Perlahan kubuka pintu.
Lambaian tirai menyambut. Dan satu sosok di sana. Sosok yang kurindu.
Ibunda tersenyum.
Guratan usia terlukis di
ujung matanya. Di bibirnya. Mematahkan usaha
menentang waktu. Melawan kehadiran senja. Tak ada yang mampu. Tidak krem wajah. Tidak juga totok. Terlebih akupuntur. Keriput datang mengukir hari. Rambut memutih, penunjuk raga akan menyelesaikan tugasnya.
“Bu, selamat ulang
tahun”
Ibunda tersenyum.
"Bu, maaf aku
datang sendiri. Ardini diare menjelang keberangkatan. Cucumu itu lemah
pencernaannya. Mungkin aku sudah terlalu
tua saat hamil. Dik Tita tidak bisa datang. Sedangkan Budi ....".
Penjelasanku mengawang.
Ibunda tersenyum.
Suara tokek membelah
kegelapan malam. Mengganti lantunan ayat-ayat suci dari lousdpeaker masjid. Nun
di belakang rumah kami. Tempat perkampungan berada.
Nyaris sepi. Kota kecil
ini masih sama seperti ketika kutinggalkan. Puluhan tahun silam.
"Bu, maaf. Aku menyesal
tak mendengar ujaranmu. Aku menyesal tak menaati laranganmu. Aku takut
nyinyiran orang jika dilangkahi dik Tita. Aku terlalu takut menjadi perawan tua. Aku menyesal terlambat sadar. Tak ada sosok
suami sempurna. Tapi .......".
Penjelasanku kembali
mengawang.
Ibunda tersenyum.
Teko di atas kompor
berbunyi. Pertanda airnya mendidih. Perlahan kuseduh kopi. Kukeluarkan sekotak
bolu susu dari plastik pembungkus. Ibunda sangat menyukai topping parutan keju.
Terlebih yang berserabut panjang.
"Bu, aku
....."
Suaraku tercekat. Kubuka
kotak bolu susu dan kuiris memanjang. Ibunda tak menyukai potongan segi empat.
Walau lebih rapih.
"Bu, aku sudah
berpisah dari Budi".
Akhirnya kalimat itu
terucap. Nanar kupandang wajah
ibunda. Perlahan decak suara cecak
mengganti nyanyian tokek. Aku menunggu lantunan denting tiang ,listrik yang dipukul peronda. Masih sepi.
Kubuka kerudung biru
yang selalu menutupi gelung rambut. Kulepas cardigan yang membungkus rapat
kedua lengan. Kemudian perlahan kutarik
kebawah retsleting gamis berwarna hitam. Kubiarkan ibunda melihat bilur-bilur biru
bekas pukulan Budi. Sundutan rokoknya. Dan cengkraman kuku-kuku jarinya.
Sudut senyum ibunda
memudar.
Hilang.
Kedua mataku tiba-tiba
terasa basah. Ngilu datang menghujam. Menjalar ke sekujur tubuh. Merayapi
setiap persendian. Berakhir mencengkram erat pusat sendi.
Pertama kali berkenalan dengan rasa ini di malam pertamaku
dengan Budi. Rasa ngilu yang terasa
samar. Kemudian semakin sakit. Sesudah itu berkawan bertahun lamanya. Rasa ngilu yang enggan pergi. Bahkan semakin sering. Semakin
tak tertahankan. Ngilu yang mengoyak tubuh.
Perlahan kusentuh pigura
foto ibunda. Kuhapus lapisan tipis debu yang menyelimuti kacanya. Foto ini
diambil disaat senyum terakhir menghiasi raganya. Lima tahun silam. Tepat
seminggu sesudah hari pernikahanku dengan Budi.
sumber gambar: stirimondene.eu
sumber gambar: stirimondene.eu
Mau bagaimanapun juga, ibu memang tempat kita pulang ya teh :')
ReplyDeleteHuhu terhanyut nih bacanya buk, ditunggu kisah lainnya ya💟
ReplyDeleteAku nangis bacanya karena tau rasanya gimana :'(
ReplyDeletejadi kangen mamah akua baca ini bu, baru saja WA sama kakak lalu baca ini jd inget alm mamah :)
ReplyDeleteWalau tak ingin membuat ortu sedih tetep aja ya kalau ada sesuatu tuh baliknya ke ortu...siapa lg yg bs mencintai kita setulus merwka....
ReplyDeleteDalam banget bu ceritanya, ditunggu lanjutannya :')
ReplyDeletehanyut aku juga di dalam tulisan ini, ingat mendiang ibuku yang pergi 9 tahun silam :)
ReplyDelete