GM Menangis, Antara Baper dan Kemelekatan

  
maria-g-soemitro.com

GM Menangis, Antara Baper dan Kemelekatan 

Goenawan Mohamad menangis. Dia merasa dikhianati Jokowi. Awalnya, pendiri Majalah Tempo tersebut sangat meyakini Jokowi adalah sosok pendobrak budaya feodal yang selama ini mendominasi kursi kepresidenan.

Kemunculan Jokowi yang berwajah “tukang bakso” menjadi antitesa. Jokowi bertubuh cungkring, sungguh berbeda dengan Bung Karno, Suharto dan SBY yang berwajah aristokrat, berperawakan tegap dan gagah. 

Jokowi tidak punya kecerdasan brilian seperti JB Habibie. Jokowi tidak punya darah biru seperti Megawati dan Gus Dur. Jokowi hanya “tukang kayu” seperti wong cilik umumnya.

Namun, justru kehadiran Jokowi  membawa angin harapan. Wong cilik boleh bermimpi, kelak bisa menjadi presiden. System meritokrasi untuk menegakkan demokrasi bisa berlangsung di Indonesia.

Meritokrasi merupakan sebuah sistem sosial yang memengaruhi kemajuan dalam masyarakat berdasarkan kemampuan dan prestasi individu daripada basis keluarga, kekayaan, atau latar belakang sosial (Kim & Choi, 2017).

Baca juga

Barang Kesayangan dan Kemelekatan Psikologis

Tragedi Binatang Bernalar dalam Kasus Mario Dandy

Daftar Isi:

  • GM Menangis, Ada Apa?
  • Kemelekatan, Antara GM dan Manusia Awam
  • Mengatasi Kemelekatan versi Saya

Sayang, GM (dan sekelompok besar rakyat Indonesia) bak terjebak fatamorgana. Di akhir masa kepemimpinannya, Jokowi enggan turun tahta. Berbagai cara dilakukannya, mulai dari ide perpanjangan masa jabatan menjadi 3 periode, hingga menggunakan nepotisme agar putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka bisa melaju kontestasi pilpres 2024.

Jebakan fatamorgana terjadi karena masalah psikologis yang dinamakan “kemelekatan”. 

Kemelekatan merupakan keterikatan psikologis, atau kemelekatan/keterikatan yang bersifat psikologis (menyangkut psike) yang dialami oleh ego. 

Definisi lain tentang kemelekatan sebagai berikut:

Kemelekatan adalah sikap memberikan penilaian yang berlebihan pada suatu objek atau orang kemudian menempel padanya. 

Dalam kasus GM terhadap Jokowi, akibat mengalami kemelekatan, GM menjadi baper. GM menangis karena merasa dikhianati. Padahal seperti yang dikatakan Bilven Sandalista, aktivis dan pendiri komunitas/toko buku Ultimus:

“Jokowi tidak berubah, kalian aja denial.”

  

maria-g-soemitro.com

Kemelekatan GM dan Manusia Awam

Tangisan GM dalam wawancara bareng Rosi yang disiarkan Kompas TV ini punya banyak arti.  Seperti diketahui GM tidak hanya dikenal sebagai penyair, esais, penulis naskah drama, dan editor Indonesia, dia juga gemar mengkritik pemerintah Indonesia, yang berakibat dibredelnya majalah Tempo.

Hanya peristiwa besar yang bisa membuat tokoh berusia 82 tahun ini meneteskan air mata. Apalah kita yang menangis gara-gara diputusin pacar atau dicuekin bintang idola, bukan? 😀😀

Contoh paling mudah tentang kemelekatan adalah ketika seorang anak menangis di hari pertama masuk sekolah. Dia merasa kesal harus berpisah dari ibunya, atau sosok lain seperti ayahnya/pengasuhnya.

Anak tersebut merasa akan kehilangan kebutuhan dasarnya, sehingga dia menangis, mencari, dan berpegangan pada sosok tertentu. Dia melakukannya untuk mencegah perpisahan.

Sedangkan manusia dewasa, psikoanalis John Bowlby melalui healthline-com menjelaskan bahwa ada 2 jenis kemelekatan, yaitu:

  • Kemelekatan yang aman dan memberikan landasan bagi hubungan yang sehat
  • Kemelekatan tidak aman yang dapat menyebabkan kesulitan dalam membentuk dan memelihara ikatan emosional.

Individu dengan gaya secure attachment (kemelekatan yang aman), cenderung memiliki pandangan positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Mereka merasa nyaman dengan kedekatan emosional dan mampu mempercayai serta mengandalkan pasangannya. 

Sebaliknya, individu dengan gaya keterikatan yang tidak aman, akan berjuang melawan rasa takut ditinggalkan, sulit mempercayai orang lain, atau menunjukkan perilaku menghindar untuk melindungi diri dari potensi rasa sakit emosional.

  

maria-g-soemitro.com

Mengatasi Kemelekatan versi Saya

Tulisan tentang kemelekatan ini mengendap lama dalam file ODOP komunitas Indonesian Social Blogpreneur (ISB) yang seharusnya rampung di bulan Januari 2024.

Penyebabnya saya mengalami writer’s block. Betulkah opini saya bahwa GM mengalami kemelekatan? Jika tidak, mengapa dia harus menangisi Jokowi? Bukankah hal ini sesuai dengan definisi kemelekatan, yaitu sikap memberikan penilaian yang berlebihan pada suatu objek atau orang kemudian menempel padanya?

Saya mengutip salah satu tulisan GM:

Saya memang pendukung Jokowi. Bukan hanya pendukung yang pasif. Saya misalnya ikut berkampanye sampai malam di Sukabumi, ikut mengorganisir rapat umum di Jakarta, menulis teks digital maupun bukan, menyelenggarakan tujuh malam musik dan pertunjukan di Komunitas Salihara bersama banyak sekali seniman — bahkan ikut menyumbangkan dana.

Di pilpres 2014, saya juga allout mendukung Jokowi. Saya memenuhi akun media sosial (facebook dan twitter) dengan kampanye dukungan terhadap ayahnya Gibran ini.

Saking fanatik dan masifnya berkampanye, beberapa teman menegur agar saya “kembali ke jalan yang benar”. Kembali membuat konten-konten tentang lingkungan hidup, seperti sebelum pilpres 2014.

Tentu saja imbauan mereka masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Saya terjebak dalam adagium:

Janganlah kamu berbantah dengan tiga orang ini

Orang yang memihak, orang yang berprasangka dan orang yang fanatik 

Beda halnya dengan pilpres 2019. Saya pasif.  Tak satu pun konten “memuja” yang saya posting. Penyebabnya, saya kecewa dengan sepak terjang Jokowi. Dia hanya sibuk membangun jalan, waduk, bandara dan infrastruktur fisik lainnya.

Sementara janji janji lainnya dilupakan. Pangan tetap impor, padahal semasa kampanye Jokowi mengeluhkan: “Impar-impor,” membuat wong cilik (khususnya karena Jokowi didukung PDIP, partainya wong cilik) berharap banyak.

Namun yang paling membuat saya kesal adalah diabaikannya persoalan lingkungan hidup dan pendidikan di Indonesia. Tingkat pendidikan rakyat Indonesia masih rendah, mayoritas orang Indonesia hanya lulusan SD (sumber)

Hal ini membuat saya berkesimpulan Jokowi tak ada bedanya dengan generasi baby boomer lain. Dia gagal memahami bahwa pembangunan sosial tak kalah penting dengan pembangunan infrastruktur fisik yang selama didewa-dewakan.

Langkah mundur teratur ini sangat membantu saya untuk menilai dan mengambil sikap. Dulu saya akan marah pada pembully istri dan anak Jokowi yang memakai tas mewah, berbanding terbalik dengan pencitraan keluarga Jokowi yang sederhana, yang memilih economy class dibanding business class dan seterusnya.

Sekarang saya melihat Jokowi dan keluarga sebagai manusia biasa yang menjadi “kere munggah bale” ketika menggenggam kekuasaan dan kekayaan. 

Jokowi hanyalah manusia biasa yang serasa terbang melihat segelintir orang penting di Indonesia mengangguk-angguk hormat padanya. 

Jokowi hanyalah orang biasa yang mager kala menikmati kekuasaan, dan enggan turun untuk kembali menjadi “tukang mebel”

Sehingga, kala netizen yang maha benar bilang: “Kok baru sekarang GM sadar dan akhirnya turun gunung?” Apa pun jawaban ngeles GM, kali ini saya pro netizen. Dan saya setuju dengan pendapat Bilven Sandalista:

“Jokowi tidak berubah, kalian aja denial.”

Untuk teman-teman yang tidak setuju dengan opini saya, feel free untuk berkomentar ya? Terimakasih.🙏🙏

Baca juga

Palestina dan Ingatan Lepasnya Timor Timur dari Indonesia

Jessica Kumala Wongso: “Saya Tidak Dendam”


9 comments

  1. Dibalik kekurangannya tapi saat covid, Jokowi menghadapi tantangan yang besar. Semoga kejadian tsb tidak terjadi lagi. Pemimpin masa depan juga lebih baik programnya.

    ReplyDelete
  2. Sebenarnya saya tidak terlalu menyukai urusan politik. Hanya saja, bapakku suka membahasnya. Bapakku adalah salah satu orang yang pro terhadap pemerintahan Jokowi. Entah apakah penilaiannya masih bertahan hingga kini. Karena bapakku merantau. Saat menelpon, aku enggan membahas urusan politik. Hehehe

    ReplyDelete
  3. Mungkin zaman jokowi aku merasa lebih tercekik, uu ite, merampas hak bersuara. Aktivis yang mengkritik luhut tangan kanan jokowi dipenjarakan ( haris) untungnya divonis bebas, politik itu kejam. Dan tak ada musuh yang kekal...prabowo opisisi jokowi, kemudian jadi menhan lupa semua, kemudian ambisi jadi presiden dengan anak jokowi. Bisa dibayangkan bagaimana jika prabowo tiba2 meninggal kemudian gibran jadi presiden....hancurlah

    ReplyDelete
  4. Menarik analisisnya, Ambu.
    Tapi bener, seseorang merasa lekat dan dekat pasti karena merasa kenal secara personal. Mungkin bisa jadi sosok yang dikagumi. Namun, aku selalu yakin bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi.

    Pun mengenai perasaan seseorang.
    Sekarang bisa jadi allout, lalu besokannya kecewa dan beralih.

    Jadi, aku menikmati semua perasaan yang hadir.
    Bukan mereka berubah, itu benar adanya. Mereka hanya mencari titik ternyaman dan teraman dalam hidup.

    ReplyDelete
  5. Hehe. Berat ya kalo bajas politik, Ambu. Kalo dipikir-pikir Jokowi hadir pas orang2 butuh perubahan dan wajah baru. Pas muncul jadinya dipilih. Tapi sama kayak di novel animal farm, semua pemimpin yang berkuasa kadang lupa untuk siapa mereka memperjuangkan suaranya. Pada akhirnya ya ujung2nya kecewa

    ReplyDelete
  6. Hehe. Emang kadang politik bikin kita terlena ya, Ambu. Pada akhirnya semua politikus punya tujuan masing2, dan ya... tinggal kita yang kecewa kalau tidak sesuai harapan.

    ReplyDelete
  7. sebenenrnya aku sudah gemes dari awal dulu jadi presiden si ambu, tapi kebanyakan rakyt kayak dihipnotis kalau aku mengatakan. Karena memang serangannya waktu itu wong cilik, Dan daerahku begitu fanatik mendukungnya. Sekarang, semoga semakin pada melek, siapa yang tulus dan tidak . kalau baca tulisan ambu, banyak hal yang di dapat, dan logis kok. Ini salah satu bentuk speak up

    ReplyDelete
  8. aku bukan pro Jokowi, mau menuliskan apa tentang dia bingung nih, tapi emang beberapa tahun ini terlihat serakah-nya semua keluarga mau jadi pejabat dan smeoga aja pemilu ini aman ya. Walau dimulai dengan memaksakan kehendak anaknya jadi cawapres.

    ReplyDelete
  9. Aku speechless Ambu dengan apa yang dilakukan pemerintah sekarang. Pengen nangis, pengen marah dengan semua yang mereka lakukan. Tapi apalah aku ya. Aku juga gak bisa menulis protes dengan bebas. Masih kebentur juga dengan kerjaan. Yang bisa dilakukan cuma mendoakan saja semoga hati nurani pemerintah tergerak untuk melakukan hal yang baik. Dan semoga orang-orang vokal bisa terus menyuarakan kita sebagai rakyat kecil.

    ReplyDelete