Bima
Arya geram!
Karena
saat pandemi Covid 19 belum mereda, warga Kota Bogor berbondong-bondong ke pasar
beli baju baru. Walikota Kota Bogor tersebut semakin gusar setelah mengetahui
ada yang menggunakan BST, bantuan sosial
tunai dari pemerintah untuk membeli baju
Lebaran 1441 H! (sumber Trans7 – 20/05/2020)
Padahal
seperti Kota Bandung, Kota Bogor masih termasuk level 3 atau daerah warna
kuning. Untuk diketahui, Jabar menerapkan 5 level penyebaran virus corona.
Mulai dari hitam (terparah), merah (sangat rawan), kuning (sudah mulai
terkendali), biru (semakin terkendali) dan hijau ( 100 % baik). Jadi sebelum
masuk level hijau, kawasan tersebut tetap harus menerapkan PSBB, walau tidak
seketat sebelumnya.
Sejak tanggal 22 April – 5 Mei Kota Bandung menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), nama lain dari kekarantinaan kesehatan di Indonesia. Kemudian diteruskan dengan PSBB skala Jabar selama 14 hari, ditandai dengan longgarnya pengendara motor membawa penumpang (sebelumnya, walau satu alamat, dilarang berboncengan).
Sedangkan toko yang diperbolehkan beroperasi yaitu yang menyediakan bahan pangan, obat-obatan, layanan perbankan dan toko bahan bangunan. Itupun terbatas, toko material hanya boleh buka dari pukul 08.00 – 14.00 WIB)
Sebagai
salah seorang penduduk Kota Bandung, saya melihat apa yang terjadi sebagai “bucat
bisul” atau euforia setelah
berbulan-bulan terkekang di rumah. Warganegara Indonesia pada dasarnya sangat
taat pada pemerintah. Lihat saja kasus pembuatan e-ktp, mereka rela berbondong-bondong
memenuhi kantor kecamatan, walau harus cuti kantor.
Dalam
hal PSBB, mereka harus melawan keinginan diri yang terbiasa mengikuti kultur.
Ditambah dengan ketidak mampuan ekonomi akibat harus diam di rumah saja.
Seminggu – 2 minggu masih oke, tapi berbulan-bulan?
Ada
problem lain selain kesehatan, yang muncul akibat PSBB, yaitu sosial, budaya dan ekonomi. Problem yang tidak bisa
diselesaikan dengan teknologi secanggih apapun.
Nah, dalam situasi seperti itulah saya terpaksa berjalan-jalan, keluar dari lingkungan rumah yang nyaman untuk ke:
Superindo Supermarket
Jaraknya
hanya 5 menit berjalan kaki dari rumah.
Selain mendapat pasokan dari tukang sayur, tekadang saya harus ke sini untuk
membeli kebutuhan sembako, Cukup murah sih, terlebih jika jeli memanfaatkan
diskon.
Sebelum Kota Bandung melaksanakan PSBB, Superindo menerapkan beberapa aturan. Seperti jarak antar
pembeli dan kasir kurang lebih 1 meter. Sekat plastik antar pembeli dan kasir.
Serta ditutupnya satu pintu masuk. Pembeli hanya bisa masuk dari pintu selatan.
Setelah
PSBB, pengunjung yang akan masuk ke area akan dicek suhu tubuhnya. Disediakan
tempat cuci tangan dengan kran mengalir, serta hand sanitizer di tempat-tempat
strategis.
Sayangnya
pagi tadi, 22 Mei 2020, pengunjung membludak. Membuat saya urung untuk masuk.
Karena dalam kondisi biasa, agak sulit menjaga jarak antar pengunjung dan
rak-rak yang penuh berisi product Lebaran, apalagi sekarang.
Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS)
Aduh,
andai ada pilihan lain, mending nggak pergi ke RSHS di masa pandemi Covid 19. Namun
pilihan lainnya RS swasta yang jaraknya lebih jauh dengan harga obat 3 – 5 kali
lebih mahal.
Saya
menderita epilepsi ( Hentikan
Stigma Pada Penderita Epilepsi, Kami Manusia Normal). Agar tidak mengalami
kekambuhan, tiap hari harus minum obat
sesuai dosis yang diberikan dokter.
Sedihnya,
walau saya mendapat resep untuk 3 bulan, kebijakan RSHS hanya memperbolehkan menebus
resep sebulan sekali. Sehingga apa boleh buat di saat PSBB, saya berkunjung ke
RSHS. Tepatnya tanggal 28 April silam.
Deretan
kursi nampak kosong. Pasien yang hendak berobat duduk
berjauhan. Sesekali mengeluarkan hand sanitizer untuk membersihkan tangan. Dari
dalam ruangannya, petugas RSHS berulangkali mengingatkan untuk menjaga jarak.
Berulangkali pula dia mengingatkan bahwa pasien atau pengantar untuk tidak berkerumun di depan loket. Kebiasaan yang mendarah daging, ya?
Asyiknya,
saya tidak perlu berlama-lama. Hanya butuh waktu kurang dari satu jam untuk
menyerahkan resep, membayar ke bank dan menunggu dipanggil. Biasanya rata-rata
3 – 4 jam, tergantung banyaknya pasien yang menebus obat. Semoga minggu depan
suasana masih sepi ya? 😊😊 Karena obat saya sudah menipis.
Baca
juga: Andai
Tinggal di Korea Selatan, Ini Yang Akan Terjadi Pada Krisdayanti
![]() |
Source :freepik.com |
Pusat Service Komputer
Lap top saya mendadak mati. Powernya enggan menunjukkan tanda – tanda kehidupan. Duh. laptop mah nyawanya blogger atuh ya?
Terpaksalah
saya menuju ke salah satu pusat service komputer di Kota Bandung. Ngga saya
sebutin namanya ya? Sebab, setelah lihat penjelasan di atas masih belum jelas
apakah pusat komputer boleh beroperasi atau tidak.
Masuk
ke area pun nggak leluasa. Waktu menunjukkan
pukul 10.45 WIB. Petugas keamanan
berjaga-jaga. Ada beberapa pria berpakaian hitam. Termasuk petugas pusat
service komputer.
Pintu bangunan tertutup. Merasa bingung, saya mendekati seorang pemuda yang sedang nyender di tembok, untuk bertanya kapan buka, laptop saya rusak.
“Oh
kalo ibu mau service laptop ke orang itu aja, tuh yang pakai baju hitam.”
Orang
yang dimaksud berpaling ke rekannya, ke rekannya lagi, yang terakhir barulah
mengajak saya masuk. Bukan melalui pintu utama, melainkan menuju lantai dasar. Padahal pertokoan ada di lantai 2 dan 3. Dua orang petugas mencatat nama
dan keperluan saya.
Ternyata
di dalam ada beberapa meja dengan letak kursi yang berjauhan. Pemilik service
komputer berinteraksi disini dengan para pelanggan. Status toko mereka tetap
tutup.
Saya
ngga bisa membayangkan apa jadinya jika tidak ada kelonggaran. #Workfromhome jelas membutuhkan
laptop/komputer. Saat peralatan yang dibutuhkan ternyata rusak, sementara
tempat service tutup , duh ... #nangisgulingguling deh.
Baca
juga: 5
Aplikasi/Web Ini Bikin Yang Jauh Jadi Dekat
![]() |
Source: freepik.com |
Toko Bahan Kue
Pelayan
toko tersenyum manis. Saya tahu pasti dia tersenyum karena nggak pakai masker.
Lipcreamnya berwarna pink matte.
Membentuk bibir penuhnya dengan sempurna.
Di
toko bahan kue itu hanya seorang pelayan perempuan paruh baya yang bermasker.
Lainnya petugas pria dan perempuan muda tadi, hanya menyampirkan masker di
leher, mirip aksesoris. Sementara tanpa pandemi Covid 19 pun seharusnya mereka
menggunakan masker. Debu bertebangan dari bermacam tepung kue yang mereka
timbang. Bercampur debu jalanan pastinya,
Emang
saya cari penyakit nih, ke toko bahan kue di area pasar. Nggak hanya siap
berdesak-desakkan, juga melihat pemandangan pelayan toko bahan kue yang enggan
menggunakan masker.
Harga
bahan kue yang sekian kali lipat lebih murah membuat saya kesini. Sebagai
perbandingan, harga mentega kacang (peanut butter) hanya Rp 10.000/250 gram,
sedangkan di supermarket? Skippy Peanut Butter Rp 35.000/170 gram. Lumayan kan
perbedaannya?
Baca juga: Covid 19 Bikin Kangen Pakai Lipstik
Angkutan Umum (Angkot)
Aneh,
mayoritas penumpang angkot sudah berusia lanjut!
Ada
segerombolan ibu-ibu tua yang entah hendak bepergian kemana. Ada sepasang
lansia, nampaknya suami istri. Ada
bapak-bapak sepuh juga.
Pernah
sih saya bertemu dengan seorang pemudi, dia duduk di depan saya dan bersikap
menarik diri. Mungkin dia pikir, ini banyak orang tua, apa nggak takut
ketularan virus corona? :D
Sebelumnya di Superindo juga saya melihat banyak pengunjung yang sudah sepuh. Bahkan ada yang menggerak-gerakkan tangan di dekat pengunjung lain. Maksudnya agar antrian melaju lebih cepat.
Sementara seorang
perempuan muda nampak menjauh, menunggu waktu kosong, yang tentunya nggak
pernah kosong. Calon pembeli seolah tak pernah kehabisan uang untuk
dibelanjakan.
Kembali
ke angkot, terakhir kali saya naik angkot dari pusat service komputer. Isi
angkot kurang lebih 6 orang, 1 duduk di samping supir, 5 lainnya di belakang.
Di
pertengahan jalan supir menghentikan laju kendaraannya, dan menyuruh penumpang
yang duduk di sampingnya untuk pindah ke belakang. Ternyata ngga boleh ada
penumpang di samping pengemudi! Walau
berarti penumpang yang duduk di belakang
bakal berimpitan. Tak pelak penumpangpun
ngomel.
Baca
juga : Masker
Yang (Pernah) Jadi Polemik Saat Pandemi Covid 19
Lumayan
seru bukan, pengalaman saya “berkeliaran” selama pandemi Covid 19? Semula saya
ketakutan, parno disebabkan
pemberitaan yang lumayan menghantui dengan fakta lapangan yang cukup
menggelikan.
Namun
kembali dengan opini saya di atas, masalah pandemi covid 19 sangat tidak mudah.
Bukan hanya menyangkut kesehatan dan ekonomi, juga sosial budaya. Itulah
sebabnya sulit sekali melarang tarawih bareng di masjid. Walau hadisnya jelas,
tarawih bisa dilaksanakan di rumah.
Bahkan baju baru, dan hidangan Lebaran yang diada-adain, jelas bukan anjuran agama, melainkan kultur. Kultur
yang membuat masyarakat "sakaw" ketika direnggut paksa.
Sekarang saya liat rumah sakit jd tempat yg menyeramkan ambuu huhu sealalu ada bayang" virus covid19 😥 gatau sampe kapan pandemi ini berakhir, sehat sehaat yaa ambuu 🌷
ReplyDeleteYa Allah, mba Maria semoga dimudahkan urusan ya terutama masalah obat tadi. Syukur ga pake lama antrinya sejam saja, biasa kalau ke RS kan bisa dari pagi sampe siang..
ReplyDeleteMemang serba salah PSBB, di satu sisi pas kita butuh sesuatu kebingungan nyarinya. Seperti saya kemarin , sapu patah..eh jual perabot di depan komplek sejak lama memang ga jualan. Sampai suami naik motor keliling terus nemu toko sapu dll yang buka ...
Selalu bergizi membaca artikel Ibu yg penuh fakta. Semoga sehat selalu ya Bu
ReplyDeleteMaaf lahir batin dari saya dan keluarga di Pagelaran Cianjur Selatan
Di angkot tuh paling ngeri ya Mba, duduk desak-desakan, terus ada yang ngga pake masker.
ReplyDeletekayaknya mending pakai face shiled langsung, biar lebih aman.
Kalau ada yang bersin tuh bisa masuk ke mata juga bahaya
Aku klo Naik Angkot gak mba Karena Naik motor kemana2 pas pandemi ini gk berani klo Naik Angkot euy semoga pandemi ini cpet berakhir ya
ReplyDeleteKultur, kebiasaan ...dalam kondisi sekarang kulihat banyak yang bakal jadi bumerang :'( Ambu sehat-sehat ya. Semoga nggak perlu sering-sering terpaksa pergi-pergi.
ReplyDeleteBetul, penanganannya menjadi tidak mudah karena berengaruh ke banyak aspek kehidupan. Memahamkan PSBB juga tidak mudah. Karena orang-orang kita terbiasa makan nggak makan asal kumpul, he2. Memang datang ke area publik saat ini tu sangat ngeri. Harus pakai perlindungan lengkap,,sarung tangan, masker,,shield mask biar perlindungan optimal.
ReplyDeletekalo banjarmasin udah masuk zona merah mbak, saya yang biasanya suka keluyuran bener-bener harus menahan diri untuk keluar rumah. paling horor itu kalo harus ke pasar tradisional yang sebelumnya menjadi tujuan favorit saya untuk belanja kebutuhan sehari-hari. soalnya duuh masih aja kondisinya berjejalan & berdesakan. Berasa jadi ninja aja kalo di pasar, serba gerak cepat belanjanya.
ReplyDeletePasar nih kalau di Cimahi...skrg pasar antri cimahi sdh keluar sebagian hasil swab nya dan sdh 4 org positif...
ReplyDeleteLagi rame emang berita orang-orang pada rame-rane beli baju huhu. Antara miris sama kesel sih. Semoga aja pademinya segera berkahir biar bisa aktivitas seperti dulu ^^
ReplyDeleteKalau saya, tempat wajib yang saya kunjungi cuma indomaret, alfamaret sama toko kelontong dekat rumah untuk beli LPG & air minum galon.
ReplyDeleteSama satu lagi ya, tempat kerja. Karena kebetulan kantor menerapkan sistem WFH secara bergantian. Artinya pasti ngantor.
Memang miris sih ngelihat orang-orang yang 'berani mati' ini. Ya kalo keluar untuk sesuatu yang urgent (nggak ada = mati). Apalagi ketika tagar #IndonesiaTerserah bertebaran.
We can do better than this sebenernya.
Tapo klo gak kyk gini, mereka gak mau ngandelin BLT juga soalnya
ReplyDeletesupermarket merupakan tempat yang paling mengerika untuk di kunjungi. kalo gak kita kunjungi kita gak ada yang bisa makan. Hiks sedih
ReplyDeleteYa ampun mba, aku semenjak landemi ini, saking takutnya kemana2, parno banget. Kmren suami sempat kena DBD akhirnya cuma kurawat dirumah Alhamdulilah. Kalau ga perlu2 banget ga pengen kemana2 deh
ReplyDelete