Kiat Agar Tidak Jadi Sarjana Pengangguran

  
maria-g-soemitro.com
sumber: pexels/joshuamckn

Kiat Agar Tidak Jadi Sarjana Pengangguran

Pernahkah terdorong untuk bekerja lembur walau tidak dibayar? Atau, andai Anda adalah free lancer, pernahkan memberi service lebih dari yang ditentukan client? Misalnya sebagai blogger, kita mempromosikan hasil tulisan, walau tidak diminta client?

Jika ya, berarti Anda telah melakukan investasi di dunia kerja. Dan punya peluang sukses lebih besar,  dibanding mereka yang yang hanya mau mengerjakan tugasnya sesuai job description. 

Saya tertarik mengupas attitude ini setelah menonton konten berjudul “Lampu Merah Pengangguran Sarjana” dalam POV Times di channel YouTube yang dikelola media IDN Times

Sebagai pembicara, Uni Zulfiani Lubis, Editor In Chief di IDNtimes, mengupas maraknya pengangguran sarjana di Indonesia mencapai 1,01 juta dari jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, pada 2025 (data BPS 2025)

Saking tingginya jumlah sarjana pengangguran, banyak diantara mereka yang melamar kerja sebagai petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU) yang juga dikenal sebagai pasukan oranye, di Jakarta.

Ngenes banget ya?

Baca juga tema worklife lainnya:

AI, Lawan atau Kawan?

Bisnis Semakin Cuan Bersama PKSS, HR Solutions Partner

Daftar Isi

  • Pengangguran, Apa Akar Masalahnya?
  • Investasi Leher Ke atas
  • Investasi Pengalaman Kerja

Gak heran netizen pun beramai-ramai membully Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka. Mereka menagih janji 19 juta lapangan kerja yang diucapkan saat kampanye.

Janji yang memang asbun! Karena jika menyimak penjelasan Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda (sumber):

"Dahulu, 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400 ribuan tenaga kerja. Saat ini 1 persen ekonomi hanya menyerap 100 ribuan tenaga kerja saja. Investasi yang masuk tidak mampu meningkatkan kinerja manufaktur Indonesia. Akibatnya, terjadi deindustrialisasi dini," ujar Nailul, Jumat (6/6/2025).

Walau demikian, andai benar Gibran berhasil mewujudkan 19 juta lapangan kerja, tidaklah bijak menggantungkan harapan pada pemerintah. Dalam hal apa pun, jangan pernah menggantungkan harapan pada siapa pun.

Malangnya, banyak orang (termasuk orangtuanya) masih salah kaprah. Mereka mengira bahwa lulusan sarjana otomatis akan bisa kerja dengan penghasilan gede.

Kenyataannya gak seperti itu. Saya pernah merekrut karyawan lulusan sarjana dengan alasan kasihan. Istrinya adalah teman saya, lulusan SMA yang banting tulang bekerja, sementara suaminya menganggur. Di rumah saja.

Hasilnya mengecewakan! Hasil kerja sarjana tersebut lebih parah dibanding karyawan lainnya yang “hanya” lulusan sekolah lanjutan. Salah satunya, dia tidak paham ketika diberi tugas membagi biaya berdasarkan pos-nya. Padahal dia sarjana ekonomi! Duh, tepok jidat deh.

Dengan kata lain, sejak awal “bahan baku” sarjana tersebut sudah salah. Mungkin sejak kecil, keluarganya sangat memanjakan. Dia dilarang mengerjakan yang “susah” dan “kotor” seperti mencuci baju dan sepatunya. Bahkan mungkin tempat tidurnya dirapikan oleh ART atau ibunya.

Bagaimana menyiapkan “bahan baku” sarjana, agar setelah lulus bisa menjadi produk yang siap bersaing di pasar tenaga kerja?

Dari beberapa sumber, kurang lebih berikut ini jawabannya:

maria-g-soemitro.com
sumber: isiantar.com

Investasi Leher Ke atas

Seperti yang saya tulis di atas, ketika memasukkan anaknya ke institusi pendidikan, orang tua kerap berharap, setelah lulus anaknya otomatis menjadi “produk jadi”!

Orangtua melupakan bahwa untuk menjadi “produk jadi” dibutuhkan proses, dan proses itu dimulai dari rumah, dimulai sejak dini.

Misalnya, sejak dini anak harus dibiasakan membawa piring bekas makan ke tempat cuci piring, demikian juga baju kotor dimasukkan ke tempat yang telah disediakan.

Pelajaran sejak dini ini merupakan bagian dari pelajaran Adversity Quotient atau kecerdasan bertahan hidup. Bagaimana anak bisa bertahan hidup, jika cuci piring aja gak bisa? Bukankah itu skill paling mudah untuk mendapatkan sekadar uang?

Setelah beranjak besar, di usia SD, sebaiknya anak-anak mendapat skill tertentu. Bisa dimasukkan ke tempat belajar karate, menari, musik, menggambar dan lainnya.

Tujuannya agar anak memiliki kemampuan non akademis. Di dunia kerja, pelamar kerja yang melampirkan kemampuan non akademis, akan lebih dihargai dibanding yang tidak. 

Tambahan skill ini selain bisa menjadi penghasilan tambahan, juga bisa untuk berbagi gratis semata untuk mendapat ridhoNya, seperti membuka les pencak silat secara gratis, atau les Bahasa Inggris gratis di setiap hari Minggu.

Lulus sekolah dasar, ada alternatif selain memasukkan anak ke sekolah lanjutan pertama, yaitu melanjutkan ke pesantren, seperti yang dilakukan Teh Okti blogger Cianjur yang menitipkan anak semata wayangnya mondok di Gontor.

Wah lulusan Gontor mah dijamin kualitasnya, gak hanya kecerdasan akademis, juga kecerdasan sosial serta pastinya kecerdasan spiritual.

Adversity Quotient anak akan terasah selama menimba ilmu di pesantren. Karena itu jangan merasa “kasihan” melihat anak mencuci piring atau menyuci baju. Yakinkan diri bahwa sebagai orang tua, kita sedang memberi “bekal” pada anak tersayang.

maria-g-soemitro.com
sumber: pexels/diimejii

Investasi Pengalaman Kerja

Beberapa teman kerap berbagi lowongan kerja di WhatsApp Group, baik sekadar share, maupun untuk memenuhi kebutuhan perusahaannya.

Saya perhatikan, umumnya syarat yang diminta adalah pengalaman kerja. Bagaimana dong nasib mereka yang baru lulus kuliah? 

Sebetulnya yang tak diinginkan perusahaan adalah fresh graduate yang “ngah-ngoh” di tempat kerja. Agar siap kerja, perusahaan harus menunggu mereka mempelajari dunia kerja, ritmenya dan beradaptasi.

Untuk perusahaan, semua itu merupakan biaya yang sebetulnya bisa dihemat. Jadi sebelum memasuki dunia kerja, siapkan dirimu. Pantaskan dirimu. Bisa dimulai dengan mengikuti aktivitas yang terkait dengan prodi, baik di kampus maupun di luar kampus.

Seperti mengikuti (bahkan jika memungkinkan menjadi pengurusnya) kegiatan “Earth Hour” untuk mahasiswa Teknik Lingkungan dan gabung di himpunannya.

Aktif di organisasi juga sangat membantu menambah investasi networking. Banyak orang memperoleh pekerjaan berkat networking ini.

Apa yang Anda kerjakan selama semester pendek? Bisa banget mengisinya dengan bekerja lho, baik dibayar maupun tidak. Ingatlah selalu bahwa kita sedang mengumpulkan investasi pengalaman kerja.

Investasi pengalaman kerja harus terus dilakukan walau sudah diterima kerja. Jangan puas hanya dengan masuk dan pulang kantor tepat pada waktunya. 

Pengalaman adik saya ini mungkin bisa ditiru. Lulus dari fakultas hukum Universitas Parahyangan, dia diterima sebagai karyawan bank BCA, sebagai kasir!

Menyadari bahwa sebagai karyawan bank,  disiplin ilmunya sebagai sarjana hukum tidak mencukupi, dia mempelajari ilmu perbankan. Di atas mejanya tercantum target bab-bab yang harus dipelajarinya.

Hasilnya sangat memuaskan. Dia berhasil menjadi manager bank. Pernah merasa jenuh, dia pun resign. Kembali bekerja sesudah menikah dan mempunyai momongan. Ternyata dia gak memulai dari nol, di kantor bank yang baru, dia langsung menjadi credit manager, posisi yang pernah dia tinggalkan.

Kesimpulan apa yang bisa ditarik dari tulisan panjang ini? Yup, sebagai manusia harus selalu belajar. Belajar sepanjang hayat atau lifelong learning dibutuhkan agar bisa meningkatkan kualitas hidup dan beradaptasi terhadap perubahan. 

Sebagai pelaku urban farming, saya sering memperhatikan bibit sayuran yang saya semai. Dari sekitar 100 buah, hanya beberapa yang dalam hitungan hari memunculkan calon daun dan batang.

Beberapa hari kemudian akan muncul calon tanaman baru lagi, demikian seterusnya sampai tersisa yang membusuk dan bersatu dengan media tanah.

Mungkin seperti itu analogi seleksi alam yang dialami manusia. Hanya mereka yang berasal dari bibit berkualitas baik akan tumbuh subur dan mampu bertahan di tengah derasnya hujan serta teriknya panas matahari.

Baca juga tema worklife lainnya:

PKSS Karir, Pintu Masa Depan

Penting! Ini Dia Manfaat Pendidikan bagi Perempuan


6 comments

  1. Nggak hanya orang tua sih. Orang-orang di sekitar kita juga akan berpikir begitu. Kalau sudah menjadi sarjana, maka akan mudah mendapatkan kerja dengan penghasilan yang gedhe.

    ReplyDelete
  2. Ulasan yang menarik...Sepakat jika belajar itu sepanjang hayat agar kita mampu terus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dan punya kehidupan yang lebih berkualitas lagi.
    Sedikit cerita, anak saya sedang kuliah di Prancis. Saat summer break begini temannya rata-rata kerja penuh waktu, part time sesuai aturan maksimal 20 jam per minggu di masa kuliah dan full time saat libur kuliah. Temannya orang sana cepat dapat kerja karena sejak SMA sudah part time sementara yang dari negara seperti Indonesia sulit karena belum ada pengalaman kerjanya

    ReplyDelete
  3. Benar sekali Mbak. Sampai saat ini masih banyak sarjana yang tidak bekerja. Ini karena pangkalnya itu ya. Orang tua menginginkan anaknya lulus kuliah langsung kerja. Mereka lupa menyiapkan bahan bakunya dulu yang merupakan proses panjang. Makanya sejak kecil anak Memang harus sudah dibiasakan mengerjakan hal-hal mudah di rumah. Misalnya membawa piring kotor ke belakang lalu mencucinya atau dibiasakan inisiatif. Halaman kotor disapu, mau hujan cucian kering diangkat dan lain-lain karena saat bekerja bukan hanya nilai akademis yang dilihat tapi hal lainnya juga. Termasuk sopan santun yang sudah harus ditanamkan sejak kecil

    ReplyDelete
  4. Ingat kondisi anak sulung saya yang saat ini masih berjuang mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam sejarah pendidikannya, dia mengalami proses pembelajaran 50% off line dan 50% on line karena kondisi pandemi. Bahkan ujian skripsi pun dilakukan secara daring karena kondisi negara yang masih diserang Covid 19. Kesempatan magang, berorganisasi, dan mengambil tambahan ilmu jadi sangat terbatas. Ini yang menjadi bottleneck bagi dia dan teman2 seangkatan saat memasukkan pengalaman kerja di CV.

    Jadi sekarang dia dan banyak teman2nya mengikuti tambahan pendidikan informasi dari berbagai sisi/organisasi. Dilakukan bulanan setelah pandemi berakhir dan kita bisa bergerak dengan normal. Doakan ya Mbak semoga rezeki pekerjaan segera didapatkan. Sekarang ikhtiar jadi freelance sesuai dengan skill dan kemampuannya. Mudah-mudah dengan pengalaman kerja langsung (di kantor) yang minim, kondisi ekonomi dan bisnis di tanah air akan segera membaik. Terbuka banyak lapangan pekerjaan yang menggiring anak saya dan teman2nya bisa mendapatkan sumber rezeki yang layak.

    ReplyDelete
  5. Setuju banget sama investasi pengalaman kerja. Itu penting banget loh, bahkan kalau perlu memang dimiliki sedari belum lulus.

    ReplyDelete
  6. Investasi leher ke atas ini emang terbukti bermanfaat banget untuk memberi kesempatan yang lebih banyak akan peluang dunia kerja ya kak. Saya suka takjub dengan beberapa teman yang nggak pernah lelah belajar di usia sekarang ini

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat