“Secara antropologi kebudayaan adalah
keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk
memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah
lakunya.”
Ketika membaca paragraph tersebut, tak terpikir bahwa urban farming merupakan
bagian proses kebudayaan juga.
Hingga seorang kawan, mbak
@Inge mengingatkan bahwa berkebun di kawasan perkotaan juga merupakan
proses kebudayaan. Ketika manusia harus hidup di wilayah sempit perkotaan tapi
tetap ingin berinteraksi dengan alamnya. Mengenal kembali tumbuhan, tanah, air,
hama hingga bisa memanen seperti layaknya petani.
Di
Indonesia, urban farming diperkenalkan secara massif oleh Indonesia Berkebun.
Diawal tahun 2011, Ridwan Kamil (kini walikota Bandung) melihat potensi lahan
terlantar yang bisa digunakan untuk berkebun. Gagasan tersebut dilempar di
media sosial dan mendapat sambutan hangat rekan-rekannya yang kemudian
bersama-sama membentuk Indonesia Berkebun. Perkembangan berikutnya sungguh
mencengangkan, tak kurang dari 30 kota besar di Indonesia mengikuti
mendeklarasikan semangat berkebun dengan logonya masing-masing.
Manfaat
urban farming tidak sekedar mengolah lahan terlantar tapi berguna langsung pada
pegiatnya untuk mengobati urban stress, olah raga dan membantu pendidikan
keluarga dalam pemahaman mengenai tumbuhan dan lingkungannya. Akibat budaya
instan, jangan-jangan seorang anak lupa bagaimana bentuk tanaman padi, pohon
durian dan pohon pisang. Karena sehari-hari mereka hanya melihat nasi dan
buah-buahan yang “tiba-tiba” hadir di meja makan.
Kegiatan
urban farming tidak mudah, tanah kosong di pemukiman umumnya menjadi tempat
brangkal (sisa/limbah bangunan). Sulit ditanami, sehingga warga yang hobby berkebun harus membeli tanah subur
dalam karung. Jika perlu lebih banyak, mereka membeli dalam satu mobil barang
(pick-up). Selanjutnya diperlukan siasat agar tanah subur yang dibeli dengan
susah payah tidak larut dalam derasnya air hujan.
Beberapa
petani urban mengunggah di you tube, bagaimana caranya menyiasati agar tanah tidak
terbuang sia-sia. Keren memang, walau sebetulnya kitapun bisa melakukannya
tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Yaitu dengan menggunakan sisa-sisa kayu
atau brangkal yang berserakan untuk mencegah tanah subur terbawa air hujan.
Cara
lainnya adalah dengan memasang rak-rak / paralon atau talang air di sepanjang
gang sempit agar para urban farmer
bisa menyalurkan hobbynya tanpa
terganggu lalu lintas kendaraan, simpang siur tetangga yang lewat serta cukup
mendapat asupan sinar matahari.
Yang
menarik, kaum urban di Indonesia belum melupakan tanaman herbal yang dapat
digunakan untuk pengobatan seperti tanaman Pacar Air (impatiens walleriana)
untuk mengobati memar, keputihan, dan rematik.
Juga
babadotan (Ageratum Conyzoides, L). Tumbuhan ini dinamai berbeda di setiap
daerah, seperti tombalo, siangiat, berokan, Tanaman ini berkhasiat sebagai obat
luka, bengkak, rematik, sariawan, tumor, sakit tenggorokan, influenza, malaria,
perut kembung hingga untuk perawatan rambut.
Berbeda
dengan kedua tanaman diatas, binahong (Bassela rubra linn), tanaman merambat yang masuk Wikipedia dengan
sederet manfaatnya, silakan lihat disini.
Beragam
tanaman herbal dan sayuran tumbuh subur di bumi Indonesia. Demikian juga
pemuliaan tanaman hias dan buah-buahan. Tanah
sempit bukan halangan karena kini saatnya budaya berpikir kreatif. Bertindak
kreatif dan menghasilkan karya kreatif. Tanpa kreativitas kita akan tertinggal
jauh dibelakang. Bak penonton yang mengais remah-remah keberhasilan mereka yang
melesat jauh menyongsong masa depan yang lebih baik.
wah sekarang rata2 pada pake metode hidroponik ya, btw kelebihannya apa ya mbak?
ReplyDeleteThis is a wonderful post. I came to this site first time and I really like your post. Keep posting it. I love seeing websites that understand the value of providing a quality resource for free. I will wait for your post. Thank you.
ReplyDeletecan cilantro be grown hydroponically