Stop Hoaks, Agar Kesehatan Pulih Ekonomi Bangkit!

  
freepik.com


Stop Hoaks, Agar Kesehatan Pulih Ekonomi Bangkit!

"Panic buying, Susu Beruang diserbu untuk menyembuhkan Covid-19"

Percaya susu cap Beruang bisa menyembuhkan Covid-19?  Jika jawabannya iya, maka selamat! Anda telah masuk jebakan hoaks, hasil produksi oknum tidak bertanggung jawab.  

Sebetulnya tipu-tipu begini sudah ada sejak zaman dulu ya? Semakin canggih seiring kemajuan teknologi digital serta akses internet yang mumpuni. Seperti yang dijelaskan dalam workshop yang diselenggarakan LMS Tempo Institute:

“Ada banyak orang Indonesia berkerumun di internet (lebih dari separuh populasi) dan terpapar beragam informasi tanpa literasi yang memadai”
Berbeda dengan banyak pihak yang riang gembira memenjarakan para pelaku hoaks, Tempo bersama 20 institusi lainnya berpendapat bahwa solusi yang terbaik adalah mengedukasi masyarakat, membantu mereka untuk memcari kebenaran suatu berita sebelum mempercayainya. 

Setuju banget ya?  

Jika pelaku hoaks dipenjara, alih-alih menyadari kesalahan, mereka malah terjerumus tindak kriminal berat.

 Baca juga:
Luna Maya dan Blunder Covid 19
Masker Yang (Pernah) Jadi Polemik Saat Pandemi Covid-19

Daftar Isi    

  • Waspada, Hoaks Merajalela Tetap Jaga Logika
  • 9 Langkah Mengenali Hoaks
  • Info Menyesatkan Tentang Ivermectin
  • Cara Mudah Hempaskan Hoaks Kesehatan

Sebetulnya ulah si oknum hoaks tidak akan menimbulkan kegaduhan jika dia tidak mengunggahnya ke internet. Ada “gelembung filter” atau “filter bubble” di internet. Gelembung filter merupakan istilah yang menggambarkan algoritma di internet. Setiap informasi yang diunggah akan direspon algoritma, sehingga ketika seseorang membuka media sosial atau mesin pencari, maka akan muncul informasi tersebut. 

Contoh kasus, beberapa waktu lalu saya menulis tentang MSG/micin yang tentu saja membutuhkan referensi. Eh, tanpa saya kehendaki, setiap membuka laman media sosial, maka … jeng jreng … berjejer macam-macam merk micin: Sasa, Ayinomoto, Masako dan lain lain. Lengkap! Padahal tulisannya udah lewat beberapa minggu silam. 

Bagaimana kabar hoaks di saat pandemi Covid 19? Tentu saja semakin menggila. Pemakaian internet melaju pesat seiring kebijakan pemerintah mengendalikan pandemi dengan menerapkan WFH dan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), sejak Maret 2020 hingga kini, Juni 2021. 

Rumor anehpun bermunculan. Mulai dari virus Covid 19 yang bisa dibasmi dengan panas matahari, air wudu, empon-empon hingga kopi. Bagaimana menyikapinya? Ika Ningtyas dari CekFakta Tempo membagikan kiatnya.

   

sumber gambar: freepik.com


 9 Langkah Mengenali Hoaks

Mengapa seseorang/sekelompok orang memproduksi hoaks? Apa keuntungannya?
Ika Ningtyas menjelaskan paling tidak ada 7 penyebab, yaitu:

  1. Jurnalisme yang lemah
  2. Buat lucu-lucuan
  3. Sengaja membuat provokasi
  4. Partisanship
  5. Cari duit (clickbait-iklan)
  6. Gerakan politik
  7. Propaganda

Penyebab atau tujuan pembuatan hoaks akan menentukan hoaks ditempatkan dan disebar. Hoaks untuk lucu-lucuan, mungkin disebar di media sosial facebook dan whatsapp. 

Sedangkan konten yang mirip berita informatif diposting di web untuk mencari uang (clickbait-iklan). Pembaca yang mengira itu adalah berita menarik akan menyebarkannya dengan penuh semangat. 

Nah agar tidak tergelincir ikut menyebarkan berita palsu/hoaks, perhatikan beberapa hal berikut:

Cek alamat situs

“Dari 47.000 media, hampir 79% merupakan media abal-abal,” kata ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo  (sumber)

Tentu saja fakta ini menyedihkan. Masyarakat mendapat suguhan berita yang tidak dapat dipetanggung jawabkan. APBD juga digerogoti, karena beberapa media yang tidak terverifikasi tersebut bekerja sama dengan pemerintah daerah. 

Media profesional harus memenuhi 2 jenis verifikasi, administrasi dan faktual, sesuai Peraturan Dewan Pers No: 03/PERATURAN-DP/X/2019 tentang Standar Perusahaan Pers. 

Bagi masyarakat awam tentu saja terasa ribet. Cara termudah melakukan pengecekan melalui situs who.is dan domainbigdata.com. setelah sebelumnya cek alamat situs, gratisan atau bukan. Media abal-abal gemar memakai blog gratisan seperti blogspot dan wordpress. 

Mereka menyandingkan dengan media profesional menjadi: liputan6.blogspot.com atau okezone.wordpress.com. Yang lainnya menggunakan nama instansi pemerintah seperti BPOM dan KPK.

Cek perusahaan media di Dewan Pers

Pengecekan perusahaan media bisa dilakukan melalui direktori Dewan Pers, yaitu https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers. 

"Untuk menjadi media ada aturan yang harus diikuti," kata Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan (sumber

“Ada kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi dalam produknya, ada syarat administratifnya misalnya harus berbadan hukum, ada alamat, ada nama redakturnya," jelas Semuel. Lebih lanjut Samuel menerangkan ada semacam barcode oleh Dewan Pers yang terhubung dengan sistem database media yang telah terverifikasi.

 

tempo. cekfakta


Perhatikan detail visual

Media abal-abal kerap meniru detail media mainstream, selain nama mereka juga meniru logo. 

Perhatikan gambar logo media yang meniru abc.go.com, logo media abal-abal nampak jelek dan tidak jelas.

Perhatikan iklan

Walaupun media mainstream kini juga dipenuhi iklan. Namun media abal-abal sekadar mencari click untuk meraup uang tanpa peduli kontennya tidak memenuhi kaidah jurnalistik, bahkan termasuk hoaks.

Perhatikan ciri ciri pakem media

Pembaca media tempo.co pasti familier dengan tampilannya, sehingga tidak mudah terkecoh saat ada media abal-abal yang meniru Tempo. 

Andai belum familier, bandingkan sejumlah ciri yang menjadi pakem khas jurnalistik media mainstream tersebut. Perhatikan: nama penulis harus jelas, cara menulis tanggal di badan berita, hyperlinknya yang disediakan mengarah ke mana, narasumbernya kredibel atau tidak, dan lainnya.

Cek About Us

Cek about us atau tentang kami, menjadi cara termudah mendeteksi media abal-abal atau bukan. About us yang ada di laman situs media berisi: 

Sesuai UU Pers: media profesional harus berbadan hukum, ada penanggungjawabnya, ada alamat yang jelas serta orang-orang yang duduk di organisasi perusahaan. 

About us juga mencantumkan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Sungguh berbeda dengan media abal-abal yang selalu anonim.

Waspadai Judul Sensasional

Judul sensasional dipilih media abal-abal untuk memancing pembaca, salah satunya bertujuan clickbait-iklan atau cari duit. Jadi jangan cuma baca judul lalu komen di medsos. 

Terlebih hanya komen terkait judul. Baca beritanya sampai habis agar tidak terkecoh dan menyebarkan berita hoaks.

  

tempo.cekfakta


Cek Foto di Google Reverse Image

Foto yang ditempelkan pada berita hoaks bisa dideteksi memperhatikan detail visualnya, seperti latar belakang bangunan, tulisan, pencahayaan foto serta logis tidaknya.  

Apabila masih bingung/belum yakin, gunakan Google Reverse Image. Foto utama pada berita abal-abal biasanya mencuri di tempat lain, terutama media mainstream. Disebut mencuri karena mereka tidak mencantumkan sumber foto. Iyalah ya? Namanya juga mencuri. 

 

tempo.cekfakta


Cek situs mainstream

Salah satu ciri media abal-abal adalah mencuri konten dari situs lain. Tujuannya agar terjadi mis-disinformasi. Karena itu penting banget memverifikasi keaslian konten di suatu situs. 

Bagaimana cara mengecek benar tidaknya  suatu berita?
Mudah. Gunakan kata kunci di mesin pencari dengan tambahan “in site”.  

Contoh ada klaim berikut:
“Akibat Suntik Vaksin dari Cina, Masyarakat Zimbabwe Terkena Penyakit Kulit Berair”. 

Setelah dilakukan pengecekan ternyata faktanya:
Perempuan suku Hamar di Ethiopia menggelar tradisi Ukuli Bula. Dalam tradisi ini, si perempuan akan dicambuk sebagai bukti pengorbanan.

 

tempo cekfakta


Info Menyesatkan Tentang Ivermectin

"Untung saya belum divaksin,” 

Komentar seorang teman di WhatsApp grup membuat saya mengernyitkan dahi. Prihatin sekaligus penasaran. Apa sebab sang teman berkata demikian? 

Ternyata biang keroknya obat ivermectin yang disebut dapat mengobati COVID-19 dan SARS. Seseorang bernama Safarie Jane melalui akun facebook-nya menulis status: 

“Ivermectin..kills corona virus in one does! Effective. Works against Sars too. Cost..one dose..12 cents..12 CENTS!!! Of course big Pharm wants you to take a $2,000.00 dollar vaccine. Now being used with absolute success in India. WAKE UP AMERICA!” 

Penasaran dong saya. Jika ada obat penghalau virus corona, maka berarti masyarakat gak perlu risau lagi. Kelak virus Corona udah mirip virus flu, penderita cukup minum obat, istirahat yang cukup, tak lama kemudian  sembuh deh. 

Sangat menguntungkan bukan? Baik bagi masyarakat juga pemerintah. Seperti kita ketahui produksi masal obat membuat harganya menjadi murah. Tidak demikian dengan vaksin, harganya mahal dan membutuhkan keahlian medis untuk menyuntikkan ke tubuh. Adanya obat pembasmi virus Covid-19 dapat menghemat anggaran triliunan rupiah. 

Ternyata klaim tersebut hoaks! (sumber

Ivermectin bukan antivirus! Penggunaannya belum disetujui untuk mengobati atau mencegah Covid-19 pada manusia, sesuai rilis BPOM Amerika Serikat: 

"Ivermectin bukan antivirus (obat untuk mengobati virus). Penggunaan obat ini dalam dosis besar akan berbahaya dan dapat menyebabkan bahaya serius," kata BPOM AS. Badan Obat Eropa juga menyatakan Ivermectin tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam manajemen rutin pasien COVID-19. 

Anehnya, Menteri BUMN Erick Thohir ikut termakan hoaks. Erick mengatakan Ivermectin sebagai obat pencegahan dan terapi Covid-19 telah mendapatkan izin edar dari BPOM. Selanjutnya Erick menyatakan PT Indofarma akan memproduksi 4 juta dosis Ivermectin perbulan 

Pernyataan Erick disanggah pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gadjah Mada, Zullies Ikawati yang mengatakan telah terjadi misleading atau info menyesatkan bahwa Ivermectin telah mendapatkan izin edar BPOM untuk terapi Covid-19. Karena sesuai rilis BPOM pada 22 Juni 2021: 

"Ivermectin kaplet 12 mg terdaftar di Indonesia untuk indikasi infeksi kecacingan (Strongyloidiasis dan Onchocerciasis).” Atau dengan kata lain Ivermectin yang siap diproduksi Indofarma mendapat izin edar sebagai obat antiparasit cacingan, bukan untuk terapi apalagi pengobatan pasien Covid-19. 

Sebagai institusi yang peduli literasi masyarakat Indonesia, melalui Instagram Tempo CakFakta, Tempo telah mengunggah info terkait Ivermectin

Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, pesan berantai yang berisi klaim bahwa Ivermectin dapat mengobati dan mencegah Covid-19, keliru. Hingga artikel ini dimuat pada 16 Juni 2021, berbagai otoritas kesehatan menyatakan bahwa Ivermectin belum terbukti dalam mengobati maupun mencegah Covid-19. Terdapat riset yang dirilis baru-baru ini yang menggambarkan efek Ivermectin terhadap SARS-CoV-2, virus Corona penyebab Covid-19, di laboratorium. Namun, jenis penelitian itu biasanya digunakan pada tahap awal pengembangan obat. Pengujian tambahan diperlukan untuk menentukan apakah Ivermectin mungkin tepat untuk mencegah atau mengobati Covid-19.
   
freepik.com


Cara Mudah Hempaskan Hoaks Kesehatan

Mengapa banyak orang tergelincir mempercayai hoaks? Dalam paparannya Ika Ningtyas menjelaskan bahwa ada 4 penyebab seseorang mudah termakan hoaks, yaitu:

  • Terlalu mengagungkan atau membenci seseorang
  • “Kelompok seberang” tidak layak dipercaya
  • Sering muncul di linimasa sama dengan “benar” (gelembung filter)”
  • Bias perasaan

Kemungkinan besar Erick Thohir sangat ingin melihat pandemi Covid-19 berlalu, agar pemerintah tidak lagi harus mengeluarkan ribuan triliun dan ekonomi bangkit kembali. Perasaan yang dimiliki setiap anggota masyarakat Indonesia.  

Masih terkait materi workshop Cek Fakta Tempo, peserta mendapat beberapa kiat untuk cek fakta kesehatan, khususnya mengenai Covid-19

  • Cek sumber aslinya
  • Jangan hanya baca judulnya
  • Identifikasi penulis
  • Cek tanggalnya
  • Cek bukti pendukung lain
  • Cek bias
  • Cek organisasi pencari fakta

Selanjutnya beberapa langkah pengecekan berikut:

Sumber Referensi Terpercaya

  • Website resmi institusi/organisasi (WHO, CDC, Kementerian Kesehatan, BPOM, IDI, IAKMI dan lainnya)
  • Diskusi dengan ahli
  • Jurnal ilmiah (The New England Journal of Medicine, the British Medical Journal, Nature Medicine, the Lancet, dan lainnya) dengan menggunakan Google Scholar.
  • Waspada terhadap jurnal predator!

Peer-review & Pre-print

Studi Korelasi vs Hubungan Sebab Akibat

Studi korelasi dilakukan untuk mengukur derajat keratan (hubungan korelasi) antara 2 variabel, baik yang sudah jelas secara literatur berhubungan atau sesuatu masalah yang akan diteliti. Sedangkan hubungan sebab akibat (kausalitas) adalah hubungan yang dibentuk atas suatu kejadian (sebab) dan dampak (akibat) dari kejadian tersebut. 

Contoh kasus:

 

tempo.cekfakta


Berdasarkan pemeriksaan fakta Tempo, klaim bahwa “48 warga Korsel meninggal setelah menerima vaksin Covid-19” keliru. Sebanyak 48 warga Korsel memang meninggal usai mendapatkan vaksin, tapi vaksin flu, bukan vaksin Covid-19. Meskipun begitu, menurut hasil investigasi dan otopsi otoritas Korsel, tidak ada hubungan langsung antara pemberian vaksin flu dengan kematian korban yang telah diselidiki. Sekitar 20 hasil otopsi awal menunjukkan 13 orang meninggal karena penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, dan penyakit lain yang tidak disebabkan oleh vaksinasi. 

Bagaimana? Mudah bukan? 

Nampak njlimet karena belum terbiasa. Walau demikian seperti yang telah disebut di atas, ada cara mudah untuk mengetahui suatu berita termasuk hoaks atau bukan. Ada sekitar 20 institusi yang peduli akan maraknya hoaks di Indonesia. Silakan buka Tempo.co (Fakta atau Hoaks), Kominfo (Disinformasi), Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dengan situs turnbackhoax,id, serta masih banyak lainnya. 

Jadi, apabila ingin Indonesia dapat segera terlepas dari pandemi Covid-19, penting banget untuk mengecek suatu berita termasuk hoaks atau bukan. Agar kesehatan masyarakat pulih, ekonomi Indonesia bangkit kembali. 

Capek di rumah aja bukan?

Baca juga:
Kamu Cinta Indonesia? Kok Nggak Pakai Masker sih?
Andai Tinggal di Korea Selatan, Ini Yang Akan Terjadi Pada Krisdayanti

 

sumber data dan gambar: tempo.cekfakta

45 comments

  1. Nah, kaya tadi pagi tuh Ambu. Aku dapat pesan berantai di grup family, yang menyatakan "Siap-siap Habis Vaksin, Mati Dini" wah serem juga ya. Dan tidak ada sumber dari mana-mananya. Bahayanya orang jadi beranggapan setiap habis vaksin kita akan meninggal. Aku cuma dalam hati nyebut, udah takdir saja kali, meninggalnya dg cara seperti itu. Heheh


    Memang ya Ambu, kita setiap terima berita apa pun harus disaring kembali. Jangan lgs disebar. Karena akan memperparah pikiran seseorang dan kita yang menyebarkan akan merugin

    ReplyDelete
  2. Saya capek di rumah aja, Ambu...Beneran kezel sama yang percaya banget dengan aneka info yang belum terbukti kebenarannya bahkan termasuk hoaks. Apalagi yang seputar kesehatan terkhusus berita Covid. Duh!
    Senang ada lembaga yang peduli dengan hal ini untuk mengedukasi masyarakat cek fakta sebelum mempercayai sebuah berita.
    Semoga makin banyak yang peduli untuk filter info dulu baru percaya dan sebarkan kebenarannya

    ReplyDelete
  3. Bahkan, seorang Eriik Thohir aja tergelincir dalam hoaks, ya. Terlepas dari kemungkinan bahwa Erick Thohir sangat ingin melihat pandemi Covid-19 berlalu, agar pemerintah tidak lagi harus mengeluarkan ribuan triliun dan ekonomi bangkit kembali.... ini menjadi bukti bahwa memang sangat nggak mudah membedakan hoax atau info valid.
    Apalagi di kalangan rakyat jelata.
    Semogaaaa, corona segera hengkang bener2 bersih dari planet Bumi.
    Yap, ini Perasaan yang dimiliki setiap manusia di manapun ia berada.

    ReplyDelete
  4. wah iya Ambu, aku juga ikutan workshop ini
    sebelum ikut workshop, biasanya caraku buat mengenali itu hoax apa tidak adalah dari judul dan alamat situsnya

    ReplyDelete
  5. Sedih rasanya budaya HOAKS semakin merajalela di zaman digital ini ya ambu. Jadi sebagai blogger seharusnya memnag kita harus cerdas dalam berinterasi, biar gak termakan berita-berita bohong yang jumlahnya sangat banyak. Senang sekali rasanya ada tempo.cekfakta, bisa jadi referensi kita ini.

    ReplyDelete
  6. Jaman sekarang kalo baca berita atau liat gambar gak bisa langsung percaya gitu aja ya ambu kita mesti cari2 lagi sumber yang bisa menguatkan berita tersebut

    ReplyDelete
  7. Wah, pantesan aja berita2/ info hoaks makin dibuat viral, makin bikin pusing orang2. Apalagi kalai info kesehatan yang sekarang sedamng dibutuhkan ya, bisa tenggelam dengan adanya cerita bohong yang beredar dari WAG ke WAG lain, email dll. Miris sekali deh. Setuju, kita sebaiknya cek n ricek terlebih dahulu menggunakan website terpercaya dan resmi seperti Tempo.co (Fakta atau Hoaks, Kominfo (Disinformasi, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dengan situs turnbackhoax,id dll. Makasih sharingnya, Mbak Maria.

    ReplyDelete
  8. Wah iya Ambu hoax ga akan viral kalau masing2 kita teredukasi utk bs cek ricek sblm sharing ya. Senang bs ikut acara webinar ini...

    ReplyDelete
  9. Bapak beberapa kali ngeshare informasi yang nggak jelas akurasinya melalui media Whatsapp, meneruskan pesan yang beliau terima dari teman atau WAG.

    Kadang kalau lagi senggang, iseng saya cek keabsahan informasi yang beliau bagikan. Dan, as expected, sumbernya nggak jelas.

    Kemudahan akses informasi tanpa kemapanan literasi menurut saya adalah sebab utama orang mudah termakan hoaks dan menyebarkannya, tanpa memikirkan dampak apabila informasi salah tersebut sampai di tangan orang yang 'salah'.

    ReplyDelete
  10. Betul apalagi era digital membuat pembaca cermat mengecek informasi masuk perlu diklarifikasi.

    ReplyDelete
  11. Sebegitu besar efeknya hoaks ya, Ambu. Menurutku yang paling utama adalah kemampuan dan kemauan untuk membaca secara penuh. Baca dulu aja. Kalau sudah baca, teliti, hati-hati, sebenarnya kita bisa kok menemukan kejanggalan pada berita hoaks. Sayangnya, minim banget deh kemauan untuk begini.

    Sekarang, efeknya pun melebar ke ranah kesehatan sekaligus ekonomi kan ya, jadinya? Nggak kelar-kelar deh masalah di negeri ini.

    ReplyDelete
  12. Benar banget sih... Saya juga biasanya selalu check and recheck kalo ada share di WAG karena nggak mau dong kemakan berita hoaks. Apalagi sampai ikutan nge-share juga. Belajar cerdas literasi....

    ReplyDelete
  13. Di tengah membanjirnya informasi yang tersebar secara online, memang kita harus jadi pembaca yang cerdas ya mbak. Memilih dan memilah, membedakan informasi yang benar atau hoax, sumber informasi kredibel atau abal-abal.

    ReplyDelete
  14. Wah ceritanya nih di daerah saya banyak yang gak mau divaksinasi, karena banyak yang takut kak.. setelah saya amati memang banyak berita hoax seputar COVID-19 yang sering mereka dapatkan dari broadcase di WhatsApp (saya gabung dibeberapa group). Malah ada yang takut karena bisa buat cepet mati katanya...hahaha...Saya pernah bilang ke mereka, "cobain aja dulu vaksinasi COVID-19, belum dicobain kok udah percaya begituan".

    Btw, memang disinformasi/hoax sekarang ini memang sedang dikembangkan oleh orang2 tidak bertanggungjawab supaya kondisi negara makin runyam... tolonglah sebarkan berita yang baik2 saja..

    ReplyDelete
  15. banyak cara yang bisa di lihat apakah sebuah berita termasuk hoax atau bukan ya. aku juga terkadang membaca sebuah berita yang ada beberapa unsur di dalamnya seprti yang udah di sebut di atas, kadang agak memojokan dsb.

    ReplyDelete
  16. Penting banget untuk punya literasi digital. Jangan sampai kita dibohongi oleh hoaks yang makin banyak beredar. Apalagi saat pandemi, belajar, selalu siap untuk mengecek fakta , jangan terjebak hoaks.

    ReplyDelete
  17. Sering nih daku kejebak judul klik bait Ambu, hiks
    tapi sekarang bisa nih laporin tuh hoax ya jadi oranglain nggak kena prank juga kayak aku

    ReplyDelete
  18. Setuju Mbak. Mengedukasi itu jauh lebih bermanfaat ketimbang memenjarakan. Apalagi ditengah ramainya portal berita on-line dengan hujan berita yang tumpah ruah. Kita nih yang harus super hati-hati dalam memilih, menyaring dan memahami semua informasi yang kita dapat.

    ReplyDelete
  19. Aku sering banget ketipu sama judul yang sensasional. Hasilnya info yang didapat tidak sesuai dengan judul. Hoaks dunia kesehatan memang marak banget tentang covid. Makasih banyak kak atas info untuk cek berita hoaks. Agar Indonesia segera pulih.

    ReplyDelete
  20. Seneng sekali baca informasi bermanfaat seperti ini, apalagi terkait hoaks yang semakin meningkat. Semoga banyak yang membaca ini dan bisa terhindar dan tak mudah termakan hoaks dari berbagai media.

    ReplyDelete
  21. Bu, makin banyak yang teredukasi dengan adanya tulisan seperti ini, harapannya suatu saat hoaks akan berkurang. Orang nggak mudah share tampa melakukan pengecekan

    ReplyDelete
  22. Persoalan hoaks ini memang bikin gemes. Sudah ada trik untuk mengantisipasinya, jadilah kembalinya pada diri kitanya. Ceki-ceki dulu lah beritanya dengan sumber yang benar dan jelas ya?

    ReplyDelete
  23. Wah senang baca artikel ini
    Sekarang jadi tahu bagaimana cara mengecek sebuah berita
    Biar nggak terjebak hoaks

    ReplyDelete
  24. aku memang bukan orang yg suka mantengin medsos dan tidak follow akun aneh-aneh juga. cuma lewat wa ini yg biasanya masih banyak hoax beredar. jadi cara2 seperti yang ambu paparkan di atas memang penting banget untuk diketahui

    ReplyDelete
  25. Banyak banget sih yang gampang percaya hoaks dan turut menyebarkannya, apalagi di whatsapp group ya Ambu.

    Mengecek hoaks atau bukan memang nggak mudah sih ya. Njelimet. Jadi aku terpikir untuk mengandalkan banyak informasi penyanggahnya dari situs cek fakta. Selain itu ya nggak baik juga kalau langsung percaya gitu aja sama suatu informasi.

    ReplyDelete
  26. Memang sangat meresahkan ya hoax ini. Kadang tuh nggak habis pikir, kok mereka bisa percaya. Padahal ada data yang dibuka secara gamblang. Tapi malah menyebut data tersebut hoax 😅

    ReplyDelete
  27. Nah itu ya,
    Kita tetap harus Selektif memilih dan memahami informasi,
    Tidak semua Benar,

    Tetap Cerdas dan Semangat 😎🥰

    ReplyDelete
  28. hoaks berkembang sedemikian cepat hal ini disebabkan karena penetrasi internet yang semakin cepat. Berkembangnya Teknologi Informasi dan internet membuat kita mudah mendapatkan, membuat dan menyebarkan informasi.

    Indonesia merupakan pengguna internet terbesar kedua di dunia yaitu 175,4 juga dari total populasi 250 juta penduduk. Dari jumlah itu terdapat 160 juta prang yang merupakan pengguna media sosial yang sangat aktif.

    ReplyDelete
  29. Banyak sekali Mbak Maria,ada 79% nya medianya abal-abal. Kita benar2 harus lebih jeli dan punya sarungan kuat untuk membedakan hoax dan fakta ini ya mbak.

    ReplyDelete
  30. saya baru tahu sekelas menteri BUMN juga bisa termakan hoaks,, ini jadi bukti bahwa edukasi akan hoaks untuk semua kalangan penting banget tanpa mengotak-kotakkan kelomppok tertentu.. kalau semua sudah mendapat edukasi yang baik maka kemungkinan masyarakat termakan berita hoaks pasti akan berkurang

    ReplyDelete
  31. Iyaa nih hoax makin merajalela sejak pandemi, kadang aku skip nggak mau baca. Tapi di sisi lain sebagai blogger aku merasa punya kewajiban untuk mengecek kebenaran artikel nya jadi harus baca juga.

    Soal Ivermectin, sekarang malah sedang diuji klinis di BPOM dan di 10 RS, Ambu. Kebetulan aku ikut event zoom tentang obat ini. Memang sekarang masih jadi pro kontra. Sebagai orang awam, aku berharap hasil yang terbaik. Semoga pandemi lekas berakhir, tapi ada syaratnya juga yaa. Harus taat prokes, ini yang masih sulit dilakukan orang Indonesia. Semoga PPKM bisa mengurangi kenaikan kasus covid ini

    ReplyDelete
  32. iya nih, Mbak. selama masa pandemi ini banyak banget berita nggak jelas berseliweran entah itu di beranda fb hingga ke grup wa. saya lebih memilih nggak ikutan sharing sih dan baca buat sendiri aja kecuali memang yakin dengan kevalidan berita dan info tersebut

    ReplyDelete
  33. Dari 47.000 media, hampir 79% merupakan media abal-abal,” kata ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo

    Ya ampuun, pantesan ya, hoaks gampil banget tersebar di segenap penjuru ranah digital.
    Tentu saja fakta ini menyedihkan. Masyarakat mendapat suguhan berita yang tidak dapat dipetanggung jawabkan.

    Selain itu, APBD juga digerogoti, karena beberapa media yang tidak terverifikasi tersebut bekerja sama dengan pemerintah daerah. Bener2 ini menyedihkan bangetttt

    ReplyDelete
  34. Pernah mengikuti pelatihan jurnalistik, ada informasi pembanding media mainstream atau mengecek langsung ke sumber jurnalistik terdaftar dalam keanggotaan tidaknya. Informasi dan fakta perlu diteliti mana yang sesuai fakta.

    ReplyDelete
  35. Saya tuh kadang saking tidak bisa ngomongin orang sekitar kalau itu hoax jadi diem saja... Nanti nunggu agak redaan hoaxnya baru Saya bilang... Nah kan kemarin Saya bilangin itu hoax pada nggak percaya sih... Ckckxkx

    ReplyDelete
  36. Nah bener ini Ambu, saya juga kalau baca berita bener-bener ga langsung percaya kayak dulu. Parahnya lg grup wa ibu sya itu lho Ambu, suka banget nyebar info dan ternyata hoaks. Namanya ornag tua kan mudah percaya

    ReplyDelete
  37. Ngeri banget memang dampak hoax ini, dan banyakan tujuannya untuk clickbait dapat keuntungan dari situ gak dipikirkan akibatnya bagi masyarakat. Mengecek untuk memastikan juga agak ribet ya, semoga adanya artikel-artikel seperti bisa bantu mengedukasi masyarakat kita ya

    ReplyDelete
  38. Duh serem juga baca berita macam2 dan belum tentu terjamin keasliannya pula, apalagi soal vaksin, banyak berita serem2 padahal aq abis di vaksin biasa aja 🤭

    ReplyDelete
  39. Makin banyak saja berita-berita yang nggak jelas kebenarannya. Kalau ada tool untuk mengecek kebenaran berita, akan sangat membantu. WA saudara saya kebajak orang gara2 klik link berembel-embel hadiah hoaks.

    ReplyDelete
  40. Dari judul memang udah gampang kelihatan sih ya berita hoaks atau bukannya. Maka ketelitian dan ketenangan, diperlukan saat ada yang share. Jangan langsung percaya

    ReplyDelete
  41. Saring before sharing. Penting banget ya ambu.

    Berita hoax ini seringkali berisi himbauan baik, tapi informasinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seperti ajakan orang untuk melawan suatu penyakit pakai suatu obat. Ajakan melawan penyakitnya bener, obatnya yang ga bisa dipertanggung jawabkan.

    ReplyDelete
  42. Baca artikel ini hampir semua aku temui. Terutama di bagian penyebaran hoaks via WhatsApp. Sedih banget kalau baca boradcast grup itu isinya bantah-bantahan dan ujaran kebencian. Padahal yang diributkan itu ke banyakan hoaks.

    ReplyDelete
  43. Wadduh...serem-serem yaa...baca berita hoax.
    Takutnya...ternyata aku pernah menjadi pelaku niiih..
    Makanya penting banget yaa..think before share.
    Jangan asal ingin terlihat "terdepan" maka segala di share. Bisa berbahaya dan menyesatkan orang.

    ReplyDelete
  44. setuju banget nih mba. selain perang ama pandemi, kita juga perang ama hoax yaa.. aku bersyukur di WA ku bersih dari grup2 toxic yang suka ngirim pesan berantai gitu.

    ReplyDelete
  45. Duh memang nih hoaks bertebaran dimana-mana. Harus jeli dan cek-cek dulu sebelum memutuskan untuk percaya berita tersebut.

    ReplyDelete