Pilih Mana? Kuliah atau Bekerja?

 
lifestyle

Pilih Mana? Kuliah atau Bekerja?


“Viva!"

Sebuah foto jadul mengingatkan saya akan teriakan itu.
Foto wisuda yang tergantung di dinding rumah eyang saya di Kemetiran Lor, Jogjakarta. 

Hihihi antara ingin tertawa, menangis dan rasa bangga, karena akhirnya bisa menuntaskan kuliah. Walau lama dan penuh liku. Maklum kuliah sambil kerja. Saya juga mengidap epilepsi yang mensyaratkan harus cukup istirahat untuk menghindari kekambuhan. 

Pernah, karena begitu menyukai pelajaran akutansi, saya dur-duran, sepulang kuliah langsung menyelesaikan soal-soal akutansi hingga menjelang pagi.  Tidur sebentar  dan bangun untuk ngantor. Kuliah lagi, mengerjakan soal lagi. Kurang tidur. Akibatnya terjadi kekambuhan epilepsi. 

Kekambuhan epilepsi sangat saya hindari, karena paska kekambuhan efeknya sungguh menjengkelkan. Badan terasa lemas dan ngantuk. Enggak kepalang tanggung, bisa 2 minggu lamanya saya merasakan gak enak body. 

Baca juga:
Sukses itu Soal Rasa. Ini Suksesku Mana Suksesmu? 

Dokter Lois dan Menghargai Diri dengan Tolak Hoaks

Daftar Isi

  • Foto Jadul yang Membongkar Kenangan
  • Yane Yunarni, Teman Positifku
  • Mengapa Harus Bekerja?
  • Mengapa Harus Kuliah?

Rekaman perjalanan menempuh kuliah sambil bekerja, terputar lagi sesudah lihat foto kenangan dan mendengar wawancara dokter Tirta Mandira Hudhi, seleb dokter yang beberapa waktu lalu berdebat dengan dokter Lois, dan meramaikan jagat media sosial. 

Di channel YouTube Deddy Corbuzier, dr. Tirta bercerita bahwa dia berhasil menyelesaikan pendidikan dokternya di UGM selama 6 tahun. Wow banget, mengingat konon lulus FK UGM  lebih sulit dan lebih lama dibanding FK universitas lain di Indonesia. CMIIW. 

Dokter Tirta juga menyelesaikan kuliah sambil bekerja, tepatnya berwirausaha, mulai dari menjual sepatu, membuka usaha cuci sepatu serta masih banyak lagi. Jadi selain cerdas, dia juga sehat, tidak penyakitan seperti saya, memiliki usaha mandiri dan mempunyai takad yang kuat.

Jadi, jika kamu bekerja dan hanya “lulusan SMA” sangat bagus meniru jejak dokter Tirta. Jangan terpaku umur. Next saya bikin tulisannya ya?

 

Yane Yunarni


Yane Yunarni, Teman Positifku

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628) (sumber)

Hadis di atas tepat banget menggambarkan pengaruh positif Yane, tetangga depan rumah di Sukabumi yang menjadi teman sebangku di SMP Mardiyuana Sukabumi, berpisah saat SMA, eh ketemu lagi di Bandung. 

Paska lulus SMA, kami sama-sama bekerja dan satu kontrakan. Tepatnya saya membayar uang kost ke Yane yang mengontrak satu rumah bersama ayahnya, seorang anggota DPR yang harus ngantor di Jalan Diponegoro, Bandung. 

Rumah kontrakan yang kami huni di Jalan Purnawarnan (kini sudah berubah menjadi bangunan mall megah bernama Bandung Electronic City), terletak di pusat Kota Bandung, sehingga teman alumni SMA Yane kerap berkunjung. Dari merekalah kami tahu tentang Universitas Islam Nusantara (Uninus) yang membuka kelas pagi dan sore hari. 

Daripada “cuma ngantor”, Yane mengajak mendaftar di tahun berikutnya, beda 2 tahun dengan teman-teman seangkatan kami. Dalam usaha mengulang testing PTN, saya dan Yane ikut bimbingan belajar sekaligus ikut kursus sekretaris. Tahun berikutnya full ngantor. Sehingga ada selisih waktu 2 tahun dengan teman-teman seangkatan.

Saya inget banget, biaya kuliah/uang masuk Uninus hanya Rp 140.000/tahun, dan gak mudah berubah. Teman-teman yang duluan masuk Uninus maupun saya dan Yane, dikenakan biaya kuliah yang sama. 

Masa itu, seingat saya, mudah sekali kuliah. Asalkan niat, pasti bisa kuliah. Gampang banget lulus masuk IPB, IKIP (sekarang Universitas Pendidikan) atau fakultas tertentu di Unpad, dengan syarat jangan pilih yang banyak peminatnya. 

Sayangnya kami, saya dan Yane, keukeuh masuk ITB jurusan Teknik Sipil (jurusan terfavorit waktu itu), gak mau yang lain. 

Biarlah gak lolos masuk ITB Teknik Sipil, yang penting sombong 😀😀 

Eniwei, akhirnya anak sulung saya yang kuliah di ITB Teknik Sipil. Gak tanggung-tanggung dia mah, lulus Cum Laude S1 dan S2. 

Juga si bungsu, anak nomor 4 yang lulus S1 teknik fisika dan  sedang menuntaskan S2 Teknik Kimia. ITB. Serta kakaknya, anak nomor 2, Iyok yang lulus S2 Teknik Lingkungan di ITB. Sepenggal kisah Iyok saya tulis di sini: 

Doa Terdalam untuk  Anakku, Kekasihku, Pahlawanku

  
maria-g-soemitro.com


Mengapa Harus Bekerja?

Salah satu syarat sukses lompatan kuantum (quantum leap) adalah konsisten menggelorakan tujuan, mirip pita cassette yang rusak, “kita harus nomor satu” …..”kita harus nomor satu” 

Nah suara cassette rusak yang selalu saya dengar adalah suara almarhum ibunda: “Ibu gak punya uang” ….”Ibu gak punya uang” 

Sejak ayah meninggal dan mewariskan 6 anak pada ibu, keadaan finansial kami emang pas-pasan. Usia ibunda baru 36 tahun, sewaktu menjanda, dan bertekad tidak menikah lagi agar bisa fokus membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.  

Namun tetap sulit, kakak dan adik saya kuliah di universitas swasta. Dulu, perbedaan uang kuliah PTN swasta dan PTN negeri bak bumi dan langit. Uang masuk Uninus Rp 140.000, sedangkan uang masuk ITB hanya Rp 25.000. Bisa murah karena didanai pemerintah pusat, tidak seperti sekarang yang harus memenuhi semua anggarannya. 

Jadi, saat gagal masuk fakultas idaman, pilihan logis berikutnya adalah bekerja. Sebelum gabung dengan Yane di Jalan Purrnawarman, saya kost di Jalan Kenari-Jalan Merdeka Bandung. Di tempat kost khusus perempuan ini, kebetulan saya bertetangga dengan seorang gadis Tionghoa yang memberi info bahwa kantornya membutuhkan staf keuangan. Jadilah saya mendaftar dan diterima. 

Nampak gampang dan mulus ya? 

Hingga sekarang, saya yakin semua niat, asalkan bertekad kuat dan diridhoi Allah, pasti berhasil. Awalnya mungkin sulit. Seperti yang saya alami, pekerjaan administrasi ternyata membosankan, gajinyapun amat kecil. Tapi saya butuh. Tidak hanya agar meringankan beban ibu, juga supaya saya punya surat rekomendasi kerja. 

Dengan kata lain, apapun yang saya kerjakan harus berjejak. Jejak yang mendukung karir/masa depan saya kemudian. 

 

maria-g-soemitro.com


Mengapa Harus Kuliah?

Kini, kita mengenal Susi Pudjiastuti dan Ajip Rosidi yang berhasil tanpa mengecap bangku kuliah, bahkan tidak lulus SMA, namun mereka adalah sosok langka. Mampu belajar otodidak dan sukses. 

Sementara kita, golongan awam yang biasa-biasa saja, pastinya membutuhkan kisi-kisi untuk belajar dan target menghasilkan ijazah. Kita butuh bukti telah menuntaskan serangkaian materi dan lulus ujian, agar diterima bekerja. Walau akhirnya bukti kesarjanaan saya gak terpakai. Tak lama setelah wisuda S1, saya menikah dan setahun kemudian memutuskan full bekerja sebagai ibu rumah tangga. 

Dengan kuliah, mungkin penghasilan seseorang bisa bertambah besar. Tapi manfaatnya lebih dari itu. Cara menyelesaikan problem. Attitude dalam bekerja. Semua berubah seiring meningkatnya ilmu dan skill. 

Bagi saya, pemahaman saya adalah “sarjana”, bukan  “hanya lulusan SMA” dampaknya besar sekali. Gak hanya di kantor, juga saat menghadapi problem benang kusut di rumah. 

Ketika terpuruk dan merasa depresi akibat KDRT serta marital rape yang terus menerus, foto wisuda menjadi sangat berarti. Terlebih saya menuntaskan kuliah sambil bekerja. Sehingga saya bisa berkata:

“Saya sarjana. Saya berhasil berkat jerih payah saya. Saya harus bangkit, tak seorangpun boleh menyksa dan merendahkan saya.” 

Baca juga:
Self Love, Saat perceraian Menjadi Solusi 

Bahagia Menjadi Ibu Rumah Tangga, Ini 5 Tipsnya!

22 comments

  1. Waktu saya lulus kuliah beberapa tahun lalu juga gitu mba, meyakinkan diri saya bahwa saya patut bangga sama diri sendiri dan gak bisa lagi orang2 memandang sebelah mata atau bahkan merendahkan saya. Tidak jauh2 ke orang lain deh, yang terpenting sudah buat orang tua dan keluarga saya bangga. Thanks for sharing mba Maria ;)

    ReplyDelete
  2. Dalam hidup ini selalu ada pilihan, bekerja atau sekolah. Jika boleh memilih tentunya sekolah sampai selesai baru kerja. Namun tidak setiap orang dapat memilih seperti itu. Terima kasih sudah berbagi pengalaman soal sekolah dan bekerja.

    ReplyDelete
  3. Aku dulu kerja sambil kuliah juga Ambu
    Jadi asisten dosen di kampus
    senang bisa punya penghasilan sendiri

    ReplyDelete
  4. Kalau pilihanku dulu kerja, tapi pada akhirnya diminta orangtua untuk kuliah dulu baru bekerja. Tulisan inspiratif nih mba

    ReplyDelete
  5. Mencari ilmu tidak ada batasan my ya. Usia berapapun tinggal niatnya. Apalagi sekarang saat pandemi, banyaknya online, kuliah dari rumah saja.
    Makin praktis...

    ReplyDelete
  6. Menginspirasi sekali ceritanya..salut saya dengan orang yang bisa menjalankan keduanya yaitu kuliah sambil bekerja jadinya multitalenta sekali ya mbak

    ReplyDelete
  7. Terharu sekali Ambu.

    Sarjana. Aih, sudah lama Acha memendam impian untuk lanjut S2. Namun rasanya anak anak juga akan butuh biaya sekolah. Suami juga butuh. Sementara Acha ya kerjanya kelap kelip dari rumah saja.

    Tapi Ambu bilang, niat niat niat. Doakan ya Ambu.

    Btw foto jaman Ambu muda, cantik sekali.

    ReplyDelete
  8. Memang menjadi pilihan yang sulit juga terkadang antara mau bekerja atau kuliah yah. Urusan ekonomi biasanya pun menjadi kendala tapi jika bisa melanjutkan kuliah menjadi gengsi tersendiri sih. Dan ketika bisa antara keduanya sungguh luar biasa ya,kerja dan kuliah.

    ReplyDelete
  9. Memang sebuah cerita dalam menempuh pilihan antara kuliah dan atau kerja, menarik

    ReplyDelete
  10. Aku dulu juga kerja sambil kuliah dengan harapan biaya kuliah semua aku yang tanggung dengan uang gajiku tanpa menyusahkan orangtua, alhamdulillah semua terwujud bisa lulus kuliah dan plus bisa memberi orangtua juga dari hasil gajiku

    ReplyDelete
  11. Tuhan selalu punya rencana menarik dan tak terduga. Impian kuliah di ITB terwujudkan lewat anak ya Ambu dah gitu cumlaude juga. Hebat
    Kuliah sambil kerja memang tidak terbilang mudah selain butuh tenaga lebih ekstra dan harus pandai mengatur management waktunya

    ReplyDelete
  12. Bener mbk... Saat kita pernah berhasil atas usaha kita sndri kita ga akan rela disakiti org lain menyebabkan kita terpuruk. Bila pernah merasakan berjuang isnyaallah sllu bisa utk bangkit kembali

    ReplyDelete
  13. Jadi semacam new spirit gitu ya mbak... Apalagi menyelesaikan kuliah dari bekerja dengan uang sendiri bahagia banget rasanya

    ReplyDelete
  14. Waktu itu sih aku pilih bekerja dulu, kemudian aku ambil kelas karyawanan untuk kuliahnya. Memang kalau bisa kuliah ya dijalankan karena ilmu tak akan habis.

    ReplyDelete
  15. Semua tergantung niat, situasi dan kondisi ya mbak. Ada orang yang ingin menyenelsaikan kuliah dulu baru bekerja, ada pula yang ingin keduanya :D Kalau aku sih setelah lulus baru bekerja. Senangnya sambil bekerja adalah dapat penghasilan sendiri lalu kuliah malam, misalnya. Jika sikon mendukung, bisa kulaih pagi atau siang lalu bekerja. Cerita mbak Maria sangat menginspirasi :D TFS yach.

    ReplyDelete
  16. Menurut saya sih dua2anya harus tetap beriringan, kuliah dulu baru kerja juga gpp biar kualiahnya fokus. Btw, melihat foto kak maria di atas terlihat seperti anak-anak era 80-an ya hehe...maaf potongan rambutnya terlihat seperti itu soalnya. :D

    ReplyDelete
  17. Baca ini jadi ingat bahwa saya dulu juga "sombong", saat UMPTN pilihan pertama teknik kimia ITB, pilihan kedua teknik kimia ITS. Dan gagal dong

    Tapi 10 tahun kemudian, saya bisa juga jadi mahasiswa pasca sarjana ITB meskipun bukan teknik kimia. Tapi paling tidak kesombongan jaman remaja dulu terbukti.

    ReplyDelete
  18. Ambuuuu, bentar bentar "Biarlah gak lolos masuk ITB Teknik Sipil, yang penting sombong" Wkwkwkkw.
    Tapi ngomong-ngomong, aku tim yang habis kuliah baru kerja, Ambu. Tanggungjawabnya double kalau bersamaan. Heheh.

    ReplyDelete
  19. Ambu dari dulu ampe sekarang tsakep beneerrrr

    Mirip artis2 era '90-an, bangsa Nella Regar gitu :D
    Btw, setuju dgn poin2 pentingnya kuliah, juga nyambi kerja pas kuliah... ni bisa banget membentuk karakter dan mental kita.

    ReplyDelete
  20. Kalau aku sih kedua duanya, kuliah untuk menempuh pendidikan, kerja untuk menjadi mandiri. Tp kadang orang tua memberikan pilihan tersebut

    ReplyDelete
  21. Kalau saya nyeselnya, dulu kenapa kuliah nggak sambil kerja. Yang ada waktu kosong buat organisasi. Kalau dipikir-pikir, organisasi emang dapat pengalaman sih. Tapi sering duit keluar sia-sia.

    ReplyDelete
  22. Selamat, Ambu! Terbukti bahwa kuliah memang membuka peluang untuk berkembang apalagi ditambah bekerja yang memperkaya pengalaman. Saya pun waktu masuk kuliah pas ayah udah ga ada, jadi yakin aja insyaallah bisa. Tahun ketiga baru mulai kerja sampai rampung kuliah. Alhamdulillah ada kebanggaan tersendiri kuliah bisa pakai uang sendiri. Betul banget soal biaya kuliah emang jauh ya antara negeri dan swasta. Kini Ambu senang dan bangga pastinya punya anak-anak lulusan ITB. Salam!

    ReplyDelete