Guru Mengajiku, Mirip Ibu Sinta Nuriyah Wahid

    
maria-g-soemitro.com
sumber: hidayatuna.com

Guru Mengajiku, Mirip Ibu Sinta Nuriyah Wahid

Awal bertemu saya terpana, wajahnya familer banget. Setelah lama berbincang, barulah saya mengingat persamaan wajahnya dengan Ibu Sinta Nuriyah Wahid, istri Presiden ke-4 Indonesia. Cantik, dengan mata segaris, pipi agak chubby dan kulit putih.

Kemiripan juga nampak pada kegemaran berbusana two piece berwarna cerah. Bedanya Ibu Sinta membiarkan sebagian rambut nampak di balik kerudungnya, sementara dia prinsip “rambut adalah aurat” sehingga kerudungnya selalu tertutup rapat.

Persamaan lainnya, Ibu Sinta mengamalkan keahliannya dengan enerjik, walau harus duduk di kursi roda sejak mengalami kecelakaan pada 1992 silam. 

Demikian juga dia (usianya sama dengan Ibu Sinta), selalu bepergian dengan enerjik. Selain memimpin pengajian di masjid, dia juga mengajar mengaji di rumahnya, serta di rumah muridnya.

Dia adalah guru mengaji saya yang biasa dipanggil Enin Husna. Enin (Bahasa Sunda) artinya nenek, dan Husna adalah nama suaminya. Nama gadis Enin Husna hilang begitu saja paska menikah.

Baca juga:

Menyelami Fikih Perempuan Bersama Channel Aam Amirudin

Doa Terdalam untuk Anakku, Kekasihku, Pahlawanku, 

Daftar Isi:

  • Guru Mengajiku Mirip Ibu Sinta Nuriyah Wahid
  • Jumpalitan Belajar Membaca Al-Qur'an
  • Cara Primitif Belajar Mengaji
  • Cara Guru Mengajiku Memaknai Ujian Hidup

Hanya beberapa tahun saja saya belajar mengaji pada Enin Husna, tapi dampaknya terasa sampai kini. Karena Enin Husna gak hanya membimbing saya belajar membaca ayat suci  Al-Qur'an, juga belajar menjadi Muslimah yang kaffah.

Kok bisa?

Hehehe ….malu campur geli rasanya jika ingat pertama kali belajar mengaji. Masa saya memakai baju lengan pendek?! Sampai Enin Husna menjanjikan akan membawa kerudung, agar saya mengaji dengan baju tertutup. Padahal kerudung mah saya punya.🙈🙈

  

maria-g-soemitro.com
sumber: freepik.com

Jumpalitan Belajar Membaca Al-Qur'an

Masuk Islam tuh harus komplit. Gak hanya mengamalkan 5 rukun Islam, tapi juga harus bisa membaca kitab suci umat Islam. Sayangnya pengetahuan saya tentang Islam nol besar. Gak didukung lingkungan, terlebih keluarga besar yang non muslim.

Karena itu setelah membeli buku panduan salat seharga Rp 1.000, saya juga membeli buku belajar huruf Al-Qur'an di pasar buku Palasari, harganya pun sama, hanya Rp 1.000.

Harga buku seimbang dengan kualitasnya. Jika saya cukup lancar belajar panduan salat (caranya, saya menghafal seayat demi seayat). Tidak demikian hal nya dengan belajar huruf Al-Qur'an. Ini mah gak bisa dihafalin!

Saya pun mulai berburu guru. Dan terjadilah insiden lucu. Hihihi, dulu saya pikir perempuan berjilbab pastilah pakar mengaji/membaca ayat suci Al-Qur'an.

Kebetulan di sebuah tempat kost yang berdekatan tempat kost saya, ada seorang perempuan berjilbab. (Dulu perempuan berjilbab bisa dihitung dengan jari). Saya yang baru resmi masuk Islam dengan mengucap syahadat, minta bantuan padanya untuk mengajari mengaji

Kaget dong saya ketika dia menolak.

“Saya cuma bisa baca, tapi untuk mengajar, saya takut tajwidnya salah”

Tajwid, apa itu? 

ilmu tajwid adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara mengucapkan huruf-huruf yang ada di dalam kitab suci Al-Qur'an. (sumber)

Dulu, saya belum paham bahwa panjang pendek bacaan akan mengubah arti. Sehingga tidak mudah seseorang menjadi guru mengaji. Lebih mudah mengajar matematika.

Akhirnya sambil menunggu ‘kedatangan guru’, saya mempelajari sendiri buku yang saya miliki, yang dikemudian hari saya ketahui, buku tersebut menggunakan metode turutan atau cara membaca dengan cara  metode alif fat-hah, alif kasroh, alif dhommah. Yang pastinya susah banget untuk pemula seperti saya.

Alhamdulilah penantian saya pun berbuah. Suatu hari seorang tetangga mengenalkan saya dengan guru mengaji yang wajahnya mirip Ibu Sinta Nuriyah, dialah Enin Husna.

Selain menegur saya yang berbaju ‘you can see’ (kisah di atas)  Enin Husna mengenalkan saya dengan buku Iqro untuk pertama kalinya. Metode membaca huruf Al-Qur'an yang ditemukan KH As'ad Humam ini terasa sangat mudah, tapi susah.

Lha?

Iya, Enin Husna termasuk orang yang perfect. Dia tak akan membuka lembaran baru jika saya belum menguasai pelafalan huruf per huruf. 

Agar cepat menunjukkan progress, saya menyiasati dengan mempelajari ulang lembaran Iqro, beberapa hari sebelum kedatangannya. Bila perlu menghafalkannya!

Mirip anak SD yang mau ulangan harian ya? 

Yup persis banget. Dari Psikolog Indun Lestari Setyono, saya tahu metode yang digunakan disebut sebagai metode primitive karena murid belajar untuk menghafal dengan cara mengulang dan mengulang.

Cara ini biasa digunakan oleh lembaga pendidikan dengan metode konvensional, dan sangat membantu anak dengan konsentrasi pendek, atau anak dengan masalah belajar lainnya. 

  

maria-gh-soemitro.com
sumber: freepik.com

Cara Primitif Belajar Mengaji

Dalam tausiahnya, Ustaz Aam Amirudin berkisah tentang kebiasaan neneknya sewaktu dia masih kecil. Sebagai cucu laki-laki tertua, Aam kecil kerap dimanja dalam pangkuannya. Kemudian sang nenek akan mengumandangkan suatu surat dalam Al-Qur'an (maaf lupa namanya, yang pasti bukan Al-Fatihah, Al-Ikhlas dan surat pendek lainnya 🙈🙈).

Begitu seringnya Aam kecil mendengar alunan surat yang lumayan panjang itu, surat tersebut menjadi yang pertama dia hafal. 

Cara belajar yang sama kerap kita lihat di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diselenggarakan yayasan keagamaan tertentu. PAUD dari yayasan yang berafiliasi dengan NU, Muhamadiyah dan lainnya, akan membiasakan peserta didiknya membaca AL- Fatihah dan surat-surat pendeknya.

Demikian pula sekolah yang berafiliasi dengan yayasan keagamaan lainnya. Sehingga kini, walau sudah puluhan tahun berselang dan gak pernah digunakan, saya masih hafal doa ‘Bapa Kami’ dan ‘Salam Maria’, doa pendek yang hampir selalu dibaca dalam upacara agama Katolik.

Mengkhususkan diri dalam psikolog anak, Dr. Indun Lestari Setyono menjelaskan bahwa cara menghafal demikian merupakan metode primitive, bisa dicoba ketika sedang mendampingi/melatih anak yang kesulitan belajar. Dimulai dari materi termudah, diulang-ulang terus sampai bisa, setelah itu barulah beranjak ke materi yang lebih sulit.

  

maria-g-soemitro.com
sumber:mubadalah.id

Cara Guru Mengajiku Memaknai Ujian Hidup

Beberapa tahun belajar mengaji pada Enin Husna, saya terpaksa berhenti sewaktu melahirkan anak bungsu, Mabelle. Ketika itu waktu untuk pribadi (me time) menjadi sangat mahal. Tanpa ART, saya harus jumpalitan mengurus 3 kakak Mabelle yang masih balita, dan tentu saja bayi jelita saya, Mabelle.

Hubungan saya dengan Enin Husna tidak terputus karena anak kedua saya, Iyok, belajar mengaji pada Enin Husna. Iyok memang mempunyai temperamen yang khas. Konsentrasi nya pendek dan gemar mengganggu adik dan kakaknya, sehingga mereka bertiga sulit digabung dalam satu guru.

Alhamdulilah Enin Husna mempunyai pengalaman mengajar anak-anak kecil yang belajar mengaji ke rumahnya. Enin Husna sangat sabar dalam menghadapi Iyok yang gak bisa diam. Ditengah pelajaran, bisa saja Iyok tiba-tiba ‘teterekelan’ (memanjat) teralis rumah.

Aktivitas Enin Husna terpaksa berhenti saat dia mengalami stroke. Di usianya yang mendekati 70 tahun, sosok enerjik ini tiba-tiba harus berbaring di atas kasur. Lumpuh sebagian tubuhnya, dari bagian perut ke bawah. Kondisi ini memaksa Enin Husna harus BAB dan BAK di tempat tidur.

Setiap pagi, seorang tetangga datang untuk membasuh tubuh Enin Husna, mengganti pampersnya, kemudian mendorong keluar kamar untuk berjemur. Sesudah itu, Enin Husna harus menghabiskan waktu sendirian. Berjam-jam melewati watu siang, sore, malam sampai pagi hari. 

Apa yang dilakukan Enin Husna sambil memandangi atap kamarnya? Mengutuk Allah SWT? Meratapi nasib? Atau mengeluh panjang lebar agar didengar anak-anaknya yang bersliweran di luar?

Ternyata tidak. Enin Husna justru merasa bersyukur mendapat kesempatan sakit. Enin Husna yakin,  sakit yang dideritanya merupakan pertanda Allah SWT menyayanginya. Dia membantu Enin Husna mengurangi dosa-dosa sebelum menghadapNya.

Untuk mengisi hari, Enin Husna melewatkan waktu dengan membaca lembaran juz 'amma. Lembaran-lembaran itu dibacanya berulang-ulang. 

Di sore hari dia menghentikan kegiatan membaca juz 'amma, dan menggantinya dengan mengingat yang ‘enak-enak’, seperti “Ah, nanti saya mau jajan zuppa soup”, karena di sore hari cucu-cucunya punya kebiasaan jajan makanan pada PKL yang lewat depan rumah maupun berbelanja melalui layanan pesan antar.

Begitulah, saya belajar dari Enin Husna bagaimana caranya mengisi hidup, yaitu dengan bermanfaat dan sebisa mungkin tidak menyusahkan orang lain. Tegar hingga akhir hayat.

Jika dipikir ulang, mengeluh saat sakit  gak bawa solusi ya? Anggota keluarga dan kerabat disekeliling tidak bisa membantu. Dokter pun hanya bisa memberi resep obat. Setelah itu?

Wafat beberapa tahun silam, saya selalu mengenang Enin Husna dan mendoakannya. Serta tak lupa membuka Al-Qur'an dan membacanya. Karena sesuai janji Allah SWT:

"Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang sholeh." (HR Muslim).

Walau pendidikannya tidak tinggi, Enin Husna mempunyai kemampuan mengajar membaca huruf Al-Qur'an. Dia menyebarkan keahliannya dengan tulus ikhlas. Kepada siapapun yang membutuhkan.

Sebagai murid, saya cukup mempraktikannya agar amal kebaikan almarhumah Enin Husna terus mengalir. Agar guru mengaji yang telah berjasa mengajari saya membaca Al-Qur'an,  mendapat kemulian dan mendapat tempat disisiNya.

Baca juga:

PerempuanMelek Politik? Harus Atuh!

Mabelle, Mama Kangen Nak ... Lebaran Ini Ingin Bertemu


21 comments

  1. Terharu membaca kisah guru mengaji ambu Enin Husna.Level keimanannya sudah tinggi.Ini terbukti ketika beliau mengalami Stroke tidak menghujat tetapi justru bersyukur.Ini yang tidak semua orang dapat lakukan.Lekas sembuh Enin Husna

    ReplyDelete
  2. Masyaallah. Salut sama kegigihannya belajar. Dipandu oleh guru yang mumpuni pula

    ReplyDelete
  3. Wah senangnya bisa mempunyai tokoh idola guru ngaji lagi ya yg mirip tokoh idola besar seperti ibu Sinta Nuriyah..saya pun kagum dengan pemikiran moderat seorang mantan ibu negara seperti ibu Sinta Nuriyah keren dan berkualitas

    ReplyDelete
  4. Guru merupakan jembatan masa depan cerah kita. Kita wajib hormat kepada guru.

    ReplyDelete
  5. Masha Allah, terharu bacanya Ambu, sekaligus teringat akan guru ngaji saya dulu.
    Saya belajar ngaji usia 10 tahunan kayaknya :D
    Diajarin guru agama SD, sampai Alquran kecil.
    Terus pas naik Alquran besar, di ajarin guru olahraga SMP yang pintar ngaji.
    Masih teringat betapa galaknya si bapak kalau ngajar ngaji, yang bikin saya masih ingat banget semua ajarannya sampai sekarang

    ReplyDelete
  6. Banyak berkaahhh utk beliau dan para ustadz/ustadzah yg demikian ikhlas menebarkan ilmu agama. MasyaALLAH, saya selalu sukaaa kalo baca diary muallaf seperti ini.
    karena saya dulu kan nulis di majalah Islam, dan tiap bulan kudu wwcr mualaf, jadi saya sering penasaran dgn story behind perjalanan seseorang menemukan Islam.

    ReplyDelete
  7. Guru ngaji yang pastinya sangat mempunyai kesan tersendiri, kalau saya usia 3 tahunan dasar² Al-Qur'an yang mengajari mama saya setelah usia 5 tahun barulah mengaji dengan orang lain dengan pak Ihar asli Betawi, bila salah baca di ulang² hingga benar tapi Alhamdulillah sebelum SD saya khatam juz amma, dengan bantuan mama dan guru saya ilmunya membuat saya khatam Al-Quran dan ini jadi bekal saya untuk selalu mengkhatamkan baca Al Qur'an baik Ramadhan maupun bulan² lain. (Semoga amal jariah mereka membawa ke surga aamiinn).

    ReplyDelete
  8. BarakAllah. Ilmu membaca Al Qur'an Enin Husna insyaAllah selalu menjadi ladang pahala yg terus mengalir utk almarhumah tanpa mengurangi pahala murid-murid beliau.
    Saya yg membaca artikel ini jadi diingatkan, sakit flu sebentar aja pada bulan Maret kemarin keluh kesahnya gimana. Terima kasih sudah menuliskan pelajaran hidup ini Ambu.

    ReplyDelete
  9. Luar biasa sekali ya Enin Husna. Meski nggak berpendidikan tinggi tp pandai mengaji dan mengajarkannya. Semoga amalnya jd amal jariah. Aamiin.

    ReplyDelete
  10. Dengan mengulang terus pastinya nanti bisa semakin lancar membaca ayat suci Al Quran beserta tajwid yang bagus ya, Mba. Pastinya belajar bisa dimulai kapan saja asal ada kemauan dan tekad untuk komitmen belajar. Semangat terus belajarnya Mba, guru ngajinya yang enerjik pastinya menyebarkan aura baik juga ke murid yang dibimbing.

    ReplyDelete
  11. Guru ngaji pertama kali tuh selalu meninggalkan kesan di hati terdalam. Karena lewat merekalah kita mengenal qalam Allah dan memahami berbagai arti yang tersirat dan tersurat didalam Qur'an. MashaAllah. Jadi kalau mengingat guru ngaji tuh selalu istimewa.

    BTW sekarang di tempatku rada susah loh Mbak cari guru ngaji. Dulu ada yang mengajar anak-anak saya tapi beliau juga sudah wafat. Semoga bisa menemukan lagi ah.

    ReplyDelete
  12. Metode yang sama saya ajarkan kepada Fahmi. Seperti Enin Husna, saya pun tidak akan membiarkan Fahmi membuka halaman baru Iqranya sebelum hafal benar halaman sebelumnya. Alhamdulillah sekarang sih Fahmi udah membaca Al Qur'an sendiri.

    Enin Husna semoga mendapat kemuliaan Allah SWT. Sebagai guru ngaji di kampung ini, kami merasakan bagaimana sebenarnya beban seorang guru ngaji Al Qur'an itu...

    ReplyDelete
  13. Enin Husna, sosok yang lura biasa. Menjalani masa tua, bahkan sakit, dalam kesendirian, namun masih tetap memiliki semangat hidup yang tinggi. Alih-alih mengeluh, malah masih tetap mempertajam bacaan Qur'an dan juga membayangkan hal yang enak-enak.

    ReplyDelete
  14. Hal yang menginspirasi ini, jadi memberikan pengaruh baik buat kita. Yuk, lakukan hal yang bermanfaat karena feedback-nya juga positif buat kitanya

    ReplyDelete
  15. semoga amal ibadah alm ibu guru ngajinya Ambu bisa diterima. Pastinya kangen banget ya dan kita jadi ingat sama orang-orang baik di sekitar kita.

    ReplyDelete
  16. Guru memang bisa jadi inspirasi buat muridnya. Dulu, aku mulai semangat mengejar impian juga karena motivasi jadi guru. Sayangnya aku nggak punya passion jadi guru padahal S.Pd

    ReplyDelete
  17. Belajar mengaji untuk bekal akhirat. Belajar mengaji akan membekali muslim untuk apa manusia diciptakan?buat ibadah salah satunya belajar mengaji

    ReplyDelete
  18. Apa yang sudah dilakukan oleh Enin Husna sangat menyentuh ya ambu, semoga setiap ilmu yang diajarkan menjadi ladang pahala untuk Enin Husna yang akan terus mengalir

    ReplyDelete
  19. Setiap hari Selasa dan Kamis saya mendengar pengajian yang selalu menyebut para guru sebagai penerima doa dan sering pula merinding betapa beruntungnya beliau-beliau ini. Membaca ini selain salut dengan Mbak Maria juga salut pada Bu Enin.

    ReplyDelete
  20. Inspiratif sekali saya membaca kisah perjalanan Ambu utk belajar mengaji. Ditambah lagi mendapatkan guru ngaji yang baik banget. Semoga Ibu Enin mendapatkan tempat yg terbaik di sisi Allah SWT. Aamiin

    ReplyDelete
  21. Bulan ramadan emang enaknya dibuat untukberibadah sebanyak-banyaknya ya mbak. Apalagi kalau ada pembimbingnya. Pasti hati makin menteb

    ReplyDelete