Sociopreneur, Yuk Sahabatan Dengan Bank Sampah ...

 

sumber: freepik.com


Sociopreneur, Yuk Sahabatan Dengan Bank Sampah

Dulu terpaksa dipelajari, sekarang malah dikuasai.

Punya pengalaman tersebut? Saya punya.

Dulu terpaksa membentuk bank sampah, sekarang sedang menyusun buku tentang bank sampah.

Dulu saya ngikut para pakar lingkungan “garis keras” menolak bank sampah. Sekarang saya melakukan banyak adaptasi, berusaha memahami bahwa perubahan harus dilakukan secara luwes, menyesuaikan diri dengan budaya sosial dan ekonomi.

Sebentar, apa sih yang dimaksud “bank sampah”?

Nah lho, sebelum berpanjang kata, yuk kita bedah bank sampah dengan cara Q&A:



Siapa pendiri bank sampah?

Inovasi ditemukan karena muncul masalah di masyarakat, demikian juga dengan bank sampah. Berawal dari tumpukan sampah di lingkungannya, seorang dosen Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan, bernama Bambang Suwerda memutar otak, mencari ide.

Tumpukan sampah tersebut disukai nyamuk Aedes aegypti betina dan menyebabkan wargan daerahnya kerap terjangkit penyakit demam berdarah. Akhirnya terinspirasi dari aktivitas perbankan konvensional, Bambang Suwerda menggagas bank sampah.

Penduduk Dusun Badegan, Desa Bantul, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta diajak memilah sampah dari rumah dan menyetornya pada Bank Sampah Gemah Ripah yang didirikannya.

Sampah organik dipilah menjadi 3 kategori: sampah plastik, sampah kertas dan sampah kaleng/botol. Secara perodik, seorang pengepul diundang untuk membeli sampah yang telah terkumpul. (sumber:tokohinspiratif.id)

Uang yang terkumpul biasanya ditabung dan diambil untuk merayakan lebaran.



Mengapa pakar lingkungan kurang menyetujui keberadaan bank sampah?

Pertama, para pakar berprinsip bahwa recycle merupakan langkah darurat dalam penyelesaian sampah. Setiap individu harus melakukan reduce dan reuse sebelum mendaur ulang sampah yang lebih ribet dan membutuhkan sumber daya alam yang baru.

Yang kedua adalah kecenderungan warga masyarakat membisniskan sampah. Para pakar takut mereka nyampah tak terkendali!

Dalam tulisan Punya Limbah Bungkus Kopi? Yuk Sulap Jadi Handy Craft!, saya bertemu pelaku handy craft limbah plastik yang mendapat order tas biru dari seorang ekspatriat.

Karena melihat cuan gede, diapun memborong puluhan cairan pewangi pakaian dalam kemasan biru. Cairan pewanginya masuk ember, sedangkan bekas kemasan dijahit. Hasil craft  dijual pada sang ekspatriat yang nggak nyadar “tas limbah”nya berbahan baku kemasan baru, bukan limbah.

Praktek seperti ini tentu saja menakutkan para pakar lingkungan. Tanpa kelakuan aneh-aneh, sampah Indonesia sudah dinobatkan menjadi pencemar lautan kedua di dunia. Apalagi jika dipicu barang ngetrend terbuat dari limbah?

Masyarakat butuh perubahan paradigma, bahwa sampah tidak lagi bisa dibuang sembarangan seperti zaman batu. Sampah milenial mengandung plastik dan bahan tambang lain, sehingga sampah organik dan sampah anorganik harus dikelola dengan cara berbeda.







Mengapa saya terjun ke masyarakat dan membentuk bank sampah?

Bermula dari Bandung Lautan Sampah yang  membuat malu Kota Bandung,  saya tertarik mempelajari pengelolaan sampah setelah membaca beberapa artikel di harian Pikiran Rakyat Bandung

Nampak mudah dan simpel. Sampah organik dikompos, sampah anorganik didaur-ulang.
Kebetulan, pada tahun 2008 Kota Bandung menyelenggarakan Lomba Bandung Green & Clean yang digagas Unilever dengan LPTT, sebagai lembaga pendamping masyarakat.

Saat itulah saya membantu LPTT yang kewalahan. Bayangkan, 1.584 RW  menjadin peserta lomba, sementara jumlah staf LPTT hanya sekitar 10 orang.

Salah satu syarat kemenangan yang ditetapkan Unilever adalah bank sampah, sehingga saya “terpaksa” mempelajarinya. Dan saya menemukan:

Bank Sampah adalah alat/cara memilah sampah.

 

Bank Sampah juga alat pengonversi sampah menjadi rupiah

Caranyapun saya permudah. Tidak lagi menumpuk sampah di bank sampah seperti yang dilakukan Bambang Suwerda, tetapi langsung dikumpulkan dan dijual ke pengepul.

Prosesnya begini: Anggota bank sampah memilah sampah di rumah masing-masing. Pada hari yang ditentukan, misalnya setiap hari Selasa,  mereka menyetor/membawa sampah yang berhasil dikumpulkan ke bank sampah. Pada saat itupula pengurus bank sampah memanggil pengepul sampah.

 Pengepul akan menimbang semua setoran anggota, membayar dan membawa sampah anorganik ke lapaknya. Sehingga bank sampah terbebas dari keharusan memiliki lahan untuk menyimpan sampah anorganik.

 Sebab,  berbeda dengan kawasan dusun tempat Bambang Suwerda, di kawasan perkotaan sangat sulit menemukan tempat menyimpan sampah anorganik. Banyak penduduk terpaksa tidur berdempet bak ikan pindang, khususnya di pemukiman padat penduduk. Hampir mustahil menemukan area kosong di sana.



Bagaimana masa depan bank sampah di Indonesia?

Bank sampah sangat khas Indonesia. Ingat perkumpulan arisan? Juga beras perelek yang masih berlangsung di pedesaan?

Beras perelek merupakan cara mengumpulkan uang untuk tujuan tertentu. Setiap rumah tangga di desa menyumbang 1-2 sendok makan beras per hari.

Kebiasaan gotong royong yang masuk dalam sila ke-3 Pancasila ini bisa diwujudkan dalam pengumpulan sampah anorganik dari tiap rumah. Yang dibutuhkan adalah campur tangan pejabat terkait, bisa Lurah atau Camat yang menginstruksikan pembentukan bank sampah.

Menurut katadata.co.id yang merilis data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, jumlah wilayah administrasi di Indonesia sebagai berikut:

83.931 wilayah administrasi, terdiri atas 75.436 desa (74.517 desa dan 919 nagari di Sumatera Barat)

8.444 kelurahan serta 51 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT)/Satuan Permukiman Transmigrasi (SPT).

Khusus Jabar, terdapat 5.899 Desa dan Kelurahan (sumber: jabarprov,go.id).

Maka, andai setiap desa/kelurahan memiliki sebuah bank sampah, dan setiap bank sampah beranggotakan 200 orang, maka setiap minggu akan terkumpul uang hasil konversi sampah sebanyak; 5.899 desa/kelurahan  x 200 orang x Rp 10.000 = Rp 11.798.000.000

Apabila dikalkulasi selama setahun, maka uang terkumpul dari hasil konversi sampah akan lebih besar lagi. Jangan lupa, hitungan di atas hanya mengambil contoh terkecil, yaitu wilayah desa/kelurahan. Kenyataannya dalam satu desa/kelurahan terdiri dari beberapa RW.

Andai tiap RW berdiri sebuah bank sampah, maka uang yang terkumpul akan lebih besar lagi. Namun yang lebih penting, warga masyarakat tidak lagi membuang sampah  sembarangan.



Apa hubungan bank sampah dengan sociopreneur?

Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa selain perubahan perilaku membuang sampah, terkumpul dana masyarakat dari sumber yang selama ini disepelekan, yaitu: sampah!

Di lain pihak, seorang sociopreneur membutuhkan dana bergulir untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di lapangan, seperti pengangguran, rentenir, pemberdayaan perempuan.

Uang yang berhasil dikumpulkan di bank sampah, sesuai kesepakatan bisa digunakan untuk bermacam usaha, yaitu:

Koperasi Simpan Pinjam.

Masih ingat Muhammad Yunus yang kondang dengan grameen bank? Dia meminjamkan uang yang nominalnya kecil pada komunitas ibu-ibu pedesaan. Ibu-ibu tersebut emang nggak butuh pinjaman besar untuk modal berjualan, mungkin hanya Rp 500.000.

Sayangnya  mereka nggak punya akses meminjam ke bank. Dan mungkin juga bank enggan mengeluarkan pinjaman sekecil itu ya? Lha biaya administrasinya juga nggak nutup.

Tanpa jaminan dan tanpa ribet, anggota bisa mendapat pinjaman dari koperasi simpan pinjam. Dana awal koperasi diperoleh dari bank sampah..

Jual Beli Barang Rongsokan

Apabila memungkinkan, misalnya bank sampah mendapat pinjaman lahan kosong, maka bisa banget digunakan untuk operasional jual beli barang rongsokan.

Unit ini membeli sampah anorganik yang dikumpulkan anggota, kemudian diproses. Sampah anorganik dibersihkan dari cairan, label, disesuaikan dengan permintaan pabrik daur ulang biji plastik.

Akan diperoleh selisih yang lumayan. Sebagai ilustrasi, harga beli sampah bekas kemasan yang masih kotor Rp 3.000/kg. Setelah dibersihkan dapat dijual dengan harga Rp 6.000/kg.

Produksi Daur Ulang Sampah Anorganik

Ada 2 macam pabrik yang bisa didirikan, yaitu mengolah sampah plastik yang telah dibersihkan di atas (Jual Beli Barang Rongsokan) menjadi biji plastik. Produk ini sangat diminati untuk membuat kantong plastik hitam dan barang pecah belah berharga murah, karena biji plastik impor sangat mahal.

Produksi yang kedua adalah membuat craft dari bekas kemasan dan keresek/kantong plastik. Selama ini problem utama penjualan adalah hasil akhirnya yang nggak marketable. Tugas seorang sociopreneur membantu mereka agar mampu menghasilkan produk yang layak jual dan layak impor.

Baca juga: KatanyaHandy Craft Daur Ulang, Kok Bahan Bakunya Masih Baru?

Tidak banyak yang menyadari bahwa bisnis sampah bukanlah bisnis ecek-ecek, karena menyangkut uang milyaran rupiah.

Sayangnya, paradigma “takut kotor” dan “sok feodal” menyebabkan banyak orang enggan berkecimpung dalam bisnis ini. Disisi lain, mereka enggan membayar retribusi untuk sampah yang mereka hasilkan, dengan dalih mereka termasuk kelompok masyarakat  tak mampu.

Padahal menurut kalkulasi para pakar persampahan di Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), problem sampah di Indonesia akan beres jika setiap Kepala Keluarga (KK) membayar retribusi sampah Rp 300.000- 400.000/bulan.

Jumlah yang sama harus dibayar warga masyarakat apabila Indonesia berhasil membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), karena sampah Indonesia yang basah melambungkan harga produksi.

Rencananya PLN dipaksa membeli listrik tersebut, walau harus merugi.

Nah lho.

Baca juga: YukBikin Handy Craft Dari Limbah Bungkus Kopi!

 

 

23 comments

  1. Saya baru sebatas memilah botol dan karton. Trus diberikan ke abang sampah rumah buat dijual. Plastik yang susah dihindari. Baru bisa mengurangi, masih ketergantungan. Kan tempat sampahnya masih pake plastik. Kalau yang bisa saya pake seperti kaleng bekas buat pot bunga, kertas undangan buat pembatas buku. Di rumah kata suami kayak gudang. Secara saya suka ngumpulin rongsokan yang nanti bakal dibikin² biar ada fungsinya.

    ReplyDelete
  2. Banyak juga beban retribusi sampah yang harus dibayar warga ya.
    Di RT ku sebenarnya ada bank sampah sejak tahun 2013. Sampah dari warga dikumpulkan di salah satu rumah kosong, nantinya tiap bulan akan diambil oleh pengepul. Dan uang tabungannya udah dua kali digunakan untuk wisata seluruh warga ke beberapa obyek wisata. Namun sejak tahun kemarin, pengurusnya udah lelah, termasuk aku, wkwkwk... Apalagi nggak semua warga mau nabung dan memilah sampah. Jadi akhirnya warga yang mau aja yang nabung di bank sampah

    ReplyDelete
  3. Bicara sampah memang ga akan pernah ada habisnya ya, Ambu.
    Aku ingat anak muda kota Malang yg pernah dikasih penghargaan pangeran Charles karena bikin asuransi sampah.
    trus, bu Risma di Sby juga bikin bus dgn tiket sampah plastik.
    semogaaaa serba/i sampah ini bisa dikelola dgn baik

    ReplyDelete
  4. Saya juga sekarang concern banget sama yg namanya sampah anorganic.di rumah ada banyak banget kemasan skincare yang udah abis. Terus kemasan tersebut saya kirim ke Waste4Change buat diolah lagi. Semoga sih, makin banyak orang yang makin sadar dan bikin inovasi 2 baru lagi buat mengolah sampah anorganic ya

    ReplyDelete
  5. Takut kotor, bau, dan nggak asik, pastinya menari-nari dalam pikiran bila ingin terjun pada hal tersebut ya Ambu.

    Semoga makin banyak volunteer yang melakukan hal positif bank sampah ini, aamiin

    ReplyDelete
  6. Di sini sampah masih dikelola pribadi. Kalaupun ada fasilitas dari desa, gak semua rumah bisa dijangkau. Andai setiap desa sudah menerapkan bank sampah ya, padahal dari kabupaten sudah diberikan program dan dananya

    ReplyDelete
  7. Wah aku udah tau udah lama nih Ambu terntang konsep Bank Sampah ini. Bahkan sekarang emang udah banyak yang yang mengadopsi termasuk CSR beberapa perusahaan. Dulu aku soalnya pernah kunjungan langsung ke salah satu tempat yang memiliki Bank Sampah jadi seikit banyak jadi tau deh hehe.

    ReplyDelete
  8. Di kampung saya bank sampah ini dikelola cukup baik. Tiap hari Jumat minggu ke dua selepas subuh masyarakat sudah menyetor "sampah" mereka ke depan masjid. Para pemuda kampung siap menimbang dan memilahnya sesuai jenis. Menjelang siang tukang pengepul datang dan menukar sampah-sampah dengan uang. Uang inilah yang kemudian dikumpulkan dan dimasukkan kas kampung, digunakan untuk kepentingan bersama

    ReplyDelete
  9. Masyaa Allah Bu Maria, saya tercerahkan dengan kondisi bank sampah yang ternyata bagai dua mata pisau juga ya?
    Ini kegiatan yang sangat mulia terjun di ranah lingkungan seperti ini Bu. Terima kasih untuk dedikasi waktu dan tenanganya Bu. Gak mudah juga pastinya ini dalam tim.

    ReplyDelete
  10. Salut Mba sama dirimu yg mau menggeluti dunia persampahan ini. Emang keliatannya sepele ya.. tapi sampah tuh ternyata masih bisa bernilai ekonomis dan jika diolah dengan tepat bisa bermanfaat. Tapi sekali lagi butuh komitmen dan kerjasama berbagai pihak untuk mewujudkan hasil yang maksimal tanpa melulu mengejar keuntungan lagi di ujungnya. Semangat mbaaa

    ReplyDelete
  11. Salut dengan kegigihan untuk berkecimpung dengan bank sampah. Tidak semua orang mau ubek-ubek ngurusin sampah, yg identik denhan kotor dan bau.

    ReplyDelete
  12. Pengelolaan sampah paling efektif saat ini adalah dengan diadakannya bank sampah, Karena dengan adanya bank sampah, selain menjaga lingkungan, juga mendapatkan hasil :)

    ReplyDelete
  13. Ide untuk mengumpulkan sampah ini luar biasa sekali. Ternyata pencetusnya orang jogja ya. Salut banget sama orang2 yang tekun banget buat nanganin sampah ini, bahkan mendaur ulangnya. Selain butuh ide dan ketekunan juga tenaganya lumayan juga ya, Ambu. Semoga PLN bisa melirik ini seagai peluang usaha.

    ReplyDelete
  14. Di Makassar, bank sampah alhamdulillah berjalan baik, tidakengubah perilaku masyarakat seperti uanh mulanya ditakutkan pakar lingkungan. Alhamdulillah sebagian masyarakat sudah sadar pentingmya daur ulang dan sebagianasoh dengan pola lama.

    ReplyDelete
  15. Aku inget banget saan KKN dulu, tugasnya bikin program di bank sampah. Pengalaman menarik dan tak terlupakan, ikut kegiatan menimbang sampah, memilah sampah, sampai belajar sistem bank sampahnya. Dampaknya selain bisa dapat uang, bisa less waste juga, dan mengurangi pemulung wara-wiri.

    ReplyDelete
  16. Semoga banyak pihak yang membuat dan mengorganize bank sampah ini, karena produksi sampah juga meningkat dari tingkat konsumerisme masyarakat yang tinggi.

    Semoga proses penulisan bukunya berjalan lancar dan mampu menjadi inspirasi bagi yang lain, membuat bank sampah

    ReplyDelete
  17. Sampah, satu hal yang biasa dibuang dan dihindari ternyata bisa membawa untung besar. Semoga banyak yg bisa ikut program bank sampah ini ya

    ReplyDelete
  18. Keren Ambu kegiatan bank sampah, jempol. Ternyata ada aja ya orang yang mau mengambil untung dengan menggunakan kemasan baru (bukan limbah) utk dijual berupa produk.

    ReplyDelete
  19. keren mba mau berkecimpung dalam masalah sampah di Indonesia, we need more people like you! semoga berkah dan makin berkembang mbaa

    ReplyDelete
  20. Sangat menarik memang jika mengulas tentang Bank Sampah ini. Dulu juga pas kuliah sudah mulai membiasakan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik agar mudah diolah kemudian. Semoga solusi terbaik tentang sampah ini segera diaplikasikan disetiap daerah.

    ReplyDelete
  21. Di lingkungan baru aku belum nemu Bank Sampah nih. Kalau pas di Jakarta tahu tempatnya. Sampah yang bisa diolah suka aku kirim kesana juga. Semoga makin banyak Bank Sampah juga ya

    ReplyDelete
  22. Waah baru tahu Ambu aktivis Bank Sampah. Keren!

    Dan baru tahu juga soal para pegiat lingkungan harus keras yang menolak bank sampah. Reasonable sih tapi kayaknya saat ini Bank Sampah masih sangat efektif membantu pengelolaan sampah ya.

    ReplyDelete
  23. Saya kurang konsisten ini untuk pilah sampah. Padahal dulu sempat dimulai di tahun 2016 lalu mandeg karena kurang support. Bank sampah ini memang butuh keteguhan hati untuk ikhlas ya mbak karena hasilnya baru terlihat di masa depan

    ReplyDelete