3 Minuman Khas Pasar Gedhe Solo, Kamu Wajib Coba!


Pada bulan Januari  2020, saya berkesempatan ke Kota Surakarta, atau yang lebih akrab dengan sebutan Kota Solo. Selain untuk mengunjungi anak lanang tersayang, eh ketiganya tersayang J . Juga karena mendapat voucher gratis bermalam di Musafir Guest House, Jalan Dewi sartika nomor 1 Solo

Kisah mengenai Musafir Guest House saya tulis disini:

Semalam di Musafir Guest House, Penginapan Syar’i di Pusat Kota Solo

Sedangkan voucher menginap saya dapat dari acara bedah buku mbak Diajeng Laraswati, yang saya tulis disini:

SecangkirKopi Bersama De Laras, Penulis Buku “Aku dan Alam Semesta”

Reschedule Tiket KAI yang (Katanya) Mudah

Dulu, sewaktu anak-anak masih kecil, setiap tahun kami sekeluarga pasti ke Solo. Berkurang intensitasnya ketika anak-anak mulai besar. Satu mobil sudah tidak muat. Dua mobil kok nggak asyik.

Selain itu, ternyata semakin besar anak, semakin banyak kegiatannya. Kegiatan yang nggak bisa diganggu gugat seperti try out, pemantapan, bimbel  dan seterusnya. Mereka mengancam: “Ntar kalo saya nggak lulus gimana?” Halah, yo wislah . :D

Hingga belasan tahun berselang, kembali ke Solo untuk melepas kerinduan ke kota yang ngga terlalu banyak mengalami perubahan ini. Ada sih, tapi perkembangannya tidak di pusat kota, namun  di wilayah tertentu,  Solo Baru misalnya.

Kemungkinan besar  untuk menjaga bangunan bersejarah serta kultur yang terkait. Jika tidak, haduh lihat saja kota Bandung. Bangunan bersejarah dikanibal. Ada heritage yang dipertahankan serambinya saja, seperti RS Boromeus, mirip dinosaurus berbadan robot. Aneh tapi nyata.

Salah satu destinasi yang nggak berubah dan ngangenin adalah Pasar Gedhe. Dulu, sesampainya di Solo, sementara yang lain masih tergeletak tidur, saya selalu naik becak sendirian ke Pasar Gedhe. Nggak jauh dari Sorogenen, rumah keluarga. Jalan kakipun bisa. Tapi mending naik becak, supaya bisa cepat pulang, takut krucilsku  bangun pada saat saya pergi. 


Pasar Gedhe Hardjonegoro

Bangunan Pasar Gedhe selalu membuat saya takjub. Atapnya tinggi. Pilarnya serba besar. Seperti lazimnya produk kolonial Belanda. Konon karena serba besar itulah,  dinamakan Pasar Gedhe.

Pasar Gede merupakan akulturasi masyarakat pribumi, China, dan Belanda, dan diresmikan dengan nama Pasar Gedhe Hardjonegoro,  nama seorang keturunan Tionghoa yang mendapat gelar KRT Hardjonegoro dari Keraton Surakarta.

Perancangnya wong Londo, arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten, memberi sentuhan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya Jawa.  Membuat pengunjung pasar serasa diajak masuk dalam dunia hening yang penuh kesibukan.

Tampah-tampah besar berisi bumbu dan sayur mayur segar. Bumbu masak setengah jadi maupun siap seduh. Serta kesibukan penjual masakan matang/setengah matang seperti gorengan ayam , rambak/kulit, seta aneka jeroan.

Karena sedang menyambut Imlek,  salah satu sisi luar Pasar Gedhe dipenuhi aneka kebutuhan  perayaan tahun baru Tionghoa  yang berwarna merah menyala. Pemerintah kota memasang umbul-umbul,  lampion serta hiasan lain di sepanjang jalan.

“Banyak pertunjukkan di malam hari,” kata Bapak Soeprapto, manager Musafir Hotel yang menemani ke Pasar Gedhe. Wow , terbayang warna warni barongsai yang melenggak lenggokkan ekornya mengitari 2 bangunan  Pasar Gedhe.

Sungguh kontras dengan kelakuan tak bertanggung jawab, yang dilakukan sekelompok orang ketika Megawati tak terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999.


Es Dawet yang Ngangenin

Semangkuk es dawet  yang rasanya manis segar, tak pernah saya lewatkan jika berkunjung ke Pasar Gedhe. Sebetulnya hanya siraman santan bergula pada sesendok dawet, bubur sumsum, selasih dan ketan hitam.

Namun peraciknya begitu handal, komposisinya pas. Membuat etnis Jawa yang kesasar di bumi Parahyangan seperti saya, balik lagi dan lagi.

Dalam kunjungan  saya kali ini sosok subur Mbok Darmi sudah tiada, digantikan anaknya yang dulu selalu membantu mbok Darmi melayani pembeli.

“Sebagian besar penjual disini sudah diteruskan anaknya”, kata perempuan  penjual di depan mbok Darmi, dia berdagang rambak/gorengan kulit sapi. “Saya juga menggantikan usaha ibu saya,” lanjutnya.

Setelah saya amati, emang iya sih. Seingat saya, dulu kawasan ini didominasi pedagang perempuan. Sekarang sudah fifty-fifty dengan pedagang pria, termasuk penjual ayam goreng langganan saya, yang juga berjualan usus goreng, kulit goreng, paru goreng, belut goreng, yang semuanya berbumbu pas dan crunchy.

Di beberapa kawasan Jawa Tengah, es dawet akan ditemui dengan mudah. Namun buatan Yu Darmi ini sangat khas. Dia nggak menggunakan terlalu banyak kondimen berwarna. Sehingga  takaran semangkok  sangat pas. Nggak lebih, nggak kurang.

Apa sih beda dawet dengan cendol di provinsi Jawa Barat? Bentuknya sama. Ternyata cuma historisnya yang sama, kata sejarawan kuliner, Fadly Rahman.

Dikutip dari kompas.com, "Cendol dan dawet historisnya sama,  cuma penyebarannya saja berbeda," kata Fadly. “Cendol sebutan  masyarakat Jawa Barat untuk kulinernya. Sedangkan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur menyebut dawet.

Selain itu bahannya juga beda,  cendol dibuat dari bahan tepung kacang hijau atau hunkwe. Dalam Kakawin Kresnayana disebutkan bahwa dawet menggunakan bahan baku tepung beras.


Gempol Pleret  Asli  Solo Bukan dari Plered

Di depan pintu masuk Pasar Gede seorang pedagang sedang meracik minuman, kemudian mengangsurkan mangkok dengan isian santan putih pada pembeli didepannya.

“Gempol pleret”, kata pak Soeprapto. “Rasanya gurih dan manis”.

Bertahun-tahun, bolak balik ke Solo, saya baru menemukan kuliner khas ini. Mungkin karena dulu, referensi dunia kuliner belum sekaya sekarang, ya?

Terdiri dari 2 kata, gempol pleret menunjukkan cara pembuatannya. Gempol berarti jempol/dibentuk dengan menggunakan jari tangan yang mengepel adonan kemudian membuat bulatan-bulatan  kecil sebelum dikukus. Sedangkan pleret berarti membentuk dengan cara dipleret atau dipelintir.

Sama-sama terbuat dari tepung beras, gempol memiliki rasa gurih sedangkan pleret rasanya manis karena diberi tambahan gula jawa.

Di kawasan Semarang juga terdapat minuman manis ini, sehingga masyarakatnya meyakini gempol pleret berasal dari nama suatu daerah di Jepara, yakni Plered.  Bedanya gempol pleret di kawasan ini berwarna warni, dan diberi kondimen lain seperti dawet dan potongan nangka.

Tak heran masyarakat Solo enggan menerima klaim bahwa kulinernya berasal dari Plered, Emang beda penampakannya sih. Cuma bahan bakunya yang sama. J


Tahok si Manis dari Tionghoa

Semangkuk minuman manis lainnya menyambut pengunjung Pasar Gede. Khususnya mereka yang datang ke area pedagang buah. Bedanya minuman ini hangat pedas, bukan minuman dingin seperti es dawet dan gempol pleret.

Tahok namanya. Sepintas mirip minuman kembang tahu yang sering saya cecap di Bandung. Ternyata memang iya, ini memang wedang kembang tahu, nama yang bikin penggunanya bingung. Karena ada kembang tahu lain, yang biasanya dijual dalam bentuk lembaran, dan digunakan untuk campuran cap cay, tumisan atau sebagai pembungkus camilan ekado.

Menurut buku Kuliner Tradisional Solo yang Mulai Langka karya Dawud Achroni,  tahok merupakan salah satu makanan khas Tionghoa, yang terdiri dari 2 kata, yaitu tao atau teu yang berarti kacang kedelai dan hu yang berarti lumat. Karena tahok terbuat dari kacang kedelai yang dilumatkan.

Beberapa tayangan YouTube memperlihatkan wedang ini dapat dengan mudah dibuat. Diawali dengan merendam kedelai semalaman, kemudian kulit yang menghasilkan rasa langu dilkupas.

Pantesan tempe rasanya langu ya? Penyebabnya mungkin karena ngga dikupas seperti tempe dan susu kedelai.

Tahap berikutnya kacang yang telah direndam diblender dengan air secukupnya hingga menghasilkan cairan putih, Saring cairan dengan serbet bersih, hasil saringannya dimasak dengan serbuk agar-agar untuk menghasilkan bentuk yang padat namun lunak.

Cara penyajiannya dengan menyendoki padatan tahok ke dalam mangkok, dan disiram kuah panas jahe dan gula merah. Hmmm .... sedap.

Di negara asalnya, tahok kerap disajikan dengan kecap hingga terasa gurih.

Ternyataaaa.... minumanpun  bisa diimpor dari Tionghoa, nggak hanya virus Covid-19 ya? Sebetulnya banyak sih kuliner Tionghoa yang beredar dan tak terpisahkan dari sajian menu kita sehari- hari.  Seperti  camilan tahu, bumbu masak kecap, mie, serta masih banyak lagi, tak terhitung jumlahnya.

Nikmati saja, karena hidup ini memang unity in dervisity, dan hal tersebut indah banget, eh enak banget.

Setuju?  

23 comments

  1. krn suamiku org solo, duku kami sering mudik kesana. tp sejak papa meninggal, bisa dibilang udh ga prnh .. kangen banget ama solo sbenernya.

    tapi memang tiap ksana dulu, aku cuma sekali ke pasar gedhe nya. itupun ga nyobain makanan, tp mau beli barang. makanya kuliner di atas aku blm pernah coba mba. padahl kliatan enak bangetttt :D. pgn cobain gempol pleret dan dawet nya. kalo kembang tahu aku ga terlaku suka, krn jahenya kdg terlalu kuat.

    semoga selesai wabah ini, bisa bakik lg ksolo. aku pgn puasin kuliner :)

    ReplyDelete
  2. Adik iparku nikah sama orang Solo yang tinggal deket banget sama Pasar Klewer. Jadi kalau aku singgah ke sana ke Pasar Klewer bukan ke Pasar Gedhe.
    Dan barisan kuliner ini yang belum kucoba adalah gempol pleret. Kalau dawet sama, di Kediri nama dan komosisinya juga serupa. Kalau tahok di Kediri enggak ada. Tahu dibikin stick dan aneka olahan lain selain dikonsumsi seperti layaknya tahu

    ReplyDelete
  3. wah belum pernah ngerasain cuma dawet saja , patut dicoba nih

    ReplyDelete
  4. Aih seriusan jai kangen kulineran di Solo..kenangan yang tak terlupakan. Tapi dulu aku ga nyoba minuman ini .. hehe

    ReplyDelete
  5. Pantas sih es dawet nya ngangenin, Ambu karena di fotonya aja tampak menggugah selera. Btw Plered dan Pleret memang beda ya?

    ReplyDelete
  6. Dari ketiga minuman khas Solo di atas yang saya tahu dan sudah cicipi baru es dawet saja. Jadi penasaran dengan dua minuman lainnya. Kelihatannya minunannya juga unik gitu.

    ReplyDelete
  7. Wah, menggiurkan banget kuliner khas solo ini. Es Dawet pernah cobain, Gempol Pleret khas Solo sama Tahok pengen juga nyicipin. Moga suatu saat ada kesempatan mengunjungi Pasar Gede dan nyobain ketiga kuliner ini.

    ReplyDelete
  8. Pengin pergi k Solo dalam kondisi lambung siap meNerima aneka kuliner tradisional

    Ya ampuunn, ngilerrr bgt aku bacanya.

    Bahkan, sekadar TEH SOLO YG NASGITEL aja aku syukkaaa pol, lhooo


    Apalagi, kuliner macam d artikel ini.mupenggg

    ReplyDelete
  9. Malam-malam pun aku liat postingan ini tetep ngiler. Semuanya kelihatan enak-enak. Oh iya, Tahok itu ada yang mirip sama minuman di sini, namanya tahua dan memang rasanya enak dan hangat karena pakai jahe.
    Yang lainnya belum pernah cicipi, huhu jadi mupeng..

    ReplyDelete
  10. Penasaran aku sama gempol pleretnya akutuh ambu.. itu kuliner yang belum pernah kucicip kalo pas main kerumah mbah di solo...

    Sejak mbah dah gada lom pernah lagi ke solo... masuk list ahh

    ReplyDelete
  11. Terasa sampai sini mbak segarnya, jadi pengen mudik ke Jateng ini

    ReplyDelete
  12. Menjadi rindu Jawa Tengah dan Solo, kelahiran dan orang tua juga berasal dari Jawa Tengah. Solo memang bagus warganya ramah, kulinernya top.

    ReplyDelete
  13. Ya Allah nyegerin semua Ambu 😍
    Aku tuh juga dulu bingung, ini cendol ama dawet sama atau beda sih?
    Soalnya mirip bentuk
    Eh ternyata sama ya hehe ...

    ReplyDelete
  14. belum pernah myicip jenis kuliner minuman dawet gempol, pleret & tahok. semoga bisa kesampean nih, paling nggak tahok lah. mungkin tahok ini sama dengan tahua yaaa. kalo tahua ada di kotaku, tapi belum pernah nyicip.

    ReplyDelete
  15. Ngomongin tahok alias kembang tahu. Sudah jarang ada yang jualan di jakarta.

    Ini nih yang akan membuat kita happy nih. Hujan hujan makan khas tradisional dari solo

    ReplyDelete
  16. Mba Maria aku ngiler banget, semuana enak. Aku pernah yang dawet itu di pasar gede tapi yang tahok manis alias taufu fa(bunga tahu) kalau dalam bahasa cantonese Hongkong itu enak banget. Nyari di sini nggak ada.

    ReplyDelete
  17. Baca ini jadi kangen menikmati semangkuk tahok. Pernah baca sudah ada yang produksi versi instannya, tapi belum pernah nyoba beli

    ReplyDelete
  18. Asyik nih ... Kuliner khas Solo, es dawet ? Jadi teringat deh ... ketika anak saya nikahan mertua menyuguhkan es dawet, enak banget es dawet solo

    ReplyDelete
  19. Euleuh Ambu, aku mupeng dan ngiler lihatnya. Seger-seger itu. Dan itu, aku kangen dengan kembang tahu. Kayaknya enak nih disantap di cuaca mendung kayak sekarang. Angeeet ke perut.

    ReplyDelete
  20. Udah lama pingin ke Solo tapi belum kesampaian. Padahal sodara tinggal di sana. Liat mimumannya jadi pingin cobain, tampak enak semua. Es dawet nya menggoda sekali, ambu. Jadi haus nih liatnya 😁 Baru tahuyang namanya Gempol Pleret. Seger banget liatnya.

    ReplyDelete
  21. Ambu,, bener banget yaahh, kl anak-anak udah gedhe satu mobil udah gak muat dan kl mesti pake 2 mobil kok gak asyik yahh, huhuu. Btw saya tersenyum pas baca di bagian gak cuma Covid-19 yang impor dari Tiongkok ya, kuliner juga termasuk minuman Tahok juga dari sana ya, kwetiaw juga Ambu...

    ReplyDelete
  22. aku ntar kalau ke solo sama keluargaku, wajib nyobain kulineran khas solo
    pengen nyobain ketiga kuliner ini di pasar gedhe, hahaha

    ^,^

    ReplyDelete
  23. Baru sekali ke Solo, itupun udah lamaaa, tahun 2013. Waktu itu hanya sempat cicip beberapa kuliner khas Solo, sepertinya harus balik lagi sekaligus mampir ke Pasar Gedhe Solo

    ReplyDelete