Dengan Social Entrepreneur, Taufan Bantu UMKM dari Jerat Rentenir

     

  
maria-g-soemitro.com
sumber: instagram.com/@garudaputra

Dengan Social Entrepreneur, Taufan Bantu UMKM dari Jerat Rentenir

Banyak orang salah kaprah memaknai “social entrepreneur” atau wirausaha sosial. Mereka mengira jika seorang pengusaha telah menyumbang untuk suatu masalah sosial maka otomatis layak disebut social entrepreneur.

Contoh kasus seorang sosialita pemilik café memberi sumbangan pada Suku Anak Dalam. Dia membeli sebidang tanah di Jambi, agar kelompok masyarakat adat tersebut tidak lagi tidur di pepohonan, yang menurutnya tidak manusiawi.

Atas kepeduliannya dia mencantumkan “social entrepreneur” di profil Instagram-nya. Dia tidak sadar telah melakukan  2 kesalahan, yaitu:

Kesalahan pertama, dia tidak melakukan penelitian akan kebiasaan Suku Anak Dalam, yang juga kerap dinamakan sebagai Orang Rimba, Orang Ulu dan Suku Kubu itu. Mereka tidur di pohon karena punya kebiasaan nomaden (berpindah-pindah). Jadi tak seharusnya menyumbang tanah untuk ditempati, toh akan ditinggalkan.

Baca juga

Kail Harapan untuk Pak Budi Sudarno, Penjual Bakso Keliling

Jangan Cuma Gemas! Yuk, Ikut Kembangkan UMKM Bersama Amartha

Daftar Isi

  • Andi Taufan Garuda Putra , Sang Social Entrepreneur 
  • Andi Taufan Garuda Putra, Muhammad Yunus dari Ciseeng
  • Peer-to-peer Lending Datang, Rentenir "Ngacir"

Kesalahan kedua pemakaian istilah social entrepreneur. Berasal dari 2 kata social (sosial) dan entrepreneur (pengusaha/wirausaha), artinya bukan seorang pengusaha yang memberi bantuan sosial, melainkan:

Social entrepreneur adalah individu yang menggunakan prinsip kewirausahaan, pemikiran inovatif dan kecerdasan bisnis untuk menciptakan dampak sosial atau lingkungan yang positif dan berkelanjutan.

Jadi seorang social entrepreneur membangun bisnis yang langsung memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi masalah sosial atau lingkungan. Agar berkelanjutan, bisnis tersebut harus menghasilkan profit.

Contohnya Greeneration Indonesia  yang mengampanyekan “diet kantong plastik” dan aktif melakukan pendekatan pada pemerintah untuk meresmikan kantong plastik berbayar.  Agar menghasilkan profit, perusahaan memproduksi tas pakai ulang/reusable bag.

Hasil penjualan digunakan untuk membiayai operasional perusahaan termasuk biaya gaji direktur dan para karyawan.

Salah seorang social entrepreneur yang sukses adalah Andi Taufan Garuda Putra. seorang sarjana Manajemen Bisnis Institut Teknologi Bandung yang mendapat gelar Master of Public Adminstration dari Harvard University pada 2016.

Taufan melihat adanya kesenjangan antara pelaku usaha menengah ke atas dan pelaku usaha kecil yang didominasi kaum perempuan. Pelaku usaha kecil yang juga disebut ultra mikro ini umumnya unbankable.

Unbanked/ unbankable, adalah sebutan untuk individu yang cukup umur dan tidak memiliki rekening bank. Transaksi keuangannya dilakukan secara tunai.

Kondisi unbankable membuat pelaku usaha mikro harus meminjam pada rentenir. Dan tak berlebihan rentenir kerap disebut lintah darat, karena mereka akan “mengisap” habis  uang/harta yang dimiliki peminjam 

Contoh kasus seorang pelaku usaha mikro meminjam Rp 500 ribu pada rentenir untuk modal berjualan camilan di depan sekolah. 

Namun bisnis tak selalu lancar, anak sakit atau sekolah libur memaksa peminjam terlambat membayar. Atas keterlambatannya, rentenir mengenakan bunga berbunga. Ketika sering terjadi, pinjaman pun membengkak menjadi Rp 1 juta.

Seolah memberi solusi, rentenir akan datang menawarkan pinjaman lebih besar, dengan alasan untuk melunasi pinjaman sekaligus menambah modal usaha.

Bertambah besarnya pinjaman, tentunya cicilan menjadi  lebih besar pula. Tragedy yang sama terulang, bahkan lebih parah. Peminjam kesulitan menyicil pinjaman dan bunga.

Rentenir datang lagi menawarkan pinjaman baru. Demikian terus sampai peminjam kewalahan dan harus menjual harta benda yang dimiliki, hingga tak bersisa. Tak heran banyak korban rentenir yang akhirnya mengalami gangguan kesehatan mental.

Aktivitas bisnis pengusaha ultra mikro yang timbul tenggelam (berjualan ketika punya modal) menyulitkan pemerintah daerah dalam mengumpulkan data dan memberi bantuan.

Sementara menurut data BPS tahun 2021,  jumlah UMKM di Indonesia terbanyak di kawasan ASEAN, dan mencapai 65,46 juta unit. Dari jumlah tersebut,  perempuan mengelola 64,5 persen dari total UMKM di Indonesia atau sekitar 37 juta UMKM dengan proyeksi di tahun 2025 memiliki total nilai sebesar USD 135 miliar.

  

maria-g-soemitro.com
sumber: berita satu, Muhammad Yunus (the standard)

Andi Taufan Garuda Putra, Muhammad Yunus dari Ciseeng

Ada kesamaan kasus UMKM perempuan di Indonesia dengan di Bangladesh. Ciri-cirinya antara lain:

  • Mayoritas UMKM berskala kecil atau Ultra Mikro (UMi) dan tidak bankable
  • Berada di piramida terbawah
  • Memiliki semangat “tanggung renteng” atau solider saling membantu
  • Tidak membutuhkan pinjaman modal yang besar
  • Kerap terjerat rentenir hingga usahanya gulung tikar.

Mereka berpotensi meningkatkan perekonomian namun perbankan tidak bisa memberi pinjaman. Selain karena umumnya pelaku UMKM perempuan tidak mempunyai jaminan, mereka juga tidak melakukan pembukuan. Mereka berpendapat, toh uang yang diterima hari itu, setelah disisihkan untuk keperluan harian, akan digunakan sebagai modal esok hari.

Adalah Muhammad Yunus, seorang bankir dari Bangladesh melihat potensi tersebut.  Untuk membantu mereka, penerima penghargaan Nobel ini mengembangkan konsep kredit mikro bernama Grameen Bank. Melalui Grameen Bank, Muhammad Yunus meyalurkan pinjaman berjumlah kecil pada kelompok UMKM perempuan.

Berbeda usia 47 tahun (Muhammad Yunus lahir 1940), Andi Taufan Garuda Putra yang lahir pada tahun 1987 memiliki visi yang sama dalam memecahkan masalah yang dihadapi UMKM perempuan, pada tahun 2009, dia meninggalkan pekerjaannya yang mapan sebagai konsultan bisnis untuk IBM Global Business Service, dan mendirikan koperasi Amartha pada tahun 2010.

Koperasi merupakan lembaga keuangan konvensional yang paling memungkinkan bagi Taufan menyalurkan pembiayaan. Bermodalkan Rp 10 juta, Taufan memulai kiprahnya di kawasan Ciseeng, Bogor, Jawa Barat.

Tidak hanya memberikan pinjaman, Taufan dan kawan-kawan juga melakukan pendampingan. Pembiayaan disalurkan melalui kelompok, atau berbasis kelompok (Model Grameen)

Pembiayaan berbasis kelompok ini memudahkan Amartha untuk monitoring pembayaran dan meminimalisasi risiko gagal bayar. Terbukti rasio Non Performing Loan (NPL)  Amartha di tahun-tahun awal mencapai nol persen, atau tidak ada peminjam yang gagal bayar.

NPL adalah kredit dengan kategori kurang lancar, diragukan atau macet

NPL Amartha dibawah satu persen ketika mulai mengembangkan sayap hingga Sumatera dan Sulawesi.

    

maria-g-soemitro.com
sumber: berita satu, diolah menggunakan Canva

Peer-to-peer Lending Datang, Rentenir Ngacir

Nama “Amartha” berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti air kehidupan yang berkelanjutan. Taufan berharap misi sosialnya memberikan kehidupan yang lebih baik dan berkelanjutan.

Untuk mewujudkannya, Amartha bertransformasi menjadi perusahaan fintech lending/peer-to-peer lending/ P2P lending yang diresmikan OJK pada 17 Mei 2019.

Menurut Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016, fintech lending/peer-to-peer lending/ P2P lending adalah layanan pinjam meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.

Dengan berubah menjadi perusahaan P2P lending, Amartha bisa menghimpun dana masyarakat secara resmi. Sehingga masyarakat bisa berinvestasi sekaligus ikut berperan dalam pengentasan kemiskinan. Karena pengusaha ultra mikro mendapat kemudahaan pembiayaan, tidak lagi bergantung pada rentenir.

Berikut ini keunggulan P2P lending  Amartha yang bisa diperoleh investor:

1. Caranya Mudah

Digitalisasi mempermudah pengajuan pinjaman dan pendanaan. Cukup instal aplikasi  Amartha Microfinance, kemudian masuk ke marketplace dan memilih mitra yang akan didanai.

2. Turut Berperan Dalam Memecahkan Masalah Sosial

Semakin besar potensi ekonomi yang akan terbangun, karena investor bertemu langsung dengan pemilik usaha melalui platform Amartha Microfinance.

3. Keuntungan Bagi Hasil yang Tinggi

Investor akan mendapat keuntungan bagi hasil hingga 15% per tahun.

4. Dana Aman

Dana yang disetorkan pada Amartha Microfinance dijamin aman, karena merupakan perusahaan resmi dan terdaftar OJK. Selain itu, dana juga telah diasuransikan.

Sungguh inspiratif apa yang telah dilakukan Taufan. Padahal mungkin banyak orang memiliki ide yang sama. Namun Taufan berani mewujudkannya, walau itu berarti harus meninggalkan pekerjaan mapan dengan gaji tinggi.

Berkat sosok muda seperti Andi Taufan Garuda Putra, kita bisa berharap masa depan Indonesia yang lebih baik, secara nasional maupun di kancah internasional.

Baca juga:

5 Peluang Usaha untuk Ibu Rumah Tangga di Era Digital

UMi Jangan Sedih, Karena Badai Pasti Berlalu


6 comments

  1. Postingan yang sangat informatif, khususnya bagi saya.

    ReplyDelete
  2. Bagus deh kalau ada solusi lepas dari rentenir. Biar usaha UMKM dapat berkembang dan barokah, ya

    ReplyDelete
  3. Baru ngeh kalau Amartha yang sering diulas oleh banyak teman di blog nya ini ternyata salah satu penerima nominasi satu awards dari Astra ya... Keren emang generasi muda yang memilih keluar dari zona nyaman karena panggilan hati itu

    ReplyDelete
  4. Kebanyakan kepikiran awalnya memang pinjam uang untuk modal, sebagian besar terjerat rentenir.
    Peer to peer landing memang ampuh untuk menjaring pemodal yang bercuan besar sampai kecil karena modal percayanya ada. Sangat membantu usahawan nano maupun mikro yang butuh dana/modal.

    ReplyDelete
  5. Oh, Amartha didirikan oleh seorang mantan bankir sekaligus konsultan bisnis IBM Global Business Service. Membaca trackrecordnya sungguh kagum sekali ya, Ambu.
    Karena ada banyak cara untuk membantu orang lain terutama para UMKM yang dari segi modal, sungguh masih minim untuk berkembang.

    ReplyDelete
  6. Wah keren. Saya selalu salut dengan anak muda yang punya ide cerdas untuk membantu menyelesaikan masalah di Indonesia apalagi sampai merealisasikannya hingga banyak orang merasakan manfaatnya. Soalnya, tantangannya banyak banget. Mulai cari tim yang mau ikut bantu hingga masalah birokrasi. Keren deh patut kita dukung nih 👍

    ReplyDelete