Doa dan Harapan Tini

source: shutterstock.com


Noni

Cigadung, salah satu kawasan timur laut Kota Bandung. Disini, hujan masih mengirim bau tanah. Belantara hijau berperang dengan kebutuhan akan lahan tempat tinggal.

Sayup terdengar pesinden melatih kidung.  Diiring armada kendaraan pengembang. Serta cuit ceria burung penghabisan,  yang tak lelah bersendagurau.

Rumah orang tua Noni di Cigadung. Terselip diantara puluhan ribu rumah baru. Bertahan terhadap gempuran pendatang.  Berkelindan bersama  deretan pesohor dan penghuni lama yang menyesaki sempadan sungai.

“Paling betah aku disini, Non”, Kania, sepupunya  muncul. Matanya masih setengah terpejam.  Membawa mug berisi kopi mengepul, menguarkan aroma yang mengadiksi.

“Sorry sedang nggak puasa”, lanjut Kania menunjuk mugnya.
Noni tersenyum. “Iya, tapi jangan pamer dong”.
Kania tertawa. “Godaan iman, Non. Kalo selamat dapat pahala”.

Tawa keduanya berderai.

Di depan balkon terhampar permadani rumput.  Malu-malu, Amaryllis menunjukkan kuncupnya. Berbaris teratur diantara pokok Azalea. Nun diantara gerumbul semak, ibundanya tengah memangkas Cempaka.

“Aku kerja dulu ya. Nggak enak telat. Cuma sisa sebulan kok telat”.
Kania mengangguk.
“Jangan lupa ajak Tini, ya. Hari ini nggak usah ngojek payung gitu. Oh ya, urusan bukber biar aku beresin bareng Mel dan Zadiah".
Noni mengangguk dan berlalu.

Baca juga: Lipstik Untuk Emak

Mereka berempat bersaudara sepupu. Rukun.  Beda usia hanya berbilang bulan. Zadiah, yang menganggap dirinya tertua, berkecimpung dalam konversi pangan.  Melanie ingin menjadi guru di pedalaman seperti Butet, pendiri Sokola Rimba. Kania berkutat dengan kegiatan lingkungan hidup, dia baru pulang dari Finlandia, mengikuti World Circular Economy Forum.

Hanya Noni yang nampak mendunia dengan dunia kosmetiknya. Walau masih ambigu, akankah menekuni bisnis kosmetik konvensional atau kosmetik ramah lingkungan. Keduanya direstui orang tuanya.

source: howkenya.com

Tini

Tini berlari kecil, menyamakan langkah dengan perempuan cantik disampingnya. Berulang kali ujung bibirnya melengkung. Membentuk senyuman. Matanya berbinar.
Berulangkali Tini ingin mengucek matanya. Mempertegas apa yang didengarnya. Berulangkali Tini mencubit lengannya. Terasa sakit.

Tadi, kang Jalal penjual asongan memberi tahu, ada perempuan cantik mencarinya. Tini segera paham,  yang dimaksud pastilah  kak  Noni. Perempuan cantik yang mengajak Tini bukber di rumahnya.

Berkendara transportasi online, mereka ke Cigadung. Jarak yang terasa pendek. Kak Noni mengajaknya bercakap. Tertawa renyah. Bernyanyi. Bibir merah mudanya menguarkan suara merdu. Tubuhnya mengirim aroma bunga, harum.

“Nah udah sampai. Yuk masuk”
Kak Noni membuka pintu gerbang. Sesosok laki-laki duduk di teras, berkaca mata dan bertongkat.
“Oh pak Bajil? Habis ngurut abah? Belum dijemput? Sekalian ikut bukber aja yuk? Tanggung, sebentar lagi Magrib”.

Kak Noni meraih lengan laki-laki tadi dan memapahnya masuk.


source: yearofcleanwater.org


Rupanya tuna netra. Mungkin dia adalah tukang urut ayah kak Noni.

“Ups hampir lupa. Masuk Tini. Kenalin nih pak Bajil, yang ngurut ayahku”
“Bunnn  ... ini ada Tini. Dyah! Mel! Nia!” kak Noni berseru. Disusul kemunculan banyak perempuan. Ada perempuan sepuh disana. Berpakaian abaya dan kerudung hijau pastel. Tersenyum menyejukkan.

Tini melangkah, mengangguk, mencium punggung tangannya.
“Oh ini yang namanya Tini? Saya ibunya Noni.  Yuk masuk, kenalin ini kak Melanie. Yang pakai jeans itu kak Kania. Yang lagi pegang gelas, kak Zadiah”.
Tiga perempuan cantik yang dimaksud ibundanya kak Noni tersenyum. Melambaikan  tangan.

“Haiiii ...”
“Sini, aku tadi  bawain kamu  baju seragam sekolah. Ntar buat ganti-ganti ya?” kata perempuan cantik bernama Melanie.

“Aku bawain kamu tas ransel buat sekolah. Ntar dipakai ya?” Perempuan yang bernama Kania tersenyum. Tangannya berkacak pinggang. Keren sekali.

“Aku bawain baju lebaran. Untuk kamu dan emak. Dipakai ya Lebaran besok?” Perempuan bernama Zadiah tersenyum sambil mengelus rambutnya.

Tini tercekat. Air matanya berlinang.

Noni      
                                              
Noni tersenyum. Bahagia. Rumahnya tiba-tiba penuh. Dia sering membayangkan punya kakak. Mengangankan punya adik. Semuanya hanya impian tak berjejak. Usai melahirkan Noni, rahim ibundanya harus diangkat.

Namun terkadang Allah mengabulkan doanya. Seperti sekarang. Ketiga saudara sepupunya sepakat bertemu di akhir Ramadan. Padahal  dulu, rumah Cigadung menjadi saksi keceriaan mereka. Tangis tatkala ada yang terluka. Tawa terbahak-bahak tanpa sebab berarti. Serta curhat berkepanjangan.

Di rumah Cigadung ini pulalah, Zadiah kerap bergelut dengan beragam tepung pengganti tepung terigu. Menjadi makanan yang terkadang lezat. Tak jarang berubah aneh. Pernah, hasil masakan Zadiah berbentuk bulat putih, namun keras seperti batu. Noni iseng melemparnya ke kolam, dan berbunyi “plung” layaknya benda keras.

Kania beda lagi. Dia membuat kotak-kotak kayu berisi cacing. Berhari-hari dengan telaten, Kania memberi makan cacing-cacingnya. Mau bikin kompos, katanya. Hingga suatu saat  ibunya menelpon, menyuruh Kania pulang, meninggalkan cacing-cacing yang mati kelaparan.

Mungkin hanya Melanie yang tak pernah bereksperimen di rumahnya. Hobinya membaca di perpustakaan abahnya. Terkadang mengizinkan Noni menggunakan wajahnya sebagai model. Wajah bulatnya pernah tiba-tiba nampak tirus mirip boneka Barbie. Lain waktu menampilkan peran zombie dari film The Nun.

Noni menghela napas. Pandangannya mengitari seluruh ruangan. Mengucap syukur pada Allah, Semuanya begitu lancar. Begitu sempurna. Kedua orangtuanya selalu rukun. Selalu melimpahi kasih sayang.

Bunyi bedug terdengar. Penanda waktu Magrib. Seruan “Alhamdullilah” berhamburan. Serta tegukan air putih.

Tak lama kemudian abahnya bersuara. Mengajak seluruh penghuni rumah bersyukur, dan berdoa.
“Alhamdullilah, di hari terakhir Ramadan ini kita bisa berkumpul. Semoga Allah menyayangi kita, mengizinkan kita berkumpul lagi di tahun depan”.
“Nah seperti tahun-tahun yang lalu. Setiap orang menyebut doa dan pengharapannya, untuk kita aminkan bersama”.

“Aku”,  Kania maju. Tangannya masih menggenggam erat gelas berisi air putih. “Semoga proposalku goal dan program kerjaku sukses. Semoga ....”, ucapan Kania terhenti. “Ah, udah. Itu aja” katanya. Disusul suara amien dari mulut peserta bukber.

“Aku”, Melanie maju. “Semoga lamaran kerjaku diterima, dan aku bisa segera kerja di pelosok Jambi”.
Suara “amien” serempak memenuhi ruangan.

“Aku”, Zadiah maju. “Semoga proposalku diterima. Bisnisku berkembang dan sukses. Pemerintah lebih peduli konversi pangan”.
Suara “amien” kembali mengisi ruangan.

Senyap.
“Kak Noni” bisik Tini yang berdiri bersisian dengan Noni. “Jangan lupa berdoa minta jodoh”.
Tanpa sadar Noni tertawa keras. Kemudian terdiam, khusyuk mengucap doa:
“Semoga aku sukses di tempat kerja baru. Semoga aku lebih mantap berkarir”.
“Amien” sahut seluruh peserta. Disusul doa dan pengharapan ayah serta ibundanya Noni.

“Kamu punya doa juga? Yuk sebutkan” bisik Noni di telinga Tini.
Tini mengangguk, mengucap perlahan.
“Semoga emak nggak sakit-sakitan lagi. Semoga emak bertemu bapak setelah 10 tahun”.
Kembali suara “amien” terdengar.

***
“Siapa nama ayahmu?” tanya Kania. Doa bersama telah usai, mereka sedang menyantap kolak ubi dan pisang.
“Kata emak, namanya Bajil bin Mukardi, kak”
Kania mengangguk, kemudian berlalu untuk mengambil kurma.

***
Sebuah tangan tiba-tiba menggamit Noni. Tangan pak Bajil, tukang urut abahnya.
“Neng, tolong tanyakan pada Tini. Siapa nama ibunya? Apakah Asnawiyah? Berasal dari desa Margasari?”
Noni mengangguk. Diambilnya 2 piring buah potong. Satu piring diangsurkannya pada pak Bajil. Sepiring lagi dibawanya ke Tini,  yang duduk selangkah di depan pak Bajil.

“Siapa nama ibumu, Tin?”

“Asnawiyah, kak”.

“Asal desa?”

“Desa Margasari, kak”.

Pak Bajil tercekat. Tanpa sadar, kedua tangannya mencengkram erat piring berisi buah potong.





No comments