“Oh bunda ada dan tiada
dirimu selalu hadir dalam hatikuuuu ……….”’
Akrab pastinya dengan
lagu Bunda karangan Melly Goeslaw ini kan? Nah gimana jika sedang bête, entah
karena pak sopir ngetem kelamaan atau sebel dengan kemacetan lalin nan tiada
terkira, kemudian tiba-tiba terdengar gesekan biola yang mengalunkan lagu Bunda
tanpa sumbang?
Waktu itu saya langsung
buka dompet untuk memberikan uang sekadarnya pada pemusik jalanan tersebut. Padahal biasanya paling ngga suka memberi uang pada
pengemis. Saya beranggapan derma seperti
itu ngga mendidik, membuat mereka semakin malas. Membuat mereka berpikir bahwa cukup dengan
menengadahkan tangan maka terkumpullah sejumlah uang untuk makan. Ya jika untuk
makan sih oke deh, tapi bagaimana jika dibelikan minuman keras atau lem aibon (untuk
ngelem/fly), bukankah alih-alih membantu, justru saya mendorong mereka masuk lembah hitam?
Waduh lebay ya, maksudnya situasi yang merusak masa depan mereka, deh :)
Waduh lebay ya, maksudnya situasi yang merusak masa depan mereka, deh :)
Pengamen, pengemis,
gelandangan dan korban penyalahgunaan Napza termasuk dalam PMKS atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,
karena mereka tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani dan sosial secara wajar dan
memadai.
Wah rumit banget ya masalah PMKS ini? Menyebabkan pemerintah kota tidak berdaya menangani masalah PMKS yang kerap
tumbuh bak jamur jika bulan Ramadhan
tiba. Padahal setiap kota dipastikan
mempunyai regulasi khusus untuk
menangani masalah PMKS. Sebagai contoh
kota Bandung, walau sudah mempunyai perda K3
nomor 11 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan
Keindahan, tetep ajah dimana – mana kita
temui gelandangan dan pengamen yang maksa kita untuk buka dompet. Mungkin dendanya
terlalu murah ya? Hanya Rp 250.000, atau karena sulit banget menangani mereka?
mereka sangar-sangar lho …… :(
Sambil mengetik tulisan
ini, saya melihat 3 orang pengamen mengalunkan nada-nada yang lumayan, pakai
gitar dan perkusi . Asyiklah, walau agak terlalu keras menurut saya . Yang ngga
asyik alias menyebalkan, usai bernyanyi
2 dari 3 pemusik jalanan yang bertato di lengannya dan kupingnya bolong selebar
tutup gelas aqua. Ups sorry menyebut
merk, soalnya menyebut AMDK (air minuman dalam kemasan) pasti kepanjangan,
walau eips …. ketulis juga walau panjang.
Oke lanjutttt …. , nah si telinga bolong dan si tatoan ini menyorongkan bekas AMDK ke penumpang travel yang sedang menunggu keberangkatan ke Jakarta, kebetulan banyak ibu dan bapak yang berusia senja (manula) yang ngga mau ribut dengan mereka, akhirnya mengulurkan tangan memberi recehan. Soal memberi recehan ini ngga didominasi manula karena banyak juga anak muda yang memberi mereka. Dan yang pasti ngga semua yang bertelinga bolong dan bertato pastilah preman yang memaksakan kehendak. Bukankah ibu menteri kita juga ada yang bertato, dan prestasinya? Duh, selangit. Sedangkan telinga bolong sih dimiliki juga oleh masyarakat adat Dayak yang cupingnya dibiarkan panjang hingga menyentuh tubuh.
Oke lanjutttt …. , nah si telinga bolong dan si tatoan ini menyorongkan bekas AMDK ke penumpang travel yang sedang menunggu keberangkatan ke Jakarta, kebetulan banyak ibu dan bapak yang berusia senja (manula) yang ngga mau ribut dengan mereka, akhirnya mengulurkan tangan memberi recehan. Soal memberi recehan ini ngga didominasi manula karena banyak juga anak muda yang memberi mereka. Dan yang pasti ngga semua yang bertelinga bolong dan bertato pastilah preman yang memaksakan kehendak. Bukankah ibu menteri kita juga ada yang bertato, dan prestasinya? Duh, selangit. Sedangkan telinga bolong sih dimiliki juga oleh masyarakat adat Dayak yang cupingnya dibiarkan panjang hingga menyentuh tubuh.
Sebagai warga biasanya,
posisi kita dilematis. Kisah diatas hanya sekian dari jutaan kasus,. Mungkin
teman-teman pernah ngga bertemu dengan pengamen bersuara jelek, sekedar bertepuk tangan untuk mengiringi
nada-nada fals , kemudian bilang: “Ibu – ibu , bapak-bapak, berilah kami uang untuk makan daaripada kami
menodong dan merampok lebih kami mengemis. Hargai kami , toh uang ibu , bapak
tidak akan dibawa mati”
Yeee… itu sih namanya
ngancem kan ya?
Sejauh mana pemerintah
berusaha memecahkan masalah PMKS ini? Di beberapa kota, mereka mendapat
pelatihan diantaranya membuat kue , diberi peralatan, diberi uang Rp 300.000
dan disuruh pulang ke kota asal. Eh , ternyata mental mereka bukan mental pengusaha,
uang habis, peralatan memasak dijual murah. Alasannya uang segitu cuma cukup
untuk biaya transpotasi , ngga cukup untuk modal. Ya sudahlah, ngga niat aja
ya?
Khusus Kota Bandung, pak
Ridwan Kamil menawarkan pekerjaan menyapu dan membersihkan jalan-jalan Kota
Bandung dengan upah Rp 1.400.000/bulan. Lumayan kan? Eh mereka ngga mau, mereka
menuntut upah Rp 5 juta. Yaelah. Akhirnya pekerjaan tersebut diberikan pada
siapapun yang berminat , termasuk embak-embak yang saya wawancara ini. Tidak
hanya sekedar menyapu lho, mereka juga mendapat pembekalan-pembekalan dua bulan
sekali, yang diberikan oleh kantor mereka PD Kebersihan. Bagus bukan?
Khusus Kota Bandung
juga, kebetulan saya mendapat cerita dari seorang sopir angkutan umum yang
sebelumnya berprofesi sebagai pengamen. Setiap sudut kota rupanya ada
penguasanya tersendiri.
“Beda jalanan, beda asalnya bu. Misalnya yang
ngumpul disana tadi asalnya dari Garut.
Di sebelah sana dari kota yang lain lagi. Tapi kalo yang asalnya Kota Bandung
udah habis, udah dapat kerja semua. Dulu saya disitu tuh”, kata sang sopir
angkot sambil menunjuk lampu lintas di dekat Gasibu Kota Bandung.
Rupanya itulah proses
yang mereka jalani. Jengah karena tak kunjung mendapat pekerjaan, para pemuda
putus sekolah ini berprofesi sebagai pengamen dengan belajar alat musik. Mungkin
itulah penyebab almarhum Harry Roesli merangkul anak jalanan ini dan membekali
mereka ketrampilan. Jika ingin bermain
musik ya harus serius belajar, karena
seperti air, semua mahluk hidup yang kreatif akan menemukan solusi – solusi
dalam hidupnya.
Sepeninggal Harry Roesli
, mereka bak anak ayam kehilangan induk. Sendirian menempuh kerasnya hidup
dengan menempa keahlian. Karena keberhasilan dalam hidup hanya mereka
sendirilah yang menentukan. Termasuk kegagalan pecundang yang berpikir akan
berhasil dengan cara menakut-nakuti orang. Kasihan ya? :(
agak kezel sih sama masalah pengamen ini.. apalagi kalau yg ngamen itu di warung lalapan pas tangan lagi belepotan sambel, huh hah huh hah, disodorin gelas gitu biasanya saya nolak.
ReplyDeletesambil ngomong: maz maz.. coba ngamennya pas uda sese makan aja maz.
hehehe iya banget, trus ngotot ya? ngga mau pergi :(
ReplyDelete