Resolusi 2025: Slow Living agar Lebih Bersyukur
Pernah merasa terjebak multitasking? Kebiasaan multitasking saya lakukan sewaktu anak-anak masih kecil. Mengurus 4 anak yang hanya berjarak 1-3 tahun membuat saya merasa dikejar-kejar waktu. 24 jam sehari terasa kurang. Sehingga saya terbiasa melakukan 2 hal sekaligus, seperti memasak sambil menelepon, menunggui anak belajar sambil menjahit, bahkan jika bisa 3 pekerjaan sekaligus! ðŸ˜ðŸ˜
Kebiasaan ini terbawa hingga mereka dewasa, dan satu persatu meninggalkan rumah. Saya tetap multitasking, hanya berbeda aktivitas. Memasak sambil mendengarkan Ngaji Filsafatnya Pak Fahruddin Faiz, nyetrika sambil nonton drama Korea (eh 😀😀 )
Akibatnya bisa ditebak. Rasa masakan gak karuan. Baju bolong karena lupa ngatur panas setrikaan, serta kekacauan lainnya.
Apa yang saya alami ternyata adalah “kutukan multitasking”, dan termasuk ke dalam fast culture, seperti dijelaskan Pak Faiz dalam kontennya yang berjudul “Carl Honoré - Slow Living” di kanal YouTube MJS Channel.
“Mengerjakan dua hal sekaligus tampak begitu cerdik, begitu efisien, begitu modern. Namun yang sering terjadi adalah mengerjakan dua hal secara tidak baik. Seperti saya membaca koran sambil menonton TV – dan yang terjadi saya kurang mendapat manfaat dari keduanya. (Carl Honoré-In Praise of Slowness)
Tapi yang paling bikin makjleb adalah penjelasan Carl Honoré tentang fast culture:
We Are Slaves to Our Schedules (Carl Honoré-In Praise of Slowness)
Huhuhu iya banget ya?
Baca juga:
Jelajah Pasar Tanjungsari, Cara Asyik untuk Me Time
Healthy Boundaries, Agar Kamu Gak Meledak!
Daftar Isi
- Introspeksi Diri Sebelum Resolusi
- Slow Living Bukan Berarti Malas atau Harus Hidup di Desa
- Resolusi 2025: Slow Food dan Slow Travel
Saya ngerasain sih dampak negative fast culture, namun sebelum memutuskan slow living sebagai resolusi 2024, saya mencoba introspeksi diri. Apa sih yang menjadi penyebab saya “kemrungsung” dan akhirnya melakukan multitasking?
Jawaban pertama: Nampaknya saya terobsesi untuk melakukan pekerjaan sebaik/sesempurna mungkin. Hal yang terbawa sampai sekarang. Saya tak ragu membuat lagi artikel untuk paid post apabila dirasa tulisan pertama (menurut saya) kurang lengkap.
Sementara itu, siapa pun tahu, sulit sekali mencapai kesempurnaan atau lebih tepatnya, nilai sempurna itu tergantung cara pandang seseorang. Apa yang menurut saya baik/sempurna, tidak selalu sama/sesuai dengan pandangan orang lain.
Jawaban kedua: Saya membuat jadwal ketat untuk diri sendiri, seperti bangun pagi trus mandi, solat, minum teh hangat, dandan, jalan, kaki pagi keliling kompleks, dan seterusnya. Mirip autopilot yang membuat saya gelisah jika ada yang terlewat/tidak dikerjakan.
Untuk memperoleh aktivitas yang berkualitas, harusnya saya lebih luwes pada diri sendiri, seperti sebelum menulis, jauh hari saya telah melakukan riset sehingga tidak mepet waktu, mengatur jadwal sesuai prioritas, dan seterusnya.
Slow Living Bukan Berarti Malas atau Harus Hidup di Desa
Yup salah banget jika ada yang mengira bahwa slow living tidak bisa diterapkan di kota-kota besar. Apalagi jika menghubungkan slow living dengan mager atau sedentary lifestyle (gaya hidup yang tidak aktif/terlalu banyak duduk).
Andai tinggal di kota besar yang mengharuskan kita untuk naik turun transportasi publik, alih-alih scroll-scroll media sosial, mengapa tidak menikmati perjalanan dengan memandang sekitar dan meresapi pengalaman hari itu?
Karena menurut Carl,
Slow living adalah filosofi hidup yang menekankan pentingnya memperlambat ritme kehidupan untuk menikmati momen, mendalami pengalaman, dan menghargai kualitas daripada kuantitas dalam segala aspek kehidupan.
Slow living memang merupakan kritik terhadap fast culture yang menyebabkan menurunnya kualitas hidup, melewatkan pengalaman berharga (seperti makan bersama keluarga, menikmati keindahan alam).
Selain itu fast culture menciptakan kehidupan yang dangkal, orang melakukan banyak hal dengan tergesa-gesa, tanpa apresiasi yang mendalam.
Dan yang paling mengkhawatirkan, fast culture kerap menjadi penyebab stress kronis, kelelahan, dan masalah kesehatan lainnya. Orang merasa harus selalu produktif dan berkompetisi, akibatnya pelaku fast culture mengabaikan kebutuhan tubuh untuk istirahat dan mengalami burnout.
Untuk mengatasinya, Carl menawarkan gaya hidup slow living yang berarti:
Bersikap lambat berarti mengendalikan ritme hidup sendiri. Engkau yang memutuskan seberapa cepat harus melangkah dalam konteks apa pun. Jika hari ini aku ingin melangkah cepat, aku akan melangkah cepat. Jika besok aku ingin melangkah lambat, aku akan melangkah lambat.
Dengan kata lain, slow living mengajak pelakunya untuk memperjuangkan hak untuk menentukan tempo sendiri.
Karena tanpa disadari kita telah menjadi “budak” atas schedule yang kita buat sendiri. Juga menjadi “budak” atas target jangka panjang maupun jangka pendek yang kita buat sendiri. Padahal semua itu (schedule, target dan lainnya) dibuat oleh kita. Lha, mengapa kita tidak menikmati prosesnya?
Resolusi 2025: Slow Food dan Slow Travel
Konon Einstein terkenal kerap menghabiskan waktu selama berjam-jam hanya untuk menatap angkasa di kantornya di universitas Princeton.
Masuk akal ya? Para pemikir berhasil mengembangkan beragam karya karena mampu mengubah pikiran ke kecepatan rendah.
Di umur segini, tentu saja saya gak berharap menjadi sekaliber Einstein atau Charles Darwin. Namun saya bisa meniru gaya hidup mereka dalam menikmati proses.
Salah satunya adalah slow food. Tanpa sengaja, sebetulnya sudah beberapa tahun saya mempraktekkan slow food. Berawal mengikuti “food combining” saya berlatih menyantap berbagai sayuran mentah seperti taoge, sirih tumpang air (yang dulu saya anggap gulma, ternyata banyak khasiatnya), dan masih banyak lagi.
Saya juga mulai belajar menikmati dan mengeksplorasi bahan pangan yang nampak sederhana dan mudah ditemui. Seperti membuat sambal tempe yang kaya rasa. Dengan mengandalkan “ rasa tempe” yang gurih, dan tidak merusaknya dengan perasa tambahan seperti gula, MSG, Masako, royco dan sejenisnya.
Sambal tempe dibuat dengan mengolah tempe (bisa digoreng atau sautéing), kemudian dipenyet dengan garam, cabai rawit, bawang putih dan kencur. Daun kemangi sebagai lalapan ikut dipenyet untuk menambah rasa dan aroma.
Slow food yang saya lakukan memang belum plek sama dengan yang dimaksud Carl, tapi minimal sudah menuju ke sana. Berikut beberapa perbedaan fast food vs slow food menurut Carl:
Fast Food
Sering mengandalkan bahan-bahan yang diproduksi secara massal, yang berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas lokal.
Fast food juga mendorong orang untuk makan dengan cepat, tanpa benar-benar menikmati rasa dan memperhatikan nutrisi makanan mereka.
Slow Food
Menggunakan bahan-bahan lokal, organik, dan musiman. Hal ini tidak hanya meningkatkan rasa dan kualitas makanan, juga mendukung petani dan produsen lokal.
Resolusi 2025 lainnya adalah slow travel yang juga telah saya mulai tahun 2024. Alih-alih mengikuti paket wisata yang berulang kali ditawarkan oleh beberapa orang teman, saya memilih berangkat sendiri.
Hasilnya? Destinasi yang saya kunjungi memang gak sebanyak paket wisata, namun saya puas. Saya bisa menikmati kuliner lokal sambil mendengar warga yang berceloteh. Dan ketika saya ingin beristirahat, saya melakukannya dengan bebas. Tanpa beban.
Fast Travel
Pada fast travel, perjalanan sering dilihat hanya sebagai cara untuk mencapai tujuan secepat mungkin.
Fast travel juga seringkali dikontrol oleh jadwal yang ketat dan paket wisata yang sudah dirancang sebelumnya. Karena fast travel kerap dikelola industry pariwisata besar dan global.
Slow Travel
Pada slow travel, pelaku menikmati proses perjalanan itu sendiri, baik melalui pemandangan, interaksi dengan orang lain, atau momen refleksi di sepanjang jalan.
Slow travel cenderung menghabiskan waktu di suatu tempat, mendukung bisnis lokal seperti penginapan kecil, restoran keluarga, dan kerajinan tangan.
Slow travel juga memungkinkan fleksibilitas dan kebebasan untuk mengeksplorasi, beradaptasi dengan ritme lokal, dan menemukan hal-hal tak terduga sepanjang jalan.
Dalam mengimplementasikan slow travel saya diuntungkan oleh “kelemahan” saya, yaitu kerap merasa pusing ketika melihat layar ponsel yang bergoyang-goyang di atas kendaraan yang sedang melaju.
Jadi, setelah mengirim beberapa pesan, biasanya saya menyimpan ponsel di dalam tas, kemudian menikmati perjalanan, seperti menebak-nebak bangunan yang terlihat dari balik jendela, menikmati keindahan awan yang berarak tertiup angin, dan lainnya.
Bahkan pemandangan orang yang buang sampah sembarangan bisa membuat saya berkelana jauh: Apa yang tersirat dalam pikiran orang itu? Apakah di lingkungan orang itu tidak ada organisasi yang mengelola sampah, dan seterusnya.
Bagaimana, menarik bukan? Jujurly saya menyesal baru mengenal slow living ini. Apalagi setelah tahu Carl Honoré telah menerbitkan buku In Praise of Slowness pada tahun 2004.
Alasan menyesal, karena selain fast culture, selain slow food dan slow travel, sebetulnya Carl juga menawarkan slow parenting. Seperti apa? Kita bedah dalam tulisan berikutnya ya?
Baca juga:
A Day in My Life, dari Faskes ke Faskes Tanpa Uang Tunai
Hukum Rimba di Jalanan, karena Mereka Butuh Keteladanan
Aaa sambal tempe favorit bapak mertuaku... aku pun jg jd suka... kutunggu slow parentingnya, Ambu..
ReplyDeleteAku seminggu 3 kali nyetir sambil zoom sama mahasiswa. Mereka presentasi, aku yg dengerin sambil mengajukan pertanyaan. Aku juga bisa tahu kalau ada mahasiswa yg ketiduran atau gak nyimak, hehehe. Tapi setuju sih kalau kita seperti diperbudak oleh jadwal.
ReplyDeleteSlow living beneran masuk planing ku tahun depan… pingin hidup teratur, disiplin tapi juga nyantai
Cocok banget Bu, intropeksi sebelum resolusi. Jadi jangan karena ikut-ikutan. Atau sebenarnya gak harus begitu tapi dibilang begitu... Yang sejujurnya dibutuhkan diri aja itu yg dilakukan ya
ReplyDeleteDuuh baca sub judulnya slow travel aku udh deg2an. Akhirnya lega tenyata defenisi slow travel bukan seperti yang aku bayangkan, (mengurangi Travelling). Bahkan slow travel lah yang selama ini kulakukan. Lebi senang traveling dengan "slow" menikmati perjalanan dengan sebenarnya. Tinggal slow food aja nih ..
ReplyDeletePerlambatan ritme kehidupan bukan berarti leyeh² ke arah malas, tetapi bisa sejenak sambil berpikir dan merenungi apakah yang sudah atau akan dilakukan memang hal yang tepat sih ya?
ReplyDeleteDi dunia yang makin gesit tak terkendali ini, slow living bisa jadi alternatif yang baik untuk hidup yang lebih bermakna.
ReplyDeleteSemoga resolusi tahun ini tercapai dan bisa bikin dirimu jadi lebih baik, ya
ReplyDeleteSaya merasa juga hidup seperti dikejar-kejar waktu. Apalagi saat berkegiatan di luar di Jakarta. Orangnya kemrungsung semua...akhirnya kadang jadi terbawa.
ReplyDeleteSetuju jika gaya seperti ini bakal membuat makna hidup jadi hampa.
Nah..tulisan Ambu menginspirasi saya tahun ini berusaha lebih menikmati, mengontrol ritme aktivitas dan lebih slow menjalaninya
Slow living ini perlu banget yaa..
ReplyDeleteAku juga tuh, kalau nyetrika barengan sama ngedrakor, jadinya ya setrikaan gk kelar2, yang ditonton pun ntah apa, karna jadinya malah gk fokus dua2 :(
Saya punya pemikiran yang sama Mbak. Berharap mulai 2025 bisa lebih mempraktekkan slow living khususnya dalam hal makanan. Harus lebih selektif, lebih sehat, dengan minimum budget. Apalagi dengan usia yang semakin bertambah, saya lebih dituntut untuk bijak mengkonsumsi apapun supaya kesehatan lebih terjaga dengan sebaik mungkin.
ReplyDeleteSebenernya, akutu bisa banget slow living..
ReplyDeleteTerutama pas lagi gak ke distract ama gadget. Jadi bener-bener menikmati waktu untuk melakukan satu hal aja.
Pas pulkam, misalnyaa.. aku gak biasa di rumah Ibuk atau Mamah, tapi masih fokus ke HP. Jadi seringnya slow living kalo lagi kumpul ama keluarga besar.
Kalau sehari-hari jadi ga slow living karena di rumah gak ada yang nemenin yaa..
huhuhu..
Kalau saya 2025 pengen bisa nurunin berat badan mbak. hehehe
ReplyDelete