![]() |
source: instagram.com/princesssyahrini |
Posss .... Surat ... !!
Pernah mengalami era menerima surat/' kartu selamat Lebaran via POS?
Diantar oleh
seorang petugas kantor POS yang berkendara sepeda motor bercat kuning dan
berseragam kuning. Duh nostalgia banget. Lebih epik lagi jika kamu pernah ngalamin
masa petugas pos berkendara sepeda, iya sepeda kayuh begitu, kasihan kan?
Pastinya saat itu nggak kepikiran beratnya pak pos mengayuh
sepeda. Karena sepeda motor belum
booming seperti sekarang.
Penerima dan
pengirim surat/ kartu pos sih senang-senang aja.
Nggak hanya tradisi saling berkirim kartu ucapan selamat
dan meletakkannya di bufet ((bufet)) yang hilang dalam pusaran zaman. Juga
banyak tradisi lainnya. Saya hanya sanggup mengingat 3 tradisi.
Bisa nambahin?
![]() |
source: cateringpernikahan.id |
Saling
Kirim Makanan Dalam Rantang
Menjelang bedug takbir penanda usainya Muslim berpuasa,
kami 6 bersaudara bersiap. Bukan ikut takbiran atau bersiap sholat Ied, karena
kami sekeluarga beragama Katolik.
Tapi menyiapkan piring dan mangkok agar proses menerima rantangan dari tetangga bisa cepat terlaksana. Isinya
ketupat, tumis kentang (mirip sambel goreng kentang namun tanpa santan), ase
cabai, opor ayam dan rendang. Umumnya menu masakan Sunda, hanya satu – dua yang
khas Jawa dengan sisipan gudegnya.
Entah kapan tradisi
saling antar rantang berisi makanan ini bermula . Almarhum ibunda juga
lupa. Mungkin para tetangga mengirim agar keluarga kami bisa ikut merayakan dan mencicipi hidangan Lebaran.
Jumlahnya pun
bukan main, belasan tetangga. Berkah banyaknya kiriman lauk pauk dan
ketupat, setiap Lebaran
ibunda nggak masak. Berkah lainnya, kami mengenal menu
dan taste masakan Sunda yang berbeda dengan masakan Jawa buatan Ibunda.
Menghangatkan masakan (nggak langsung habis karena banyak
yang ngirim), menjadi kenangan manis tersendiri. Setiap keluarga kan berbeda cara masak dan rasa masakannya. Jadi walau
sama-sama opor ayam, tetep aja beda. Biasanya tetap disatuin sih. Lha ngangetin
lauk pauk serba sedikit kan repot.
Sebagai jawaban
tradisi yang indah ini, ibunda masak ekstra banyak di hari raya Natal. kemudian
mengirimkannya pada tetangga yang telah mengirim rantang berisi makanan di hari
Lebaran.
Oiya
penggunaan rantang hanya dilakukan tetangga yang lokasinya jauh. Sedangkan tetangga
depan rumah biasanya menggunakan nampan dengan lepek/pisin/piring kecil berisi
lauk pauk dan ketupat.
Era berganti,
satu persatu anak ibunda beranjak dewasa, merantau ke kota Bandung dan Jakarta untuk meneruskan kuliah. Ibunda kewalahan
jika harus meneruskan tradisi. Ketupat dkk dari tetangga tak ada lagi
yang menyantap. Dan di hari Natal tak ada lagi anak-anak yang bisa disuruh
mengantar rantang balasan.
Sehingga
beliau mengambil keputusan, segera “membalas” kiriman ketupat dengan biscuit
dalam kaleng. Agar tak usah lagi mengirim rantang berisi masakan Natal pada tetangga.
Beberapa
tetangga paham, dan tidak mengirim rantang Lebaran lagi. Yang
lainnya bersikukuh mengirim hidangan Lebaran.
Namun berhenti dengan sendirinya ketika ibu sering bepergian ke Bandung dan Jakarta di hari Lebaran,
menengok cucunya.
Walau keluarga kami sudah tidak melakukannya, namun tradisi
ini nampaknya masih berlangsung di beberapa daerah. Setidaknya di hari Lebaran,
saya kerap melihat keluarga yang membawa rantang bersusun. Pastinya berisi
makanan, bukan mentahan. :D :D
![]() |
source: rightathomeshop.com |
Saling
Kirim Kartu Selamat Lebaran
Memorable
banget saling kirim kartu lebaran ini. Kehadirannya tak tergantikan oleh
message yang dikirim berjamaah melalui aplikasi Whatsapp dan media social.
Di hari Lebaran, kartu Lebaran yang berjejer menyemarakkan
suasana. Dibaca bareng kerabat yang datang, berteriak: kangennn ...., kemudian
menelpon pada pengirim kartu. Tentunya dengan menggunakan telpon rumah.
Berbeda dengan message melalui ponsel yang cenderung seragam,
pemilihan kartu Lebaran sangat personal, sehingga mampu membekas di hati.
Di awali dengan memilih kartu lebaran, baik di toko buku
maupun kios di kantor pos yang penuh keriaan. Setiap kartu pos dipilih hati-hati, disesuaikan
dengan penerimanya.
Kemudian menulis selamat hari raya dengan redaksi yang
pastinya berbeda untuk setiap kartu. Hihihi ... bahkan ada yang disemprot
parfum lho. Beberapa udah wangi dari sononya, berasal dari kertas yang dibubuhi
aroma terapi, harganya lebih mahal sih, tapi demi dong ya ... :D :D
Sesudah oke, beli perangko kemudian kirim.
Betapa senangnya ketika mendapat balasan Kartu Lebaran,
atau malah mereka yang mengirim lebih dahulu. Perangkonya disimpan untuk
koleksi, kartu Lebarannya dipasang berjejer di atas lemari bersama kue-kue
Lebaran.
Jadul?
Yang jadul itu terasa manis lho. Sering nggak mungkin terulang. Seiring dengan
masifnya campaign paperless, saling
kirim Kartu Lebaran jelas akan mendapat banyak tentangan. Jadi cukuplah
disimpan sebagai kenangan indah.
Kantor POS pun nampaknya sudah nggak mendukung cara
pengiriman surat dengan perangko. Ketika terakhir kali saya ke kantor pos untuk
mengirim beberapa surat, pagawai kantor pos menyarankan pengiriman ala paket TIKI
dan JNE.
Lha saya ke kantor pos kan pingin bernostalgia mengirim
surat dengan perangko. Pegawainya bilang;
“Dua minggu baru sampai, bu”
“Lho kok lama banget? Nggak papa lah, bukan dokumen kantor”,
jawab saya ngeyel.
Akhirnya saya berhasil mengirim dengan perangko. Dalam kota
Rp 3.000, perangko Bandung – Jakarta dan sekitarnya Rp 5.000, perangko ke Jawa
Tengah Rp 5.000.
Murah banget kan? Dan ternyata ... Cuma 2-3 hari aja, nggak
2 minggu seperti claim pegawai pos. Aneh juga ya, kok dia nampak enggan
melayani dengan perangko. Mungkin penyebabnya jualan perangko kurang menguntungkan? Bisa jadi!
![]() |
instagram.com/aniyudhoyono |
Sungkeman
“Ngaturakeun Sugeng Riyadi. Sedoyo kelepatan nyuwun
pangapunten. Sareng nyuwun tambahi berkah”.
Kurang lebih artinya: Mengucapkan selamat Lebaran, semua
kesalahan mohon diampuni, dan mohon tambahan berkah. Ada kalimat terakhir yang
harus diucapkan, tapi saya lupa. :D :D
Proses mengucapkan kalimat di atas sambil sungkeman atau
duduk sujud di depan sesepuh, biasanya orang tua, paman, uwak dan kakek serta
nenek.
Dulu, anak-anak saya melakukannya pada keluarga mertua saya. Terhenti ketika mereka semua sudah meninggal. Keluarga
saya sendiri nggak membiasakan.
Penasaran karena justru keluarga saya mendapat darah biru,
baik dari pihak ayah dan ibu, tapi nggak pernah membiasakan sungkeman. Saya
bertanya pada Mamang Google tentang sungkeman. Kurang lebih jawabnya menurut terakota.id demikian:
Dalam sikap ‘sungkem’ terkandung makna gestural yang dalam dan mulia, sehingga senantiasa dilakukan dengan seksama, tulus, dan khdmat. Sehingga sesi sungkeman dilakukan dalam acara-acara khusus, seperti pasca salat Idul Fitri, prosesi pernikahan, khitanan, kelulusan atau usai pembelajaran, perpisahan, dsb.
Begitu pentingnya sungkeman sehingga dilakukan sepanjang waktu,di semua daerah, beragam sosialita, serta semua agama. Sungkeman bukanlah kegiatan basa-basi atau kepura-puraan, melainkan sebuah ungkapan tulus, sungguh sungguh, demi memperleh ridlo Illahi.
Sungkem disetarakan dengan ‘sembah’ atau ‘sembah bakti’ yang telah pula dikenal pada masa Jawa Kuna, yang menunjuk kepada tindakkan sikap dan tindakan pemujaan, rasa hormat, salam hormat atau takzim (dalam sapaan maupun mempersembahkan kepada atau menerima dari atasan, khususnya dengan sembah), tanda takzim (hormat, kepatuhan), permohonan dengan hormat (Zoermulder, 1995:1069).
Ups, berarti nggak hanya dalam agama Islam ya? Semula saya
berpikir penyebab keluarga saya nggak membiasakan sungkeman karena keluarga
besar beragama Katolik. Dengan eyang putri yang masih memegang teguh adat
istiadat, namun tidak membiasakan
sungkeman di hari raya, pastinya punya alasan tersendiri.
Keluarga besar kami hanya sungkeman sewaktu melepas anak
menikah, nggak di semua peristiwa seperti penjelasan di atas. Toh tidak
mengurangi makna ketika mengucap sesal sambil mengucap kata selamat Lebaran dan mohon maaf atas semua kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.
Artinya gestur apapun sah-sah aja, yang penting adalah apa
yang terucap dan kedalaman maknanya.
Demikianlah teman-teman, 3 tradisi yang telah hilang di
keluarga saya. Apakah kamu masih melakukannya? Dan ada lagikah tradisi lain
yang telah hilang? Silakan share ya?
Taqabbalallahu minna waminkum wa ahalahullahu ‘alaik
Semoga kita bertemu dan bisa saling sharing pada bulan
Ramadan tahun depan ya
Aamiin ya rabbal 'alamin.
No comments
Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat