7 Suka Duka Tinggal di Kampung
“Alhamdulilah, Terimakasih ya Allah, “ ucap saya setiap bangun pagi. Suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Kepindahan saya ke ‘kampung’ di kawasan Tanjungsari Sumedang berbuah manis. Tidur saya jadi nyenyak. Insomnia hilang!
Padahal semula, sebel banget pindah ke sini. Jarak hunian sangat jauh, kurang lebih 2 jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Kota Bandung.
Masih mending jika huniannya mirip kampung seperti kisah-kisah dalam drama: Dikelilingi pekarangan luas. Banyak tanaman buah, sayur dan bunga. Ada selokan dengan air jernih mengalir, etc….etc…etc …hiks.
Ini sih seperti halnya rumah di kompleks perumahan dengan tanah terbatas. Seluruh tanah habis untuk bangunan, tak menyisakan tanah. Mirip di perkotaan, bedanya ini di pedesaan.
Sedihnya lagi, rumah ini dibangun vertikal ke atas karena tanahnya sempit. Untuk menuju ke lantai atas harus menapaki tangga yang lumayan tinggi. Duh.ðŸ˜ðŸ˜
Baca juga
Citayam Fashion Week, dan Pencarian Identitas
Fenomena Anak/Ibu Durhaka dan Luka Pengasuhan
Daftar Isi
Bersyukur, Karena Tiada Daun Jatuh Tanpa SepengetahuanNya
7 Suka Duka Tinggal di Kampung (1)
- Susahnya Narik Uang di ATM
- Jalan Kaki yang Menyenangkan
- Internet Penyelamatku
Lha kenapa pindah atuh?
Semula untuk menemani anak saya nomor 2. Istrinya mendapat tugas sebagai pengajar di ITB Bandung. Sehingga harus mengajar di Ganesa dan Jatinangor. Dan seperti umumnya anak muda yang baru merintis karir, kemampuan finansial mereka baru sampai membeli rumah di sini.
Jadi harus disyukuri, walau rumah Rajawali (sebelum saya pindah ke apartemen kemudian pindah rumah di Cinanjung, Tanjungsari) sangat memanjakan, rumah tersebut milik pakde (kakak almarhum ibunda) dan anak-anaknya.
Harus disyukuri juga saya pernah tinggal beberapa tahun di Jalan Rajawali dan apartemen di kawasan Bandung Timur, sehingga saya bisa membandingkan dan membuat tulisan ini.
Tentu saja pengalaman tinggal di kampung akan berbeda bagi setiap orang, setiap kawasan, setiap waktu dan perbedaan lainnya. Jadi jika berbeda, mohon jangan diomeli ya?😊😊
Nah, sementara ini pengalaman saya tinggal di pedesaan. Karena saya betah di sini dan berencana mengeksplorasi semua hal unik yang bisa ditulis.
Apa saja? Di antaranya ini dia:
7 Suka Duka Tinggal di Kampung (1)
1. Susahnya Narik Uang di ATM
Mau ke ATM untuk tarik tunai? Gampang, cukup jalan kaki dan menyeberang jalan. Kurang lebih 5 menit kemudian saya sudah mencapai mesin ATM yang siap melayani nasabahnya selama jam kerja Superindo. Karena mesin ATM BCA berada di dalam bangunan supermarket Superindo. Tapi itu dulu, ketika saya masih tinggal di rumah Rajawali.
Di apartemen beda lagi. Cukup turun ke lobby, maka saya akan mendapat 2 pilihan, tarik tunai dengan menggunakan fasilitas ATM Bersama di mesin ATM milik suatu bank nasional. Atau tarik tunai di minimarket Indomaret yang berada di samping lobby apartemen.
Sekarang? Duh, harus jalan kaki kurang lebih 500 meter untuk mencapai toko kelontong yang berafisiliasi dengan Sampoerna Retail Community (SRC).
Itu pun gak gratis. Setiap penarikan hingga IDR 500K, pihak toko mengenakan charge IDR 5K. Selanjutnya penarikan di atas 500K akan terkena fee 10K. Belum cukup! Ada biaya penarikan antar bank: BCA (milik saya) dan bank (milik toko SRC), sebesar IDR 6.500.
Harus hati-hati nih, sebelumnya saya selalu memakai debit card untuk belanja. Saya gak suka menyimpan uang cash terlalu banyak, takut hilang dan boros. Di sini kebiasaan tersebut wajib saya ubah. Saya harus mengambil uang lebih banyak dari biasanya, kemudian harus pandai mengelolanya supaya gak boros.
2. Jalan Kaki yang Menyenangkan
Trotoar yang gronjalan gak rata, debu beterbangan, timbulan sampah, decitan kendaraan, klakson memanggil penumpang, serta berjuta keruwetan lainnya, kita rasakan ketika berjalan dari satu destinasi ke destinasi lainnya di perkotaan.
Tambah horror sewaktu harus melewati jalan tanpa trotoar. Di kiri selokan dalam yang airnya kotor, di kanan lalu lintas kendaraan roda 4 (termasuk angkot) dan sepeda motor saling balap, siap menabrak pejalan kaki. Lengkap sudah penderitaan
Di pedesaan, ketakutan tersebut gak ada. Walau tidak beraspal mulus, di sini saya bisa berjalan dengan damai. Gak harus rebutan dengan batang pohon yang semakin membesar, pedagang kaki lima, serta ketidak nyamanan lainnya.
Kendaraan (roda 4 maupun sepeda motor) yang berlalu lalang, bisa dihitung dengan jari.
Banyak hal baru didapat dan dilihat, salah satunya rumah panggung yang masih banyak berdiri (gambar cover). Warisan budaya yang harus dilestarikan, karena rumah panggung tahan gempa, sehingga sangat cocok untuk kondisi Indonesia yang sering dilanda gempa.
Gangguan mungkin berasal dari pengemudi ojek pangkalan yang tiba-tiba mendekati dan menawarkan tumpangan. Tentu saja dengan tarif yang kerap gak masuk akal.
Gangguan yang bisa dicuekin mengingat lebih banyak hal yang didapat. Seperti kelelawar yang terbang kesiangan; Buah kedondong mengangguk-angguk di atas sana; Buah jeruk bergerumbul minta dipetik, buah murbai serta buah-buahan yang sangat menggoda.
Sayuran tumbuh subur dalam polybag, berjejer di sepanjang jalan. Mungkin karena penduduk mempunyai naluri bercocok tanam yang tak mudah hilang. Bahkan penjahit baju saya merangkap profesi sebagai petani. Di blog post lain saya cerita ya?
3. Internet Penyelamatku
Bagaimana jika akses internet gak seasyik sekarang: lancar tanpa hambatan!
Wah, mungkin saya bakal nangis darah. Bukan lebay, tanpa internet gak ada toko seperti SRC. Andai membutuhkan uang cash atau kebutuhan lain, saya harus jalan kaki sepanjang 1 km lebih sampai mencapai jalan umum (jalan nasional).
Berkat internet, saya bisa memesan belanjaan di market place yang bakal mengantar ke rumah dengan selamat. Biaya transportasinya lebih mahal sih, tapi tetap menguntungkan bukan?
Demikian juga bepergian ke Kota Bandung, mungkin saya harus berangkat subuh untuk jalan kaki dan naik angkutan umum serta bus. Baru kembali ke rumah saat azan Isya terdengar. Duh, berdarah-darah banget hidup tanpa internet ya?
Kini, setiap akan berangkat ke Kota Bandung, saya cukup memesan transportasi online via ponsel menuju pangkalan bus Trans Metro Pasundan (TMP). Pembayaran TMP bisa via e-wallet (Dana, Ovo, Gopay dan lainnya) serta e-toll. Serba internet kan?
Internet menjadi penyelamat di mana pun saya berada. Termasuk semasih tinggal di apartemen. Barang endorse-an dengan mudah sampai ke tangan.
Bagaimana jika butuh bantuan teman?
Seperti beberapa waktu lalu, ada job dari client penyedia produk kebutuhan rumah tangga, seperti sembako, peralatan rumah tangga, dan lainnya. Brief-nya mengharuskan saya berfoto dengan barang belanjaan tersebut.
Bingung dong saya, gak kenal siapa pun di apartemen. Anak saya masih berada di Majalengka. Apa boleh buat saya minta bantuan Teh Eno, teman blogger yang tinggal di kawasan Bandung Timur juga. Alhamdulilah, Teh Eno bersedia.
Sesudah berfoto ria, saya mengobrol dengan Teh Eno yang juga berprofesi sebagai penulis buku dan editor freelance. Saya kepo, apakah kita bisa menggantungkan penghasilan dari aktivitas menulis?
Ternyata bisa! Obrolan dengan Teh Eno masih tertunda dalam draft, karena gak lama kemudian saya harus pindah ke Bandung coret ini.
Kebayang kan, betapa internet sangat membantu? Baik memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga memperlancar tugas content creator dan aktivitas relawan.
Suka duka tinggal di Bandung coret, yaitu: keberadaan internet, jalan yang lengang, udara bersih, pemandangan cakep, hidup hemat, bertemu budaya local, kepepet membawa berkah serta kreativitas berurban farming, harus saya bagi menjadi 2 tulisan. Karena ini pun sudah mencapai 1.000 kata lebih.
Begitulah, selama ini kita kerap menyepelekan banyak hal.
Seperti tidur bisa nyenyak di awal tulisan, udara segar, dan hal yang nampak remeh temeh lainya, ternyata sangat bermakna dan wajib disyukuri.
Baca juga:
Barang Kesayangan dan Kemelekatan Psikologis
Mewah banget itu tidur nyenyak dan udara segar. enggak semua orang bisa menikmatinya secara gratis.
ReplyDeleteDimana pun kita tinggal perlu syukuri dan have fun menjalaninya. Lama kelamaan betah dan cinta sama kampung yang asri udara juga bersih
ReplyDeleteTetep ya mau tinggal dimana yang penting ada internet biar bisa update konten.
ReplyDeleteYang penting nyaman dan berbahagia tentunya bersama keluarga.
Nah poin terakhir tuh penting banget Mbak. Biar tinggal di pelosok, selama sambungan internet lancar jaya, biasanya kita tetap akan happy. Soal jalan jauh atau fasilitas minim sih menurut saya sudah biasa untuk tinggal di desa/kampung atau pelosok. Tapi dibalik itu, kita bisa menikmati udara segar, lingkungan yang tidak bising, lebih menyatu dengan alam, dan tentu saja ketenangan. Semua yang sangat berbeda saat tinggal di dalam kota.
ReplyDeleteBaca aja udah langsung kebawa suasana pedesaannya, Mba ^^, ikut bahagia juga saya :-). Saya juga lebih suka tinggal di pedesaan atau misal kota gitu yang nggak begitu ramai. Asal internet lancar :-D Setuju juga dengan Mba bahwa tidur nyenyak, suasana tenang, udara sejuk dan segar itu seringnya kita anggap remeh tapi sebenarnya itu hal mewah juga..
ReplyDeleteMashaAllah~
ReplyDeleteJadi dosen memang karir yang diimpikan bagi yang suka dan cinta bergelut di bidang akademisi. Dan mau dimanapun ditempatkan, in syaa Allah menjadi keberkahan bagi ilmunya.
Seneng banget tinggal di lingkungan alami begini, Ambu.
Kalau gak perlu pegang uang cash, apakah menjadi kendala ya, Ambu?
Maksud saya, hanya mengandalkan mobile banking.
sayaa tinggal di kampung, hehehe.
ReplyDeleteuntuk narik uang, harus jalan sampe beberapa meter, pun untuk ke supermarket harus nyebrang ke kecamatan sebelah atau ke baubau dengan resiko 2 kali menggunakan moda transportasi, tapi semuanya tetap bisa dinikmati apalagi koneksi internet di sini juga lumayan lancar, jadilah tetap dapat info update
Banyak hal yang bisa disyukuri ya ketika ada di kampung. Jalan kaki jauh jadi olahraga yang sehat. Gak ketemu ATM juga jadi berkah karena kita bisa sekalian jalan jalan. Dan masih banyak lagi hal kecil lainnya yang ternyata membawa berkah.
ReplyDeleteAdekku juga di sumedang, Ambu. Tapi dia ngekos agak jauh dari UPI. Jadi masuk ke perkampungan yang lebih rame. Cuma emang kalo ke kota bandung jauh banget ya. Berasa nggak nyampe2. Hehe
ReplyDeleteOh Ambu teh pindah, pantesan atuh jarang ikut acara kopdar. Hehe ketang, aku ge tara ka mamana. Sama aku ge Ambu, di kampung. Mau ngapa-ngapain kudu jalan kaki dulu. Mau ke atm kudu jalan 1 kilo. Tapi ya Alhamdulillah, jadi banyak olahraga. Sejuk dan nyaman deuih di kampung mah. Heheheh. Sehat-sehat selalu, Ambu. :)
ReplyDeleteOh Ambu teh pindah, pantesan atuh jarang ikut acara kopdar. Hehe ketang, aku ge tara ka mamana. Sama aku ge Ambu, di kampung. Mau ngapa-ngapain kudu jalan kaki dulu. Mau ke atm kudu jalan 1 kilo. Tapi ya Alhamdulillah, jadi banyak olahraga. Sejuk dan nyaman deuih di kampung mah. Heheheh. Sehat-sehat selalu, Ambu. :)
ReplyDeleteMasya Allah.... Ambu mo nulis apa tentang akuuu? Ahahah..... Babak belur aku mah. Padahal enakan bebek sambel ijo daripada babak belur *naon sih*
ReplyDeleteBtw, ibuku sempet keidean buat pindah ke kampung gini. Tapi kutolak dengan pertimbangan rumah yang sekarang udah strategis banget, ke faskes juga deket. Maklum ya, makin tinggi usia, masalah kesehatan makin sering muncul.
Saya juga sekarang tinggal di kampung. Damai dan indah. Tidur nyenyak...Karena kebetulan ngajar di sekolah yg siswanya menengah ke bawah.
ReplyDeleteMungkin itu sebab mamakku ngga mau diajak pindah ke kota, ya sebab ktanya dikampung udaranya masih sejuk, kemana-mana masih terbiasa jalan kaki (sekalian olahraga).
ReplyDeleteUdah gitu di kampungnya ibu-ibu pengajian belum ada yang hedon misal foto-foto upload di sosmed, atau pake dresscode, makeup tebal dll dsb. Mereka fokus ke pengajian ya cukup bawa quran dan catatan tanpa ada foto2. Begitulah alasannya :D
Di mana pun tinggalnya pasti ada suka dulunya ya Ambu. Tinggal disyukuri dan berbahagialah.
ReplyDeleteNunggu 4 poin lagi nih suka dukanya
Ada istilah Jawa "sawang sinawang" Ambu, maksudnya saling melihat satu sama lain. Yang di kota pengen tinggal di desa, yang asli orang desa malah pengen tinggal di kota. Jadi ya dinikmati aja dimanapun berada, pasti ada plus minusnya
ReplyDeleteJujurly mama aku juga tinggal di Bandung timur, di gunung, banyak tanaman dan dingin udaranya tapi karena masih muda, aku lebih nyaman di rumah mertua karena mobilitas yang masih tinggi ambu. Tapi sekarang enak ada internet, orang gunung jadi bisa belanja online
ReplyDeletedi kampung IMHO lebih tenang
ReplyDeleteengga kemrungsung dan diburu waktu.
tapiii biasanyaaaa orang kampung tuh hobi bgt rumpi
ini yg bikin mlz🤣😆
Cerita fighting yang berbeda ya, Ambu. Alhamdulillah bisa menyesuaikan diri dan betah .. saya jadi membayangkan, bagaimana ya saya kalau tinggal di sana? :)
ReplyDeleteMenarik banget kisahnya, Mbak. Kalo kampung saya udah berubah. Jadi bukan kota bukan kampung. Jadi gimana gitu, hehehehe..... Malah sedih kalau inget masa lalu.
ReplyDeleteMau tinggal dimanapun, selama jaringan internetnya moncer, tetep aja bikin betah ya Mbak. BTW, saya juga suka Mbak tinggal di pedesaan. Impian setelah suami pensiun.
ReplyDeletepernah hidup di kampung, yang sekarang pindah kota terselip banyak hal terkait untung dan lebihnya. Terus menaruh mimpi bisa hidup di tempat yang mau kemana aja mudah, internet juga selalu support, Sama pengen punya tetangga yang ramah
ReplyDeleteEmang ciri khas tinggal di kampung seru-seru meringis ya, Ambu.
ReplyDeleteTapi udara bersih dan bisa tidur nyenyak itu nikmat banget.
Kalau di kampung, rasa makanan yang nampak biasa, tapi di lidah terasa enak. Mungkin faktor suasana hati.
Kalau ngambil uang tunai via ATM di kampung saya, malah ada beberapa ATM yang adanya hanya di ibu kota provinsi, hehehe.
Damai ya Ambu tinggal di pedesaan karena waktu seperti melambat dan kita bisa berjalan tanpa harus diburu waktu. Impian Saya banget ini tinggal dipedesaan..
ReplyDeleteHidup di kampung memang ada suka dan dukanya, namun ketika sudah dinikmati menjadi banyak sukanya, tenang gitu tinggal di desa, apalagi saat suasana sore
ReplyDeleteJadi ingat kampung halaman saya, meski sudah banyak rumah tapi deket rumah masih banyak sawah dan relate banget sama kondisi ATM yg nun jauh disana. Harus ke kota dulu kalau mau narik duit di ATM
ReplyDeleteMenikmati indahnya pemandangan dan udara pagi yang segar.
ReplyDeleteTetap bisa berkonten dengan gembira kalau ada internet ya, Ambu..
Alhamdulillah~
Alhamdulillah. Tidur nyenyak dan bangun pagi menghirup udara segar itu bukan hal remeh jika pernah tinggal di kota dengan hiruk pikuk dan polusi yang suka bikin insomnia ya. Hihi...
ReplyDeleteSaya sering lihat toko kelontong dengan spanduk SRC di depannya, tapi nggak ngerti apa itu maksudnya, ternyata singkatannya Sampoerna Retail Community , jadi ini tokonya kerjasama dengan sampoerna gitu ya mbak.
ReplyDeleteNah, kalau sudah mulai menikmati, dukanya pun bisa jadi bahan cerita ya mbak
Tinggal di desa emang memberi pengalaman baru ya, apalagi klo sudah lama tinggal di kota. Pasti butuh banyak penyesuaian. Aku justru seneng klo pas lebaran mudik ke desa mamahku, tpi klo untuk tinggal dsna rasanya juga belum sanggup, heheheh
ReplyDeleteTinggal di kampung itu menyenangkan banget sih mba, dulu pernah kkn di daerah kampung yg notabene di atas gunung dan kita bisa menikmati segarnya udara bersih, air yg bening lagi sejuk, dan warganya yg ramah tamah tiada terkira
ReplyDelete