A Day in My Life, dari Faskes ke Faskes Tanpa Uang Tunai
“Uang mirip air. Sekuat apapun air digenggam, tetap akan mengalir dari sela-sela jari”. Demikian kurang lebih yang dikatakan direktur keuangan tempat dulu saya bekerja. Sebagai salah satu direktur perusahaan, beliau sangat humble dan kerap membimbing bawahannya.
“Uang” yang dimaksud beliau tentunya adalah uang tunai. Agar tidak mengalir deras, beliau menyarankan untuk menahan sebagian pemasukan dengan disiplin menabung dan berinvestasi
Bagaimana dengan sebagiannya lagi? Gimana kalau kita tahan aliran derasnya uang tunai dengan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS)? Atau cara pembayaran dengan QR code yang sedang digalakkan pemerintah. Mumpung QRIS masih digunakan di kalangan terbatas.
Karena nampaknya QRIS bakal menasional, terlihat dari penjual makanan di gelanggang Pajajaran Bandung yang telah menerima QRIS. Kelak, mungkin kita bakal ngelihat tukang bakso dan tukang kerupuk di pinggir jalan berbekal selembar kertas dengan barcode QRIS yang telah dilaminating, siap melayani transaksi pembayaran.
Bukan hal yang mustahil bukan?
Baca juga:
Yuk Dukung Penderita Epilepsi dengan Singkirkan Stigma
Novi Amelia dan Kecerdasan Bertahan Hidup
Daftar Isi:
- Challenge Gak Pakai Uang Tunai
- Trans Metro Pasundan yang Nyaman
- Biofit, Klinik yang Lengkap Banget
- RSU Bungsu, Melayani dengan Kasih Sayang
Kesempatan challenge pakai QRIS, saya lakukan ketika harus ke dokter untuk check-up. Epilepsy yang saya idap mengharuskan saya ke dokter setiap bulan. Maklum pakai BPJS, fasilitas yang hanya memberi resep setiap satu (1) bulan.
Sayang, gak bisa full pakai QRIS. Salah satunya ketika menggunakan transportasi online (ojol). Kayanya bakal ribet ya? Jika alih-alih langsung potong saldo e-wallet, driver harus scan barcode QRIS yang saya miliki.
Andai pun saya nekad scan barcode, saya harus menjelaskan panjang x lebar pada driver ojol yang mungkin bakal bikin dia ngedumel. Mereka kan harus kejar setoran.😊😊
Dan jadilah, pagi itu sekitar pukul 07.00 pagi saya memesan layanan transportasi online (ojol). Moda transportasi yang sangat ngebantu banget sejak saya pindah ke kawasan Cinanjung, kabupaten Sumedang ini.
Pilihan lain jika mau bepergian hanyalah jalan kaki, atau menggunakan jasa ojek pangkalan (opang), dilanjut angkutan umum (angkot). Pilihan ini hampir gak pernah saya ambil, kecuali kepepet. ðŸ˜ðŸ˜
Jarak dari rumah ke pangkalan bus Trans Metro Pasundan di Jatinangor sekitar 5 km, yang ditempuh dalam waktu sekitar 15-20 menit, tergantung jauh-dekatnya driver ojol yang mendapat pesanan.
![]() |
Bus Trans Metro Pasundan di depan kampus Unpad Jatinangor |
Trans Metro Pasundan yang Nyaman
Membayar biaya perjalanan bus Trans Metro Pasundan (TMP) rute pangkalan bus UNPAD Jatinangor menuju UNPAD Dipatiukur, menjadi transaksi QRIS yang saya gunakan pertama kali hari ini.
Dulu, sekitar setahun silam, atau awal rute bus TMP ini beroperasi, penumpang masih gratis..tis..tis. Tapi tetep harus punya e-money (uang elektronik) untuk di-scan pada alat yang terpasang pada dashboard bus.
Mungkin untuk sosialisasi ya? Bahwa moda bus TMP tidak menerima uang tunai.
Setelah sekitar 2-3 tahun sosialisasi, barulah penumpang membayar dengan 2 pilihan, yaitu e-money dan QRIS. Namun tetep aja banyak penumpang yang “nyasar”. Jika sudah begini penumpang boleh memilih, antara: silakan turun atau minta belas kasihan penumpang lain, untuk dibayarkan dulu pakai QRIS.
Saya pakai QRIS sesudah saldo e-money saya habis, dan selalu lupa mengisi kembali. ðŸ˜ðŸ˜. Nampaknya e-money ini solusi untuk penumpang yang gak punya rekening bank ya? Mereka bisa mengisi saldo e-money di minimarket terdekat seperti Alfamart dan Indomaret.
Gak heran, sekarang penumpang bus TMP selalu penuh. Sehingga banyak yang harus berdiri. Namun gak sampai berdesakan sampai saling gencet seperti bus Damri tempo doeloe yang ngejar setoran.
Bus TMP juga ber-AC dan terawat. Keberadaannya sangat membantu penduduk Kota Bandung dan sekitarnya. Sering banget dalam perjalanan saya bertemu pedagang kaki lima (PKL) atau perempuan setengah baya dengan tas besar berisi dagangan.
![]() |
Klinik Biofit, jalan Supratman Bandung |
Biofit, Klinik yang Lengkap Banget
Sekitar dua (dua) jam waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Biofit, atau sekitar pukul 09.00 WIB saya sampai Biofit, salah satu fasilitas kesehatan (faskes) 1 yang disediakan pemerintah.
Gak bisa dibilang gratis, karena tiap bulan anak saya membayar iuran BPKS Kesehatan. Dan Biofit merupakan pilihan terakhir setelah mencoba beberapa faskes 1 lainnya.
Selain letaknya yang strategis, saya menyesalkan tidak adanya jasa dokter spesialis di sini. Hehehe iyalah ya, namanya juga klinik, jadi hanya memberikan surat rujukan ke faskes 2 yang lebih lengkap pelayanannya.
Padahal klinik Biofit juga lengkap lho, selain dokter umum dan dokter gigi juga tersedia layanan KIA, vaksinasi, khitan sampai akunpunktur. Nah, layanan yang terakhir ini rupanya menjadi andalan Biofit.
Yang bikin saya betah di Biofit adalah petugasnya ramah-ramah. Demikian pula para dokternya, walaupun saya baru bertemu dokter umum dan dokter gigi, tapi udah cukup buat saya tergerak membuat tulisan review positif untuk layanan kesehatan yang terletak di Jalan Supratman 69, Bandung ini (next time ya?)
Selain ramah, pelayanannya juga cepat. Paling lama cuma sejam. Itu udah termasuk konsultasi panjang lebar yang diwarnai gelak tawa, lho. Sehingga pasca dari Biofit saya punya cukup waktu sebelum menuju faskes 2, Rumah Sakit Umum (RSU) Bungsu.
Waktu sela ini biasanya saya membeli minuman atau sekadar camilan di Indomaret atau di Alfamart yang kompak berdiri berdampingan di seberang Biofit. Tempat saya bisa memakai QRIS yang kedua kali, sebagai alat pembayaran.
Perut kenyang, waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, saya pun berangkat ke RSU Bungsu dengan menggunakan moda transportasi ojol, atau lagi-lagi gak bisa pakai QRIS.
![]() |
RSU Bungsu, Jalan Veteran Bandung |
RSU Bungsu, Melayani dengan Kasih Sayang
Sebelum menggunakan BPJS, biasanya saya pakai fasilitas umum yang tentu saja gak ribet. Saya bisa langsung datang ke rumah sakit tempat dokter langganan saya berpraktik dan mendapat resep untuk tiga (3) bulan!
Saya memutuskan menggunakan layanan BPJS Kesehatan semenjak anak saya mengoreksi kartu keluarga (KK) dan membayar iuran BPJS. Kelas satu (1), jadi lumayan besar, sayang banget jika tak digunakan ya?
Dan mulailah perjalanan ribet saya, “dari faskes ke faskes”. Diawali dari Biofit, faskes pertama, kemudian ke RSU Bungsu faskes dua (2) (Ini soal pilihan, asalkan rumah sakit kelas C atau kelas D yang terdekat).
Dulu pernah, saya ke RSU Bungsu hanya untuk minta surat rujukan ke faskes tiga (3) rumah sakit tipe A atau B, seperti RSUP Dokter Hasan Sadikin atau RS Borromeus.
Setelah dipikir ulang, ngapain harus ke faskes 3? Kan di RSU Bungsu ada dokter spesialis saraf. Kan sama-sama minta resep yang hanya diberi untuk rentang waktu sebulan, sesuai peraturan BPJS.
Karena itu jadi lah, saya menjadi pelanggan dokter Haryono di Rumah Sakit Umum Bungsu yang punya slogan “Dengan Kasih Sayang Kami Melayani”, slogan yang mungkin jadi penyebab auranya berbeda.
Berdiri sejak tahun 1938 sebagai klinik bersalin bernama Klinik Beatrix (nama Ratu Belanda setelah Ratu Juliana), di bawah pengelolaan Salvation Army (kemudian menjadi Yayasan Gereja Bala Keselamatan)
Pada 4 Maret 1987, Klinik Beatrix berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Bungsu. Pelayanan kesehatan pun berkembang, dari hanya melayani kesehatan perempuan, ibu bersalin dan anak-anak menjadi melayani kasus umum
Jumlah pasien terbatas (sesuai kapasitas layanan) membuat saya betah mengobrol dengan pasien lain. Mereka gak pernah usil dengan pertanyaan: Anaknya kemana? Suaminya kemana? Kok sendirian?
Nah kalo udah naga-naganya begini, sejak awal saya biasanya menutup diri dengan pura-pura melihat gadget, atau merem, pura-pura tidur.
Oiya review tentang RSU Bungsu akan saya buat khusus juga ya? Karena seperti Biofit, RSU Bungsu merupakan fasilitas kesehatan yang bagus.
Berbeda dengan layanan kesehatan di RSUP Dokter Hasan Sadikin dan RS Borromeus yang membutuhkan waktu seharian, biasanya saya hanya menghabiskan waktu 2 jam di RSU Bungsu, sudah termasuk konsultasi dokter dan mendapat obat selama seminggu.
Kok cuma seminggu? Hiks, inilah penyebab saya ingin menulis “BPJS yang Bikin Nangis”. Mungkin bakal saya tulis di Kompasiana ya?
(Lha, utang tulisannya kok jadi banyak? 😀😀 )
Oiya bagaimana dengan QRIS-nya? Pasca dari RSU Bungsu biasanya saya langsung pulang, dengan rute yang sama, yaitu memakai moda ojol menuju pangkalan bus TMP di jalan Dipati Ukur Bandung, kemudian dengan pulang deh ke Jatinangor dengan moda bus TMP dilanjut pakai ojol ke Cinanjung. Moda yang persis sama seperti ketika berangkat tadi pagi.
Khusus tentang bus Trans Metro Pasundan, saya pernah mengulasnya. Namun secara spesifik ditulis oleh teman blogger Dhenok Hastuti di sini
Baca juga:
Mumpung Gratis, Yuk Kunjungi 5 Destinasi Wisata Bandung dengan Teman Bus
Semalam di Salatiga, Kota Tua nan Romantis
E-money memang solutif, karena pengisiannya bisa lewat mini market, e-commerce dan e-wallet. Cuma jadinya kalo bepergian kudu punya saldo di mana², ya walaupun uang tunai tetep butuh juga
ReplyDeleteJadi inget ada yg pernah berujar pada masanya segalanya akan digitalisasi
ReplyDeleteBahkan kini pelayanan kesehatan pun bisa melakukan pembayaran dgn qris walau belum bisa full.
Lebih ringkas dan fleksibel
Saya merasakan banget gimana praktisnya pakai transaksi digital. Cepet juga. Sekarang yang penting dibawa adalah HP sama SIM aja. Sementara KTP ada digital. Keknya kedepannya bakal akan sistem scan aja dari HP ya Mbak. Seperti yang kita tonton di drakor hahahaha.
ReplyDeleteLayanan kesehatan emang kuncinya di keramahan dan kecepatan ya Mbak. Waktu yang kita habiskan jadi terasa betul manfaatnya. Badan juga gak capek karena kelamaan nunggu. Bahkan untuk kelas klinik sekalipun. Meski kecil, seperti Biofit itu, kalau layanannya prima, kita pasti nyaman berobatnya.
Iya sekarang QRIS makin populer. Di satu sisi ini memang paradigma baru menuju gaya hidup modern, tapi di sisi lain uang kertas tetap harusnya punya legalitas.
ReplyDeleteBiofit itu langganan akupuntur zaman suami kena masalah MG (autoimun Krn degeneratif).
ReplyDeleteRS Bungsu zaman kerja, selalu ngelewatin sini. Bagus ya sekarang...
Lah...kok obat cuma buat seminggu ..?