Suka Duka Tinggal di Kampung (2)

   
maria-g-soemitro.com

Suka Duka Tinggal di Kampung

Dibuang! Begitu yang saya rasakan saat pertama kali tinggal di desa Cinanjung, Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Bagaimana tidak, jauh-jauh saya pindah dari Kota Bandung ke kampung ini, eh anak saya dan keluarganya malah balik pindah lagi ke Bandung.

Mereka ngajak saya sih. Tapi aduh, ngebayangin ribetnya pindah. Semula dari Jalan Rajawali ke apartemen di Jalan Sukarno Hatta, kemudian pindah ke desa Cinanjung, eh pindah lagi ke apartemen.

Malas ah. Harus ngepak barang dan bebenah lagi, duh!

Perasaan “dibuang” muncul karena serasa beda peradaban. Sebelumnya, saya cukup jalan kaki 5 menit ke supermarket Superindo, sekadar untuk narik uang cash Rp 100 ribu dan belanja kebutuhan sehari-hari.

Sekarang? Untuk tarik tunai atau belanja ke Alfamart terdekat (yang pastinya gak selengkap Superindo), saya harus naik moda transportasi online (ojol)  atau ojek pangkalan (opang).

Dulu, cukup buka aplikasi, dengan mudah dan cepat kuliner lezat seperti Bubur Ayam Gibbas, Martabak Nikmat Sudirman, atau Bakso Semar, dalam sekejap terhidang.

Sekarang? Gofood/Grabfood nya ada, tapi kuliner terdekat gak ada yang selezat kuliner Bandung.  Kalaupun ada, mungkin gak ada yang beli karena daya beli di sini gak setinggi masyarakat perkotaan.

Hiks, rasanya merana banget!

Baca juga

10 Hal Suka Duka Tinggal di Apartemen Indonesia

Citayam Fashion Week, dan Pencarian Identitas

Daftar Isi

Bahagia itu Ternyata Sederhana

5 Suka Duka Tinggal di Kampung

  • Gagal Paham Pengeras Suara!
  • Gagap Budaya. Banyak yang Kepo
  • Tupai dan Melimpahnya Flora

Sebetulnya alasan anak saya gak terlalu salah sih. Aktivitas sehari-hari saya toh hanya di dalam rumah. Jadi kebutuhan ke Bandung, mungkin hanya sebulan sekali untuk check up ke dokter di RS Hasan Sadikin atau RS Boromeus.

Ada sih pertemuan blogger Bandung, namun frekuensinya gak sesering blogger yang tinggal di kawasan Jabodetabek. Seperti Mbak Dian Restu Agustina, emak blogger yang tulisannya tentang Tempat Wisata Tangerang bisa jadi rekomendasi.

Faktanya, pindah dari perkotaan ke pedesaan gak sesederhana itu. Walau di Bandung saya jarang keluar rumah, juga saya jarang jajan online dengan alasan berhemat. 

Malah rencana membuat tulisan review dengan mendatangi destinasi kuliner dan wisata di sekitar rumah Rajawali, tak kunjung terwujud. Namun perasaan harus melepas “sesuatu yang dimiliki”,  ternyata menimbulkan rasa kehilangan yang lumayan parah.

Baru setahun kemudian saya bisa beradaptasi dan mensyukuri lingkungan rumah yang sekarang saya huni. Banyak hal baru saya temukan di sini, mulai dari sosial, budaya, ekonomi hingga lingkungan alamnya.

Seperti pasar kaget yang menjual corn dog ala-ala Sumedang 😀😀 , event adu domba setiap awal bulan, serta pastinya pemandangan pegunungan dengan deretan pohon pisang yang sarat buah.

Begitu banyaknya hal baru, saya pernah mau menulis 7 suka duka tinggal di kampung, ternyata baru 3 udah 1.000 kata lebih. Sekarang juga sama, rencananya ada 5 suka duka, tapi terpaksa saya pangkas menjadi 3 aja dulu ya?

Apa saja? Ini dia:

  

maria-g-soemitro.com
campolay, menguning di pohon di pinggir jalan

3 Suka Duka Tinggal di Kampung

    
maria-g-soemitro.com

1. Gagal Paham Pengeras Suara

Ingat kasus Meilina yang divonis 18 bulan karena mengadu pengeras suara yang melatunkan azan "membuat telinganya sakit"?

Bagaimana jika loudspeaker masjid digunakan untuk ini?

“Ibu A (bukan nama sebenarnya) dimohon segera pulang karena ada sodara datang dari luar kota”

Antara pingin ketawa dan kesel ya? Masa sih pengeras suara dipakai semau-maunya?

Selama ini saya udah berusaha memahami penggunaan loudspeaker masjid (yang terletak di belakang rumah),  selain untuk azan, seperti pengajian di setiap minggu (termasuk penggilan pada peserta yang belum hadir), ceramah dan pembacaan ayat suci Al-Qur'an.

Yang lucu, walau suaranya fals, orangnya pede banget. Rupanya mereka berpikir, asal melantunkan ayat suci Al-Qur'an maka semua cara adalah sah. 

Padahal gak demikian,  dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978 tahun 2018 tercantum aturan penggunaan pengeras suara dalam dan pengeras suara luar masjid.

Untuk syiar seperti salat tarawih, ceramah/kajian Ramadan, dan tadarrus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara dalam.

Pengeras suara luar baru digunakan saat azan. Pengeras suara luar juga bisa digunakan, apabila sebelum waktu azan ingin memperdengarkan pembacaan Al-Qur'an atau solawat/tarhim, itu pun paling lama hanya 10 menit.

Selebihnya, seperti salat, zikir, doa, kuliah subuh juga suara anak belajar mengaji, harus menggunakan pengeras suara dalam.

Selain pengeras suara masjid, penghuni perumahan rupanya sangat “baik hati”. Mereka kerap menyetel lagu keras-keras hingga suaranya terdengar sampai jarak ratusan meter dari rumahnya. 

Penghuni lainnya gak mau kalah, dia menyetel lagu lewat loudspeaker mobilnya. Lumayan lah dengerin lagunya “Widuri” Bob Tutupoli dan “Semangka Berdaun Sirih” nya Broery Marantika. 😀😀

  

maria-g-soemitro.com

2. Gagap Budaya. Banyak yang Kepo

Kaget gak jika tiba-tiba ditanya seorang perempuan tak dikenal?

“Kamana bu?”  (terjemahan: kemana, bu?)

“Di mana bumina, bu?’ (terjemahan: di mana rumahnya bu?)

Pertanyaan tersebut kerap terdengar ketika saya sedang jalan pagi. Mungkin maksudnya beramah tamah, karena tetangga yang sudah saya kenal pun melontarkan “Kamana bu?” setiap berpapasan.

Padahal sudah saya jelaskan panjang lebar, saya jalan pagi setiap hari agar tidak mudah sakit, dan lainnya. Tapi mereka keukeuh dan tak bosan bertanya. Semacam pertanyaan basa-basi seperti sewaktu melihat seorang lajang: “Kapan nikah?” 

Basa basi kepo yang mengganggu. Tapi harus diterima sebagai konsekuensi tinggal di kawasan yang budaya ramah tamahnya masih kental.

Ucapan unik lainnya muncul saat seseorang hendak mendahului saya yang berjalan santai. Dia akan berkata: “Punten ti payun.” Yang artinya kurang lebih “Maaf, saya duluan ya?”

Lha di kota mah biasa aja atuh, ketika mau menyalib orang yang jalannya lelet. Gak usah sungkan. Tapi ya begitulah, lain lubuk lain ikannya. 😀😀

   

maria-g-soemitro.com
ilustrasi canva, karena tupai aslinya susah difoto

3. Tupai dan Melimpahnya Flora

Pernah melihat tupai melompat-lompat di antara ranting-ranting pohon? Dulu, saat masih sering blusukan di hutan kota Babakan Siliwangi (Baksil) Bandung, sering banget saya bertemu tupai.

Gak aneh sih, para aktivis lingkungan pernah melepas tupai dan burung sewaktu menyatakan “perang” terhadap kezaliman. Waktu itu walikota Bandung (sebelum Kang Emil) hendak menyulap hutan Baksil menjadi kawasan komersil. Jadi mungkin si tupai beranak pinak di situ.

Namun menyaksikan tupai di “playground” nya rasanya emejing banget. Ekosistemnya memang sangat mendukung. Makanan tupai, yaitu serangga, cacing tanah dan buah-buahan, melimpah ruah.

Buah-buahan seperti campolay, jambu (jambu batu dan jambu air), pisang, alpukat, sirsak, terlebih papaya, matang pohon. Seolah pemiliknya enggan panen. Mereka membiarkan tupai dan codot (kelelawar buah) mencicipi buah-buahan tersebut.

Gak hanya buah-buahan yan melimpah, tanaman berbunga (yang baru saya lihat) juga bertebaran. Salah satunya Chinese violet atau Asystasia gangetica berikut:

maria-g-soemitro.com


Ukuran bunganya kecil, hanya 25 mm. Selain Chinese Violet, saya juga melihat bunga mirip bunga telang, namun warnanya ungu. Belum saya searching nama si  bunga. Rencananya sih mau bikin konten wild flowers ini di Instagram.

Bahagia itu ternyata sederhana ya? Nilai bagus atau tidak, membahagiakan atau tidak, sangatlah subjektif.  Jika kita terpaku pada nilai-nilai tersebut, maka kita tak akan pernah bahagia.

Saya pun ber #musabahdiri: Jangan pernah menuntut kebahagiaan dari orang lain, termasuk pada anak, suami dan orangtua. Berdamailah dengan diri sendiri dengan menerima setiap perubahan, kemudian bukalah pintu-pintu kebahagiaanmu

Karena:

Tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan atas kehendak Nya (Al-An'am: 59)

Baca juga:

Jelajah Pasar Tanjungsari, Cara Asyik untuk Me Time

Suka Duka Tinggal di Kampung (1)

10 comments

  1. Bundaaaa aku jadi ngebayangin konflik batin bunda waktu awal awal pindah dari kota ke desa. Pasti berat banget ya. Allhamdulillah sekarang udah terbiasa ya bun. Tapi jujur pas aku baca crita bunda yg tetangganya suka dnger musik keras2. Aduhhh itu pasti mengganggu ya. Kebayang ikh ada ibu2 yang baru melahirkan atau punya bayi. Gimana mereka bisa istirhat klo tetangga2nya pada gtu. Ikhhh suka sebel aku klo nemu yg bgtu. Soalnya di batam juga aku bertetangga dg orang2 yg ga beretika juga. Bkin aku stres juga di awal huhuhu

    ReplyDelete
  2. Kalau yang budaya mendahului sambil pamit di lingkungan daku juga suka ada yang seperti itu. Namun tergantung orangnya sih, ada yang begitu karena kenal, ada juga yang jalan aja duluin hehe.

    ReplyDelete
  3. Belajar banyaaaaakk dari Ambu.
    Rasanya damai kalau pikiran positif dari diri sendiri yaa, Ambu.
    Dan sebetulnya, aku mau bilang "Barakallahu fiik" Ambu. Kalau orang lain lihat, Ambu ini hidup dengan penuh keberkahan. Karena selain berhasil mendidik anak-anak mandiri, Ambu juga jadi punya waktu dan lingkungan sendiri yang tentunya bikin sehat lahir batin.

    Amazing juga karena Bandung tuh menurutku orangnya sopaaaaan banget.
    Sampai anakku di pesantren agak dicibir karena saking sopannya ((maklum, pesantrennya banyak anak Jabodetabek, yang manggil temennya "Wooii..." "Hooiii"

    Ini di Kabupaten Sumedang, tempat tinggal Ambu jauuuhhh lebiiiiihh sopan lagi.
    MashaAllah~
    Saling peduli terhadap sesama dan saling guyub.

    ReplyDelete
  4. Nyetel musik dan lagu dengan suara keras itu pernah aku temui di beberapa desa yang pernah aku sambangi dan inapi dalam waktu agak lama. Sepertinya hal ini memang menjadi "budaya" mereka ya ambu. Hidup di desa jauh dari tempat hiburan semacam bioskop, kafe dengan live music, konser-konser artis ternama, dan lain semacamnya, membuat mereka menciptakan hiburan tersendiri. Dengerin musik sampai kedengeran 1 RT, hingga karokean sepanjang hari gak kenal waktu. Herannya mereka itu seperti saling adu suara dengan keras, volume rata kanan sampek mentok. Kalau buat kita yang biasa/suka dengan suasana tenang, ini jelas mengganggu. Coba aja ke Sumsel, desa-desa di sana orang-orangnya seperti itu. Sejak pagi kayak ada hajatan kawinan di tiap rumah, saking ramenya pada nyetel musik di rumah masing-masing :D

    ReplyDelete
  5. Aku malah punya kriteria, kalau cari hunian harus yang deket minimarket wkwkwk

    ReplyDelete
  6. Budaya kota dan desa jauh berbeda ya Ambu
    Pasti saat pindah, butuh penyesuaian
    Di kampung itu enaknya udaranya lebih bersih dan banyak flora ya
    Tapi ya, karena orangnya guyuh, jadi kesannya kayak kepo gitu ya

    ReplyDelete
  7. Baru tahu kalau di desa suka nyetel musik keras-keras, kenapa ya? Termasuk menggunakan menggunakan fasilitas masjid untuk keperluan selain azan. Duh...padahal kebayangnya tinggal di desa itu hening.
    Btw...jadi Ambu tinggal sendirian sekarang di rumah, karena anak & keluarganya ke Bandung lagi? Sehat-sehat ya...

    ReplyDelete
  8. Sehat selalu, Ambu..dimanapun tinggal sekarang. Jujur ceritanya bikin iri saya yang sedang menghadapi polusi Jakarta yang nyeseknyaaa..hiks
    Terbayang segarnya udara Sumedang, hijaunya pemandangan, berteman sama tupai, campolay dan Chinese Violet yang cantiiik..wah betapa tenang dan damainya!

    ReplyDelete
  9. Saya mesam-mesem mbacanya Mbak. Emang beda banget ya hidup di perkotaan dan di kampung. Kalau di kota semua saling cuek sementara di kampung semua saling peduli, saling tahu, dan apa-apa seperti bukan rahasia. Memang butuh waktu untuk merubah gaya, pemikiran dan penerimaan dengan lingkungan baru ya Mbak.

    ReplyDelete
  10. Antara senang dan susah, hidup di kampung tetap jadi pilihan saya, Mbak. Meski memang sering juga terasa aneh sendiri karena kitanya sudah ke mana, tetangga masih di mana dalam banyak hal.
    Btw saya juga kadang males packing sehingga meski mulai tidak betah di kampung, dan kangen kehidupan kota, tetap memilih menetap saja.
    Kadang hanya perlu mengubah sudut pandang saja

    ReplyDelete