Yuk Dukung Penderita Epilepsi dengan Singkirkan Stigma

    
maria-g-soemitro.com
sumber:freepik.com

Yuk Dukung Penderita Epilepsi dengan Singkirkan Stigma

Apa yang teman ketahui tentang epilepsy?

Pertanyaan di atas biasanya dijawab: “Epilepsi itu ayan ya?” Atau ada yang bisa menjelaskan lebih spesifik “Oh penderitanya tiba-tiba jatuh, kejang-kejang dan keluar busa dari mulutnya”.

Banyaknya masyarakat awam yang kurang memahami tentang penyakit yang saya idap ini membuat saya memilih sebagai tema tulisan kedua One Day One Post (ODOP) Komunitas Indonesian Social Bloggerpreneur (ISB).

Gagal paham bisa berakibat fatal. Seorang teman penderita epilepsy mendapat bullying dari kakak dan adiknya. Perundungan membuat dia depresi berat, gak mau minum obat, mengurung diri di kamar dan akhirnya ditemukan meninggal dunia dalam posisi membenamkan wajah ke bantal.

Kok bisa sesadis itu?

Biang keroknya stigma! Stigma atau labelling disematkan penderita epilepsi sejak dulu kala. Mengutip dari historia.id, pada tahun 1487 terbit buku panduan hukuman untuk penyihir yang berjudul “Malleus Malifacrum”. Para penyihir mempercayai bahwa Tuhan menurunkan epilepsy sebagai hukuman atas persekutuan penyihir dengan setan.

Antara 1487-1520, para hakim di Eropa kerap menjatuhkan hukuman mati pada pengidap epilepsy. Lebih dari 200.000 perempuan dibunuh karena menunjukkan gejala epilepsy. Demikian kutipan “The Disease once sacred: A Brief History of Epilepsy” yang ditulis David A Kaser.

Huhuhu ….. malang nian nasib penderita epilepsy ya?

Baca juga:

Hentikan Stigma Pada Penderita Epilepsi, Kami Manusia Normal!

Life With PKU, Penyakit Langka yang Mengancam Jiwa

Daftar Isi

  • Dulu. Malang Nian Nasib Pengidap Epilepsi
  • Orang Dengan Epilepsi (ODE) di Sekitar Saya
  • Mengenal Epilepsi yang Diidap Tokoh Dunia
  • Punya Kerabat Pengidap Epilepsi?

Stigma terhadap pengidap epilepsy berlanjut hingga abad ke-18. Epilepsy dianggap penyakit mental. Pengidap epilepsy dimasukkan ke rumah sakit jiwa, membuat penderitanya merasa terisolasi, dibuang keluarga dan ditolak masyarakat.

Memasuki abad ke-21, stigma terhadap pengidap epilepsy belum berubah. Terbukti ketika beberapa waktu lalu saya ke dokter spesialis saraf untuk pemeriksaan rutin, saya mendapat pertanyaan dari koas (ko-asisten/dokter muda): “Sebagai pengidap epilepsy, apakah ibu mendapat stigma buruk?”.

Saya juga diminta mengisi kuesioner yang sebagian pertanyaannya terkait dengan stigma buruk pengidap epilepsy.

Segitunya nasib pengidap epilepsy!

  

maria-g-soemitro.com
sumber: freepik.com

Orang Dengan Epilepsi (ODE) di Sekitar Saya

Istilah Orang Dengan Epilepsi (ODE) saya ambil dari Liputan6.com yang mengulas epilepsy. Jujur saya gak nyaman dengan istilah ini. Lebih baik tetap pakai istilah lama dan disamakan dengan penyakit lain, takutnya malah timbul stigma negative yang lainnya.

Pengistilahan ODE mungkin bermaksud baik. Media tersebut mengutip pernyataan Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia, Dr. Irawaty Hawari, SpS yang menjelaskan:

"Penyakit epilepsi tidak berhubungan dengan IQ, bahkan sebagian besar ODE mempunyai IQ rata-rata bahkan di atas rata-rata. Oleh karena itu, penting bagi para ODE untuk mengenali potensi yang ada pada dirinya agar mereka bisa menunjukkan kepada keluarga dan masyarakat sekitar, mereka juga dapat berprestasi.”

Kenyataan di lapangan memang bikin pedih, jangankan berprestasi, banyak pengidap epilepsy dikeluarkan dari sekolah oleh orang tuanya. Mereka terpaksa tidak menamatkan sekolah karena orangtua kawatir dan tidak memahami bahwa anaknya sanggup sekolah dan berprestasi.

Salah satunya menimpa adik kandung adik ipar saya. Lebih jelasnya, hubungan kekerabatannya begini: Adik laki-laki saya, D menikah dengan perempuan bernama Y. Nah Y mempunyai adik kandung perempuan bernama A yang mengidap epilepsy. 

Jadi A  dan saya gak ada hubungan darah, hal ini membuktikan pernyataan banyak dokter ahli bahwa penyakit epilepsy tidak diturunkan. Dan memang, dalam silsilah keluarga saya, gak ada yang mengidap epilepsy.

Kembali ke kasus A, dia tidak menamatkan sekolah lanjutan pertama (SMP) karena orang tuanya was-was, takut anaknya mengalami kekambuhan saat sedang belajar, serta kala berangkat/pulang sekolah.

Padahal kekambuhan bisa diredam dengan disiplin minum obat. Andai pun mengalami kekambuhan, bukankah bisa titip pada guru dan teman sekolah. Toh kekambuhan tidak berulang-ulang terjadi sehingga mengganggu proses belajar mengajar.

Mengapa?

Karena pengidap epilepsy harus mengontrol dirinya agar tidak kambuh. Setiap mengalami kekambuhan akan terjadi kerusakan sel-sel otak. Semakin sering kambuh akan semakin banyak sel otak yang rusak. Jadi pengidap epilepsy wajib mengontrol kesehatan dan disiplin minum obat agar tidak alami kekambuhan.

   

maria-g-soemitro.com
sumber: freepik.com

Mengenal Epilepsi yang Diidap Tokoh Dunia

Sebetulnya apa sih epilepsy?

Dikutip dari alodokter.com:

Epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat akibat pola aktivitas listrik yang berlebihan di otak. Hal ini menyebabkan penderitanya mengalami kejang secara berulang pada sebagian atau seluruh tubuh.

Apabila pernah melihat pengidap epilepsy tiba-tiba jatuh dan kejang, bisa diartikan dia sedang mengalami kekambuhan pada seluruh tubuh atau kejang total. Sedangkan pengidap epilepsy yang mendadak terdiam selama beberapa detik/menit, kemudian melanjutkan aktivitas seperti tidak terjadi apa-apa, termasuk kekambuhan sebagian atau kejang parsial.

media.neliti.com menjelaskan secara sederhana begini. Otak manusia terdiri dari miliaran sel yang disebut dengan neuron. Setiap sel saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk menjalankan fungsi otak seperti pikiran, emosi dan perilaku,

Komunikasi antar sel membentuk aktivitas listrik yang bergelombang dan membentuk pola aktivitas listrik. Nah, pada penderita epilepsy aktivitas listrik ini kerap terganggu sehingga muncul kekambuhan.

Agar tidak muncul kekambuhan, pengidap epilepsy harus konsultasi dengan spesialis saraf dan mengonsumsi obat secara teratur. Dosis obat bisa dikurangi atau bahkan di beberapa kasus pengobatan dihentikan kala pasien dinyatakan sembuh..

Seorang tetangga saya di Sukabumi beruntung sembuh dari epilepsy. Dia mengidap epilepsy bukan sejak lahir, melainkan sekitar 5 tahun setelah mengalami kecelakaan hebat sewaktu mengendarai sepeda motor dari Sukabumi – Bandung.

Selain wajib disiplin minum obat, pasien epilepsy juga harus cukup beristirahat, tidur berkualitas 7-9 jam sehari. Karena kesehatan fisik dan psikis yang menurun bisa menyebabkan kekambuhan.

Khusus perempuan, kekambuhan juga kerap terjadi saat menstruasi atau saat terjadi perubahan hormon lainnya

Mengenali tubuhnya merupakan hal mutlak yang harus dikerjakan seorang pengidap epilepsy. Karena tidak semua pengidap epilepsy mengalami gejala yang sama. Saya misalnya, hanya mengalami kekambuhan di lengan kiri. Saya juga tidak pernah mendadak jatuh dan kejang-kejang,

Kasus saya memang mirip kisah tetangga di atas. Setelah jatuh dari pohon saat masih usia taman kanak-kanak, sekitar 5 tahun kemudian mengalami kekambuhan pertama. Sayang di Kota Sukabumi  tidak ada dokter spesialis saraf. Sehingga terlambat ditangani dan hingga kini harus bergantung pada obat..

Beruntung saya tidak pernah “merasa sakit”. Almarhum ibunda pun tidak pernah memanjakan saya. Malah dalam tulisan berikut, saya menulis betapa “kejam”nya ibunda mengajarkan adversity quotient,

Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup

Gak heran, saya gak mengalami hambatan berarti ketika memutuskan kuliah sambil bekerja. Padahal seperti diuraikan di atas, seorang pengidap epilepsy harus cukup istirahat. Sementara akibat  kuliah sambil bekerja, saya sering terpaksa kurang tidur.

Kondisi ini membuktikan pernyataan Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia, Dr. Irawaty Hawari, SpS bahwa seorang pengidap epilepsy bisa berprestasi. Juga telah terbukti sejumlah pengidap epilepsy terbukti berhasil mengubah sejarah dunia.

Tokoh dunia pengidap epilepsy tersebut antara lain filsuf Socrates, seniman Van Gogh, pejuang Perancis Joan of Arc, diktator Perancis Napoleon, filantropis Nobel, dan aktor Hollywood Danny Glover.

     


Punya Kerabat Pengidap Epilepsi?

Inilah tujuan utama saya menulis tentang epilepsy, yaitu mengajak anggota keluarga di sekeliling penderita epilepsy untuk peduli. Diantaranya saat penderita epilepsy mengalami kekambuhan.

Dikutip dari hellosehat.com serta saran dokter yang diberikan pada keluarga saya, kurang lebih berikut:

  • Tetap tenang. Jangan panik karena kekambuhan akan mereda dengan sendirinya.
  • Longgarkan pakaiannya dan singkirkan benda tajam dan berbahaya dari sekitarnya.
  • Hitung waktu kejang dari awal hingga akhir. Jika lebih dari 5 menit, penderita epilepsy mungkin membutuhkan bantuan lebih lanjut dari dokter.
  • Secara perlahan baringkan dalam posisi miring, taruh bantal dan buka rahangnya untuk membuka jalur pernapasan. Saat kekambuhan penderita nampak tercekik dan menggigit lidah, namun jangan memasukkan barang apapun ke mulutnya.
  • Teruslah berkomunikasi dengan penderita. Setelah sadar, dia mungkin merasa linglung dan lemas. Apabila berada di rumah biarkan dia tidur. Namun jika berada di tempat asing, temani dia hingga membaik.

Bagaimana dengan aktivitas sehari-hari?

  • Ingatkan dia untuk disiplin minum obat. Penderita epilepsy yang kerap mengalami kekambuhan berpotensi mengalami penurunan kemampuan otak dalam berpikir dan mengingat. Ini berkaitan dengan penjelasan diatas tentang sel otak yang mengalami kerusakan ketika penderita epilepsy mengalami kekambuhan.
  • Stigma dan kekambuhan yang kerap terjadi berakibat pada factor psikologis seperti kecemasan, penurunan harga diri dan penurunan kepercayaan diri. Dukung dia untuk mengenali potensi yang dimiliki dan bantulah dia untuk mengembangkannya.
  • Faktor sosial juga akan terganggu. Banyak penderita epilepsy menarik diri dari pergaulan. Penyebabnya stigma negative yang membuat masyarakat umum takut dan tidak mau bergaul dengan penderita epilepsy. Alih-alih ikut membully, besarkan hatinya dan tunjukkan bahwa banyak tokoh dunia yang mengidap epilepsy.

Seperti kisah di awal tulisan, ketidak tahuan sering membuat anggota keluarga membully penderita epilepsy dengan mengatakan “lelet”. “lemot”. “error” dan sejenisnya.

Padahal ada kemungkinan penderita epilepsy merasa bingung  paska kejang parsial yang berlangsung beberapa detik atau beberapa menit.  Bullying akan membuat penderita epilepsy merasa tertekan, depresi dan akhirnya bunuh diri,

Jika sudah demikian, anggota keluarga yang membully merasa bersalah gak ya?

Baca juga:

Berkebun Tomat, Cara Cerdas Hindari Kanker

Nggak Hanya Vidi Aldiano, Kamu Juga Bisa Terkena Kanker!


28 comments

  1. Jadi ingat salah satu momen/bagian di serial Reply 1988 ya bun. Saat Deok Sun diminta oleh mama temennya untuk ngebantu kalau tiba-tiba epilepsi kumat. Dari serial itu aja aku belajar banyak, misalnya saat Deok Sun nggak mempermasalahkan pakai sendok temennya.

    Nah dari tulisan yang lengkap ini aku jadi makin paham. Makasih sudah menuliskannya.

    ReplyDelete
  2. Bahas epilepsi jadi ingat satpam penjaga sekolahku dl. Lagi duduk2 santai, tiba2 bapak itu terjatih dan kejang. Rasanya sedih banget melihatnya.


    Benar banget Ambu, kita harus mengubah stigma kita dengan hal positif. Terkadang orang2 di sini itu, melihat penyitas yang langka, dianggapnya orang spesial. Spesial yg hal negatif ya bukan positif. Akhirnya mereka di bully. Sedih banget ya.

    Ayolah hilangkan pikiran2 spt itu. Orang tersebut juga pasti gak mau mengidap penyakit langka itu. Jadi yuk saling bermpati, simoati, perhatian, berikan semangat.

    ReplyDelete
  3. Saya pernah melihat orang yang epilepsi, duh kalau sudah jadi kasian banget yah. Bener, harus ada yang mengingatkan untuk disiplin konsumsi obat.

    ReplyDelete
  4. Baru tahu tentang epilepsi ini, selama ini cuma pernah denger nama nya aja. Ternyata saat penyakitnya kambuh bisa bikin kejang gitu ya?

    ReplyDelete
  5. Setuju banget, stigma itu bisa berakibat fatal. Tapi bagaimana ya itu bisa muncul tanpa kita sadari, saya sadar kadang kalau lihat orang cacat stigma buruk saya suka muncul. Makanya perlu berlatih empati lagi nih.

    ReplyDelete
  6. Kadang pelabelan terhadap suatu penyakit dirasa kurang tepat ya, ada yang memanfaatkan untuk membuli. Epilepsi bisa dicegah dengan minum obat teratur ya. Agak khawatir jika tiba2 di jalan kejang2 gitu.

    ReplyDelete
  7. Tulisan yang mencerahkan ambu Maria.Stigma masyarakat memang terlalu jahat untuk penderita epilepsi.Padahal tidaklah separah yang dibayangkan,asal disiplin minum obat, cukup istirahat masalahnya bisa diatasi ya ambu bahkan bisa berprestasi.

    ReplyDelete
  8. butuh banget nih artikel seperti ini, biar lingkungan tidak gampang nge-judge. kasian mereka penderi epilepsi, memangnya mereka bisa nolak gitu ya?

    ReplyDelete
  9. sama seperti kusta, masih banyak lorang yang belum paham terhadap penderita epilepsi yaa. Masih banyak yang memandang mata pada penderitanya padahal epilepsi ini gak menular jadi orang gak perlu takut dekat-dekat dengan penderita epilepsi

    ReplyDelete
  10. Aku paling gak suka dengan diskriminasi karena bisa bikin down. Termasuk diskriminasi kusta, penderita epilepsi dll.

    ReplyDelete
  11. Sedih banget ya, karena kurangnya pengetahuan tentang epilepsi, jadinya malah dibully lemot gitu, malah makin stres dong penderita epilepsi :(
    Memang penting banget untuk kampanyekan tentang pengetahuan epilepsi, jadi makin banyak yang lebih peduli dan memberikan support kepada penderita epilepsi

    ReplyDelete
  12. Peluk, Ambu..Senang bisa tahu apa itu epilepsi dan stigma yang sampai kini masih dihadapi penderitanya. Saya belum pernah lihat sendiri orang epilepsi yang sedang kambuh. Saya setuju jika semua orang apapun penyakit yang dideritanya punya hak yang sama. Termasuk hak belajar dan menjalani hidup dengan normal, sesuatu yang mungkin tidak semua penderita epilepsi bisa dapatkan

    ReplyDelete
  13. Cucu saya epilepsi Ambu. Sekarang msh minum obat, bertahap dikurangi dosisnya. Doakan sembuh total yah...

    ReplyDelete
  14. Saya saluuut banget. Mengenai siswa sekolah yang mengidap epilepsi, coba ya diberikan edukasi ke lingkungan sekitar, mulai dari siswa-siswa, guru, penjaga sekolah, sampai ortu yang mengantar jemput, bahwa ada siswa pengidap epilepsi di sana. Diedukasi bahwa mereka itu sama saja dengan kita. Tapi kondisi tertentu saat kambuh, sekeliling harus bisa membantu dan bantuan seperti apa yang dibutuhkan disampaikan juga. Macam di sekolah anak saya gitu.

    ReplyDelete
  15. Baru tahu tentang Epilepsi ini secara lebih dekat, soalnya cuma tau kalau pengidapnya bakalan kejang-kejang secara mendadak. Terima kasih infonya Ambu

    ReplyDelete
  16. Tak gampang memang ya Mbak memiliki penyakit yang bisa kambuh sewaktu-waktu. Saya pernah beberapa kali melihat penderita epilepsi yang kambuh di area umum. Salah satunya saat sedang di restoran bersama keluarga dengan meja yang persis bersebelahan dengan sebuah keluarga yang anaknya penderita epilepsi. Saat sedang makan, sang anak kumat. Tetiba jatuh dari kursi dan kejang-kejang.

    Kami menahan diri untuk tetap santai tanpa bertanya tapi tetap memperhatikan. Saya segera menghubungi petugas resto untuk membawakan handuk dan minuman (air putih) hangat. Saya berdiri disamping sang Ibu dan tetap tenang. Hingga akhirnya si anak sadar dan ibu ini menceritakan bahwa anaknya kena epilepsi karena pernah tertabrak motor lumayan parah sehingga kepalanya terbentur hebat.

    Saya menahan air mata Mbak. Anaknya persis seumuran anak sulung saya.

    Mbak Maria, sehat-sehat terus ya. Imbangi kegiatan dengan istirahat. Seperti yang ditulis diatas, salah satu cara agar epilepsi tak kambuh adalah dengan menjaga keseimbangan hidup.

    ReplyDelete
  17. Perlunya peka terhadap diri ya, sehingga bila ada gejala lekas ditangani. Begitupun untuk keluarga juga harus memahaminya.

    ReplyDelete
  18. Saya juga menjumpai banyak anak penderita epilepsi juga merangkap autis. Banyak bangettttt kasusnya. Ini tentu semakin berat bagi orang tua. Masyarakat kita sehendaknya memberi dukungan moril, bukan menyudutkan. Setahu saya epilepsi tidak mungkin kambuh selama penderita menghindari faktor2 pemicu kambuhnya, juga rutin minum obat.

    ReplyDelete
  19. ambu, tulisanmu yang ini bagusss banget, baik secara isi maupun secara runut penulisan. Aku serasa baca rangkuman beberapa buku dan informasinya yang padat terserap dengan baik karena kalimatnya sederhana meski padat isinya. Suka banget dengan tulisanmu ini, Ambu. Makasih ya

    ReplyDelete
  20. saya punya guru sd yang epilepsi, ambu. inget, dulu sering kambuh. tapi biasanya, mungkin sudah mengenali gejala ya, tiap mau kambuh, siap pulang. mereka tinggal di dekat sekolah. mungkin dengan sengaja, akhirnya. karena sebelumnya tinggalnya agak jauh. ngga tau juga, mungkin belakangan hari makin parah. jadi mereka memutuskan tinggal dekat sekolah.

    ReplyDelete
  21. Mengetahui referensi epilepsi dan kesehatan, mengurangi stigma penting

    ReplyDelete
  22. Selama ini saya tahunya epilepsi ya penyakit ayan itu. Blas gak tahu juga kayak gimana sakitnya, soalnya belum pernah lihat langsung. Untung baca informasi di sini, jadi bisa tahu suatu saat kalau dihadapkan pada kondisi yang demikian. Kan pasti kaget/panik ya, misal kita gak tahu gimana epilepsi itu, terus tahu-tahu ada orang sekitar kita yang punya penyakit tersebut, dan kambuh..

    ReplyDelete
  23. Selama ini saya tahunya epilepsi ya penyakit ayan itu. Blas gak tahu juga kayak gimana sakitnya, soalnya belum pernah lihat langsung. Untung baca informasi di sini, jadi bisa tahu suatu saat kalau dihadapkan pada kondisi yang demikian. Kan pasti kaget/panik ya, misal kita gak tahu gimana epilepsi itu, terus tahu-tahu ada orang sekitar kita yang punya penyakit tersebut, dan kambuh..

    ReplyDelete
  24. Terimakasih, Ambu..
    Jadi ada insight baru mengenai Epilepsi. Anaknya mas ada yang kejang-kejang begini dan gejalanya sungguh bikin panik. Karena kami sekeluarga gak ada yang memiliki riwayat Epilepsi.

    Sehingga saran dan masukan datang dari sana sini, namun mas saya selow aja. Mungkin karena sudah tahu penangannya yaa.. Sedangkan pihak keluarga lain menganggap ini adalah bentuk ketidakpedulian sang orangtua karena gak cari dan berobat ke dokter spesialis.

    ReplyDelete
  25. Emang dalam masyarakat penderita epilepsi sering dipandang sebelah mata, padahal itu tidak menular dan bisa melukai perasaan mereka. Karena itu kita seharus tidak ikutan memandang mereka sebelah mata.

    ReplyDelete
  26. Iya selama ini kalau di kampung ada penderita epilepsi suka dipandang sebelah mata. Tak terbayangkan bagaimana jika ia atau saudara yang punya penyakit demikian ya?
    Apapun penyakitnya, kita sebaiknya tidak menjatuhkan keputusan sepihak, alih-alih membantu, ya please paling tidak jangan nambah beban bagi penderita

    ReplyDelete
  27. Waktu kecil dulu aq pernah liat sendiri orang pas epilepsinya kambuh kejang2 gitu ambu, dan itu melekat sekali dalam ingatan sampe sekarang masih keingat terus kalo ketemu orang itu.

    ReplyDelete
  28. Dulu pernah liat orang epilepsi dan iya aku taunya epilepsi tuh ayan ambu. Duh sedih banget itu yang di abad ke 18 sampai dimasukkan ke rumah sakit jiwa gara2 stigma negatif terhadap penderita epilepsi ya :(

    ReplyDelete