Jejak Diri di Buku Dalam Dekapan Zaman
Di siang yang terik, buku itu akhirnya tiba. Buku yang ingin segera saya lahap ketika membaca berita peluncurannya melalui media Kompas. Buku yang ditulis pegiat perubahan iklim yang sangat saya idolakan, Amanda Katili Niode, Ph.D.
Kerap muncul dalam bincang televisi, perempuan cantik ini mengisi langkanya pegiat perubahan iklim. Terlebih bukunya yang berjudul Dalam Dekapan Zaman: “Memoar Pegiat Harmoni Bumi”, seolah oase yang memuaskan dahaga bagi mereka yang mulai memahami bahwa perubahan iklim bukanlah sesuatu yang abstrak. Dan perempuan yang hidup dalam sistem patriarki akan merasakan dampak terberat.
Sebagai contoh, dalam sistem patriarki, perempuan lah yang bertanggung jawab terhadap tersedianya air untuk memasak, mencuci dan memandikan anak-anaknya. Perubahan iklim yang menyebabkan krisis air akan memaksa perempuan berjalan lebih jauh untuk mencari air.
Baca juga:
Pecinta Sambal? Wajib Punya Buku “Sambal Roa – Ragam, Resep dan Rupiah”
Mengukir Legacy Melalui Komunitas Pengelola Sampah
Daftar Isi:
- Buku Dalam Dekapan Zaman: “Memoar Pegiat Harmoni Bumi”, Bak Oase Pemuas Dahaga
- Tentang Amanda sebagai Pegiat Harmoni Bumi
- Ada Nama Saya dalam Buku Dalam Dekapan Zaman
- Pesan Inspiratif Buku Dalam Dekapan Zaman: “Memoar Pegiat Harmoni Bumi”
Perubahan iklim juga menyebabkan langkanya bahan makanan yang diperlukan perempuan untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Serta kesulitan lain yang akhirnya berdampak pada kesehatan fisik dan psikis perempuan.
Karena itu dengan penuh semangat, saya membuka lembar demi lembar buku bersampul biru muda dengan ilustrasi perempuan sedang membaca buku. Berbagai tokoh dari berbagai kalangan memberi kata sambutan, seperti Emil Salim, Suzy Hutomo, Rahmat Gobel, Erna Witoelar, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, Gita Wiryawan, dan saya terpaku pada nama; Erros Djarot!
Erros kan politisi? Walau tertulis sebagai budayawan, (salah satu karya fenomenalnya lagu “Badai Pasti Berlalu"), namun kini Erros lebih sering diwawancara sebagai politisi.
Saya hampir melupakan bahwa profesi politisi sangat menentukan kebijakan perubahan iklim. Tak heran, dalam bab “Mengenal Bumi Nilai dan Nasibnya”, Erros mempersembahkan puisi terkait sampah yang hingga kini kebijakannya tak kunjung tuntas. Puisi berjudul “Namaku Bumi” tersebut seolah meneriakkan perihnya bumi dizalimi manusia.
Tapi bagiku?
Jutaan lembar plastikmu
Hanyalah lambang kebiadaban …
Dari sebuah peradaban yang sesat dan menyesatkan
Tentang Amanda sebagai Pegiat Harmoni Bumi
Bumi bukan hanya tempat tinggal.
Tetapi sebuah entitas yang keberadaannya memiliki nilai sejati yang erat kaitannya dengan nasib manusia (p. 2)
Setelah bab tentang bumi, saya pikir bab berikutnya berkisah tentang problematik perubahan iklim. Ternyata belum, pembaca diajak untuk mengikuti aktivitas Amanda dalam “Menggalang Memoar untuk Bumi" yang penuh liku.
Disusul kisah perjalanan Amanda sebagai Pegiat Harmoni Bumi, mulai dari pendidikannya yang sangat kental dengan pelestarian planet bumi. Bahkan semasa beliau masih bermain boneka.
“Non,” tanya John Ario Katili, ayahanda Amanda, “Apa kata yang bagus untuk menggambarkan awan?”
“Mega,” sahut Amanda cilik sambil terus bermain boneka (p. 5)
So sweet banget ya? Buku ini memang mengajak pembaca untuk tersenyum karena terasa manis dan hangat, sekaligus pedih seolah disayat sembilu dalam alinea tentang telah berpulangnya Omar Taraki Niode, anak sulung Amanda yang telah berhasil memperoleh gelar MSc, dalam Food Science & Technology dari University of California Davis, Amerika Serikat.
Dalam paragraf lain pembaca diajak merasakan kekecewaan ditolak satu sekolah yang sistem dan mata pelajarannya menarik perhatian Amanda, ketika mengajukan aplikasi untuk program S3.
Entah kenapa saya tidak diterima, sehingga saya menangis sejadi-jadinya. Universitas yang kemudian menerima saya adalah Drexel University di Philadelphia; Stanford University di Palo Alto, California dan University of Michigan, Ann Arbor. (p.75)
Kegalauan dan tekanan berat kembali dialami Amanda sewaktu harus menyelesaikan pendidikan doktoral di Amerika Serikat, sendirian, berjauhan dengan suami dan sang buah hati, Omar Taraki Niode (1 tahun) yang telah lebih dulu kembali ke Indonesia.
Dan pembaca turut merasa lega dan bersorak gembira ketika Prof. Bill Drake, ketua komite disertasi berkata: “Congratulations Doctor!” Wow, rasanya tangan ini ingin melayangkan toga ke atas, sebagai bentuk kemenangan pribadi dan akademik yang diperoleh Amanda.
Gelar PhD rupanya membuka banyak pintu berkarya, baik di dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, diantaranya Amanda menjadi peneliti di BPPT selama 15 tahun; Staf Khusus Menteri Lingkungan Hidup, anggota Dewan Pertimbangan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Ketua Tim Ahli Utusan Khusus Khusus Presiden RI untuk Pengendalian Perubahan Iklim, serta masih banyak lagi.
Di tingkat global, Amanda merupakan Direktur The Climate Reality Project Indonesia, bagian dari The Climate Reality Project yang didirikan mantan wakil presiden Amerika Serikat dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian, Al Gore.
Amanda juga menjadi anggota delegasi RI untuk COP UNFCCC – Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim sejak tahun 2007, dan memprakarsai kegiatan Climate Reality di Paviliun Indonesia, serta masih banyak lagi.
Aktivitas yang begitu beragam dalam bidang lingkungan hidup, perubahan iklim dan keberlanjutan (sustainability) membuat Amanda lebih tepat menyandang status sebagai Pegiat Harmoni Bumi. Suatu tugas yang diharapkan bisa mengatasi Triple Planet Crisis, yaitu perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Andai setiap individu mau menjadi Pegiat Harmoni Bumi, maka tak akan ada lagi kegelisahan seperti yang dialami Juliana Joblim Navanto, seorang ibu muda dari Brazil:
Bagaimana mungkin saya bisa merencanakan mempunyai anak lagi di dunia yang mungkin tidak akan ada lagi dalam waktu dekat? (p.40)
Amanda dan keluarga (sumber: Kompas.com) |
Ada Nama Saya dalam Buku Dalam Dekapan Zaman
Sebetulnya hanya satu kalimat di antara ratusan ribu kalimat buku “Dalam Dekapan Zaman”, namun itu pun sudah bikin bangga banget. Walau setetes air, saya beberapa kali ikut dalam kegiatan Omar Niode Foundation, lembaga nirlaba yang didirikan pada tahun 2010.
Di antaranya mengikuti Climate Smart Recipe (dari bahan talas), resep takjil (dari bahan singkong), dan mengikuti talkshow tentang sambal roa, menu sambal yang baru saya kenal, kemudian membuat tulisan di blog.
Tulisan tentang sambal roa, yang kemudian dibukukan berjudul “Sambal Roa, Ragam, Resep dan Rupiah” inilah yang tercantum dalam buku “Dalam Dekapan Zaman”, lebih tepatnya dalam bab “Merangkai Citra Kuliner Lokal” (p.302)
Untuk mengenang almarhum Omar Taraki Niode lah, Amanda dan keluarganya mendirikan Omar Niode Foundation yang fokus pada pertanian, pangan, seni kuliner dan budaya Nusantara. Hal ini sesuai dengan latar belakang pendidikan anak sulung Amanda tersebut yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana dan pascasarjana di Departement of Food Science and Technology, College of Agriculture and Environmental Sciences, University of California Davis, Amerika Serikat.
Makanan, seperti yang ditulis Amanda, merupakan ekspresi identitas budaya dan kebanggaan lokal, serta memiliki peran besar dalam pelestarian lingkungan.
Salah satu contohnya adalah Binthe Biluhuta Gorontalo, masakan Gorontalo yang kerap disajikan pakar kuliner, Wiliam Wongso sebagai makanan pembuka pada acara-acara kenegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri.
Resep Binthe Biluhuta Gorontalo (p. 326) atau sup jagung ini menggunakan udang (atau tuna), kelapa parut segar serta bawang untuk memberikan rasa umami, suatu rasa yang beberapa dekade terakhir digantikan oleh bahan pabrikan bernama monosodium glutamate (MSG).
Sementara kita tahu, bahan pabrikan tidak hanya mengganggu kesehatan manusia yang mengonsumsinya, juga mengganggu keseimbangan alam, Limbah pabrik mencemari tanah dan air sungai. Limbah kemasan berupa plastik sulit terurai di alam sebab mikroorganisme tidak memiliki enzim yang cocok untuk mengurainya.
Karena itu dunia sedang mengkampanyekan “Good Food For All”, kampanye publik untuk KTT Sistem Pangan yang diselenggarakan Sekjen PBB, Antonio Guiterres pada September 2021.
Guiterres menandaskan, pangan adalah benang merah yang menghubungkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), untuk memberantas kemiskinan, ketimpangan sosial dan perubahan iklim dengan prinsip utama no one left behind (tidak ada satu orang pun yang tertinggal). (p.302)
Dengan demikian, andai kita mengembalikan semua pada posisinya, maka tak terjadi lagi “sistem pangan adalah sebuah paradoks” seperti yang dikatakan Dr Agnes Kalibata, Utusan Khusus Sekjen PBB untuk KTT Sistem Pangan 2021.
Karena selama 50 tahun terakhir, kemampuan menghasilkan pangan telah meningkat hampir 300 persen, namun dalam tahun-tahun terakhir lebih 800 juta orang berada dalam kondisi lapar.
Sementara itu, sebanyak 35 persen dari semua pangan yang diproduksi untuk konsumsi manusia, susut atau terbuang percuma. Sistem pangan saat ini juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan sepertiga dari semua emisi gas rumah kaca penyebab krisis iklim (p. 295)
Pesan Inspiratif Buku Dalam Dekapan Zaman: “Memoar Pegiat Harmoni Bumi”
50 tahun bukan perjalan waktu yang pendek. Terlebih Amanda memulainya ketika masyarakat di seluruh penjuru dunia belum memahami tentang aktivitas manusia yang menyebabkan meningkatnya suhu bumi, dan berakibat mencairnya lapisan es utama di Greenland atau di Antartika Barat.
Jangankan “bahasa dewa” seperti gas rumah kaca dan lubang ozon, anggota masyarakat tetap bergeming ketika TPA Leuwigajah longsor pada 21 Februari 2005 yang menyebabkan ratusan nyawa melayang dan tertimbunnya 2 kampung.
Bahkan tak peduli kala muncul akibat lanjutan yaitu tragedi Bandung Lautan Sampah, Kota Bandung dipenuhi timbulan sampah. Disusul penetapan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Namun seperti kata Amanda:
Eksplorasi kekuatan bahasa dan bentuk komunikasi merupakan alat untuk menginspirasi dan membawa perubahan dalam masyarakat. (p.190)
Sebagai anggota masyarakat, setelah mengajak lingkungan sekitar, maka “berdengung” lah. Baik di facebook, Instagram, YouTube, TikTok, serta media sosial lainnya.
Andai blogger, menulislah di blog pribadi maupun UGC (User Generated Content), atau bisa juga turut bergabung dengan organisasi nirlaba yang fokus pada krisis iklim dan berkelanjutan, serta aktivitas lain yang membuat suaramu didengar.
Karena seperti kata Panglima Besar Jenderal Soedirman:
“Sebatang lidi tidak berarti apa-apa, tetapi bila lidi diikat menjadi satu, maka akan menyapu segala-galanya”
Oya, karena buku Dalam Dekapan Zaman dicetak terbatas, kini sedang dicetak ulang.
Apabila ingin tertular semangat hidup harmoni dengan alam, silakan hubungi penerbit Diomedia (0856-4376-2005) Harganya Rp. 145.000,- belum ongkir.
Mari kita hidup selaras/harmoni dengan bumi, dan mengajak orang lain, agar apa yang kita lakukan menuai hasil yang nyata.
Baca juga:
Buku Halusinasi Kopi, Kala Secangkir Kopi Mendulang Kata, Meretas Batas Angan
Decluttering vs Zero Waste Lifestyle, Kamu Pilih Mana?
Sebagai pembaca, aku merasakan kalau artikel ini ditulis dari hati yang paling dalam dari Mbak Maria… terasa banget sentuhannya.
ReplyDeleteBTW, Bu Amanda Katili Niode, Ph.D. cocoknya jadi menteri KLH… salut besar beliau… Jadi penasaran pingin baca bukunya.
Perempuan inspiratif dan konsisten dalam perjuangan melestarikan bumi ya Mbak. Saya juga menikmati buku ini lembar demi lembar. Sebuah memoar yang tidak hanya menceritakan tentang diri beliau tapi juga jejak langkah yang membawa beliau menjadi role model pegiat harmoni bumi yang patut diacungi jempol.
ReplyDeleteAku sangat kagum dan takjub sama Ibu Amanda dengan segala kiprah nya dalam menjaga lingkungan dan bumi tercinta.
ReplyDeleteBuku Dalam Dekapan Zaman ini beneran buku bergizi sekali. Banyak informasi yang disampaikan secara membumi. Harapannya semoga semakin banyak yang tergugah buat membaca buku sebagus ini.
Sehingga bisa bersama-sama beriringan untuk hidup lebih selaras lagi dengan bumi.