Pernah dengar profesi “auditor keuangan”? Definisinya bertebaran di Google, kurang lebih adalah:
Auditor adalah seseorang yang memiliki kualifikasi tertentu dalam melakukan audit atas laporan keuangan dan kegiatan suatu perusahaan atau organisasi (wikipedia)
Jika disederhanakan, tugas auditor adalah memeriksa laporan keuangan
perusahaan. Sesuai nggak laporan dengan kenyataan? Caranya mudah, cek aja
bukti-bukti pendukung seperti buku catatan keuangan/bank dan nota.
Duh semasa masih kerja sebagai chief accounting, kedatangan auditor kerap bikin
saya panas dingin. Gara-gara direktur dan kepala bagian keuangan sering berbuat
ulah. Mereka ngga mau tau, bahwa proses pencatatan harus akurat. Setiap
transaksi harus ada bukti dan tercatat,
Terlebih saat istri direktur ikut cawe-cawe, ketika saya tanya bukti
transfer, dengan seenaknya dia jawab:
"Ini kan perusahaan milik saya, kenapa harus pakai bukti-bukti?”
Omaygat, dia menyamakan perusahaan dengan warung!
Walau warung, seperti halnya UMKM lain, juga harus memiliki buku
catatan, agar bisa mengetahui, bisnis mereka menghasilkan laba, atau malah
rugi? Jika laba, berapa jumlahnya? Bisa ditingkatkan ngga?
Andai rugi, berapa jumlah kerugian? Bisa nggak diperkecil/ditiadakan?
Baca juga: Ingin Kaya Raya di Usia Muda? Ini 7 Cara Cerdasnya!
![]() |
sumber: freepik.com |
Auditor Keuangan Pribadi
Keuangan pribadi juga butuh auditor. Siapa yang jadi auditor?
Tergantung sudah menikah atau masih single. Andai sudah menikah,
auditornya bisa istri, bisa juga suami, tergantung kesepakatan. Barengan juga
boleh.
Tujuannya agar cash flow bisa dievaluasi. Terlebih jika kerap terjadi masalah. Kok “take
home pay” setiap bulannya selalu kurang? Baru 2 minggu udah habis. Nggak bener
kan tuh?
Berapapun jumlah penghasilan bakal terasa kurang apabila buruk pengelolaan
keuangannya. Kebalikannya, andai manajemen keuangannya apik maka pasti cukup,
bahkan bisa menyisihkan untuk tabungan masa depan.
Hukum ekonomi berlaku, keinginan manusia tidak terbatas, sedangkan sarana
kebutuhannya terbatas. Punya take home pay Rp 100 juta/bulan bisa habis untuk
konsumtif. Namun ada yang hanya Rp 3 juta/bulan bisa menyisihkan untuk menabung
dan berinvestasi.
Tugas auditor rumah tangga untuk mengevaluasi dan memutuskan pos
pengeluaran. Kemudian membuat target tabungan
dan investasi. Jika tidak cukup, harus dipikirkan bersama, adakah cara menambah
penghasilan? Atau sebaliknya, adakah pos keuangan yang bisa dihemat?
![]() |
source: freepik.com |
Auditor Keuangan UMKM
Punya usaha sampingan? Saya pernah jungkir balik dalam aktivitas
tersebut. Yang terakhir adalah memproduksi kue dan menyetornya pada toko kue. Di
sana saya bingung dong melihat anggota keluarga pemilik toko kue seenaknya
mengambil uang.
Ambil uang untuk bayar setoran kue sih udah semestinya ya? Lha ini,
segala beli pampers dan jajan es krim ngambil dari kas/kotak uang.
Bagaimana seharusnya?
Ada beberapa tipe pemilik UMKM. Yang pertama, satu keluarga besar seperti toko kue di
atas. Yang kedua berdasarkan pertemanan, atau pemilik UMKM terdiri dari 2-3 orang teman/sahabat. Yang terakhir adalah single fighter,
atau hanya ada seorang pemilik yang berkuasa dan bertanggungjawab penuh atas
aliran uang.
Ketiganya harus menerapkan disiplin keuangan. Uang yang masuk tidak
boleh diotak atik untuk pengeluaran di luar bisnis. Hanya untuk menerima
pembayaran dan membayar transaksi yang terkait dengan bisnis.
Untuk memudahkan, setiap harinya owner menyiapkan sejumlah dana untuk membayar pos-pos pengeluaran yang pasti muncul dan termasuk kriteria biaya (cost).
Biaya adalah pengorbanan yang dapat diduga, dapat dihitung secara kuantitatif serta tidak dapat dihindarkan.
Bagaimana jika ada pengeluaran pribadi? Masuk pos biaya tenaga kerja yang dikeluarkan sesuai kesepakatan, bisa per bulan atau per minggu.
Untuk menetapkan pos pengeluaran, harus diketahui omzet UMKM. Terobosan
seperti aplikasi SPOTS sangat membantu. Aplikasi tersebut bermanfaat tidak hanya sebagai alat pembayaran, juga merekam semua transaksi dengan lengkap.
Sayangnya ini hanya untuk Gopay ya? Andai ada aplikasi untuk semua
e-wallet seperti yang dijanjikan Bank Indonesia, pastinya akan sangat membantu
kasir. Juga akan membantu pemilik UMKM untuk mengetahui omzet penjualan secara
akurat. Sehingga bisa membuat rencana bagi pengembangan UMKMnya.
Baca juga : 5 Kiat Kelola Keuangan Kala Pandemi Covid 19
![]() |
source : freepik.com |
Auditor Aktivitas Sosial
Aktivitas sosial harus memiliki laporan keuangan yang didukung
bukti pengeluaran, penerimaan serta catatan pendukung. Memudahkan untuk
evaluasi, dan membantu pengurus membuat anggaran berikutnya.
Manajemen keuangan yang buruk akan memunculkan bencana di kemudian hari.
Seperti pengurus harus nombok akibat salah
menghitung anggaran. Serta timbulnya saling curiga antar pengurus.
Saya pernah nyesek dan akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari
suatu team. Team yang sangat bagus jika sukses sebab memiliki tujuan mulia, sayangnya mereka
menyepelekan laporan keuangan.
Team berhasil menyelenggarakan acara perdana, ada sponsor yang membiayai. Aktivitas sederhana sih, workshop yang mendatangkan
narasumber. Kebetulan team mendapat fasilitas gratis berupa gedung, peralatan
dan narasumber. Yang dibutuhkan hanya biaya konsumsi serta uang tips bagi
penjaga.
Usai acara, laporan keuangan tak
kunjung dikerjakan. Hingga berminggu-minggu! Saya sudah kirim pesan/ reminder, tapi jawabannya selalu: “sibuk”. Padahal mungkin cuma 4 baris, lho. Hanya
berisi jumlah penerimaan, 2 – 3 baris transaksi, ditutup saldo nol rupiah, sudah.
Contoh laporan juga
sudah saya kirim.
Jadi, baiklah saya
mundur saja. Daripada ngeri membayangkan jika dana bantuan mencapai puluhan
juta dan bersisa jutaaan rupiah. Kemudian dapat kucuran dana lagi. Waduh serem
membayangkan musibah seperti yang saya sebut di atas.
Berlebihan?
Tidak. Ingat kasus
anak menuntut ibu kandung hanya gara-gara warisan? Bener banget tuh yang bilang bahwa uang tidak mengenal teman, saudara, bahkan ibu kandung!
Profesional menjadi kata
kunci untuk setiap aktivitas keuangan. Jangan heran yayasan internasional
seperti Ford Foundation mengirimkan auditornya pada lembaga/komunitas yang menerima dana
hibah. Karena mereka juga harus bertanggung jawab pada pemberi dana.
![]() |
source : freepik.com |
Salah Jurusan? Ah, Masa iya?
Saya pernah merasa
salah jurusan kala mengawali kuliah di Fakultas Ekonomi. Berjibaku dengan
hafalan demi hafalan. Jauh banget dengan saat masih SMA yang lebih banyak
mengerjaan soal eksakta.
Sebetulnya saya
pingin banget jadi insinyur, kuliah di fakultas Teknik Sipil ITB. Ntar kerja
pakai helm khusus sambil ngecek bangunan di lapangan. Duh perasaan kok keren
banget ya? Hahahha …..🤣🤣
Sayang, banyak
pertimbangan yang mengurungkan niat.
Salah satunya ibunda sudah menjanda sejak si bungsu masih bayi merah. Harus
membiayai 6 anak yang masih kecil-kecil. Kasihan banget lihatnya.
Jadi kuliah sambil
kerja menjadi win-win solution. Tetap bisa menyelesaikan S1, tapi nggak
nyusahin emak tersayang. Fakultas Ekonomi dipilih dengan alasan lulusannya bisa
kerja dimana aja. Bagian pemasaran, ok. Personalia, ok. Apalagi bagian akunting
dan keuangan, ok banget itu sih.
Fakultas Ekonomi
juga “paling eksakta” dibanding jurusan lainnya di kuliah sore. Walau jika
boleh memilih, saya pingin banget kuliah di fakultas psikologi atau fakultas
komunikasi.
Tapi zaman baheula
yang menjadi pertimbangan saat memilih jurusan: “Ntar kerja apa?” Ngeri banget
ya? Nggak seperti era milenial yang bisa berkarir di sektor apapun. Ngga heran,
saya sering sebel jika ada yang putus kuliah dengan alasan salah jurusan.
Saya belajar dari lingkungan
dan anak-anak saya, bahwa suatu mata
pelajaran/suatu prodi/atau apapun akan cocok/tidak cocok tergantung dari cara
kita memandang. Apabila diawali dengan tidak suka ya susah. Sebaliknya
jika melihat sebagai tantangan, maka kita akan bersemangat untuk
menaklukannya.
Termasuk saat-saat saya
harus melahap ilmu di jurusan manajemen ekonomi dan harus lulus secepatnya. Kerja
sambil kuliah, memaksa saya menggunakan gaji untuk beli buku dan bayar
semesteran. Impian beli lipstick atau skin care harus disingkirkan dulu.😭😭
Sekarang, saya
bersyukur dulu nekad kuliah, meski jurusannya tidak sesuai keinginan. Ilmu yang
didapat di bangku kuliah tidak hanya membantu bekerja di perusahaan. Juga untuk
mengelola keuangan rumah tangga, serta saat melakukan pendampingan komunitas
pengelola sampah.
Saya bisa mengajari
mereka membuat pembukuan sederhana yang sangat besar manfaatnya. Anggota percaya
akan transparansi keuangan. Pengurus bisa melakukan evaluasi. Pihak pemerintah tak
segan memberi bantuan dana.
Demikian pula saat
teman/kerabat/kenalan memiliki UMKM membutuhkan bantuan mengelola pembukuan
keuangan. Bahkan sewaktu seorang teman yang mempunyai arus kas ratusan juta/bulan, saya bisa ikut urun rembug
mengelola catatan keuangannya yang ternyata morat marit.
Sebatas mikro ekonomi mah hayuklah, jangan lebih ya?
Baca juga: Atasi Stress Dengan 5 Hobi Penghasil Uang, Yuk Coba!