![]() |
source: instagram.com/fatimahsyahrini |
Noni
Awan bergelayut tebal.
Ronanya kelam kehitaman seolah mewarta duka. Angin berhembus. Dingin dan
kencang. Pertanda guyuran hujan sebentar lagi akan tiba.
Noni merapatkan krah
blazer, menyesali kecerobohannya. Waktu istirahat yang sempit memaksanya
berlari tanpa membawa payung. Padahal begitu dekat. Letak payung bersisian
dengan dompetnya.
Tadi, Noni harus
bergegas. Banyak barang yang harus
dibelinya. Mukena cantik bagi ibunda, sarung sutra untuk abah. Dan ekstra
hadiah Lebaran tahun ini, baju koko untuk pak Bajil, tukang urut abah.
Kini, kedua tangannya penuh. Hasil menguras dompet berisi uang THR. Semua
berhasil dibelinya, termasuk satu pak
chocolate truffles idaman yang akan dirit-irit makannya.
Noni
tersenyum, membayangkan lelehan mint memenuhi lidahnya, bergantian dengan
manisnya chocolate. Ah, andai dia punya adik.
Noni mendekap erat reusable
bag berisi mukena. Setiap tahun dia
selalu membeli mukena dan baju lebaran bagi ibundanya. Baju lebaran sudah siap. Mukena idaman berhasil dibelinya hari ini. Puas rasanya, walau itu berarti menguras isi dompet.
Betapa tidak. Mukena persembahan untuk bundanya terbuat dari sutera halus. Nampak mewah. Rangkaian
renda terbentang dari atas kepala,
mengitarinya dan berhenti dalam juntaian
lembut. Cantik nian.
Noni tersenyum (lagi). Membayangkan wajah menak Sunda ibundanya bakal bersinar dalam
bingkaian mukena. Wajah ayu yang sering ditatapnya diam-diam. Ada dua utas alis
melengkung indah disana.
Gemerlap kedipan mata, hidung bangir dan bibir penuh
yang diyakini Noni membuat abahnya mengikutinya hingga tanah Pasundan.
Dan
lahirlah paras blasteran Noni Janz.
Tes
...
Ups,
hujan mengancam. Driver ojek online belum juga muncul.
Kelebatan
seorang anak menghentikan lamunannya. Anak perempuan itu. Anak perempuan yang
acap berdiri, menempel di pintu kaca. Anak perempuan yang ingin membeli lipstik
di tempatnya bekerja. Anak perempuan yang tiba-tiba raib.
“Hei!” teriak Noni
sambil melambaikan tangan. Menyesali kealpaannya, lupa menanyakan nama.
Seolah bernama “hei”, si anak perempuan menoleh. Tersenyum. Menghampiri.
“Kamu kemana aja? Ngga
pernah datang lagi?”
Tanya Noni beruntun, begitu
3 langkah jarak memisahkan mereka berdua.
“Emak saya sakit.
Sekarang sudah sembuh. Neng mau pakai payung?” jawab si anak perempuan.
Noni menggeleng.
“Nanti ke sana ya? Saya
tunggu”, kata Noni bergegas menuju ojek online. Tapi kemudian berbalik.
Sesuatu
diingatnya. Pertanyaan yang terlupa.
“Eh, nama kamu siapa?”
“Tini. Kartini”
“Oke, saya tunggu ya”
Tini
Jika kali ini mimpi, Tini tak ingin terbangun. Perempuan cantik yang dulu hanya dilihatnya dari balik pintu kaca, kini
berkenan mengunjungi rumahnya. Rumah gubuknya.
Tadi, saat di outlet
kosmetik, tempatnya bermimpi untuk membeli lipstik bagi emak. Sang perempuan cantik mengambil bungkusan kecil dari laci.
Disodorkannya bungkusan tersebut
pada Tini.
“Ini lipstik untuk ibumu”.
Tiba-tiba, tangan itu terhenti. Meragu.
“Saya
ke rumah kamu aja deh, mengunjungi ibumu, bolehkan?”
Tini
diam. Bingung.
“Saya
takut warnanya nggak cocok. Jadi saya harus bertemu ibumu untuk lihat kulit
wajahnya”.
Oh. Tini tersenyum.
“Tapi
uang saya belum terkumpul banyak. Yang kemarin untuk beli obat emak”
“Gapapa,
ini hadiah kok. Dari saya. Jauh nggak rumah Tini?”
“Dekat,
di belakang mall ini, kak Noni. Tapi
becek kalo hujan”.
Perempuan
cantik itu tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Di
Bandung ini, mana sih yang nggak becek?”
Mereka
tertawa bareng.
Dan kini, mereka
bersisian menuju rumahnya.
“Assalammualaikum, mak”
sapa Tini setengah berteriak, sambil membuka pintu.
Langkah Tini terhenti.
Emaknya sedang salat. Khusyuk
![]() |
source: muslimgirl.com |
Noni
Udara pengap menyergap.
Noni tak berharap banyak. Namun bagaimana mungkin ada ruang sekumuh ini menjadi
tempat tinggal? Berukuran 2x3 meter, banyak barang berjejalan di lantai semen,
tanpa tegel keramik. Tak ada warna cerah ceria disini.
Di ujung ruangan,
menghadap tembok, seorang perempuan sedang salat. Ibunya Tini. Tanpa sadar Noni
menelusuri mukena yang sedang digunakan. Mendadak segumpal sesak menghujam ulu hatinya. Mukena itu berlubang. Rombeng. Ya
Allah.
Si perempuan
menyelesaikan salatnya. Wirid. Kemudian menoleh. Tersenyum.
Noni terpana.
Dalam balutan mukena
kumalnya, si perempuan nampak cantik. Ada guratan penanda sinar mentari, menoreh
wajah ayunya. Menggurat sendu. Melukis
deraian air mata yang pernah tumpah.
Noni membungkukan
kepala.
“Saya Noni, bu”.
Terluncur basa basi perkenalan. Namun radar mata Noni enggan
teralihkan dari beberapa lubang penghias mukena. Membuat emak si Tini jengah. Dia membuka mukena dan melipatnya.
“Maaf neng, rumahnya
butut pisan. Saya beli suguhan dulu ya. Tiniii ... , kamu teh ya, bikin teh
manis atuh”. Emak si Tini mendadak sibuk.
Tangan Noni menggapai.
Menyentuh lengan emak si Tini.
“Nggak usah. Jangan repot-repot.
Cuma sebentar kok. Cuma memastikan warna lipstik ini cocok nggak untuk ibunya Tini”.
Noni menjulurkan hadiah
kecilnya. Lega karena warna lipstik yang dipilih, cocok dengan kulit wajah emaknya Tini. Membuatnya bakal bersinar.
“Aduh terimakasih. Kok
ngerepotin? Tini kamu ngerepotin neng ini?”, sergah emak si Tini.
“Oh enggak kok. Nggak
papa”. Jawab Noni.
“Dan ini, mukena buat
ibu ... “
Tanpa sadar Noni memberikan mukena, hadiah untuk ibunya, pada emaknya Tini.
“Jazakumullah Khairan
Katsiran .... aduh kenapa banyak pisan?”.
Air mata mengalir deras
pada wajah emaknya Tini. Mulutnya merapal doa.
***
Dalam perjalanan pulang,
kaki Noni melangkah perlahan. Bingung.
Noni nggak paham.
Dibukanya pintu rumah,
sambil menyapa penghuni: “Assalammualaikum”.
“Wa alaikumsalam. Sudah
pulang nak? Kemalaman sayang?” Ibundanya menyapa.
Noni mengangguk,
melangkah gontai menuju kamar.
“Ada apa nak?” Ternyata
sang bunda mengikuti.
Tiba-tiba Noni terguguk,
melompat dalam dekapan bundanya dan memuntahkan endapan yang tak dikenalnya.
Yang tiba-tiba bersarang di dadanya. Yang membuatnya bingung. Di sepanjang
perjalanan pulang.
Sang bunda tersenyum.
Sorot matanya teduh. Bibirnya mengucap doa.
“Alhamdullilah,
terimakasih ya Allah. Anak bunda sangat saleh”. Dia mengusap lembut rambut
Noni. Diciumnya ubun-ubun Noni. Dikecupnya wajah sembab penuh air mata.
Dipeluknya erat-erat.
“Alhamdullilah nak,
alhamdullilah ....”.
Tangis Noni terhenti,
Dipandangnya sang bunda, bingung.
“Bunda, aku nggak bisa
beli lagi. Uangku udah abis”.
Bundanya tersenyum. Menggeleng.
“Lihat lemari bunda,
sayangku. Isinya penuh baju dan mukena dari Noni. Semuanya hanya berakhir
disitu. Tapi mukena yang Noni beri ke ibunya Tini, insyaallah akan membantu
bunda menuju surganya Allah. Insyaallah”.
Noni terpana. Paham.
Mengapa ajaran yang
diimaninya sejak kecil, tiba-tiba
terlupa?
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
“Tapi bunda, tadi aku menangis. Menyesalinya. Nggak sah dong pemberianku?”
Ibunda
menggeleng.
“Semua
berproses nak. Allah Maha Tahu, Allah Maha Adil”
“Ya
sudah, sana mandi dan istirahat”.
Noni
mengangguk, lagi.
Tiba-tiba
ibundanya menyergapnya. Memeluknya erat. Air amatanya mengalir.
“Terimakasih
ya sayang”, desah ibunda Noni.
Keduanya
bertatapan. Tersenyum.
Keterangan:
menak = bangsawan
butut = jelek
pisan = sangat
No comments
Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat