Hukum Rimba di Jalanan, karena Mereka Butuh Keteladanan
“Kunci motor saya diambil, terus saya disuruh jongkok seharian, bu,” curhat seorang driver transportasi online (ojol), ketika mengantar saya pulang ke kawasan Cinanjung, Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Saya memesan layanan ojek online dengan rute Jatinangor menuju Cinanjung. Di tengah perjalanan sang driver mohon izin untuk mencopot jaket berlambang logo perusahaan tempat dia bergabung.
Dia beralasan, takut akan bertemu ojek pangkalan (opang) dan terjadi keributan, seperti yang beberapa kali dia alami di kawasan Cileunyi – Cibiru Bandung. Dia berkisah waktu itu sepeda motornya diberhentikan secara paksa, kunci motornya diambil dan dia dihukum jongkok seharian oleh sekawanan driver opang.
“Penumpangnya kemana?” tanya saya.
“Lari, bu,” jawab sang driver.
“Oh andai itu saya, bakal saya lawan. Saya akan bilang, lha ini duit saya. Mau saya pakai untuk bayar opang atau ojol, terserah saya dong,” kata saya menimpali sambil merasa kesal.
Baca juga
Lihat KDRT? Lawan atau Laporkan!
7 Suka Duka Tinggal di Kampung
Daftar Isi:
- Hukum Rimba di Jalanan
- Kisah-kisah Driver Ojol
- Kisah Pengamen
- Mereka Butuh Keteladanan
Kisah pilu driver ojol bukan kali ini saja saya dengar. Hukum rimba ala preman yang bikin driver ojol tak leluasa beroperasi. Bukan takut, namun malas berurusan karena driver opang ini berkelompok, sementara sang driver ojol hanya sendirian.
Saya pun terpaksa ikut waspada. Seperti ketika pulang dari Pasar Tanjungsari. Saya melihat di sayap selatan dan sayap utara pasar berkumpul driver opang, malah mereka aktif menawarkan jasa.
Tak mau ribut, saya memesan layanan ojol agak jauh dari tempat nongkrong tersebut. Sembari siap menggertak, jika ada yang mengganggu driver ojol yang datang sesuai pesanan dari aplikasi.
Hehehe galak ya? Biarin ah!
Pastinya bukan tanpa alasan. Andai masuk kisah serial Upin Ipin, saya memosisikan sebagai Kak Ros yang tak ragu mencubit kala kedua adiknya ini berbuat nakal kelewat batas.
Bukan tanpa alasan Kak Ros demikian galak. Dia ingin Upin Ipin menjadi pribadi yang bertanggung jawab.
Demikian pula saya. Membiarkan driver opang melakukan hukum rimba berarti membiarkan mereka melakukan tindakan kriminal.
Perumpamaan problem sosial dengan dongeng (eh, atau kebalik ya? 😊😊) muncul ketika saya sedang menyimak blog seorang teman, Bambang Irwanto si Kurcaci Pos yang aktif menulis tentang buku cerita anak.
Isi Blog Berbagi Cerita dan Ceria sangat mengasyikan. Juga ampuh menurunkan tensi saya yang kerap naik sewaktu melihat ketidak adilan. Karena ketika memandang problem sosial dari kaca mata seorang anak, otomatis bibir pun tersenyum.
Seperti ketika saya keliru memencet salah satu fitur aplikasi, sang driver ojol mengoreksi tapi gak tahu caranya. Dia beralasan: “gak bisa Bahasa Inggris”.
Hehehe … gagap budaya, hukum rimba dan pengabaian hukum saling berkelindan sampai akhirnya menjadi boomerang. Perusahaan transportasi online sebetulnya mengajak driver opang bergabung, bahkan tatkala recruitment untuk umum sudah tutup.
Sayang, tidak semua driver opang bisa bergabung. Banyak kendaraan mereka tidak memenuhi syarat, baik fisik maupun surat-suratnya.
Kisah-kisah Driver Ojol
“Saya buka aplikasi ketika suami sudah berangkat kerja, bu,” kata driver perempuan yang kemudian menjadi langganan saya.
Lebih tepatnya, ketika saya membuka aplikasi ojol di kawasan Cinanjung, dari sekian driver yang menerima pesanan, dia satu-satunya driver perempuan, sehingga sering saya ajak ngobrol.
Dia berkisah, nafkah dari suaminya sebetulnya cukup. Namun dia tak bisa berpangku tangan sewaktu anaknya masuk sekolah lanjutan. Kebutuhan biaya pendidikan bertambah banyak, terlebih jika sang anak ingin meneruskan ke perguruan tinggi.
Perempuan cantik ini mendaftar sebagai driver ojol dan hanya bekerja ketika suaminya berangkat kerja. Aplikasi dia tutup setelah suaminya pulang kerja. Dia juga menunggu pesanan dari rumah, tidak ikut nongkrong bareng driver ojol lainnya.
Tidak semua driver ojol bisa tertib. Hal tersebut terjadi pada suami dari adik sepupu saya. Ketika menurut kalkulasinya, penghasilan sebagai driver ojol lebih tinggi dari gajinya di kantor, dia pun resign.
Penghasilan driver ojol (saya lupa GrabCar atau GoCar) di Jakarta memang menjanjikan. Selain jumlah konsumen yang menjanjikan, jaraknya pun bisa lumayan jauh, maklum Jabodetabek.
Namun begitulah, seperti pepatah Jawa: “Ngono yo ngono ning ojo ngono” atau semua ada batasnya, termasuk ketahanan tubuh.
Di suatu subuh yang dingin, suami dari adik sepupu saya ini menghembuskan napas terakhir. Dia meninggalkan 2 buah hati yang semula dia perjuangkan agar bisa kuliah tanpa merisaukan keuangan.
Kisah Pengamen
Daripada ku mencuri lebih baik ku menyanyi.
Daripada ku merampok lebih baik main gitar.
Pernah mendengar lirik lagu tersebut? Didendangkan pengamen di angkutan kota atau pinggir jalan. Terkadang sendiri, atau ada juga yang berdua. Jika berdua, yang satu bernyanyi (terkadang pakai alat musik, kali lainnya hanya bertepuk tangan), temannya menyodorkan topi atau tangan yang kotor sampai hampir menyentuh wajah.
Sebel banget saya dengernya. Minta uang kok maksa? Termasuk maksa karena dengan tampilan mirip preman seperti itu, penumpang jadi takut dan ingin mereka segera enyah.
Saya sih bersikukuh gak mau ngasih, walau dengan cara demonstratif mereka bilang: “Sedekah bu haji, uangnya gak dibawa mati.”
Ada alasan saya gak mau ngasih. Seperti kisah Kak Ros di atas, tindakan mereka melanggar Peraturan Daerah K3 (Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan) Kota Bandung.
Memberi uang kepada mereka berarti melanggar peraturan khusus pengamen yang bunyinya sebagai berikut:
Pasal 49
(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan berupa:
a. ….
yy. mengamen, mencari upah jasa dari pengelapan mobil di simpang jalan, lampu merah dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), dan/atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu Kartu Tanda Penduduk, atau Kartu
Identitas Kependudukan lainnya, serta dikirim ke Panti Rehabilitasi, dan/atau pengumuman di media masa ;
Jangan dilihat jumlah rupiahnya ya, tetapi betapa walikota Bandung dan DPRD Kota Bandung berjibaku mengeluarkan tenaga, pikiran dan biaya untuk membenahi kota Bandung, eh malah dicuekin.
Tentunya peraturan ini khusus Kota Bandung, kota tempat saya tinggal. Beda kota beda peraturannya, namun biasanya kurang lebih sama, hanya beda redaksinya.
Mereka Butuh Keteladanan
Tahukah Anda bahwa Perda semacam ini juga memuat aturan tentang gelandangan, pengemis, buang sampah sembarangan (termasuk buang tikus mati di jalan), lengkap dengan sanksinya?
Tidak hanya itu, peraturan daerah juga mengharuskan pemilik rumah menanam rumput dan pohon, memelihara rumah dengan cara mengecat/mengapur, rumah harus memiliki sarana dan prasarana pengolahan limbah, kendaraan harus menyediakan tempat sampah, bahkan naik dan turun kendaraan pada tempat pemberhentian yang telah ditetapkan pun akan dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum.
Tapi, jangankan menaati peraturan, mungkin Anda baru tahu bahwa ada peraturan demikian (ini belum lengkap, rinciannya masih banyak dan bakal bikin terkaget-kaget).
Dan tentu saja ini bukan kesalahan rakyat yang cuma bisa “sendiko dawuh’, ungkapan dalam Bahasa Jawa yang artinya menaati atau menuruti perintah dari orang yang dihormati.
Betapa pun orang terhormat tersebut berbuat salah, seperti mengganti kata “dilarang” menjadi “dibatasi” untuk pembangunan ugal-ugalan kawasan Bandung utara yang merupakan daerah resapan air, dan mengakibatkan banjir di seantero kota Bandung dan Bandung Selatan.
Juga ketika orang yang dihormati tersebut, pat pat gulipat dengan Mahkamah Kontitusi (MK) berhasil membuat anaknya ikut cawapres dan akhirnya menjadi wapres 2024-2029.
Rakyat cuma bisa melongo ketika orang-orang pintar saling berdebat soal “etika”. Emang apa sih etika itu?
Baca juga:
Sedekah Sebagai Pintu Rezeki, Kamu Percaya?
Privilege? Boleh sih, Asalkan …
Setuju: Rakyat butuh keteladanan!
ReplyDeleteLantas, apa yang bisa kita teladani dari seorang pemuda yang kebetulan anak seorang pejabat negara ber IPK 2,3? Jadi ingat hastag yang trending di X #bencananasional
Kisah driver ojol yang harus berjuang di tengah jalan. Rela berpanas-panasan demi memberikan nafkah ke anak istri. Keren, dan semoga tetap berkah. Kisah yang ditulis dalam blog ini sangat sangat menyentuh.
ReplyDeleteSaya juga pernah Ambu, mau naik ojol dari stasiun di (jabodetabek deh), terus dikasih tahu, "kalo mau pesan agak jauhan mbak, karena di sana ada opang". Jadilah saya nurut, karena biar aman dan damai.
ReplyDeletewah, memang sih ini nyata adanya, jalanan jaman now tuh memang berlaku banget hukum rimba, org juga makin ngadi-ngadi kelakuannya di jalanan
ReplyDeleteDuh jadi inget punya pengalaman yg sama Mbak Maria. Saya pernah coba pesan driver ojol tapi terus ditolak karena di dalam kompleks ada opang. Sementara di saat itu opang yang standby sedang gak ada. Ngupas2 cerita, barulah tahu bahwa ojol takut masuk kompleks saya karena diancam sama opang. Akhirnya banyak warga yg lapor ke manajemen kompleks. Opang2 ini akhirnya ditindak dan diajak untuk bergabung saja jadi ojol. Apalagi sudah ketauan incomenya lebih gede.
ReplyDeleteTerkadang bahkan mungkin sering, soal rendahnya pendidikan dan minimnya pemahaman, membuat orang harus dibina.
Sepertinya di luar Jakarta masih ada drama ojol dan opang ya...di Jakarta sih sudah mereda.
ReplyDeleteSaya waktu ke Bali juga, pesen ojol diwanti-wanti sama Abangnya jalan agak jauh dari pintu gerbang terminal Ubung, karena dicegat sama opang kalau di situ..Jadi deh jalan hampir 1 km huhuhu.
Setuju dengan Ambu, saya juga menghindari kasih uang ke pengemis, dll. Saya pilih sedekah ke lembaga atau orang yang memang saya tahu berhak menerima. Dan memang ada Perdanya ya...semoga lebih disosialisasikan lagi ke masyarakat aturan resmi semacam ini.
Kalau sudah ngomongin aturan pastinya ada pelanggaran.
ReplyDeleteTapi juga ada ketidaktahuan masyarakat mengenai aturan tersebut.
Memang sebaiknya disosialisasikan agar peraturan yang meski ga tertulis pun, pada paham.
Lika-liku jadi ojol di Bandung.
Aku pernah banget ngalamin gak dapet ojol atau diturunin di tengah jalan perkara ojolnya takut nganterin aku sampai ke tempat tujuan. Huhuhu... sedih, tapi gapapa.. yang penting semua aman.
Betul c ambu... jujur sayapun baru tau kalo di perda pun diatur tentang tiap rumah harus menanam rumput, tingginya jalan naik turun kendaraan sampai sarana penglolaan limbah... jadinya ya jangankan menaati tau aja ngga.. dibutuhin keteladanan yang entah sebenarnya bisa dimulai dari mana dan dari siapa karena semua saling nunggu hehe
ReplyDeleteHukum rimba ojol ini beneran masih ada lho kak, ini curhatan beberapa teman yang Nyambi ojol juga. Sedih ya kadang melihat perlakuan mereka itu
ReplyDeletesedih banget driver online nyajadi korban ya... padahal mah kalo emang rejeki gak akan tertukar, kalau penumpangnya pakai ojol ya berarti rejekinya pak ojol. suka sebel juga aku kalau ada oknum jahat begitu, apalagi pengamen kalau lagunya nyindir-nyindir atau mintanya maksa ya makin gak dikasih duitlah,
ReplyDeleteaku ada pengalaman pribadi dengan pengamen resek. pernah aku gak beri uang karena lagi riweh ngurus anak aku bilang "maaf mas", eh si mas-nya malah nyebut astaghfirullah... aku kaget dong, maksudnya apa, biasanya juga dikasih, kok ngomongnya begitu ya, kan jadi males sampai sekarang kalau masnya lewat gak pernah aku kasih, mending sedekah yg lain aja