5 Cara Menghadapi Sosok “Bu
Tejo”, Pribadi Toksik yang Bikin Gak
Nyaman
“Ih, ya Allah”
“Si Dian itu kan baru kerja tapi
kok udah punya barang mewah. Seperti nggak tahu aja dari mana”
Asma Allah berkelindan dengan ujaran berisi ghibah meluncur dengan mulusnya dari mulut Bu Tejo. Tak seorangpun nampak bagus di matanya. Mulai dari kembang desa hingga bu lurah, pejabat desa yang kebetulan berstatus janda. Semua diembat.
Pastinya gak nyaman ya bareng
sosok demikian? Terlebih dalam pergaulan di perantauan. Mau jawab, takutnya
malah debat kusir. Ngga jawab, kok ngeselin. Dalam dunia kesehatan,
orang-orang demikian termasuk kelompok “toxic people”/orang toksik.
Dilansir Science of People, toxic
people umumnya senang mengatur hidup
orang lain, narsis dan kerap menonjolkan diri. Dia selalu berpandangan negatif
pada orang lain, membuat situasi nampak suram serta suka “ngedrama”.
Orang toksik juga gemar
mencari-cari kesalahan, gampang cemburu dan menghakimi, senang
memanipulasi/berbohong, selalu merasa paling benar dan sering mengabaikan
perasaan orang lain.
Sebentar, siapa sih Bu Tejo?
Sebetulnya hanya sosok rekaan dalam
film pendek berjudul Tilik, nama Bu Tejo menjadi trending topik di twitter pada
Agustus 2020 silam. Padahal film Tilik sudah dirilis pada 2018, lho.
Mungkin salah seorang netizen
kebetulan tertarik dan membuat status di twitter terkait tokoh sentral film
karya Wahyu Agung Prasetyo tersebut.
Premis FTV Tilik (dalam Bahasa
Jawa berarti mengunjungi orang sakit) sebetulnya sangat sederhana, yaitu
mengenai rombongan perempuan, penduduk desa yang naik gotrek untuk mengunjungi
Bu Lurah yang sedang sakit.
Gotrek merupakan moda transportasi
pedesaan karena mobilitas mereka nggak sebanyak penduduk kota. Di atas gotrek
inilah Bu Tejo menunjukkan pribadinya yang toksik.
Familier dengan sosok
bertemperamen demikian?
Mereka bisa jadi adalah teman,
kerabat, tetangga bahkan suami, mertua atau kakak/adik ipar. Namun berbeda
dengan kerabat atau anggota keluarga, kenalan atau tetangga yang berperilaku toksik lebih mudah dihadapi.
Terlebih jika Anda baru
pindah/merantau ke suatu daerah. Atau keluarga muda yang baru memasuki suatu
lingkungan pemukiman, penting banget menentukan sikap agar lebih bisa menikmati
hidup.
5 Cara Jitu Menghadapi “Toxic People”
Tetapkan Batas
Saya
pernah kesandung pribadi toksik yang membuat kisruh. Saat itu, sebagai keluarga
muda kami menempati perumahan C. Kebayang kan saya berkenalan dan bergaul
dengan ibu-ibu senior yang telah lebih lama tinggal? Pastinya harus bisa membawakan diri ya?
Termasuk
sewaktu ibu B, sosok “Bu Tejo” di kompleks kami, sering bertandang ke rumah.
Berjam-jam lamanya. Tapi ya karena gak tau harus gimana, saya cuma
manggut-manggut aja kala dia datang dan berbicara panjang lebar.
Isi
obrolannya mirip apa yang diucapkan “Bu Tejo”. Dimatanya nggak ada orang yang
benar. Semua salah. Salah satunya tentang sebuah keluarga yang kerap keluar
malam. “Kelakuan mereka maksiat. Anak-anaknya suka mabuk-mabukan,” katanya.
Situasi menjadi rumit, waktu Ibu B berkisah bahwa keluarga yang kerap bermaksiat tersebut akan pindah ke sebelah rumah saya, karena Ibu A, tetangga sebelah rumah, menjual rumahnya pada mereka.
Bingung
dong saya. Lha jika bener kan saya bakal
bertetangga dengan keluarga yang kerap bermaksiat. Saya pun mengonfirmasi
berita pada Ibu A.
Faktanya
ternyata bukan demikian. Namun keributan kadung terjadi. Begitu parah sampai
para suami dan pak RT turun tangan. Diakhiri dengan ibu B dan ibu A yang tidak
mau bertegur sapa lagi.
Bagaimana
dengan saya? Saya dianggap ibu B sebagai
masih muda dan baru masuk Islam, sehingga harus dimaafkan. Oalah tobat!!!
Peristiwa
ini menjadi pelajaran berharga bagi saya. Saya mengambil batas atau pagar tak
kasat mata.
Saya
masih mengangguk ramah. Namun hanya menjawab jika ditanya. Saya juga masih
kerap berkirim makanan seperti layaknya tetangga. Bedanya dulu saya yang mengantar
makanan, sesudah peristiwa tersebut saya minta bantuan ART atau anak-anak.
Bersikap Tegas
Setelah
mengambil keputusan, yang harus dilakukan kemudian adalah tegas pada diri
sendiri.
Dikutip
dari healthline.com; how to deal with toxic people, "Racun harus dihadapi
dengan kekuatan yang kuat”. Karena merasa tak bersalah dan beranggapan semua
baik-baik saja, orang toksik, termasuk Ibu B, akan bolak balik datang.
Dibutuhkan
sikap yang jelas yang menunjukkan perubahan pada mereka. Seperti cukup
tersenyum apabila berpapasan di jalan.
Mengurangi jumlah kata, atau bahkan duluan pulang di pertemuan arisan.
Pertahankan
juga jarak untuk memastikan sikap. Jika sebelumnya dengan ramah membuka pintu
lebar-lebar, sesudah kejadian tetap membuka pintu tapi katakan “Maaf saya belum
mandi, mau mandi dulu ya?”
Percaya
nggak, dulu dalam rangka meladeni Ibu B, saya sering terlambat mandi, telat masak,
bahkan terlambat menjemput anak.
Jangan Terlalu “Ramah”
Ini
memang menyangkut budaya ya? Terbiasa ramah dan tersenyum pada siapapun yang
kita kenal. Coba aja berani menampilkan muka datar, bakal jadi omongan deh.
Namun,
penting banget untuk tidak tergoda masuk dengan obrolan toxic people. Sebagai pribadi
yang toksik, mereka terbiasa mengumpulkan pendengar sehingga mampu menghadirkan
obrolan yang memancing rasa ingin tahu
Contoh
dalam kasus saya, andai saya tidak mendengar obrolan Ibu B, pastinya kemungkinan
kecil terjadi friksi dengan Ibu A.
Jadi
tahan dorongan untuk bergabung dengan obrolan. Terlebih ikut menanggapi. Nggak
ada ujungnya. Pribadi toksik akan selalu mencari kesalahan orang lain dan
mempertahankan pendapatnya.
Sadari Perbuatan Anda Untuk Menolong Mereka
Pribadi
toksik sudah kadung nyaman tingkah lakunya, dan bertahan. Alih-alih menghindar,
mungkin Anda malah merasa bersalah karena telah meninggalkan/bersikap tidak
seramah dulu.
Penting
banget memahami bahwa yang kita lakukan sebetulnya untuk menolong mereka.
Kesampingkan rasa takut menjadi bahan gunjingan berikutnya.
Detoksifikasi
dibutuhkan, agar masing-masing pihak merasa nyaman. Jarak yang kita buat akan
sangat membantu pribadi toksik untuk mengevaluasi diri, dan berubah.
Hubungan yang Sehat “ Memberi dan Menerima,”
Sangat
mungkin terjadi, Anda akhirnya merasa kasihan pada mereka. Pada saat merasa
bimbang dengan situasi yang membingungkan demikian, sadari satu hal: “Jangan
menawarkan dukungan dengan risiko kesejahteraan Anda sendiri!”
Seperti
dalam kasus Ibu A dan Ibu B, saya sempat merasa tertekan, terlebih waktu itu
sedang mengandung anak ke-4, Mabelle. Rasanya saya menjadi trouble maker,
penyebab pertengkaraan.
Yang
harus diingat pada saat bimbang adalah: “"Anda selalu memberi dan mereka
selalu menerima”. Sebagai muslim, tidak seharusnya menimbang-nimbang demikian.
Tapi jika taruhannya adalah kesehatan jiwa kita, apa boleh buat, keputusan
harus diambil.
Bagaimanapun
kita sendirilah yang bertanggung jawab pada energi emosional yang dibutuhkan
untuk menjamin kesehatan jiwa kita. Energi emosional secara utuh. Apa yang
terjadi jika kita memberikannya pada pribadi toksik tanpa imbalan apapun?
Agar Anak Tidak Menjadi Pribadi Yang Toksik
Mungkin timbul pertanyaan, kok ada
sih orang seperti “Bu Tejo?”
Dikutip dari tirto.id, banyak
kemungkinan terjadi, namun umumnya berasal dari masa silam.
- Atas nama kebaikan untuk anak, orang tua mengarahkan anak dengan mengkritik tanpa henti, mengancam, dan ke mengucapkan hal-hal buruk. Tak ada apresiasi dari orang tua untuk pencapaian prestasi sang anak, setinggi apapun.
- Memanjakan anak dengan tidak memberi batasan, juga berpotensi merusak anak. Sang anak merasa superior dan terbiasa menjadi pusat perhatian. Mereka kehilangan empati.
- Orang tua toksik berpotensi mempunyai anak berkepribadian toksik juga. Orang tua yang toksik biasanya mengabaikan anak dengan dalih sibuk bekerja, problem keuangan serta tekanan dalam pengasuhan.
Dimulai dari diri sendiri
merupakan kunci dari penguraian masalah. Butuh evaluasi diri, apakah kita
termasuk pribadi yang toksik? Apakah pola pengasuhan pada anak tidak berpotensi
mengakibatkan mereka menjadi pribadi yang toksik?
Evaluasi diri ini perlu, karena
jangan-jangan kitalah pribadi “Bu Tejo” yang bikin resah keluarga, tetangga dan
kerabat.
Jika iya, saatnya untuk berubah.
Film pendek ini happening banget ya....klo secara pribadi sih....ssaya berpendapat semakin viral yah itulah potret kehidupan orang indonesia....semoga saya dijauhkan dr sifat dan sikap toxic
ReplyDeleteSemakin bertambahnya usia, kebijakan menghadapi toxic personal jadi makin lihai. Terkadang bisa langsung keliatan langsung dari body language karena sudah punya pengalaman sebelumnya.
ReplyDeleteBuat saya, menghadapi orang seperti ini adalah MEMBATASI kuantiti berkomunikasi. Kenal tapi tidak dekat. Teman tapi bukan sahabat.
Detoksifikasi dibutuhkan, agar masing-masing pihak merasa nyaman. Jarak yang kita buat akan sangat membantu pribadi toksik untuk mengevaluasi diri, dan berubah.
ReplyDeleteBenerr buangettt tips2nya nih, Ambu. Yap, kata kuncinya MEMBATASI dan DETOKSIFIKASI.
Semangaaattt untuk kita semua yg (terpaksa) kudu interaksi dgn bu Tedjo wannabe :D
Bener sih kalo kepribadian seperti Bu Tejo ini ada di sekitar kita. Aku juga punya tetangga seperti dia, lebih dari satu malah. Tapi aku memang membatasi diri ketika mengenali pribadi toksik gini. Enggak mau nanggapin, takut ntar dijadikan senjatanya untuk mengadu kita
ReplyDeleteParagraf terakhir bagus banget. Jangan-jangan kitalah Bu Tejo dalam kehidupan nyata. Bisa jadi.Karena memang fakta, kita lebih jeli melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan sendiri :)
ReplyDeletePengingat diri ini..Kalaupun kita bukan pribadi Bu Tejo, jangan sampai kita mendidik anak menjadi demikian. Kalau ketemu sosok yang demikian memang sebaiknya jaga jarak..kuatir di depan kita dia bersikap apa dan di belakang lain pula.
ReplyDeleteKadang bersikap tegas itu serbasalah, apalagi di lingkungan sosial yang masih pedesaan. Membatasi diri dianggap ga mau sosialisasi, ada aja yang bilang gitu. Benar kata, Ambu, aku ya kadang mikir jangan-jangan Bu Tedjo adalah kita sendiri yang malah membahayakan atau ditakuti orang.
ReplyDeletePenutupnya sukaaaa, jadi bikin merenung jangan-jangan selama ini kita(?) eh saya adalah bu tejo :(
ReplyDeleteBanyak belajar juga kalau kita jangan suka buang waktu untuk mengomentari kehidupan atau keputusan orang lain seakan kita lebih tahu daripada yang menjalaninya...hihihi
Di luar dari pro kontra dari sosok bu Tedjo, ada beberapa yang bisa dipetik. Emang kadang persoalan gibah itu sudah menjadi kebiasaan yang harus bisa kita hilangkan setidaknya dr pribadi masing2 untuk intropeksi diri.
ReplyDeleteKarakter toksik seperti itu ada kaitannya juga ya dengan pola asuh manja. Pembelajaran nih, dan hati-hati juga, walau nggak menampik sosok seperti bu tejo memang ada di sekitar kita
ReplyDeleteJangan sampai kita punya pribadi toksik yaa apalagi anak2 jg.
ReplyDeleteKadang kalo ketemu temen yg suka ajak ghibah sebelum kita mau aktivitas itu penting bgt buat nolak mereka yaa..
Aku sering sih ujung2nya dikatain sok sibuk ��
Aku kalau ketemu Bu Tejo, tak tinggal pergi atau kudiamkan aja. Gak perlu kasih panggung. Nanti dia cape sendiri. Mungkin gantinya kita yang digunjing, hahaha
ReplyDeleteAku termasuk yang pasang muka lempeng dan tidak ramah sama tetangga. Aku juga tidak berusaha tersenyum
ReplyDeleteeeet jangan dijudge dulu, tapi disembarangin terus
ya terserah aja sih, dulu pernah ramah, menyapa, eeeeh.... sampe bapak-bapaknya masuk rumah tanpa permisi, duduk aja langsung depan meja aku ikutan ngopi! Plak! Padahal aku waktu itu pake baju superrrrr miniiim - baju tidur renda yang dalamnya ga pake apa apa karena masih penganten baru, duh gemes pengen jambak suamiku jadinya
Tetangga saya nih ada yg gitu. Masih kerabat suami jg. Duh omongannya... Akhirnya saya udah gak pernah main lg ke rumahnya. Pasti deh saya sering jd bahan omongan. Wkwkwkw. Cuekin
ReplyDeleteEntah kenapa sosok bu Tejo ini hampir selalu ada di lingkungan kita ya hehe. Saya jadi ingat pengalaman sembilan tahun yang lalu waktu pertama kali pindah ke komplek baru. Saya dikelilingi aneka bu Tejo huaa. Untung saya bukan tipe orang yang senang ngobrol sama tetangga. Jadi masih terselamatkan dari toxic para bu Tejo hehe
ReplyDeletegotrek itu bukannya si sopir namanya tri trus diplesetin jd gotrek krn dia bawa truk? yg pernah kubaca sih gitu, gak tau deh mana yg bener.
ReplyDeletetapi tipikal bu tejo sih emang berserak di mana2, gak merasa bersalah itu loh yg ngeselin, jd dia ngulang2 terus
Banyakk Toxic didunia ini,
ReplyDeleteKita harus Tegas,punya Prinsip dan Bijaksana dalam Menyikapinya 🤗
Film Tilik memberikan perspektif baru dalam dunia pertemanan ya...ada yang pure dan ada yang fake... nyata di kehidupan sehari-hari kita
ReplyDeletePengen ketewa aja, karena memang sudah mendarah daging, karakter seperti ini di Indonesia. Kalau menurutku kepo kelas atas. Sesuatu kekayaan alam bagi wanita, he. Tapi karakter ini juga dimiliki kaum adam.
ReplyDeleteBu Tejo, sosok yang membuatku salah paham saat nonton TILIK. hahahaha. kayaknya kalau ketemu kudu minta maaf, ternyata kita yang suka salah menilai orang, butuh bu Tejo disekeliling utk membuatnya netral.
ReplyDeleteOalaaah...Bu Tejo ini sungguh meresahkan sekali yaa..Ambu.
ReplyDeleteTapi yang lebih BT lagi, karakternya bernama "Bu Tejo".
Gak kebayang yang beneran ada sosok "Bu Tejo" di sekitar kita...huhuu...jadi bahan bullyan gak yaa..karena karakternya di Tilik sungguh menggelitik.
Akhirnya bisa kelar baca juga blogpostnya Ambu (*salim hehehe) Istilah toksik udah familiar sekarang, dan jadi bikin kita lebih peduli dengan kesehatan mental. Nah, pas banget sama bagian penutup tulisannya Ambu: kita harus evaluasi diri, sebagai sesama manusia yang sifat buruknya banyak, mana tau sedang 'mengidap penyakit Bu Tejo' hohooo :D
ReplyDelete