“Tinggalkan
mengirim parsel cara kuno, beralihlah ke parsel ke furoshiki yang ramah
lingkungan”
Kampanye
ramah lingkungan demikian nampaknya harus makin masif ya? Karena parsel cara
kuno tuh nyampah banget. Buat apa coba bekas keranjangnya? Belum lagi sampah
plastik penutup isi parsel yang biasanya kita remehkan, dengan alasan: “Ah cuma
sedikit”
Padahal
....
Bermula
sampah yang hanya sedikit, lama-lama jadi bukit, kemudian longsor, menimbun
ratusan orang yang berakhir dengan merenggangnya nyawa. (kasus longsoran sampah
Leuwigajah 21 Februari 2005)
Furoshiki
merupakan selembar kain atau kain yang
digunakan untuk membungkus kado, pakaian atau apapun. Sering
juga disebut kerajinan yang memiliki desain/motif dekoratif nan elegan.
Penggemar
drama Korea pastinya familier dengan adegan keluarga konglomerat yang saling
bertukar hantaran mahal, seperti ginseng
yang berumur ratusan tahun. Ginseng diletakkan dalam kotak kayu, kemudian
dibungkus dengan selembar kain sutera. Ada yang mengikat kain tersebut, ada pula
yang hanya dilipat saja.
Masyarakat
Indonesia harusnya juga nggak aneh dengan kebiasaan ini. Nenek buyut kita
melakukannya. Bedanya kain yang digunakan bukan kain sutera, tapi taplak meja.
:D :D
Hihihi
.... kebiasaan jadul yang pernah jadi guyonan.
Anehnya begitu diperkenalkan sebagai budaya Jepang atau Korea, serasa
ngetrend gitu ya?
Beberapa
waktu lalu, saya membuat FGD dengan tokoh masyarakat desa Margasari, Cilegon
Banten dan aparat desa. Mereka mati-matian menolak ide komposting (memproses
sampah organik menjadi pupuk). Mereka takut
bau sampah akan memenuhi desa.
Dan
mati-matian juga saya terangkan bahwa sampah sudah ada sejak zaman nenek moyang.
Kok komplain bau sampah baru sekarang terdengar?
Penyebabnya
tentu sampah modern yang terkontaminasi plastik serta bahan tambang. Andaikan
hanya bahan organik maka dunia akan aman. Nggak ada yang ribut perkara sampah. Dan
nggak muncul gerakan zero waste lifestyle. ^_^
Untuk
lebih jelasnya silakan baca tulisan saya yang mengupas tuntas masalah sampah:
Sebagai
masyarakat modern yang terkena dampak sampah, pastinya harus mau membuka diri
terhadap solusi. Termasuk jalan keluar yang sebetulnya telah dilakukan nenek
moyang kita.
Adalah
Menteri Lingkungan Hidup negara martahari terbit, Yuriko Koike yang berupaya
meningkatkan kesadaran lingkungan dengan mempromosikan kain furoshiki. Koike
menganjurkan pada masyarakat Jepang agar meninggalkan kantong plastik untuk
membawa kotak bento, dan menggantinya dengan furoshiki. Furoshiki juga dianjurkan untuk membawa
hadiah, serta objek lain yang sebelumknya menggunakan kantong plastik.
![]() |
source: japonerias.com |
Sejarah Furoshiki
Jepang
ternyata memiliki sejarah panjang menyangkut furoshiki. Kebiasaan menggunakan
furoshiki telah berlangsung sekitar 710 SM, selama periode Nara. Pada masa itu paket yang
dibungkus kain disebut tsutsumi. Umumnya berisi barang-barang penting dan harta dari kuil-kuil
Jepang.
Pada
periode Heian ( 794 SM – 1185 SM) kain yang sama disebut koromo utsumi, dan
umumnya digunakan untuk membungkus pakaian.
Istilah
furoshiki baru digunakan pada masa Muromachi (1136 SM -
1573 SM). Ashikaga Yoshimitsu, seorang Shogun pada era itu membangun
pemandian besar di kediamannya, kemudian mengundang para bangsawan dari berbagai daerah untuk menggunakannya.
Mereka mendapat layanan kain furoshiki untuk membungkus kimono.
Kain
tersebut bergambar lambang keluarga bangsawan, yang pastinya berbeda satu sama lain. Tujuannya supaya nggak
ketuker.
Usai
mandi, kain furoshiki biasanya digunakan
sebagai keset/alas kaki. Hingga muncullah istilah furoshiki, furo artinya mandi,
sedangkan shiki berarti keset.
![]() |
source: kusuyama.jp |
Jenis Furoshiki
Karena
merupakan seni budaya, furoshiki tidak tampil tunggal. Bahkan kainnyapun
beragam, tergantung barang yang dikemas. Sutra atau katun
untuk furoshiki misalnya, bermotif bunga sakura untuk musim semi, atau desain daun maple untuk musim gugur.
Sedangkan
untuk kebutuhan event formal, seperti pernikahan, wisuda, atau pemakaman,
furoshiki menggunakan berwarna ungu.
Umumnya
kain furoshiki berukuran 45 x 45 sentimeter (17 x 17 inci) dan 70 x 70
sentimeter (28 x 28 inci) dan harus berbentuk persegi. Namun, ukurannya bisa
kecil, hanya seukuran telapak tangan. Atau bahkan sangat besar, hingga seukuran
mobil. Tergantung objek yang dibungkus.
Berikut
beberapa teknik membungkus ala Furoshiki:
Tarik
ujung kain untuk menutupi objek, ke arah
sebaliknya, demikian pula ujung kain yang berlawanan. Buat ikatan dengan ujung kain
yang tersisa.
Bedanya
yotsu musubi memiliki simpul ganda.
Sehingga lebih kuat digunakan untuk
membawa benda berat.
Kakushi Tsutsumi
Mirip
otsukai tsutsumi, bedanya ujung kain yang berlawanan ditarik pada step terakhir
untuk menutup ikatan.
Entou Tsutsumi
Untuk
objek berbentuk silinder. Pertama gulung objek hingga tertutup rapat. Sisa kain
ditarik ke atas, membentuk simpul ikatan.
Hira Tsutsumi
Untuk
objek berbentuk kotak persegi, namun lebih flat dibanding cara 1,2, dan 3. Pertama,
tarik satu sisi untuk menutupi objek, ke
arah berlawanan;. Kemudian sisi di sebelahnya juga dilipat menutup objek. Berikutnya
searah jarum jam, hingga seluruh objek tertutup. Tanpa ikatan.
Sao Tsutsumi
Masih
dengan objek berbentuk kotak dan flat. Teknik sao tsutsumi membentuk simpul
setelah menutup objek dengan kedua ujung kain.
Kousa Tsutsumi
Untuk
benda persegi panjang. Buat simpul pada salah satu ujung. Kemudian tarik ujung
yang lain untuk menutupi keseluruhan objek dan simpulkan.
Bin Tsutsumi
Untuk
1 botol. Tarik ujung kain ke arah berlawanan hingga menutupi botol. Disusul dengan tarikan kain dari ujung
berlawanan. Terakhir, kedua ujung kain tersisa dibuat simpul.
Bin Tsutsumi
Untuk
2 botol. Letakkan 2 buah botol pada kain
furoshiki dengan posisi berlawanan arah. Gulung kain hingga semua objek
tertutup dan tersisa 2 buah ujung kain. Posisikan kedua botol dalam keadaan
berdiri sejajar, buat simpul dari kedua ujung kain.
Suika Tsutsumi
Untuk
dicangklong. Barang bisa dibawa tanpa takut menggelinding jatuh nih. Buat 2
buah simpul, kemudian masukkan salah satu simpul melalui lubang simpul yang
lain. Sip, objek aman dibawa berlari. :D
Katakake Fukuro
Ini
mengingatkan saya dengan cara membungkus waskom yang memiliki diameter cukup
lebar. Sehingga setelah membuat ikatan dari 2 ujung kain, kedua sudut yang tersisa dibuat simpul
sendiri.
Tesage Bukuro
Ini
sih untuk ditenteng. Buat 2 buah simpul kiri dan kanan, tenteng deh.
Gimana?
Asyik bukan bermain-main dengan teknik furoshiki? Terlebih jika unsur motif
juga dimainkan, menggunakan motif batik, misalnya. Indonesia kan surganya. Di
Bandung banyak banget lho kain yang dijual kiloan. Harga kain untuk furoshiki
jadi amat murah lho.
Jadi
tunggu apa lagi?
Yuk kita ganti cara membungkus parcel dengan
lebih ramah lingkungan. Agar sampah nggak bertambah banyak usai Lebaran.
sumber data:
invaluable.com
lucu gitu kemasannya....ditambah lagi warnanya...
ReplyDeleteBaru tahu kalau melipat kain untuk hantaran yang biasa saya lakukan waktu masih kecil dulu namanya Furoshiki. Tapi memang betul ya mba, parsel dengan bungkusan kain bisa membantu menjaga lingkungan dari limbah plastik.
ReplyDeleteWah..keren ya..ini kan sebenarnya cara lama ya..dan ternyata ala-ala Jepang..Selain unik juga ramah lingkungan ya..karena bungkusnya bisa dipake lagi..
ReplyDeleteWah keren idenya..
ReplyDeleteIni lebih ramah lingkungan ya..
No plastic anymore
Yah..masalahnya begini lho, Mbak Maria..
ReplyDeleteOrang Indonesia kalau mbungkus paket menggunakan kain itu, seringnya nggak bisa bedain mana kain bagus, mana kain jelek. Yaa kira-kira seperti kata Mbak Maria tadilah, bungkus paket pakai kain taplak, hihihi.. Saya pernah tuh jaman dulu lihat bedinde ibu saya membungkus kardus bajunya pakai kain tirai. Kain tirainya sudah kumal, sudah kucel, lalu dimasukin ke bagasinya bis yang yaa gitu deh. Duh, saya menggambarkan ini aja sampai ngilu sendiri..
Mungkin sebelum pembudayaan kembali furoshiki ini, sebaiknya masyarakat diajari dulu cara mengenali kain yang bagus. Jadi jangan sampai mengirim parsel dibungkus dengan kain yang sudah bulak, misalnya.
Kakushi Tsutsumi ini keren mbu kaya jaman kerjaan ngirim surat
ReplyDeleteaku jadi inget film Oshin kalau kasih apa apa pake ini
ReplyDeleteiya betul sekali mengurangi sampah dan bisa digunakan lagi ya bu..
Wah beneran baru tau akutu ttg ini. Bagus jg ya idenya. Lumayan buat mengurangi produksi sampah kertas. Meski kayaknya jd agak lbh mahal jatuhnya ya. Semoga bs jd trend deh..
ReplyDeleteBerarti buntelan kain yang dibawa-bawa Pak Janggut (komik di majalah Bobo tahun 80an - 90an) bisa disebut furoshiki juga ya.
ReplyDeleteWahh lucu juga ya si furoshiki ini. Sesuai dengan konsep ramah lingkungan. Dan Jepang punya banyak seni yg menarik utk dipelajari. Thats why i love Japan😘
ReplyDeleteDari dulu orang Jepang kreatif banget ya Mbak. Telaten dan ulet, kayak ikebana juga gitu tuh, bisa keren. Bisa juga nih buat solusi agar hantaran tetap ramah lingkungan.
ReplyDeleteWah jadi inget cara bungkus makanan saat prosesi adat di Ranah Minang
ReplyDeletesalam
kidalnarsis.com
Waah...sungguh keren, Ambu.
ReplyDeleteTeknik mengikat Furoshiki ternyata banyak yaa...
Mungkin untuk latihan, bisa buat bekel anak-anak sekolah lalu di bungkus secara Furoshiki, misting sama botol minumnya.
Cantik kayanya yaa..
ini kok lucu..
ReplyDeletebaru tau sama Furoshiki nih.. menarik..
jadi pengen segera cobain dirumah itu lipet lipetnya..
Ternyata ada banyak tekniknya ya, mbak membungkus pakai furushiki ini. Tapi lucu juga nih buat dicoba.
ReplyDelete