Tradisi Tahlilan, Pilih Adab atau Ilmu?

    
maria-g-soemitro.com
sumber: freepik.com


Tradisi Tahlilan, Adab atau Ilmu?


“Kemarin saya bikin tahlilan untuk almarhum suami, bu, kebetulan ada uangnya.” Penjelasan ART tersebut menyentak saya. Tanpa saya sadari rupanya sang ART mengira saya tidak menyukai acara tahlilan, sehingga dia merasa perlu memberi penjelasan. 

Tahlilan merupakan upacara keagamaan Islam, khususnya di pulau Jawa, untuk memperingati kematian seseorang di hari ke-7, 40, 100, 1000, setahun (haul). Yang menarik, muncul perbedaan pandangan tentang tahlilan. Sehingga kerap membingungkan, terlebih untuk saya yang baru menekuni Islam di usia 30 tahun. 

Bik Emoh, nama sang ART, paham banget kegalauan saya. Dia tinggal satu kawasan dengan saya, tepatnya satu rukun warga (RW). Rumahnya terletak di belakang perumahan yang saya tinggali, sehingga untuk bekerja dia bisa datang pagi pulang di sore hari 

Ada 2 masjid di lingkungan kami, masjid yang berada dekat rumah  Bik Emoh dibangun seorang kyai NU, sementara Ketua DKM masjid yang berdekatan dengan rumah saya dikenal sebagai warga Muhammadiyah. 

Seperti diketahui warga Muhammadiyah termasuk bagian umat Islam yang tidak setuju tahlilan, sedangkan warga NU menerapkan tahlilan untuk memperingati kematian. 

Kebetulan guru mengaji saya mempunyai kekerabatan dengan Ketua DKM masjid dekat rumah, sehingga Bik Emoh menyangka saya berkiblat pada Muhammadiyah, sedangkan dia warga NU. 

Baca juga:    
Tiada Sehelai Daun Gugur Tanpa Seizin Allah 

Berpikir Kritis Menurut Islam dan 5 Hikmah Berpikir Kritis

Daftar Isi:

  • Mengapa mempertentangkan tahlilan?
  • Tahlilan, Yay or Nay?    
  • Tradisi Tahlilan, Pilih Adab atau Ilmu? 

Mengapa mempertentangkan tahlilan? 

Karena umat Islam yang menolak tahlilan menganggap tahlilan bertentangan dengan tujuan mereka memurnikan agama Islam. Mereka menganggap tahlilan sebagai bid’ah.

Bid'ah ialah "segala sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW pada zaman beliau masih hidup, tetapi kemudian dilakukan atau dilaksanakan oleh ummatnya setelah beliau wafat. 

Karena sejak menjadi mualaf saya melakukan pencarian, saya tidak (atau belum) membuat keputusan yang tegas, apakah memilih menjadi warga NU, atau Muhammadiyah, atau Persis serta lainnya.  

Atauuu…memilih tidak memihak, dan terus mempelajari Islam lebih dalam, diantaranya mempelajari tentang tahlilan.
  

maria-g-soemitro.com
sumber:tribunnews.com

Tahlilan, Yay or Nay?    

Jika mau mempelajari lebih lanjut, upacara doa untuk memperingati kematian bukan hanya milik umat Islam. Umat Katolik juga melakukannya, hanya caranya saja berbeda.  

Keluarga besar saya misalnya. Mereka penganut agama Katolik yang taat. Mereka juga selalu memperingati kematian pada hari ke-7, 100, setahun dan 1000 hari. 

Bentuknya mirip pengajian selama 7 hari seperti yang dilakukan kaum muslim, bedanya mereka doa rosario (semacam tasbih) secara bersama-sama, pada hari ke-7, 100, setahun dan 1000 hari.
Andai situasi tidak memungkinkan, doa bisa “dititipkan” pada saat misa/upacara sakramen di hari Minggu. 

Namun saya kok yakin,  Paus Fransiskus  pemimpin umat Katolik di Vatican tidak mengetahui adanya upacara memperingati kematian seperti itu. Karena ritual demikian merupakan tradisi orang Indonesia, khususnya di tanah Jawa, yang  bertujuan untuk menyatakan simpati dan empati kepada keluarga 

Bagaimana dengan penganut agama islam yang keberadaannya mayoritas di Indonesia?
Berasal dari akar kata “tahlil” yang kemudian dalam Bahasa Indonesia ditambah dengan akhiran “an”. Dikatakan tahlilan, karena porsi kalimat la ilaha illallahdibaca lebih banyak dari pada bacaan-bacaan yang lain. 

Dengan adanya tambahan akhiran “an” maknanya jadi sedikit bergeser. Tahlilan menjadi  nama sebuah event yang didalamnya membaca ayat-ayat al-Qur’an dan dilafalkan kalimat-kalimat thayyibah lainnya serta do’a yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal. (sumber

Saya mengutip pernyataan Ustaz Aam Amirudin yang menentang tahlilan (walau beliau bukan representasi ormas manapun) dan menganggap tahlilan sebagai bid’ah. Seperti ini jawaban ustaz Aam tentang tahlilan: 

Secara pribadi saya menghormati orang yang melakukan tahlilan.Tetapi berdasarkan ilmu, yang insya Allah validitasnya bisa dipertanggungjawabkan, di dalam sejarah kehidupan Rasulullah saw., tidak diceritakan bahwa Rasul melakukan tahlilan ketika orang-orang yang dicintainya meninggal. Rasulullah saw. sangat mencintai istrinya, Khadijah r.a., tetapi beliau tidak mentahlilkannya. Rasul mencitai pamannya, Hamzah yang syahid pada Perang Uhud, namun beliaupun tidak mentahlilkannya. Tidak ada satu pun riwayat yang sahih bahwa Rasulullah saw. mentahlilkan orang-orang yang meninggal. Para sahabat pun, ketika Rasulullah saw. wafat, juga tidak mentahlilkannya. Tarikh/sejarah Islam di atas sebagai fakta yang valid bahwa tahlilan dalam Islam itu tidak ada (tidak dicontohkan Rasul). 

Ustaz Aam juga mengutip sebuah hadis:
Aisyah r.a. berkata, telah bersabda Rasulullah saw., “ Barang siapa yang mengamalkan (ibadah) yang tidak pernah kami lakukan. Maka amalannya itu di tolak. “(H.R Muslim). 

Pendapat Ustaz Aam ditentang banyak pihak. Salah satunya mempertanyakan pemungutan bayaran pada pengajian Ustaz Aam di bawah panji Kajian Islam Intensif (KII).   

Kedua hal tersebut, pelaksanaan KII dan iuran yang harus dibayar peserta, tidak dilakukan Rasulullah saw, padahal soal mencintai agama Islam, adakah yang mampu mengungguli Rasulullah saw? 

Di lain pihak ada 2 ulama kondang, Quraish Shihab dan Komaruddin Hidayat tidak membid’ahkan tahlilan. Keduanya kerap mendatangi  tahlilan. Bahkan Komaruddin Hidayat pernah berkisah tentang temannya yang mengalami stress berat paska kematian suaminya. 

Sang teman merasa terpukul karena kematian suaminya begitu mendadak. Saat acara tahlilan, Komaruddin menyampaikan ceramah yang berkaitan dengan kematian. Ceramahnya begitu mengena sehingga sang teman pun sembuh dari stressnya. 

Quraish Shihab, pakar agama islam yang low profile, dalam salah satu paparannya tentang bid’ah mengajak umat Islam untuk menggunakan nalar, daripada sibuk mempertentangkan hal yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw.

Terlebih tidak hanya teknologi, sosial budaya pun berubah pesat. Tak lagi sama dengan semasa Rasulullah saw masih hidup.  

Dari sumber, saya mengutip penjelasan Ustaz Farid Nu'man Hasan, tentang tahlilan yang termasuk ke dalam istilah Al-'Urf (tradisi). Ada 2 macam Al-'Urf (tradisi), yaitu:

Al-'Urf Ash-Shahih. tradisi yang baik lagi benar

Merupakan tradisi yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi isinya tidak bertentangan dengan Islam baik umum dan khususnya. Tradisi ini tidak terlarang, malah  seperti yang dikatakan para ulama Syafi'iyah (Mazhab Syafi'i) dan Hanafiyah (Mazhab Hanafi) 

 "Ketetapan hukum karena tradisi itu sama seperti ketetapan hukum dengan nash/dalil." (Syekh Muhammad 'Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa'id Al Fiqhiyah, No. 101)  

'Urf menjadi mardud (tertolak), jika bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah, misalnya minum khamr dan makan riba. (Ushul Fiqih, Hal. 418) 

Yasinan dan Tahlilan masuk ranah debatable, tapi bukan berarti merupakan kemungkaran. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada pengingkaran dalam hal perkara yang masih diperselisihkan. Karena bagi seorang muslim berlaku dua madzhab.  

Pertama, seluruh Mujtahid itu benar. Inilah yang dipilih oleh banyak muhaqqiq (peneliti). Kedua, yang benar hanya satu yang lainnya salah, namun tidak tentu yang mana. Untuk menghindari perselisihan, keluarlah dengan cara yang baik dan lembut.

Al 'Urf Al Fasad, tradisi yang rusak

Merupakan tradisi yang tidak berasal dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan isinya pun bertentangan dengan Islam, sehingga semua tertolak dan tidak boleh dilestarikan.  

Contohnya tradisi membuang sesajen ke laut, corat coret seragam paska ujian, melempar kue ulang tahun pada wajah teman yang ulang tahun, serta tradisi buruk lainnya. Tradisi seperti ini jelas harus dihilangkan.

 

maria-g-soemitro.com
sumber: freepik.com


Tradisi Tahlilan, Pilih Adab atau Ilmu?

Tahlilan sebagai tradisi sebetulnya merupakan suatu adab.     

Sebagai contoh kita ambil kasus Bik Emoh di atas:
“Kemarin saya bikin tahlilan untuk almarhum suami, bu, kebetulan ada uangnya.” 

Perhatikan kalimat “kebetulan ada uangnya” yang disisipkan Bik Emoh di akhir kalimat. Dia merasa perlu memberi tahu bahwa dia punya  uang kok untuk menyelenggarakan tahlilan. 

Harus membiayai tahlilan, menjadi hal yang disorot oleh mereka yang membid’ahkan tahlilan. Mereka beranggapan, janganlah keluarga yang sedang tertimpa kemalangan harus juga membiayai tahlilan (meliputi nasi kotak dan honor penceramah). 

Tapi Bik Emoh berpendapat, penghormatan terakhir pada suami menjadi hal yang mutlak harus dilakukan. Jika terpaksa dia akan meminjam uang untuk menyelenggarakan tahlilan. 

Dan saya setuju dengannya. Biarlah para pakar memperdebatkan ilmu tentang tahlilan. Kami menyelenggarakannya karena merasa ada manfaatnya. Sebagai contoh kisah teman Komaruddin Hidayat di atas. 

Bayangkan andai sang teman tidak menyelenggarakan tahlilan, maka dia akan termangu, mendapati rumah kosong tanpa kehadiran suaminya. Mungkin berulangkali dia akan menyesali diri, “Duh, aku kok gak mau membelikan makanan kesukaan almarhum” “Duh aku kok mengabaikan permintaan almarhum” Serta berjuta penyesalan lainnya. 

Hal yang sama terjadi pada saya. Ketika seorang tetangga sedang mengalami sakaratul maut, saya mengikuti ucapan pelayat lain yang melafalkan kalimat  tauhid “La ilaha Illallah”. 

Ternyata guru mengaji saya tidak berkenan. Ketika saya bercerita tentang ucapan tersebut, sang guru bilang: “Bagaimana jika dia menghadapNya bertepatan pada penggalan kata ‘La ilaha’?” 

Sontak bingunglah saya, merasa telah menjerumuskan tetangga saya. Beruntung mereka menyelenggarakan sehingga saya bisa bertanya pada ustaz yang memimpin tahlilan. 

Apa jawabannya? Coba tebak. 😊😊😊

Akhirnya saya berkeputusan, tahlilan diselenggarakan apabila jenasah semasa hidupnya menyetujui tahlilan. Ini semacam penghargaan terakhir baginya.  

Bagaimana dengan saya? Apa yang saya harapkan ketika maut menjemput saya kelak? 

Saya akan berwasiat untuk menyelenggarakan tahlilan. Saya percaya, amal saya terputus ketika telah terbujur kaku sebagai mayat. Tapi suatu anugerah terindah ketika anak-anak saya berkumpul dan melaksanakan apa yang belum saya selesaikan semasa masih hidup. 

Baca juga:
Menyelami Fikih Perempuan Bersama Channel Aam Amirudin 

Percikan Iman, Memercik Kalbu Menuju Kedamaian Hati

16 comments

  1. Mengingat kematian merupakan salah satu cara cerdas sebagai manusia untuk introspeksi diri. Hukum asal ibadah ada penjelasannya dalam Islam. Terima kasih ambu tulisannya.

    ReplyDelete
  2. Tahlilan dan tidak sering kali menjadi perdebatan. kalau saya pakai tahlil, namun baik yang tahlil atau tidak sudah punya landasan sendiri. Hal terbaik adalah saling menghormati dan menjaga. Menemukan banyak persamaan sehingga islam menjadi rahmatan lil 'alamiin.

    Mbak Maria, Barokallah, baru tahu kalau Mbak Muallaf.

    ReplyDelete
  3. Sore ambu,saya Kristen Protestan.Setelah pulangnya mama kepangkuan Bapa di Surga keluarga besar kami mengadakan doa bersama selama seminggu.Dari keluarga yang berbeda-beda.Mungkin hampir sama dengan tahlilan ya.Berdoa pada keluarga yang ditinggalkan.Hanya disini keluarga yang sedang berduka tidak dibebani secara biaya tetapi yang datang membawa makanan lengkap untuk disantap bersama

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ternyata di agama lain pun ada tradisi untuk mendoakan orang yang sudah meninggal selama 7 hari ya. Doa ini juga sekaligus penghiburan bagi keluarga yang ditinggalkan

      Delete
  4. Dalam keluargaku sendiri juga mengalami perbedaan seperti ini dimana keluarga besar seakan mengharuskan tahlillan utk peringatan/doa kpd yg telah berpulang
    Di sisi lain tidak mewajibkan akan hal itu
    Tapi..kami mengambil jalan tengah utk melakukan jika memang ada rejeki lebih
    Selama tidak melanggar syariat

    ReplyDelete
  5. Ambu, aku setuju ini "tahlilan diselenggarakan apabila jenasah semasa hidupnya menyetujui tahlilan"
    Jadi Ibu Mertua saya di Madiun, meninggal November tahun lalu. Almarhumah semasa hidupnya sangat Njawani..jadi tradisi Jawa (meski memeluk agama Islam) banyak dilakukan Beliau, termasuk tahlilan.
    Akhirnya ketika meninggal suami saya dan saudara-saudaranya (semua tinggal di luar Madiun) sepakat menghelat tahlilan untuk menghormati almarhumah dan pergaulannya dengan lingkungan. Sayangnya satu orang saudara sama sekali menentang bahkan sekedar hadir tanpa harus berdoa pun tak mau. Padahal hampir semua sanak saudara berkumpul dan mengenang almarhumah. Ini menurut saya kok terlalu huhuhu

    ReplyDelete
  6. saya baru tahu ada yang membid'ahkan tahlilan itu saat sudah kuliah. Sebelum itu saya merasa tahlilan itu adalah ritual yang harus dilakukan umat islam saat ada saudara/keluarga yang meninggal

    ReplyDelete
  7. Kalau pendapat saya pribadi sih tahlilan ini lebih ke wujud budaya Indonesia.

    Ada kebaikan yang tersirat di dalamnya yaitu mengirimkan doa kepada yang sudah wafat dimana kegiatan tersebut dilakukan bersama-sama plus tentu saja dengan mendengarkan tausiah yang sekiranya bermanfaat untuk kita yang masih hidup. Terutama tentang persiapan kita akan kematian yang suatu saat akan menjemput tanpa kita duga.

    Kegiatan ini juga punya mata pisau yang tidak dianjurkan saat pengadaannya justru memberatkan tuan rumah. Karena biasanya acara tahlilan diikuti dengan menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang. Jadi jika tanggungannya memberatkan, lebih baik tidak. Karena toh memang benar bahwa Rasul pun tidak pernah menganjurkan tentang hal ini.

    ReplyDelete
  8. Kalau untuk tidak nganeh-nganeh maka Ndak masalah sih.
    Tapi kalau udah melanggar syariat apalagi ke arah bid'ah lebih baik tidak perlu

    ReplyDelete
  9. Saya hidup dalam keluarga dan lingkungan NU yang kental. Acara tahlilan di lingkungan saya malah dijadikan rutinitas setiap malam Jumat dengan caa bergiliran ke rumah-rumah satu kelompok tahlil, selain juga pada malam-malam setelah ada orang meninggal.

    Bagi saya pribadi, saya yakin tahlil itu tidak dosa. Saya juga yakin doa orang yang masih hidup pasti akan sampai untuk orang yang meninggal. (Merujuk pada hukum membayar hutang bagi orang yang sudah meninggal yang juga dihukumi lunas meski dibayar oleh orang yg masih hidup, anak, atau saudara bagi yang tidak punya anak, misalnya, dan bukan almarhum itu sendiri yg bayar hutang).

    Tahlil itu berisi kalimat-kalimat thoyyibah, puja puji kepada Sang Khaliq, doa-doa dan permohonan ampunan. Doa dan ucapan akan kembali kepada yang mendoakan. Jika kita tahlil dan mendoakan alm., semua doa dan kalimat thoyyibah itu akan kembali kepada kita.

    ReplyDelete
  10. Saya terlahir di salah satu daerah tapal kuda Jawa Timur.
    Di daerah kami tradisi tahlilan masih kental dilakukan, mungkin karena di sini mayoritas merupakan warga NU.

    Sewaktu bapak dan ibu meninggal, saya juga mengadakan tahlilan hingga 1000 hari berpulangnya beliau.
    Kami dikampung menyebutnya sebagai acara tahlil dan kirim doa. Kirim doa buat alm Bapak dan almh ibu, dengan membaca Surat Yasin dan tahlil, serta berbagi makanan dan minuman kepada tetangga, saudara dan semua yang hadir.

    Nah, Waktu cari tanggal untuk acara 1000 hari meninggalnya beliau itu, saya baru sadar jika memang ada tata cara budaya leluhur yang masih dipakai dalam hal hitungannya.

    Kalau ditanya setuju atau tidak, saya pribadi tetap setuju dengan acara tahlilan.

    ReplyDelete
  11. Waktu bapak saya meninggal, kondisi perekonomian kami sangat morat marit. Beliau bilang jangan mengadakan tahlil untuknya. Kalaupun ada uang, pakai untuk biaya sekolah saya dan adik.
    Kami pun tidak tahlilan. Karena memang tidak punya.
    Alhamdulillah tapi kakek nenek dan paman bibi dari ibu saya mereka iuran sehingga bisa mengadakan tahlil untuk almarhum bapak, meski tidak di rumah kami.

    ReplyDelete
  12. Saya adalah warga Muhammadiyah yang akan menjawab pertanyaan "Tahlilan: yay or nay" dengan "NAY"
    Tapi saya selalu menghormati mereka yang mejawab "YAY".
    Tak perlu diperdebatkan, yang penting tidak saling mempertentangkan.
    Semoga Islam selalu menjadi agama rahmatan lil alamin...

    ReplyDelete
  13. Mungkin jadi hal yang kurang pas kalau untuk menyelenggarakan tahlilan keluarga yang ditinggalkan jadi berutang ke sana sini biar terlaksana acaranya. Memang sebaiknya tidak dilakukan, tapi Karena permintaan alm semasa hidup, jadinya ibu saya melaksanakan tahlilan untuk nenek saya.

    ReplyDelete
  14. Saya pernah baca cerpen berdasarkan kisah nyata yang isinya keluarga miskin yang bingung nyari uang buat biaya tahlilan. krn di desa mereka ada tradisi tahlilan yg mirip pesta besar. klo ngga dibuat alamat cemoohan dan cibiran yang didapat.

    Di kampung saya juga ada tahlilan tapi ngga sampe ada cemoohan kalau ngga dilaksanakan.

    Jadi kalau misal kegiatan ini hanya tradisi, yaa lakukan saja semampunya. Toh kirim doa bukan harus pakai acara yaa..

    Wallaahualam...

    ReplyDelete
  15. Jadi ingat pesan terakhir Babe rahimahullah (Bapak saya, Ambu) - beliau berwasiat bahwa kalau meninggal ingin ada tahlilan atas nama beliau.
    Dan hingga kini, Ibu masih memegang teguh wasiat tersebut termasuk kami, anak-anaknya.

    Bersaha sekuat tenaga agar wasiat Babe terlaksana dengan baik.

    Barakallahu fiik, Ambu.
    Semoga khilafiyah masalah tahlilan atau tidak ini tidak dipermasalahkan lagi yaa..

    ReplyDelete