5 Langkah Mudah Mengajarkan Toleransi Pada Anak

 

source: freepik.com

5 Langkah Mudah Mengajarkan Toleransi Pada Anak

 

“Jawa kowek,” sembur seorang anak laki-laki sambil menarik baju seragam SD yang saya kenakan, membuat saya terkesiap. Kaget. (Jawa kowek = umpatan untuk suku Jawa)

Kemudian, bersama 2 anak laki-laki lain, anak tersebut beranjak pergi.

Saya hanya bisa membiarkan mereka pergi. Walau sejuta sumpah serapah ingin saya lontarkan sebagai balasan. Namun mulut saya terkunci. Ibunda saya tidak mengajari menyumpah, sehingga saya tidak bisa melakukannya.

“Hanya orang yang tidak berpendidikan yang senang menyumpah,” katanya

Paska ayahanda saya wafat, otomatis ibundalah yang memegang kendali pelajaran etika dan norma hidup. Andai ibunda ada saat saya dibully, bisa dipastikan  ibunda akan menyuruh untuk mengalah dan menjauh. Bukan karena takut, toh percuma aja melawan mereka. Menangpun tak membanggakan.

Beberapa belas tahun kemudian, saya bertemu dengan mereka yang membully saya dalam pesta pernikahan adik laki-laki saya. Rupanya mereka (adik saya dan kelompok pembully) berkawan baik, dan waktu itu sedang berseteru. Kebetulan saya lewat, dan jadilah saya jadi sasaran kemarahan mereka.

Hihihi, aya-aya wae.

(ada-ada aja = Bahasa Sunda)

Uniknya, walau terlahir dari suku Jawa, saya merasa aneh mendapat umpatan “Jawa Kowek”. Mungkin karena saya lahir dan besar di Sukabumi, Jawa Barat yang dihuni suku Sunda. Saya telah mengalami proses adaptasi sehingga luruh sekat yang membatasi Jawa dan Sunda.

Baca juga: Mengapa Orang Cina Banyak yang Kaya?

Toleransi Itu Apa Sih?

Pernah timbul pertanyaan demikian?

Toleransi merupakan kemampuan untuk menghadapi hal yang tidak menyenangkan.

Perbedaan dan keberagaman membuat manusia harus beradaptasi satu sama lain. Proses yang berlangsung terus menerus karena tidak seorangpun dilahirkan sama dan serupa.

Mereka yang tak mampu bertoleransi akan merasa tertekan. Jika kebetulan bertemu dengan orang lain  yang merasakan hal sama, mereka akan melakukan perisakan.

Psikolog Elly Risman berulang kali mengingatkan pentingnya adversity quotient (AQ) dimiliki oleh anak-anak.

AQ adalah kecerdasan menghadapi kesulitan atau hambatan dan kemampuan bertahan dalam berbagai kesulitan hidup dan tantangan yang dialami.

Semakin tinggi AQ maka seorang anak akan semakin toleran. Dia memiliki kecerdasan dalam menghadapi perbedaan yang muncul dalam aktivitas harian, mulai dari yang  sederhana hingga masalah yang sangat kompleks.

Karena toleransi merupakan hasil ketekunan emosional atau mental, menjadi tugas orang tua untuk mendampingi anak.

Paling tidak ada 5 langkah yang bisa diterapkan:

sumber: freepik.com


Jadilah Teladan Bagi Anak Anak

Melihat contoh merupakan cara belajar yang termudah. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa pun lebih menyukai contoh agar bisa memahami suatu hal dengan cepat dan mudah.

Saya melihat contoh toleransi dari ibunda yang berkawan dengan beragam etnis. Dia tak keberatan mempunyai menantu etnis Cina dan Sunda. Sesuatu yang hampir tak dilakukan oleh generasi sebelum beliau.

Namun yang paling berkesan adalah saat sebelum tiba hari Natal. Ibunda akan memasak makanan untuk dikirim ke tetangga yang seluruhnya muslim. Di hari Lebaran, mereka membalas dengan mengantar ketupat dan lauk pauknya.

Uniknya, walau beragama Katolik, ibunda membagikan beras dan uang di setiap menjelang hari Lebaran. Biasanya dibagikan pada tukang becak langganan, tukang sayur, tukang bangunan langganan keluarga kami, dan masih banyak lagi.

Mirip membagikan zakat fitrah yang dilakukan muslim. Padahal keluarga kami bukan keluarga kaya. Ibunda hanya ingin memastikan, orang-orang tersebut bisa makan dan bergembira secara layak, di hari raya.

source : freepik.com


Perkenalkan Berbagai Budaya

Ingat buku pelajaran Kewarganegaraan yang penuh berisi gambar tentang suku-suku di Indonesia, lengkap dengan baju khas daerahnya? Apakah buku yang sama dimiliki oleh anak-anak sekarang?

Jika tidak, ajak anak-anak mengunjungi museum nasional agar anak-anak mengetahui bahwa salah satu kekayaan Indonesia ribuan suku bangsa, bahasa dan kuliner.

Yang termudah adalah menceritakan asal muasal makanan yang disajikan. Seperti olahan mi, kuliner yang dibawa etnis Cina dan merupakan doa agar panjang umur. Kentang yang ditanam petani Dieng karena  tanah dan iklimnya sangat tepat.

sumber: freepik.com


Perlakukan Anak Dengan Hormat

Anak bisa menghormati orang lain jika dia diperlakukan dengan hormat juga. Jangan lupakan untuk selalu mengucapkan 3 kata ajaib: “maaf, tolong dan terimakasih”.

Jangan lupakan juga untuk memuji sikap mereka. Sering dilupakan bahwa kesuksesan seseorang tidak hanya dari tingginya IQ, juga EQ, SQ dan AQ. Sewaktu anak harus melakukan adaptasi dan membuat keputusan, maka bisa diartikan dia telah melangkah maju.

Seorang anak yang merasa dirinya diterima, dihormati, dan dihargai cenderung akan memperlakukan orang lain sebagaimana keluarganya memperlakukannya. Demikian pula sebaliknya.



Jangan Menilai Pihak Lain

“Maaf, bagaimana menurut pendapat Anda bahwa orang Sunda banyak yang malas?” tanya seorang host kondang yaang menggawangi acara pagi  di salah satu televisi swasta. Membuat saya mengernyitkan dahi. Terlebih acara disiarkan live, sehingga tidak bisa dikoreksi.

Parahnya lagi, rupanya narasumber tidak diberi tahu akan mendapat pertanyaan yang mendiskreditkan salah satu suku di Indonesia, sehingga dia gelagapan. Jadi percuma saja host menyelipkan kata “maaf”, kesalahan kadung terjadi.

Penasaran ingin tahu nama acara dan hostnya? Maaf, sudah nggak ada. Konon pihak televisi tiba-tiba menyetop acara, tidak memberitahu sang host.  Mungkin tidak menyadari kesalahannya, sang hostpun marah-marah.

Mari kita bongkar stigma tersebut.

Lahir dan besar di Jawa Barat, tentu saja saya mendengar anggapan salah mengenai etnis yang tinggal di provinsi ini. Provinsi yang kaya dengan gunung dan penggunungan. Tanahnya begitu subur. Udaranya segar.

Nggak heran pendatang mengerumuni , bak semut menemukan gula. Terlebih posisinya yang berdekatan dengan pusat pemerintahan Indonesia, DKI Jakarta.

Dengan etos kerja mirip semut, pendatang harus bekerja keras, agar sukses, minimal mencukupi kebutuhan hidup, sewa kamar serta mengirim sejumlah uang ke kampung.

Bagaimana dengan urang Sunda, sang pemilik kawasan? Tentu saja mereka tidak harus bekerja seheboh para pendatang. Mereka tidak harus membayar kontrak kamar.

Beda halnya saat urang Sunda menjadi pendatang di provinsi Jawa Tengah atau Sumatera. Etos kerja mereka sama dengan para pendatang di provinsi Jawa Barat.

Tidak ada manusia sempurna. Setiap individu mempunyai alasan yang melatar belakangi keputusan/tingkah laku serta kebiasaan. Jangan pernah berkomentar menyangkut suku, agama, warna kulit serta perbedaan lain.

Apabila anak terbiasa melihat perbedaan dengan kaca mata yang benar, maka mereka akan selalu menghargai perbedaan.

sumber: freepik.com


Ajak Anak Mengalami Keberagaman

Salah satu cara terbaik untuk membuat anak mau memahami orang lain adalah dengan mengalaminya sendiri.

Dukung anak mengalami keberagaman, bisa dengan memilihkan sekolah, ekskul atau mengajaknya turut serta dalam kegiatan komunitas tertentu.

Komunitas bersepeda misalnya, bisa dipastikan memiliki anggota dari beragam suku, keyakinan, warna kulit, kaya/miskin. Atau mengajak mereka blusukan, masuk kampung, keluar kampung.

Pengalaman berkenalan dengan ragam budaya dan masyarakat akan membuat anak menghargai dan menghormati orang lain, tanpa kehilangan kebebasan berekspresi tentunya.

Ajari anak bahwa kita tak harus setuju dan mengadopsi perbedaan. Namun menghargai orang lain yang berpegang teguh pada nilai yang dianutnya.

Toleransi tidak hanya memungkinkan hidup berdampingan secara damai. Juga menjadi jalan untuk mengetahui lebih banyak tentang pemikiran dan ide yang berbeda dari seluruh dunia. Sehingga anak akan memahami dunia dengan lebih baik.

Hidup Damai Dengan Toleransi

Menjadi toleran berarti menerima pendapat dan preferensi orang lain. Mungkin cara hidup mereka tidak kita sukai. Namun proses penerimaan dan berdamai dengan diri sendiri bisa menjembatani perbedaan tersebut.

Ketika perbedaan terasa mengganggu, yang perlu diingat hanyalah bahwa perbedaan berada diluar diri kita. Sifatnya sementara. Orang yang memiliki perbedaan mungkin tidak menyadari, apalagi bersiap untuk mengubahnya.

Jadi, jadilah orang yang toleran, yang dapat selalu menghadapi opini dan perbedaan perspektif. Karena hanya orang yang toleran yang bisa mengajarkan toleransi pada anak-anaknya. 

Baca juga: 5 Cara Menghadapi "Bu Tejo", Pribadi Toksik yang Bikin Nggak Nyaman

 

 

 

15 comments

  1. Setuju dengan mengajarkan anak untuk bisa 3 kata: maaf, tolong dan terima kasih :) Anak2 bisa bertoleransi dengan baik itu melihat sikap dan perilaku kedua orangtuanya dan keluarga (yang baik juga). Menghormati anak, menghargai pendapat anak dll bisa membuat anak makin percaya diri dan bangga serta bahagia dengan apapun yang diraihnya.

    ReplyDelete
  2. Apabila anak terbiasa melihat perbedaan dengan kaca mata yang benar, maka mereka akan selalu menghargai perbedaan.

    Saya paling suka di bagian ini, Ambu. Ya ... anak anak perlu banget diajari untuk menghargai perbedaan. Sebab manuasia saja diciptakan dalam banyak perbedaan, bukan.

    ReplyDelete
  3. Mengajarkan anak tentang toleransi awalnya cukup berat. Saya pengalaman sendiri nih, ngajarin Fahmi untuk menghargai dan menghormati teman non muslim, saat main ke rumah kami. Tapi lama lama anak juga bisa mengerti. Sekarang Fahmi sudah mulai paham, kalau tidak semua teman ayah dan ibunya berkewajiban sama beribadah dengan kami

    ReplyDelete
  4. Memang tidak mudah mengajarkan toleransi.
    Tapi bukan berarti mustahil/tak akan bisa.
    Jadiiii buibuuu, pak bapak, kuyy semangaatt ya
    *ngomong ama diri sendiri juga sih*

    ReplyDelete
  5. Setuju banget mengajarkan anak toleransi lewat keteladanan. Anak juga perlu dikenalkan ketiga kata seperti maaf, terima kasih, dan tolong agar terbiasa toleran dengan orang lain.

    ReplyDelete
  6. Perihal toleransi nggak hanya pada agama, tp juga perbedaan suku, ras sampai ttg pendapat. Benar² melatih kesabaran & kelapangan hati.

    ReplyDelete
  7. Toleransi, gampang diucapkan tapi susah dijalankan ya. Terutama kalau kadung sudah memiliki stereotip terhadap suku, budaya, atau masyarakat tertentu. Tambah lagi kalau punya ego ketinggian :(

    ReplyDelete
  8. Ada pepatah yang mengatakan bahwa "Ibu adalah madrasah pertama bagi anak2nya" dan "anak itu bagai lembaran kertas putih yang siap diberi warna". Jadi mendidik anak, tentang apapun itu, bermulai dari ketika mereka balita, di usia keemasan. Dari sinilah langkah pendidikan akhlak pun dimulai. Saya percaya, yang ada "di dalam rumah" yang terjadi pada keluarga, akan memberikan pengaruh kepada EQ dan AQ kita.

    ReplyDelete
  9. Toleransi memang harus diajarkan sejak dinii ya ambu, belajar mengenai keberagaman serta tentunya penanaman sopan dan juga santun 🤗 sedih kalau liat anak kecil udah ngomong" yg kasar dan kata" yg nggak sopan 😿

    ReplyDelete
  10. Ahh...
    Benar sekali mbak...
    Sangat penting mengajarkan toleransi pada anak...
    Langkah2nya cukup mudah ya mbak...
    makasih tipsnya

    ReplyDelete
  11. Anakku juga udah serig ke trigger buat nanya hal tentang sara kayak misalnya, ma monik gak sholat (tetangganya yg kristen) makanya dari kecil memang pemahaman tentang perbedaan harus dibenihkan ya

    ReplyDelete
  12. Aih iyaa yaa..persoalan toleransi ini memang sebaiknya diajarkan sejak dini. Saya masih terkendala nih, karena memang tinggal sama keluarga besar di rumah. Kadang saya dan suami sudah mengajarkan apa, anak-anak malah mendengar hal lain lagi dari kakek dan neneknya. Hiks. Terutama soal agama ya.. padahal si sulung di sekolahnya tuh agama tiap murid beragam banget.

    ReplyDelete
  13. Toleransi memang perlu diajarkan sejak dini ke anak-anak, agar kelak gak "kaget" kalo liat manusia yang beragam. Nilai yang sangat penting untuk kerukunan.

    ReplyDelete
  14. Ini banget yang mesti diajarkan ke anak-anak zaman now, sejak dini. Soalnya banyak banget sekarang ini singgungan yang bikin ribut. Toleransi rasanya udah terkikis ya di antara kita. Padahal keberagaman ini sudah sejak awal berdiri negara. Harusnya gak perlu lagi jadi bahan yang diributkan. Semoga ya, dengan penanaman toleransi sejak dini, di masa depan tak ada lagi keributan akibat singgungan karena keberagaman.

    ReplyDelete
  15. kadanga ku suka sedih, ceriat anakku tenatng guru agamanya yang suak menjelek2an agama lainnya

    ReplyDelete