sumber: pexels/Keenan Constance)
Solo Traveling antara Mimpi dan Eksistensi
Punya kebiasaan seperti saya? Setiap bangun pagi selalu terbayang apa yang harus/mau dilakukan hari ini. Termasuk rencana remeh seperti mau masak apa, atau mau pakai baju apa.
Sewaktu anak-anak masih kecil sih otomatis urusan merawat mereka ya? Baju seragam yang harus disiapkan, menu makanan, serta aktivitas selain menjemput anak-anak, seperti ke pengajian, belanja bulanan dan lainnya.
Nampak sederhana, tapi di kemudian hari saya baru paham bahwa yang saya alami termasuk ke dalam fitrah manusia sebagai mahluk yang bekerja.
Manusia (homo) sebagai mahluk yang bekerja terbagi atas homo mechanicus (bergerak teratur), homo faber (bekerja/berkarya), homo ludens (bermain).
Dengan bekerja saya merasa bernilai. Dengan bekerja saya merasa mempunyai arti. Seperti ketika anak-anak masih kecil, saya memberi arti pada hidup saya dengan memberikan hal-hal yang terbaik yang bisa saya berikan.
Ketika anak-anak beranjak menjadi ABG, saya mulai menekuni bidang lingkungan hidup. Ruang lingkup yang sangat baru. Baru saya pahami dan baru saya tekuni.
Tidak itu saja. Saya juga mulai membentuk dan mendampingi komunitas pengelola sampah. Minimal dua kali dalam seminggu saya mendatangi komunitas yang berbeda. Excited banget rasanya.
Baca juga:
I’m a Blogger, dan Saya Bangga!
Jennifer Lopez dan Cara Mendidik Anak Agar Punya Kebanggaan Diri
Daftar Isi:
- Nasib Pensiunan dan Pengangguran
- Karena Manusia Butuh Eksistensi
- Karena Manusia Butuh Mimpi
- Mimpi Saya: Solo Traveling
Serangan pandemi Covid-19 merenggut kegembiraan saya. Tak lama kemudian, anak-anak mulai menemukan pasangan hidup dan tinggal jauh dari Bandung.
Si sulung dengan istri cantiknya di Jakarta (lebih tepatnya di Bekasi), anak nomor 2 berangkat ke UK untuk sekolah lagi bersama keluarga kecilnya, anak nomor 3 dengan istri tersayang di Surakarta (lebih deket ke Boyolali sih) sedangkan anak bungsu di Tangsel.
Tinggallah saya sendirian di Bandung coret, tepatnya di Tanjungsari Sumedang. Jarak yang jauh dari Bandung membuat saya tidak bersemangat membentuk komunitas pengelolaan sampah yang baru.
Tak bisa meninggalkan aktivitas lingkungan hidup, saya memilih menjadi trainer zero waste cities bersama YPBB Bandung. Itu pun tak banyak, tergantung waktu dan kesempatan yang jarang ada.
Pernah sih kepikir untuk sekolah lagi. Terlebih setelah melihat anak nomor 2, setelah merampungkan doktoralnya di Ehime University Jepang, dia mengambil lagi kuliah pascasarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di Uninus Bandung.
Tapi duh, halangannya itu lho. Perjalanan Tanjungsari-Bandung sekitar 2 jam. Belum lagi biaya yang pastinya gak murah. Padahal dengan budget yang sama, bukankah saya bisa memilih aktivitas yang lebih sesuai?
Karena Manusia Butuh Eksistensi
Mungkin, banyak orang akan ngebatin melihat saya: “Anak-anak udah dewasa dan mandiri, mau apa lagi sih? Rebahan aja. Nikmati aja. Nonton drama Korea atau drama Cina sepuasnya, dari pagi hingga malam hari. Gak ada yang melarang. Gak ada kewajiban harus melakukan apa pun, selain makan minum dan tidur!”
Nah pernah terjadi nih pada almarhum ibunda. Beliau memutuskan meninggalkan kegiatan “mutar otak” seperti bikin gudeg komplet kemudian menjualnya di gereja, usai ibadah Minggu. Cuma seminggu sekali, tapi banyak manfaatnya.
Apa penyebabnya? Banyak mulut nyinyir yang bilang:”Ngapain masih jualan bu? Kan anak-anaknya sudah sukses.”
Malas nanggapi mulut nyinyir, beliau mengganti aktivitas dengan di rumah saja nonton sinetron Indonesia dan tayangan infotainment. Akibatnya, energi hidup beliau melemah. Ibunda dipanggil Sang Maha Pencipta setelah berulang kali bilang: “Hidup saya sudah selesai, saya siap “dipundut” Tuhan.”
Kasus yang sama terjadi pada bulik (ibu cilik) atau adik almarhum ayahanda yang tinggal di Surabaya. Beliau suka banget menyanyi. Karena itu beliau bergabung dengan koor (paduan suara) di gereja tempat bulik saya beribadah.
Cantik dan suka menyanyi sungguh paduan yang serasi ya? Sangat disayangkan pastor rupanya tidak sependapat. Sang pastor menegur dan mengatakan bahwa sebaiknya bulik memberi kesempatan pada yang muda-muda.
Merasa malang, bulik saya mengundurkan diri dari kegiatan paduan suara gereja tersebut dan menghembuskan nafas terakhir, beberapa bulan kemudian.
Kasus yang terjadi pada almarhum ibunda maupun almarhum bulik, merupakan kasus ketika seseorang “diusir” dari tempatnya beraktivitas, sehingga dia kehilangan aktivitas kerja yang memberi nilai pada hidupnya.
Bahkan lebih parah, keduanya kehilangan eksistensial. Hal yang dibutuhkan seseorang untuk “hidup”, yaitu keberadaan yang bermakna. Untuk merasa hidup, seseorang harus merasa “ada” dan “bermakna”
Eksistensi berbeda dengan aktualisasi. Eksistensi dapat diartikan sebagai keberadaan seorang manusia, sedangkan aktualisasi baru bisa dicapai jika seorang manusia telah mencapai puncak eksistensi. Aktualisasi merupakan proses merealisasikan potensi diri secara optimal.
sumber: pexels/Rakicevic Nenad |
Karena Manusia Butuh Mimpi
Dalam kupasannya tentang “Mimpi” , Dr. Fahruddin Faiz, M.Ag pengisi dosen UIN yang rutin memberi kajian Ngaji Filsafat melalui kanal YouTube, MJS Channel menjelaskan bahwa:
Mimpi adalah bentukan dari harapan manusia yang seringkali menjadi tujuan sekaligus makna hidupnya. Mimpi menjadi motivasi yang mendorong orang untuk terus berusaha, walaupun kesulitan datang silih berganti.
Rupanya para filsuf mengartikan “mimpi” atau “dream” berbeda dengan pengertian mimpinya manusia awam ya?
Dan terkait mimpi, dalam dua kasus di atas, almarhum ibunda dan bulik belum sempat mewujudkan mimpinya karena tersingkir ketika berusaha mewujudkan eksistensi diri.
Saya pun mengalami hal yang sama. Selama berumah tangga dan mengalami KDRT, jangankan mewujudkan mimpi, saya kehilangan eksistensi diri. Saya menjadi “konco wingking” yang serba salah dan serba dilarang.
Ketika saya memutuskan untuk blogging sebagai wujud eksistensi diri, saya mengalami KDRT verbal, mental dan ekonomi. Karena itu, saya paling sebal dengan mulut nyinyir yang bilang: “Ngapain divorced? Anak-anak udah gede, tinggal enaknya.”
Justru saya memutuskan divorced ketika anak-anak sudah gak membutuhkan saya. Sebelumnya, demi anak-anak saya bertahan walau kehilangan eksistensi diri.
Setelah anak-anak dewasa, saya gak mau terprovokasi mulut nyinyir seperti yang dialami almarhum ibunda dan bulik. Saya membutuhkan eksistensi diri agar bisa hidup normal.
Dengan divorced saya bisa blogging dengan merdeka. Tidak ada lagi ketakutan. Tidak ada lagi terror yang membuat saya depresi dan butuh perawatan khusus.
Mimpi Saya: Solo Traveling
Mimpi traveling tercetus setelah membaca kisah traveling pasutri yang dimuat di majalah Intisari. Yup puluhan tahun silam. Sejak kecil, bahkan sebelum bisa membaca, majalah Intisari yang terbit setiap bulan, menjadi “camilan” saya.
Tentunya cuma lihat gambar. Setelah bisa membaca, saya mulai membaca beragam anekdote yang muncul dalam kolom-kolom kecil di antara artikel Intisari.
Sewaktu mampu membaca secara utuh itulah, traveling pasutri yang rutin muncul setiap bulan, menjadi artikel favorit yang saya tunggu dan saya lahap habis.
Mimpi traveling muncul lagi ketika sering membaca blog milik Trisuci, seorang Travel Blogger Medan yang aktif menulis tentang traveling. Salah satu tulisannya, Danau Linting Eksotis Penuh Misteri membuat saya tersadar bahwa banyak sekali destinasi wisata menarik yang bisa saya kunjungi.
Sebelumnya, yang ada di benak saya adalah solo traveling ke luar negeri seperti pasutri yang artikelnya saya baca di Intisari. Kisahnya emang unik-unik.
Namun ternyata kisah traveling di dalam negeri tidak kalah unik. Melalui blognya, Trisuci aktif menulis destinasi wisata Sumatera Utara yang nampak gak ada habisnya, sehingga membuat saya geleng-geleng kepala dan berdecak kagum.
Karena itu, saya mulai keluar dari “cangkang”. Ya baru belajar keluar. Seperti anak ayam yang baru menetas dan mengintip keluar dari dalam cangkang.
Beberapa tahun lalu, saya mencoba datang ke Jakarta, ke event Kompasianival. Tidak mudah. Setelah berpuluh tahun hidup ketakutan karena larangan keluar rumah, kemudian tiba-tiba bisa hidup merdeka, itu seperti hanya sebagian badan yang keluar rumah, sebagian lagi masih tertinggal di dalam rumah.
Saya juga mulai “belajar” naik kereta api ke Solo, Yogya dan Sukabumi. Kota-kota tempat tinggal sanak keluarga, sehingga bisa menghubungi mereka untuk minta dijemput dan semacamnya.
Setelah mulai membiasakan diri, tahun ini saya belajar solo traveling tipis-tipis ke Depok, suatu kota yang benar-benar asing. Ada saudara sepupu sih di sana. Saudara sepupu yang terpisah puluhan tahun oleh benang belenggu KDRT dan sekarang bisa sebebas-bebasnya ngerumpi.
Tahun 2025, saya berharap bisa memulai solo traveling tipis-tipis saya dengan beberapa tujuan menarik. Punya usul destinasi menarik yang wajib dikunjungi? Jangan jauh-jauh dulu ya? Di sekitar pulau Jawa dulu aja. 😊😊
Baca juga:
Merenung baca tulisan ini, yes aku juga setiap hari di kepala ada list kerjaan yang harus kerjakan. Yes aku juga butuh eksistensi diri...pengakuan aku hebat...( Itu yang membuat hidup jadi lebih berarti. Lebih termotivasi untuk bangun esok hari
ReplyDeleteMerenung baca tulisan ini, yes aku juga setiap hari di kepala ada list kerjaan yang harus kerjakan. Yes aku juga butuh eksistensi diri...pengakuan aku hebat...( Itu yang membuat hidup jadi lebih berarti. Lebih termotivasi untuk bangun esok hari
ReplyDeleteSolo travelling memang punya sisi kelebihan dan kekurangan sih Mbak Maria, tapi kalau emang punya karakter yang kuat untuk mandiri, why not. Semangat Mbak Maria.
ReplyDeleteMashaAllaa~
ReplyDeleteAmbu kereen sekalii.. Allah beri limpahan kemudahan, tetapi gak pernah ada yang tahu mengenai luka yang butuh Ambu sembuhkan. Dan mungkin saja bisa jadi trigger ketika ada hal yang terjadi kembali.
Ambu hebat!
Semoga aktivitas aktifnya semakin meluas.. gak hanya menulis, someday bisa lebih kuat lagi eksistensi semangat menyalurkan ilmu yang Ambu miliki untuk masyarakat.
Yakin sekali, Ambu pastinya banyak yang "menunggu" untuk beraksi.
Berasa deep talk, Mba. Bener banget sih Mba, semua hal udah berbaris rapi di kepala, habis ini harus ini lalu ini lanjut itu. Dan kita juga harus berani keluar dari kalimat nyinyir yang dilontarkan ke kita..
ReplyDeletePerempuan terkadang harus memprioritaskan hal lain di atas dirinya. Saat semua sudah beres, bolehlah kembali beraktivitas untuk diri
ReplyDeleteKeren Ambu memiliki harapan untuk solo traveling. Kalau daku masih belum berani, soalnya lebih nyaman ada temennya. Yang penting jaga diri dan kesehatan ya Ambu pas traveling.
ReplyDeleteMasya Allah, salut pada Ambu. Saya ikut bangga dengan pencapaian putra-putrinya.
ReplyDeleteSepakat, manusia butuh eksistensinya diakui juga pastinya ingin mewujudkan mimpi.
Hampir sama saya juga ingin solo traveling..Saat ini mau pergi pasti mikirnya yang ngurusin bocah yang masih sekolah siapa..haha, jadi ditunda dulu deh
Ayo Ambu traveling ke Jatim atau Jateng dan sekitarnya, mumpung moda transportasi makin mudah. Ke kota yang antimainstream saja...yang belum ramai banget destinasinya
Main ke Cianjur Selatan Bu...
ReplyDeleteHayu nganjang ke kampung saya. Gak bisa menyediakan dan menyambut maksimal sih, tapi setidaknya di saung butut ini bisa untuk sekedar bermalam. Hehehe
Semoga keinginan dan harapan di tahun baru nanti bisa tercapai ya... Aamiin...
Smg terwujud ya harapannya untuk solo traveling. Rasanya untuk pulau jawa banyak banget destinasinya. Mulai yang di kota2 besar sampai di pelosok
ReplyDeleteSalut sekali, sudah lebih mampu tidak lagi memperdulikan mulut-mulut nyinyir. Pastinya sangat menyesakkan saat harus berada dalam belenggu KDRT yang menyakitkan bahkan menyisakan banyak trauma sungguh kuat dan hebat ambu.
ReplyDeleteCoba solo travelling ke Dieng Wonosobo di sana alamnya sangat indah, cuacanya nyaman. Rasanya akan menyegarakan sekali melakukan perjalanan ke Wonosobo dari tempat tinggal saat ini.
Terima kasih sudah mengingatkan betapa pentingnya eksistensi diri.
Kayaknya seru yaa Ambu jalan-jalan keliling pulau Jawa sendirian. Dulu waktu belum nikah aku suka jalan-jalan ke luar kota sendiri, ikut open trip, ketemu temen baru. Ke Yogyakarta, Boyolali, Klaten Solo, Karimun Jawa juga oke buat jadi destinasi wisata sendirian
ReplyDelete