juara Harapan 2: Akulturasi Menu Makan Siang, Berjuta Rasanya! (Maria Goreti Sri Candrati), halaman 137-148.
  • Juara Harapan 3: Tradisi Makan Siang dengan Seruit Lampung (Muhammad Erfan), halaman 255-264.

    

maria-g-soemitro.com

Ada Cinta Pada Tradisi Makan Siang di Indonesia

Ya, ada cinta pada Tradisi Makan Siang di Indonesia, kesimpulan ini saya ambil ketika menutup lembar terakhir buku bilingual “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khasanah Ragam dan Penyajiannya”.

Dan cinta itu sangat kompleks, seperti cinta Eko pada budaya dan kuliner Pontianak, cinta Deddy pada nenek dan sang nenek pada anggota keluarga, juga cinta Nino pada Tuhan dan tanaman di kebunnya.

Selain cinta ibu pada anak-anaknya seperti yang sudah saya tulis dalam “Akulturasi Menu Makan Siang, Berjuta Rasanya!”, saya teringat nostalgia makan siang keluarga yang membuat saya dipenuhi rasa cinta dan tumbuh menjadi individu yang penuh percaya diri.

Begini ceritanya:

Dulu, semasa ayahanda masih sehat (beliau meninggal tatkala saya berusia 10 tahun dan Hudi, si bungsu berumur 3 bulan), ibunda sudah membiasakan anak-anaknya membantu di dapur.

Seingat saya, usia saya masih berusia 5 tahun (kelas TK B) sewaktu diajak ibu memasak  sop sayuran dan tugas saya hanya mencuci bahan baku sayuran.

Setelah masakan matang dan kami berkumpul di meja makan, ibunda bilang: “Tadi Maria bantu masak sop lho”.

Ayahanda menjawab sambil menyuap sesendok sop ke dalam mulutnya: “Oh, pantesan rasa sopnya enak sekali.”

Padahal ayahanda pastinya tahu, saya cuma bantu ala kadarnya. Tapi itulah salah satu manfaat makan siang bersama, yaitu menciptakan bonding dengan cara yang sederhana.

Terinspirasi dari buku berjudul  “At the Table: Food and Family around the World" yang diedit oleh Ken Albala, sebuah antologi yang mengungkap kekayaan dan keragaman tradisi “dinner” di berbagai belahan dunia, sebagai penggagas Ibu Amanda mungkin tak menyangka bahwa buku “ Tradisi Makan Siang Indonesia: Khasanah Ragam dan Penyajiannya” akan sangat berdaging (mengambil istilah Helmi Yahya).

Tak heran buku ini mendapat penghargaan: "Best Book in the World" di ajang Gourmand Awards 2025. Karena tidak hanya mereka yang tinggal di belahan dunia lain, warga Indonesia pun wajib baca buku ini agar semakin mencintai Indonesia, menjaga budaya serta kearifan lokalnya.

Dengan menjaga budaya serta kearifan lokal maka kita telah menjaga bumi. Jangan lupa,  bumi ini bukan warisan dari nenek moyang, tapi titipan yang harus kita jaga untuk anak cucu kita.

Baca juga:

Jejak Diri dalam Buku Dalam Dekapan Zaman

Pecinta Sambal? Wajib Punya Buku “Sambal Roa – Ragam, Resep dan Rupiah”

Pembatas Buku, dari yang Ngawur sampai yang Kreatif!


Profile Buku

Judul: Tradisi Makan Siang Indonesia: Khasanah Ragam dan Penyajiannya.

Editor: Amanda Katili Niode, Ph.D.

Penerbit: Diomedia

Tahun Terbit & Edisi: Agustus, 2025

ISBN : 978-634-7208-12-5

Tebal Halaman: xxiv+482 hal, 

Ukuran Buku: 20x23 cm

Kontributor/Penulis Cerita: 40 penulis blog dan pegiat kuliner dari 17 provinsi dan 8 pulau turut menyumbangkan kisah dan resep mereka dalam buku ini.

Tulisan dikumpulkan melalui sayembara menulis yang diorganisir oleh Komunitas Food Blogger Indonesia, Omar Niode Foundation, dan Nusa Indonesian Gastronomy Foundation.


No comments

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat