Kabut Peradaban dan 3 Tips
Berkomunikasi Dengan Generasi Z
Generasi Z sangat akrab dengan
dunia digital dan internet. Mereka mungkin bakal “sakaw” apabila kehilangan keduanya. Para akademisi menyebut generasi ini “mutan”, karena
sangat jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, dari segi moral,
etika, dan pola pikirnya.
Melalui penjelasan “kabut
peradaban”, mungkin kita bisa memahami mereka.
Kabut peradaban merupakan analogi
dari ketidak tahuan manusia akan proses suatu barang yang digunakannya.
Sederhananya begini. Jika ada yang
bertanya pada saya, “Darimana asal telur yang kini berada di atas meja dapur?
Maka saya akan menjawab bahwa telur-telur tesebut berasal dari peternak di Kota
Sukabumi.
Andai pertanyaan sama ditujukan pada
generasi Y, generasi sebelum generasi Z, mereka akan menjawab bahwa telur-telur
tersebut dibeli dari supermarket.
Ah, bakal sungguh menarik jawaban
generasi Z. Kemungkinan besar mereka akan menjawab dari aplikasi yang berada di
gadgetnya. Karena cukup dengan sentuhan jemari, mereka bisa memesan telur,
membayarnya, dan tak lama kemudian driver transportasi online akan mengantar telur pesanan hingga
depan pintu rumah.
Nah lho.🤣🤣
![]() |
Kabut Peradaban (sumber; YPBB Bandung) |
Penjelasan gambar:
Gambar 1 : Manusia primitif, atau
yang disebut para ahli sebagai abad kegelapan, manusia mengambil sendiri sumber
makanannya langsung dari alam.
Gambar 2: Seiring bertambahnya
kecerdasan, manusia mulai mengembangkan cara bercocok tanam untuk memenuhi
pangan mereka.
Gambar 3: Bertambahnya jumlah
manusia membuat kebutuhan akan pangan meningkat pula. Terjadi perubahan dalam
pemenuhan kebutuhan. Manusia menciptakan pasar sebagai tempat menampung hasil
alam dan hasil bercocok tanam. Manusia mulai mengenal niaga dengan cara barter barang.
Gambar 4: Zaman modern mengganti
barter dengan alat tukar yang beradaptasi sesuai era. Industri-industri
bermunculan untuk mengolah hasil pertanian serta kebutuhan manusia lainnya,
agar tahan lama dan mudah didistribusikan ke pasar modern/pasar tradisional,
sebelum sampai ke tangan konsumen.
Pengalaman Bekerja Sama Dengan Generasi Z
Kebetulan beberapa kali saya
berkesempatan bekerja sama dengan mereka. Salah satunya sewaktu tahun 2017 harus
mengerjakan aplikasi peta persampahan Kota Bandung yang didanai Ford Foundation.
Kota Bandung emang khas banget.
Saat kota lain menggunakan dana
hibah untuk program lingkungan dengan topik penghijauan, transportasi, dan
lainnya. Kota Bandung hampir dipastikan selalu menggunakannya untuk proyek
persampahan. Mimpi besarnya sih, kelak Kota Bandung menjadi pilot project pengelolaan
sampah di Indonesia.
Salah satu hasil karya urang
Bandung adalah: “diet kantong plastik”
yang pasti sudah dirasa manfaatnya di seantero Nusantara. Tidak hanya
pemerintah kota/kabupaten yang menerapkan larangan kantong plastik, anggota masyarakat
juga sudah banyak yang tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai.
Dalam pengerjaan aplikasi peta
persampahan Kota Bandung, ada 2 tugas yang harus dilakukan. Team pertama
membuat aplikasinya. Dalam pembuatan aplikasi, pihak pendonor mewajibkan
aplikasi buatan anak negeri.
Team kedua adalah team surveyor.
Nah, saya bersama teman-teman generasi Z masuk ke dalam team surveyor. Ya iyalah,
saya nggak mungkin masuk team start up. Saya nggak paham coding. Lihat huruf-huruf berhamburan, langsung pening
deh.😢😢
Tugas surveyor sebenarnya gampang
banget. Cuma mendatangi lokasi yang telah ditentukan, kemudian memasukkan hasil
temuan sesuai titik ordinat ke dalam aplikasi. Hasil temuan berupa data gambar,
kategori pengelola sampah, pemilik dan lainnya, dijabarkan secara mendetail ke dalam tulisan di blog. Link tulisan
dishare/dikampanyekan di media sosial.
Saat pertemuan/pelatihan pertama
saya merasa bersyukur tidak bertugas sebagai ketua team pelaksana. Bikin
mendadak darting! Kan sudah jelas, sejak awal calon peserta harus mengisi G- Form
dengan nama blog, nama media sosial dan lainnya. Nyatanya ada yang hanya punya
Instagram, nggak punya twitter dan facebook. Ada yang punya akun media sosial
dengan lengkap, tapi gak punya blog. Padahal mereka hasil sortiran dari ribuan
pendaftar lho.
Kisah pilu belum berakhir. Banyak
anggota team yang berasal dari generasi Z berjatuhan sebelum mencapai finish. Beragam
alasannya. Ada yang harus pindah kost. Ada yang sedang ikut ujian, dan lain
sebagainya.
Alasan yang bikin bingung. Bukankah sebelum memulai tugas, setiap peserta harus
menandatangi kontrak? Isinya kurang lebih mengenai kesanggupan menyelesaikan
tugas selama sekian waktu dengan “do dan don’t” yang disepakati bersama.
Sepintas nampaknya kelompok
generasi Z ini menyepelekan dan tidak bertanggung jawab. Namun jika mau
ditelisik lebih dalam, ketua team/pengawas melupakan bahwa harusnya ada
pendekatan berbeda antara generasi Z dengan generasi sebelumnya.
Paling tidak 3 cara berkomunikasi
ini harus diterapkan pada anggota yang termasuk generasi Z.
3 Tips Berkomunikasi Dengan Generasi Z
1. Ajak Generasi Z Menembus Kabut Peradaban
Akibat kabut peradaban, generasi Z
merasa gelisah. Mereka tahu, sekaligus tidak tahu karena sudah berjarak terlalu
jauh dari alam.
Sehingga ketika misalnya, mereka membaca hasil
penelitian Jenna Jambeck (seorang profesor teknik lingkungan dari University of
Georgia, AS) yang menyatakan Indonesia sebagai negara terbesar kedua penyumbang
sampah ke laut, atau sekitar 187,2 juta
ton, mereka merasa galau.
Mereka ingin membuat solusi melalui
aplikasi yang telah diakrabinya. Tetapi nggak tahu harus mulai dari mana? Tak
heran banyak aplikasi yang “nabrak-nabrak”.
Salah satunya aplikasi bank sampah
yang dianggap sebagai solusi mengumpulkan sampah plastik. Saat mereka mendatangi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Dinas Lingkungan Hidup dan
Kehutanan di perkotaan, mereka kecewa: Datanya nggak lengkap! Banyak bank
sampah yang sudah tidak beroperasi.
Andai mereka menyadari suatu fakta penting:
“setiap barang yang digunakan manusia berasal dari alam dan akan berakhir di alam”
Fakta lainnya:
“mikroorganisme akan mengurai semua sampah sehingga bisa kembali ke alam, kecuali sampah yang berasal dari penambangan (termasuk plastik)”
Maka dengan mudah mereka akan
menemukan bahwa bank sampah bukan solusi satu-satunya.
2. Memberi Generasi Z “The Big Picture”
“The big picture is look at the situation as a whole, considering the main facts and implications”
Sebelum memulai pengerjaan proyek
pemetaan titik persampahan di Kota Bandung, mungkin mereka merasa excited.
Semangat mereka luruh saat mendatangi lokasi demi lokasi.
Seperti diketahui, untuk
mendapatkan data, surveyor harus melakukan wawancara sesuai budaya setempat
(Kota Bandung). Sementara teman-teman generasi Z ini mayoritas mahasiswa yang berasal
dari berbagai daerah di luar Kota Bandung, bahkan luar Pulau Jawa.
Yang harus dilakukan adalah
memberi mereka situasi persampahan Kota Bandung secara keseluruhan. Duduk
permasalahan dan terobosan-terobosan yang hendak/bisa dilakukan. Serta kontribusi
mereka dalam memberi manfaat bagi Kota Bandung.
Dengan demikian mereka bisa
menemukan cara yang pas dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan.
3. Generasi Z Menyukai Kolaborasi, Bukan Kompetisi
Menurut penelitian, 88 persen generasi Z menyukai budaya kolaborasi daripada yang
kompetitif.
Berbanding terbalik dengan generasi
sebelumnya yang cenderung mendorong anggota team agar saling berkompetisi.
Terlihat dari pemberian hadiah/penghargaan bagi anggota yang “ter”.
Kolaborasi memungkinkan hasil yang
sempurna bagi generasi Z. Dengan melepas keharusan membuat blog, bisa saja mereka
menemukan cara yang lebih mudah mengkampanyekan
hasil lapangan. Misal si A membuat video, si B membuat Instagram
berkolase dan seterusnya.
Kolaborasi antar anggota team bisa
membuat proyek sukses melebihi ekspektasi. Karena kolaborasi menumbuhkan komunikasi yang
berdampak:
- Merangsang aliran ide dari anggota
- Anggota team akan lebih memahami satu sama lain dan berkontribusi lebih banyak
- Solusi akan lebih cepat ditemukan sehingga lebih banyak masalah dipecahkan bersama.
- Komunikasi menghancurkan penghalang
- Komunikasi meningkatkan kepuasan kerja
Generasi Z merupakan pencipta
perusahaan. Untuk mewujudkannya, mereka percaya kesuksesan berasal dari jejaring
ketimbang kemampuan diri. Mereka cenderung menyukai tempat kerja yang tanpa hierarki. Batasan-batasan
yang diberikan pimpinan proyek peta pengelolaan sampah membuat mereka terpaksa
mengerjakan hal yang tidak disukai.
Padahal sebagai anggota
masyarakat, generasi Z juga merasa tertekan dengan masalah ekonomi dan
lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka ingin mengubah menjadi lebih
baik. Tentunya sesuai dengan cara pandang mereka.