Menjadi Blogger, Aku Menulis Maka Aku Ada

maria-g-soemitro.com

Menjadi Blogger, Aku Menulis Maka Aku Ada

Apa cita-citamu? Saya ingin jadi penulis! Sejak mulai melek huruf,  saya terkagum-kagum pada tulisan paman saya  yang dimuat surat kabar “Sinar Harapan” (kini sudah almarhum). Tentu saja kala itu saya belum bisa membedakan profesi  wartawan, cerpenis, novelis serta masyarakat umum yang mengisi rubrik opini.

Ada alasan saya ingin jadi penulis.

Alasan pertama jadul banget. Sebagai penulis dan ibu rumah tangga, saya bisa bekerja di dalam rumah sambil mengurus rumah tangga. Saya membayangkan, ketika anak-anak sekolah, atau kala mereka tengah terlelap, saya menulis cerpen, mengirimkannya ke surat kabar/majalah, dan dapat duit deh!

Hihihi nampak sederhana ya?

Alasan kedua,  saya kecanduan membaca! Hal ini diperkuat saudara sepupu yang baru bertemu kembali setelah berpisah puluhan tahun. Dia bilang: “Inget enggak, dulu waktu diopname di rumah sakit, apa aja kamu baca, sampai potongan surat kabar untuk pembungkus makanan, juga dibaca.”

Dan kami pun tertawa geli. Hihihi segitunya!

Baca juga:

3 Privilege Blogger yang Bikin Congkak

Pengalaman Writer's Block dan Solusinya

Daftar Isi

  • Awal Impian
  • Kompasiana, Setengah Impian yang Terwujud
  • Menjadi Blogger, Aku Menulis Maka Aku Ada

Namun Impian tinggal Impian. Tak satu pun cerpen yang saya kirim ke berbagai majalah diterima dan diterbitkan. Ada media yang mengirim surat balasan bahwa cerpen saya belum layak, tapi ada juga tanpa kabar berita.

Karena itu saya cemburu bukan main (cemburu positif ya?) pada Leila S. Chudori yang berhasil menembus ketatnya majalah anak-anak Si Kuncung. Di usia 11 tahun atau saat masih duduk di kelas 5 SD, Leila berhasil memublikasikan karya pertamanya berupa cerpen berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” (1973).

Kesuksesannya berlanjut dengan diterbitkannya karya-karya Leila di sejumlah majalah remaja seperti Kawanku, Hai, dan Gadis. Bahkan di usia remaja pula,  Leila berhasil merilis cerita bersambung dan beberapa buku kumpulan cerpen, di antaranya Sebuah Kejutan, Empat Pemuda Kecil, dan Seputih Hati Andra. 

Saya berhenti cemburu pada Leila S. Chudori setelah mengetahui latar belakangnya. Ternyata Leila merupakan putri dari Mohammad Chudori, seorang wartawan Kantor Berita Antara dan surat kabar The Jakarta Post.

Ya iyalah buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Terlebih Leila sangat mengagumi ayahnya.

Impian menjadi penulis semakin menjauh ketika harus kuliah, alih-alih memilih fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi, saya malah bekerja sambil kuliah di Fakultas Ekonomi Uninus Bandung.

Pertimbangannya, lulusan Fakultas Ekonomi lebih mudah cari kerja dibanding lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi. Tentu saja itu di zaman jadul, kala internet masih sekadar kata.


maria-g-soemitro.com
headline terbaru di Kompasiana

Kompasiana, Setengah Impian yang Terwujud

Adagium "Carilah teman yang bermanfaat, jangan yang toksik", menemukan kebenarannya dalam perjalanan saya mewujudkan Impian saya menjadi penulis.

Iden Wildensyah, seorang teman yang saya kenal sewaktu mengikuti kegiatan bersama Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) Bandung, suatu kali membagikan tulisannya di Facebook. Tulisan terkait lingkungan hidup tersebut diikutkan dalam event Nokia Green Ambassador Blogger di Kompasiana.com.

Wah Kompasiana? Apa hubungannya dengan surat kabar Kompas yang terkenal itu?

Ternyata ini blog keroyokan atau suatu platform tempat individu tanpa latar belakang ilmu dan pengalaman menulis aka masyarakat awam aka individu amatir seperti saya, bisa menulis dan langsung publish!

Gak ada editor di Kompasiana! Gak ada yang menyensor tulisan banyak salah ketik atau salah PUEBI. Tentu saja tulisannya harus sopan. Gak boleh melanggar etika yang berlaku. Termasuk gak boleh asal comot gambar dan sumber data.  

Jadilah saya mendaftar di Kompasiana pada 26 Maret 2010, dan mulai menulis. Sayang tulisan awal saya raib karena kolom Nokia Green Ambassador hilang seiring berakhirnya kerja sama Kompasiana dengan Nokia.

Asal-asalan menulis?

Tentu tidak. Saya mengikuti beberapa pelatihan menulis. Diantaranya Workshop Jurnalisme Warga dan Jurnalisme Konvergen yang diselenggarakan Common Room Bandung. Narasumbernya hebat-hebat, seperti Santi Indra Astuti, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba; Agus Rakasiwi, jurnalis senior Pikiran Rakyar; Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A, dosen ITB; dan Ikhlasul Amal, blogger.

Selain itu, saya beruntung bisa mengikuti beberapa workhop menulis yang diadakan Kompasiana. Serta pastinya peran besar dari teman-teman Kompasiana, yang mendapat julukan Kompasianer.  

Menyadari ketidak mampuan saya dalam menulis, saya rajin mengunjungi akun-akun Kompasianer lain. Gak hanya Kompasianer hebat seperti Pepih Nugraha, Chappy Hakim, Prayitno Ramelan, Kusmayanto Kadiman (Rektor ITB dan Menteri Riset dan Teknologi), saya rajin beranjangsana pada laman teman-teman Kompasianer lainnya.

Banyak teknis menulis yang mereka ajarkan, seperti mengambil dan memasang  gambar sebagai ilustrasi tulisan, cara memasang hyperlink, dan masih banyak lagi.  Hihihi maklum generasi “mesin tik”! Bahkan sampai sekarang saya gaptek berat dalam pemakaian komputer.

Mungkin kegigihan saya yang selalu mengejar deadline, dengan berusaha membuat tulisan sebaik mungkin, pada event Kompasianival 2012, saya mendapat penghargaan Kompasianer of The Year 2012.

Bukan berarti ini puncak keberhasilan lho. Saya sadar diri,  SDM dan teknologi berkembang pesat dari waktu ke waktu. Tulisan saya juga  jauh dari layak untuk bisa menembus ketatnya redaksi media mainstream. Karena itu di setiap pelatihan menulis yang memungkinkan waktu serta biayanya, saya pasti ikut serta.

Sayang, saya gak bisa “setia sampai mati bersama  Kompasiana”. (lebay 😀😀 ) Perubahan server dan pembenahan lainnya, membuat banyak tulisan saya raib. Terpaksa saya membuat blog pribadi Curhat si Ambu , semula untuk memindahkan beberapa artikel, namun kemudian saya malah anteng di sini.

Saya pun menjadi mimikri sesuai platform, sewaktu menulis di blog saya jadi blogger, dan ketika ngisi Kompasiana julukan saya kompasianer.

maria-g-soemitro.com

Menjadi Blogger, Aku Menulis Maka Aku Ada

 “Saya ngeblog untuk eksistensi. Aku menulis maka aku ada”.

Demikian jawaban saya ketika beberapa waktu lalu suatu komunitas blogger yang saya ikuti membuat polling dengan pertanyaan: 

“Di tengah gempuran ngeblog dengan menggunakan medium video (vlog), apakah kamu masih menulis di blog?”

Pertanyaan menarik ya? Konon ada ribuan blogger di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Anehnya dari 215 blogger yang bergabung dalam komunitas Blogging Happy Family besutan Blogger Alaika Abdullah, hanya beberapa blogger saja yang aktif menulis

Hibernasi blogger ini rupanya mengusik beberapa pendiri komunitas blogger. Mereka me-remove blogger dari grup WhatsAp, karena  telah mengabaikan blog-nya hingga jadi  lumutan.

Di-remove dari grup, sebetulnya bisa jadi pemicu agar ngeblog lagi. Namun yang terpenting adalah dorongan profitnya, bisa berupa materi maupun non materi berikut ini:

1. Menulis Sebagai Wujud Eksistensi

“Ambu, tadi saya searching cari nama ambu, wah berderet banyak banget,” kata seorang teman yang baru saya kenal dalam pelatihan pengelolaan sampah.

Untuk sejenak saya bingung, mencoba mencerna apa yang dikatakan sang teman. Sampai akhirnya saya menyadari bahwa jejak digital itu nyata.  Jejak digital menyatakan eksistensi seseorang atau keberadaannya.

Eksistensi seseorang menunjukkan apakah dia meninggalkan jejak yang baik, atau sebaliknya. Jangankan tulisan di blog yang mudah dilacak, komentar di media sosial pun terekam.

Nah, sebagai mahluk ciptaan Allah SWT yang tak pernah lepas dari salah dan khilaf, saya mencoba menyeimbangkannya dengan tulisan-tulisan yang baik. Agar mereka yang tersinggung, bisa memaafkan saya.

2. Menulis Membuat Saya Berpikir

“Biar gak pikun,” jawab Chappy Hakim, tokoh militer Indonesia yang pernah menjabat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, dalam wawancara bersama founder Kompasiana, Pepih Nugraha.

Yep, saya setuju. Buat saya, menulis merupakan latihan otak. Usai menulis rasanya capek. Bak berjalan jauh untuk menghasilkan sesuatu.  Gak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa menulis bermanfaat bagi vitalitas intelektual, kreativitas, dan meningkatkan kemampuan berpikir.

3. Menulis Membantu Saya Merasa Baik

“Saya punya media sendiri,” kata Uni Lubis, pemimpin redaksi di IDN Times, ketika menolak bergabung dengan Petisi 100, suatu kelompok tokoh masyarakat yang mengkritik pemerintahan Jokowi.

Pernyataan jurnalis senior tersebut mengingatkan bahwa saya pun punya media yang bisa saya gunakan untuk menulis unek-unek. Seperti ketika kasus kopi sianida mendadak booming lagi dan saya ingin mengutarakan pendapat, saya bisa menulisnya di blog.

Menulis di blog lebih nyaman dibanding menulis status di media sosial yang kerap berakhir ricuh. Karena blogger bisa menulis secara lengkap dan komprehensif.

Sehingga gak berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa menulis bermanfaat untuk memberikan perasaan bahagia yang lebih besar. Karena menulis meningkatkan kecerdasan emosional, fisiologis dan intelektual

Jadi tunggu apa lagi? Yuk menulis di blog agar eksistensimu terjaga dengan baik.

Baca juga

3 Adab Blogger yang Wajib Dilakukan!

Selamat Hari Blogger Nasional, Masihkah Ingat Password Login Blogmu?


16 comments

  1. Thanks for sharing, jadi dapat semangat tambahan buat konsisten nulis. Dulu saya menulis di blog untuk ngejar cuan, sekarang lebih ke aktualisasi diri, dan bener juga, nulis di blog lebih leluasa daripada di medsos.

    ReplyDelete
  2. Ada seni yang indah dan eksistensi yang unik dari menulis. Apalagi dia bisa menjadi jejak digital di dunia dan jejak hisab di akhirat yang mengantar pada amal jariyah ya?

    ReplyDelete
  3. Waaah, ada remove-remove ya, Ambu? Untung aku nggak kena. Hehe.... Blogku nggak lumutan kok, masih rutin apdet. Cuma sekarang memang lagi mencoba ngeberesin on page blog plus nulis buku (malam-malam juga dijapri editor, nanya progres naskah). Jadinya jarang ikut bw.

    ReplyDelete
  4. Nice insight, Ambu...
    Saya bikin blog awalnya ngga tau mau curhat kemana saat ditimpa masalah besar thn 2017 lalu, sama sekali ngga tahu kalau ngblog/blogger itu bahkan ada komunitasnya.
    Lama2 tau juga manfaat ngeblog baik dari lahir ataupun batin.
    Sekarang bergabung di grup wa malah jadi motivasi supaya rajin nulis (ngga soal curhat lagi) tapi udah bisa share informasi...
    Beruntung bisa "kenal" sama para blogger senior udh banyak pengalaman di grup WA...
    menjadikanku juga "ada"

    ReplyDelete
  5. Aku juga dulu punya khayalan banyak banget tapi setelah tahu menulis itu menyenangkan jadi beralih pandangan deh.
    Memang berbagi itu indah

    ReplyDelete
  6. Makasih sharingnya, Ambu. Aku juga mulai nulis diary pas sekolah. Pernah kena bully temen, untung masih waras sampe lulus SMP dan ga dibawa beban. Ternyata nulis bisa buat healing ya. Sekarang nulisnya beralih ke blog, udah jarang nulis di buku.

    ReplyDelete
  7. Ah iya, namanya juga blogger
    Ya pasti harus nulis
    Dengan aktif menulis, maka di situlah kehadiran seorang blogger itu dianggap ya

    ReplyDelete
  8. Setuju banget Mbak Maria. Saya pun menulis dalam rangka meninggalkan legacy. Saya ingin nanti, di saat saya sudah tidak ada, tersedia produk literasi yang dilahirkan lewat tangan saya. Bisa berupa buku maupun blog yang sedang saya kelola saat ini. Menulis ini pun menjadi pengingat bagi saya untuk tetap menulis, meski mungkin, selera publik sudah lebih condong pada video dan produk digital lainnya. We are in the same steps Mbak.

    ReplyDelete
  9. Wah 14 tahun di Kompasiana... Keren banget kak... Saya pun setuju menulis di blog lebih nyaman dibanding menulis status di media sosial yang kerap berakhir dikepoin saudara, tetangga dll

    ReplyDelete
  10. Aku setuju banget Ambu kalau lewat nulis ini jadi membiasakan diri untuk berpikir dan terhindar dari kepikunan udah gitu merasa perasaan jadi lebih baik dan Kalau menulis itu ya jadi berasa aku menulis aku ada

    ReplyDelete
  11. Senang sekali membaca alasan Ambu mengapa masih konsisten menulis hingga kini. Rasanya membakar semangat pembaca. Ada rasa bahagiaaa ketika tulisan uda publish dan bisa sesuai dengan kebutuhan pembaca. Kalau belum?
    Ya berarti kudu berlatih lagi.

    Memang menyalurkan kebahagiaan ini penting.

    **Sedih banget Ambu, kalau tulisan hilang saat K sedang maintenance.
    Alhamdulillah semua terhimpun sekarang di blog ini yaa, Ambu.

    ReplyDelete
  12. Keren ambu. Semoga menjadi blogger yg makin melejit, ya. Teringat dengan alasan saya membuat blog, ingin bermanfaat untuk umat. Semoga tulisan-tulisan kita menjadi penambah berat amal ibadah kita ya, ambu.

    ReplyDelete
  13. Setuju banget bahwa menulis bisa membantu kita merasa baik. Karena saya sendiri merasakan banyak manfaatnya, bahkan saya yang tidak menulis seminggu saja rasanya gatal ini tangan. Bahkan saya bisa menjadi lebih terbiasa untuk mengungkapkan pengalaman di blog. Seru memang.

    ReplyDelete
  14. Iya ya, emang keunggulan menulis blog itu bisa lebih panjang, runut dan lengkap dibandingkan media sosial yang terbatas jumlah karakternya. Meski kurang populer di kalangan masyarakat umum, blog tetap bisa jadi media menulis paling tepat buat siapapun yang hobi menulis dan membaca.

    ReplyDelete
  15. keren sekali perjalanannya... benar-benar dari kekaguman terhadap tulisan ya... kalau saya jujur ngeblog karena diajak teman dan alhamdulillah nyaman dengan dunia per-konten-an nulis artikel meski enggak bagus-bagus amat tapi konsisten sampai sekarang, eh jadi curhat

    ReplyDelete
  16. Mantap nih, sampai sekarang masih konsisten nulis di Kompasiana.
    Saya sudah lama nggak nulis di sana, sudah lupa akunnya. Tapi beberapa tulisan lama masih tersimpan.
    Menulis untuk mencegah pikun, itu juga salah satu motivasi saya untuk tetap menulis di sela-sela pekerjaan sehari-hari yang kadang saya rasakan nggak ada selesainya.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat