Jelajah Pasar Tanjungsari, Cara Asyik untuk Me Time

     
maria-g-soemitro.com

Jelajah Pasar Tanjungsari, Cara Asyik untuk Me Time

Apakah saya perlu “me time”? Pertanyaan yang terdengar aneh ya? Karena mungkin jawabannya: “iya dong”, setelah aktivitas harian mengurus kerja kantoran, orangtua, anak dan suami. 

Sebetulnya, apa sih yang dimaksud dengan “me time”?

Menurut situs Collins Dictionary, me time adalah waktu yang diluangkan seseorang untuk diri sendiri dan melakukan hal untuk menyenangkan dirinya. 

Atau dengan kata lain: Me time dilakukan tanpa kehadiran atau intervensi orang lain. Sementara saya tinggal sendirian di Bandung coret. Tepatnya di kawasan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. 

Awalnya untuk menemani anak yang mendapat tugas mengajar di ITB Jatinangor. Tapi karena beberapa alasan, baru beberapa bulan, anak saya pindah lagi ke Kota Bandung.

Tinggal deh saya sorangan di sini. Bebas! Mau bangun siang, mau jungkir balik, mau apa pun bebas!. Gak ada larangan. Gak perlu merasa sungkan.

Jadi, apakah saya masih perlu “me time”?

Pastinya iya. Mengingat banyak banget manfaat me time, menurut sehatq.com:

Me time bermanfaat untuk mengenal diri sendiri, berpikir lebih jernih, mengurangi stres, hingga meningkatkan kreativitas

Baca juga:

Get Spirit! Karena Bahagia adalah Pilihan

Dengan Social Entrepreneur, Taufan Bantu UMKM dari Jerat Rentenir

Daftar Isi:

Mengapa perlu “me time”?

5 Keunikan Pasar Tanjungsari – Sumedang

  • Bakso Home Made Pemilik Kios
  • Buah dan Sayuran Segar
  • Tahu Sumedang vs Tahu Cibuntu
  • Ubi Cilembu dan Tapai Singkong Bertebaran
  • Gula Merah yang Khas

Jadi caranya aja yang beda. Perhatikan frasa “menyenangkan diri”, me time bisa diartikan gak sekadar meluangkan waktu untuk diri sendiri, juga untuk menyenangkan diri.

Nah banyak banget yang bisa dilakukan untuk menyenangkan diri. Sebagai blogger makanan, yang paling  mungkin dilakukan adalah kulineran di kawasan Jatinangor – Tanjungsari, dan eksekusi resep.

Hunting kuliner udah beberapa kali dilakukan, mulai dari mencoba kuliner waralaba seperti Bakso Lapangan Tembak Senayan di Jatinangor Square (Penasaran rasanya, apakah sama dengan yang di Kota Bandung?)

Juga kulineran yang masuk kategori street food seperti mie bakso dan mie Aceh. Gak leluasa seperti di Kota Bandung sih yang terkenal dengan kuliner “unggal pengkolan aya,” (Bahasa Sunda yang kurang lebih artinya: “ada di setiap pengkolan jalan”), untuk melukiskan maraknya street food di Kota Bandung. Maklum kepadatan penduduknya juga beda ya?

Me time lainnya yang sering saya lakukan adalah menonton, mulai menonton: drama/film Korea, drama Cina, sampai film Indonesia. Pasca dikejar deadline tulisan biasanya saya luangkan waktu untuk menonton, agar kepala yang ngebul-ngebul kepanasan, bisa mendingin. 😀😀

Me time berikutnya adalah ke pasar tradisional!

Yup, rasanya exciting banget kala menjelajah pasar tradisional. Di sini kita bisa mencium aroma sosial budaya yang sangat pekat. Ada ribuan makna yang menguar dari setiap kios.

Uniknya, walau memiliki hestek sama: #pasartradisional , tapi pasar tradisional setiap wilayah berbeda. Pasar tradisional Kota Bandung berbeda dengan Kota Surakarta. Berbeda juga dengan pasar tradisional Kota Yogyakarta dan Surabaya.

Masih bisa dipahami sih, kota-kota di atas kan beda provinsi ya? Namun ternyata walau kawasan Tanjungsari-Sumedang, satu provinsi dengan Kota Bandung, bahkan letaknya hanya puluhan kilometer, namun pasar tradisionalnya sangat unik dan khas.

Gak percaya? Yuk kita berkelana:

5 Keunikan Pasar Tanjungsari – Sumedang

    
maria-g-soemitro.com

1. Bakso Home Mode Pemilik Kios

Semangkok bakso hanya 4 ribu rupiah? Demikian harga mie bakso yang dijajakan penjual mie bakso yang berjualan di sekitar komplek perumahan kawasan Sumedang.

Sesuai daya beli sih. Tapi, gimana dapat untung? Setahu saya, satu butir bakso ukuran kecil harganya seribuan rupiah, ukuran besar tiga ribuan lebih. Paling tidak, itulah harga bakso di Pasar Ciroyom, salah satu pasar yang terkenal murah di Kota Bandung.

Sesudah jelajah pasar Tanjungsari, barulah saya tahu penyebabnya. Untuk menekan biaya produksi dan bisa menjual bakso dengan harga murah, mereka membuat sendiri bakso di dalam kios.

Ada beberapa kios sejenis. Kios besar dengan 2 petugas pembuat bakso yang asyik mencetak bakso, dan 1 petugas yang melayani penjualan. Kios yang lebih kecil (mungkin suami istri) lebih luwes, pekerja pria (suami) membuat bakso terkadang melayani pembeli ketika istrinya tidak ada.

Selain bakso, mereka juga menjual mie kuning, bawang goreng dalam kemasan, seledri, caysim/sosin (sayuran yang sering ditemukan di penjual mi bakso), dan yang paling unik: bumbu kuah bakso! Harganya Rp 2.500/2 bungkus 

Berapa harga baksonya?  Mulai dari  harga Rp 100, Rp 250, Rp 500 sampai Rp 2.500. Jadi masuk akal ya penjual bakso mematok Rp 4.000/porsi. Cukup diisi 5 bakso kecil @Rp 100, ditambah mi dan sayuran. 

Untuk bakso seharga Rp 2.500/buah, isinya beragam, bisa telur puyuh atau cincang. Termasuk mewah karena ukurannya besar. Saking gede, saya gak bisa langsung menghabiskan. Kenyang banget!

    

maria-g-soemitro.com

2. Buah dan Sayuran Segar

Dikelilingi gunung dan pegunungan, mayoritas penduduk Sumedang berprofesi sebagai petani. Malah penjahit baju yang saya kunjungin ternyata double profesi: penjahit baju dan petani. Keren pisan ya?

Gak heran di sini sayuran dan buah-buahan segar melimpah. Jenisnya pun beragam. Seperti gambar pisang di atas yang menurut penjualnya adalah “pisang raja sereh”. Rasanya emang sama sih, walau bentuknya beda.

Tapi bukan berarti harganya lebih murah ya? Kendala petani kan biaya transportasi. Dia harus mengeluarkan biaya transportasi yang lumayan apabila mau menjual di pasar terdekat.

Solusi lainnya, menjual ke tengkulak agar gak harus repot urusan penjualan. Pastinya dengan harga murah. Maju kena mundur kena ya?

    

maria-g-soemitro.com

3. Tahu Sumedang vs Tahu Bandung

Apabila ingin mengudap tahu goreng dan sedang berada di wilayah Sumedang, pilihlah tahu sumedang. Di sini rasa tahu bandung yang berwarna kuning atau putih, rasanya tidak selezat di daerah aslinya.

Di Kota Bandung, mayoritas tahu dibuat di daerah Cibuntu. Hasilnya tahu yang lezat dan cukup asin walau tanpa dibumbui terlebih dahulu. Beda halnya dengan di kawasan Sumedang, konon tahu dibuat di daerah Cicalengka yang hasilnya tidak seenak produksi Cibuntu.

Tahu semacam ini lebih cocok dibuat sebagai bahan baku schotel tahu, pepes tahu, dan sejenisnya.

Ada 2 jenis tahu sumedang yang beredar di pasar. Yang pertama tahu yang umum kita kenal, garing diluar dan tahu empuk nan lembut di dalam. Serta tahu yang kopong/kosong bagian dalamnya, umumnya dimasak lagi menjadi tahu isi.

Oiya, keberadaan tahu sumedang membawa dampak lain, yaitu adanya oncom berbahan dasar ampas tahu. Harganya lebih murah dibanding oncom bandung yang berbahan kacang. Next tulisan kita bahas ya?

  

maria-g-soemitro.com

4. Gula Merah yang Khas

“Di sini mah yang laku gula merah cap Kunci, bu,” kata perempuan penjual bumbu dapur. Lebih lanjut sang penjual bumbu menjelaskan bahwa rasa gula merah cap Kunci  lebih manis, dibanding gula merah lainnya, sehingga lebih disukai pembeli.

Sayang, gula merah cak Kunci ini ukurannya besar-besar. Setengah kilogram hanya berisi 2 buah ditambah beberapa potongan kecil. Selain besar juga keras, butuh usaha ekstra untuk memotong-motongnya sebelum pemakaian. 

Setiap hari saya membutuhkan gula merah untuk campuran jahe dan cengkeh. Gula merah ukuran kecil kan praktis, tinggal cemplung, gak perlu tambahan effort.

Tentang gula merah cap Kunci, jadi penasaran pingin tahu dan menulis reportasenya ya?

    

maria-g-soemitro.com

5. Ubi Cilembu dan Peuyeum Singkong Bertebaran

Rasanya mewah banget tinggal di kabupaten Sumedang. Asal punya uang, kapan pun bisa menyantap ubi cilembu dan peuyeum (tapai) singkong yang banyak bertebaran di pasar, maupun di perumahan.

Khusus ubi cilembu memang khas. Kawasan pertanian di desa Cilembu Kabupaten Sumedang mempunyai unsur hara yang unik, yang membuat rasa ubi semanis madu. Atau dengan kata lain, varian ubi cilembu sebetulnya sama aja dengan ubi yang ditanam di daerah lain.

Sedangkan singkong atau ketela pohon, sesuai lagu Koes Ploes: “Tanah kita tanah surga. Tongkat dan batu jadi tanaman.” Maka petani pun menanam tongkat eh singkong sebagai tumpeng sari atau di tanah-tanah kosong.

Akhirnya, hasil panen singkong melimpah. Agar tahan lama dan nilainya bertambah, banyak petani memproses hasil panennya menjadi tapai singkong.

   

maria-g-soemitro.com

Sering menulis tentang UMKM, dan mengutip data BPS tahun 2021 yang menyebutkan bahwa UMKM di Indonesia mencapai 65,46 juta unit atau jumlah terbanyak di kawasan ASEAN, saya harus mengamini pendapat tersebut setelah melihat roda perekonomian di kawasan Sumedang ini.

Juga hasil penelitian Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang melaporkan 98 persen dari UMKM di Indonesia adalah usaha mikro dan usaha ultra mikro seperti yang saya lihat dari hasil jelajah Pasar Tanjungsari.

Hebatnya lagi, kelompok ini menyerap tenaga kerja hingga 89 persen, dan menyumbang 37,35 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Gak nyangka ya?

Jadi yuk kita ke pasar tradisional untuk me time dan membantu perekonomian Indonesia. Duh heroik banget kedengerannya ya?

Baca juga:

Self Love, Karena Anda Sangat Berharga!

Jangan Cuma Gemas! Yuk, Ikut Kembangkan UMKM Bersama Amartha

12 comments

  1. pertama kali makan tahu sumedang, enakk dan beda sama tahu di Jawa kebanyakan
    dulu aku bertanya-tanya kok bisa ya beda begini, dari teksturnya juga terlihat beda
    sepertinya paling enak kalau bisa menikmati langsung di kota Sumedang sana

    blusukan ke pasar memang menyenangkan ya mbak, aku kalau traveling kadang suka random main ke pasar dan melihat aktivitas warga setempat

    ReplyDelete
  2. Ngemil dan nonton juga jadi pilihan me time-ku. Boleh nih jalan-jalan ke pasar tradisional buat ikut menggerakkan perekonomian, ya

    ReplyDelete
  3. Wah, me time-nya ambu bermanfaat sekali. Enggak kepikiran kalau ke pasar, bisa jadi me time. Padahal tiap 3 hari sekali ke pasar beli stok lauk. Kayaknya perlu nih, buat jadi rencana me time juga. Makasih untuk idenya, ya ambu

    ReplyDelete
  4. Saya juga suka me time ke pasar tradisional. Hehe.. Rasanya seneng aja bisa beli makanan murah-murah sambil ngobrol ama penjualnya.

    Eh, Mbak itu pentolnya enak banget jadi pingin cocokin ke saos aja. Hemm

    ReplyDelete
  5. Me time aku sama mbaak, kulineran, nonton plus pijiiit ahaha. Paling suka dipijit. Me time ke pasar, ini kaya mama mertuaku. Demen dia ke pasar, happy katanya.

    ReplyDelete
  6. Me time ke pasar tradisionalnya asyik banget, Ambu.. bermanfaat pula, karena dishare di sini, hehe.
    Tahu Sumedang saya suka banget, juga peuyeum dan ubi Cilembu.
    Btw kalau saya kurang suka ke pasar tradisional, nih. Bukan apa-apa sih, karena saya emang kurang nyaman ke tempat-tempat yang ramai :D

    ReplyDelete
  7. Belanja emang me time terbaik ya ambu heheh mau ke pasar, ke supermarket atau belanja online saya suk heheh berhubung jauh dari pasar biasanya saya order di warung tetangga aja nanti beliau yg ke pasar

    ReplyDelete
  8. Ada banyak sekali yang bisa dilakukan ya, Ambu..
    Termasuk explore Pasar Tanjungsari.

    Aku jadi inget mertuaku yang kalau belanja gula merah suka yang besar-besar gitu, Ambu.. Memang effort banget motonginnya. Tapi Mamah hobi bikin bumbu pecel sendiri. Jadi uda biasa aku yang mukulin si gula merah sampek kriwil kecil-kecil.

    ReplyDelete
  9. Menurut daku di pasar tradisi itu lengkap, murce juga, ya sekalian healing tipis-tips ya selain itu bisa pegang dan lihat langsung produknya sehingga menyennagkan juga belanjanya

    ReplyDelete
  10. Di tetangga desa saya ada pabrik pembuatan tahu sumedang. Jadi kalo pas kami sparing badminton, selalu disuguhi tahu sumedang dengan cabe rawit. Enak banget dimakan bareng2 teman. Memang benar seru emmang ke pasar tradisional berbelanja buah sayur dll.

    ReplyDelete
  11. Di tempat saya tinggal ini Cianjur Selatan masih hanya ada pasar tradisional yang "bukanya" seminggu dua kali yaitu hati Selasa dan Jumat. Senangnya kalau tiba hari pasar tuh kaya gimana gitu ... hehe... Masih banyak bahan alami yang bisa dijumpai. Bahkan sesuatu yang dibilang langka, kadang masih bisa ditemukan di pasar tradisional ini. Semenyenangkan itu belanja di pasar tradisional. Beneran me time

    ReplyDelete
  12. Wah, nampaknya Ambu sangat menikmati saat saat pergi ke pasar ya
    Nggak cuma belanja, tapi juga bisa icip jajanan khas. Uda gitu bisa jadi konten pula

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat