Brave Pink Hero Green, Ketika Rasa Keadilan Terkoyak

maria-g-soemitro.com

Brave Pink Hero Green, Ketika Rasa Keadilan Terkoyak

Sebuah kendaraan barracuda menyeruak kerumunan massa. Kemudian, dibawah ribuan pasang mata demonstran, tanpa ragu melindas seorang driver ojol yang kebetulan terjatuh. Dan terus melaju, seolah tak terjadi apa-apa.

Peristiwa tragis 28 Agustus 2025  tersebut menjadi titik kulminasi. Rasa keadilan masyarakat telah lama terkoyak. Rakyat membayar pajak untuk membayar keamanan, penegakkan hukum dan pengayoman dari kepolisian, namun mereka tak mendapatkannya, malah kini, salah seorang anggota masyarakat ditabrak dengan menggunakan kendaraan lapis baja yang dibayar dari tetes keringat mereka.

Kemana rakyat harus mengadu?

Sebetulnya rakyat punya perwakilan untuk membela kepentingan rakyat. Mereka dibayar tinggi, sekitar 20 kali UMP DKI Jakarta. Namun mereka asyik sendiri. Parahnya, tatkala rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi, seperti kenaikan harga beras dan bahan pokok lainnya, anggota DPR justru mendapat kenaikan tunjangan, khususnya tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan

Gak heran, meninggalnya Affan Kurniawan, sang driver ojol yang videonya menjalar dengan sangat cepat,  memantik kemarahan massa.

Baca juga

Menyelami Fikih Perempuan Bersama Channel Aam Amirudin

Perempuan Melek Politik? Harus Atuh!

Daftar Isi

  • Titik Kulminasi Terkoyaknya Rasa Keadilan
  • Indonesia Nyaris Darurat Militer
  • Brave Pink Hero Green
  • Di Mana Posisi Kita?

Demonstrasi pun meluas, tidak hanya  Jakarta, juga Bandung, Makassar, Surabaya dan kota-kota lainnya. Disusul penjarahan sejumlah tokoh seperti Uya Kuya, Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Kala nalar masih berfungsi, tak ada seorang pun yang menyetujui penjarahan. Terlebih banyak penjarahan dan kebakaran pada halte bus dan bangunan lainnya (salah satunya resto Sambara di Bandung) diduga dilakukan “oknum”.

Brutal dan menyedihkan. Tak heran, Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Nursyahbani Katjasungkana, mencatat adanya pola serupa dengan kerusuhan 1998, yaitu menggunakan massa dari luar daerah untuk melakukan penjarahan.

maria-g-soemitro.com
puing-puing resto Sambara jalan Diponegoro Bandung

Indonesia Nyaris Darurat Militer

“Darurat militer” nyaris diberlakukan di Indonesia, paling tidak demikian laporan Fransisca Christy Rosana, jurnalis Tempo di channel YouTube “Bocor Alus Politik” pada 6 September 2025.

Secara terperinci Cica, nama panggilan Fransisca Christy Rosana menjelaskan bahwa scenario darurat militer sudah disiapkan oleh salah satu kementerian, namun ditolak sejumlah sosok di DPR.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Darurat Militer merupakan keadaan darurat suatu wilayah yang dikendalikan oleh militer sebagai pemimpin tertinggi. Dengan demikian, militer ditempatkan sebagai penanggung jawab pemerintahan sementara

Apa yang terjadi andai Indonesia mengalami Darurat Militer?

Penguasaan Alat Komunikasi. 

Penguasa darurat militer bisa menguasai perlengkapan alat telekomunikasi termasuk pemancar radio yang digunakan untuk mencapai rakyat banyak.

Termasuk media sosial tentunya, kita gak bisa lagi leluasa mengakses media sosial. Andai bisa, akan diawasi dengan ketat.

Pembatasan dan Pelarangan

Penguasa darurat militer berhak membatasi atau melarang pengangkutan, pemakaian, perdagangan senjata api, obat peledak, mesiu atau barang yang dapat meledak lainnya. 

Pembatasan aktivitas ekonomi. Penguasa darurat militer berhak mengubah lapangan; menutup gedung pertunjukkan, pertemuan, rumah makan, pabrik hingga tempat hiburan.

Penguasa darurat militer juga berhak membatasi dan melarang lalu lintas darat, udara, perairan serta penangkapan ikan.

Terenggutnya Hak Asasi Manusia

Bahkan penguasa darurat militer memiliki kewenangan dalam mengatur tempat tinggal. Berhak mengadakan militerisasi terhadap perusahaan serta melakukan penangkapan terhadap orang-orang untuk kepentingan pemeriksaan.

Mengerikan bukan? Ada benang merah dari semua larangan itu, yakni terenggutnya hak asasi manusia. Kemerdekaan yang selama ini kita nikmati akan tinggal kenangan indah.

Karena itu beberapa influencer seperti Ferry Irwandi getol membuat konten agar masyarakat menahan diri. Jangan terjebak dalam kerusuhan yang akhirnya malah diberlakukan darurat militer.

Imbauan para tokoh ini tentu saja menimbulkan pertanyaan baru:”Apakah berarti harus menyerah dan semua pengorbanan ini sia-sia?

“Apakah kematian Affan Kurniawan harus dilupakan?

“Apakah harus mengabaikan kematian 9 orang tewas lainnya, 3 orang yang tak diketahui keberadaannya  serta mereka yang mengalami luka-luka?”

Pastinya tidak. 

maria-g-soemitro.com
sumber: NarasiTV

Brave Pink Hero Green

Melalui akun Instagramnya, Ferry Irwandi mengungkapkan bahwa menahan diri bukan berarti menyerah. Ada Tuntutan Rakyat yang terangkum dalam 17+8 yang harus dipenuhi.

Silakan klik link berikut untuk membaca 17+8 Tuntutan Rakyat

Selain 17+8 Tuntutan Rakyat, juga ditetapkan “Brave Pink Hero Green” sebagai pesan sosial dan politik, yang mencerminkan semangat perjuangan, keberanian, dan solidaritas rakyat Indonesia dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi bangsa agar mampu melahirkan solusi nyata demi Indonesia yang lebih baik.

Alasan pemilihan kedua warna tersebut dijelaskan Galih Sedayu secara apik:

“Brave Pink” 

Terinspirasi dari sosok ibu Ana yang mengenakan jilbab berwarna merah muda dan berani menghadapi aparat dalam aksi demonstrasi pada tanggal 28 Agustus 2025 di depan Gedung DPR. 

Warna pink yang biasanya identik dengan kelembutan, kini berubah menjadi simbol keberanian warga biasa. Peristiwa ini menunjukkan bahwa keberanian tidak mengenal gender atau usia dan “Brave Pink” pun menjadi lambang semangat bagi masyarakat untuk berani menyuarakan aspirasi secara damai.

“Hero Green” 

Terinspirasi pada warna hijau yang identik dengan jaket pengemudi ojek online (ojol). Warna ini menjadi simbol solidaritas & harapan setelah tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojol yang meninggal akibat tertabrak kendaraan milik aparat saat aksi demonstrasi. 

Kini “Hero Green” menjadi representasi kekuatan yang muncul dari luka, sekaligus semangat baru bagi masyarakat untuk memperjuangkan keadilan.

Warna ini sejatinya mengingatkan kita semua bahwa solidaritas dapat tumbuh dari peristiwa yang paling pahit dan memilukan.

maria-g-soemitro.com
sumber: NarasiTV


Di Mana Posisi Kita?

Great minds discuss ideas

Average minds discuss events

Small minds discuss people

Banyak yang menyesalkan pemilihan warna pink, karena Ibu Ana mengucapkan kata-kata kasar terhadap aparat dan Presiden, diiantaranya seruan “Prabowo Anjing! Prabowo harus turun, gantinya Anies.”

Please deh teman-teman, dengan peringkat Indonesia ke-70 dari 80 negara berdasarkan data Programme for International Student Assessment atau PISA, serta skor literasi membaca 359 (rata-rata global  476), jangan berharap banyak!

Jangan berharap Ibu Ana berorasi dengan menggunakan kalimat yang sesuai PUEBI dan menunjukkan wawasan luas. Ibu Ana merupakan perwujudan mayoritas rakyat Indonesia yang perbendaharaannya terbatas, sehingga kerap asal “nyeblak”.

(mirip para pejabat yang juga asal “nyeblak”)

Kita justru harus mengapresiasi keberanian Ibu Ana menyampaikan kekesalannya. Jangan bersikap hipokrit, hanya mengkritik Ibu Ana tanpa melakukan hal yang berguna, minimal untuk diri sendiri.

Maaf saya terbawa emosi.

Sebetulnya pertanyaan “Di mana posisi kita?” merupakan self reminder untuk diri sendiri. Kala terjadi peristiwa unjuk rasa dan kerusuhan Indonesia pada Agustus 2025, di mana kita?

Asyik working life dan tak peduli apa yang terjadi? Dengan pertimbangan keuangan dan situasi keluarga baik-baik saja. Tak terganggu dengan gonjang-ganjing perubahan politik.

Tentu saja itu soal pilihan. Ada berjuta pilihan dalam menyikapi situasi Indonesia terkini. Salah satunya pilihan yang diambil Ibu Ana dengan berjuang sesuai caranya.

Dan tak ada pilihan yang benar atau salah. Terlebih jika menyangkut mental health. Dalam suatu podcast, seorang narasumber menjelaskan bahwa himpitan hidup, seperti susah mencari kerja, atau malah di-PHK dan terpaksa menjadi driver ojol, membuat mereka membutuhkan saluran untuk melampiaskan kekesalan, nah salah satunya dengan ikut demonstrasi.

Ada yang menarik dari postingan Narasi TV yang bisa dikaitkan dengan kasus ini:

Di tengah karut marut dan kondisi tak menentu, mari tengok kanan-kiri, pastikan tak ada yang terpisah dan sendiri. 

Kekuatan terbesar kita datang dari samping: Warga saling jaga, saling bantu, agar taka da yang ditinggalkan dan dilukai.

#WargaBantuWarga, saling bantu saling menjaga.

Setuju ya? Dengan saling bantu dan saling menjaga, tidak saja kita menjaga mental health kita,  juga orang lain di lingkungan kita.

Baca juga:

Pilih Mana? Kuliah atau Bekerja?

Stigma Janda dan 6 Cara Mengatasinya


4 comments

  1. Selama masa demo saya tidak melihat televisi atau berita dari aplikasi lain
    Kebetulan Fahmi pulang liburan semester. Jadi terbawa anak, selama semingguan itu sejak 28 Agustus sampai Minggu kedua September kami kebawa anak gak begitu banyak interaksi dengan gadget
    Saya ga tahu ini harus disyukuri atau dikasihani. Tapi walaupun rezeki saya sebagian saya cari melalui gadget memang semua harus ada batasan.
    Saya memang tertinggal informasi. Sampai tidak tahu kalau kondisi bangsa berduka,
    Tapi saya senang karena proses untuk melahirkan generasi intelektual (semoga) sedang kami perjuangkan

    ReplyDelete
  2. SAKIT HATI!

    Baca tulisan Ambu tentang “Brave Pink Hero Green, Ketika Rasa Keadilan Terkoyak” ni bener-bener kena dan bikin mikir. Deskripsi tragedi, rasa sakit masyarakat, sampai simbol warna yang dipilih—semua dibangun dengan lugas tapi tetap emosional.

    “Brave Pink” & “Hero Green” sebagai metafora yang bukan cuma estetika, tapi punya makna sosial dalam konteks keadilan dan solidaritas.

    Satu hal yang pengen ditekankan: ini bukan cuma soal protes, tapi soal bagaimana setiap orang punya posisi dalam narasi ini—kita bisa diam, ikut suara, atau aksi dengan cara sendiri-sendiri. Semoga dengan kita menulis. berhasil membangkitkan empati dan rasa tanggung jawab. Teruskan ya, suara seperti ini penting banget di masa sekarang!

    PS Tulisanku tentang ini - digagal muatkan di beberapa platform hahhaa.... biarlah, aku masih punya blog pribadi, tulis aja semua di situ

    ReplyDelete
  3. Pink itu warna favorit saya Ambu, jadi seneng banget lah kemarin diwakilkan Bu Ana jadi salah satu warna perjuangan.
    Buat yang nyinyir dengan pemilihan diksi beliau, ya setidaknya beliau berkenan turun langsung lho. Itu saja suatu "kemewahan" yang ga semua ibu-ibu bisa lakukan. Ada yg ingin turun tapi terikat pekerjaan, urusan rumtang, belum lagi izin suami dan keluarga.


    Kalau untuk posisi saat ini sepertinya cuma berusaha sebaik-baiknya setiap hari termasuk mendoakan negeri ini yang semakin mengkhawatirkan.

    ReplyDelete
  4. Simbol warna yang dipakai kerasa banget ngena, jadi pengingat kalau rasa keadilan itu nggak boleh diabaikan. Semoga makin banyak orang yang peduli dan berani bersuara.

    ReplyDelete

Terimakasih sudah berkunjung dan memberi komentar
Mohon menggunakan akun Google ya, agar tidak berpotensi broken link
Salam hangat