Kabut Peradaban dan 3 Tips Berkomunikasi dengan Generasi Z

 

Kabut Peradaban dan 3 Tips Berkomunikasi Dengan Generasi Z

 

 Walau masih menjadi perdebatan, yang dimaksud generasi Z adalah mereka yang lahir  dalam rentang tahun 1995-2010. Dikutip dari businessinsider.com, generasi Z memiliki sifat alami:  independen, bebas, keras kepala, pragmatis, dan terburu-buru.

Generasi Z sangat akrab dengan dunia digital dan internet. Mereka mungkin bakal “sakaw” apabila kehilangan keduanya. Para akademisi menyebut generasi ini “mutan”, karena sangat jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, dari segi moral, etika, dan pola pikirnya.

Melalui penjelasan “kabut peradaban”, mungkin kita bisa memahami mereka.

Kabut peradaban merupakan analogi dari ketidak tahuan manusia akan proses suatu barang yang digunakannya.

Sederhananya begini. Jika ada yang bertanya pada saya, “Darimana asal telur yang kini berada di atas meja dapur? Maka saya akan menjawab bahwa telur-telur tesebut berasal dari peternak di Kota Sukabumi.

Andai pertanyaan sama ditujukan pada generasi Y, generasi sebelum generasi Z, mereka akan menjawab bahwa telur-telur tersebut dibeli dari supermarket.

Ah, bakal sungguh menarik jawaban generasi Z. Kemungkinan besar mereka akan menjawab dari aplikasi yang berada di gadgetnya. Karena cukup dengan sentuhan jemari, mereka bisa memesan telur, membayarnya, dan tak lama kemudian driver transportasi  online akan mengantar telur pesanan hingga depan pintu rumah.

Nah lho.🤣🤣

Kabut Peradaban (sumber; YPBB Bandung)

Penjelasan gambar:

Gambar 1 : Manusia primitif, atau yang disebut para ahli sebagai abad kegelapan, manusia mengambil sendiri sumber makanannya langsung dari alam.

Gambar 2: Seiring bertambahnya kecerdasan, manusia mulai mengembangkan cara bercocok tanam untuk memenuhi pangan mereka.

Gambar 3: Bertambahnya jumlah manusia membuat kebutuhan akan pangan meningkat pula. Terjadi perubahan dalam pemenuhan kebutuhan. Manusia menciptakan pasar sebagai tempat menampung hasil alam dan hasil bercocok tanam. Manusia mulai mengenal niaga dengan cara barter barang.

Gambar 4: Zaman modern mengganti barter dengan alat tukar yang beradaptasi sesuai era. Industri-industri bermunculan untuk mengolah hasil pertanian serta kebutuhan manusia lainnya, agar tahan lama dan mudah didistribusikan ke pasar modern/pasar tradisional, sebelum sampai ke tangan konsumen.

Pengalaman Bekerja Sama Dengan Generasi Z

Kebetulan beberapa kali saya berkesempatan bekerja sama dengan mereka. Salah satunya sewaktu tahun 2017 harus mengerjakan aplikasi peta persampahan Kota Bandung yang didanai  Ford Foundation.

Kota Bandung emang khas banget.

Saat kota lain menggunakan dana hibah untuk program lingkungan dengan topik penghijauan, transportasi, dan lainnya. Kota Bandung hampir dipastikan selalu menggunakannya untuk proyek persampahan. Mimpi besarnya sih, kelak Kota Bandung menjadi pilot project pengelolaan sampah di Indonesia.

Salah satu hasil karya urang Bandung adalah:  “diet kantong plastik” yang pasti sudah dirasa manfaatnya di seantero Nusantara. Tidak hanya pemerintah kota/kabupaten yang menerapkan larangan kantong plastik, anggota masyarakat juga sudah banyak yang tidak menggunakan kantong plastik sekali pakai.

Dalam pengerjaan aplikasi peta persampahan Kota Bandung, ada 2 tugas yang harus dilakukan. Team pertama membuat aplikasinya. Dalam pembuatan aplikasi, pihak pendonor mewajibkan aplikasi buatan anak negeri.

Team kedua adalah team surveyor. Nah, saya bersama teman-teman generasi Z masuk ke dalam team surveyor. Ya iyalah, saya nggak mungkin masuk team start up. Saya nggak paham coding.  Lihat huruf-huruf berhamburan, langsung pening deh.😢😢

Tugas surveyor sebenarnya gampang banget. Cuma mendatangi lokasi yang telah ditentukan, kemudian memasukkan hasil temuan sesuai titik ordinat ke dalam aplikasi. Hasil temuan berupa data gambar, kategori pengelola sampah, pemilik dan lainnya,  dijabarkan secara mendetail  ke dalam tulisan di blog. Link tulisan dishare/dikampanyekan di media sosial.

Saat pertemuan/pelatihan pertama saya merasa bersyukur tidak bertugas sebagai ketua team pelaksana. Bikin mendadak darting! Kan sudah jelas, sejak awal calon peserta harus mengisi G- Form dengan nama blog, nama media sosial dan lainnya. Nyatanya ada yang hanya punya Instagram, nggak punya twitter dan facebook. Ada yang punya akun media sosial dengan lengkap, tapi gak punya blog. Padahal mereka hasil sortiran dari ribuan pendaftar lho.

Kisah pilu belum berakhir. Banyak anggota team yang berasal dari generasi Z berjatuhan sebelum mencapai finish. Beragam alasannya. Ada yang harus pindah kost. Ada yang sedang ikut ujian, dan lain sebagainya.

Alasan yang bikin bingung.  Bukankah sebelum memulai tugas, setiap peserta harus menandatangi kontrak? Isinya kurang lebih mengenai kesanggupan menyelesaikan tugas selama sekian waktu dengan “do dan don’t” yang disepakati bersama.

Sepintas nampaknya kelompok generasi Z ini menyepelekan dan tidak bertanggung jawab. Namun jika mau ditelisik lebih dalam, ketua team/pengawas melupakan bahwa harusnya ada pendekatan berbeda antara generasi Z dengan generasi sebelumnya.

Paling tidak 3 cara berkomunikasi ini harus diterapkan pada anggota yang termasuk generasi Z.

3 Tips Berkomunikasi Dengan Generasi Z

1. Ajak Generasi Z Menembus Kabut Peradaban

Akibat kabut peradaban, generasi Z merasa gelisah. Mereka tahu, sekaligus tidak tahu karena sudah berjarak terlalu jauh dari alam.

Sehingga ketika misalnya, mereka membaca hasil penelitian Jenna Jambeck (seorang profesor teknik lingkungan dari University of Georgia, AS) yang menyatakan Indonesia sebagai negara terbesar kedua penyumbang sampah ke laut, atau  sekitar 187,2 juta ton, mereka merasa galau.

Mereka ingin membuat solusi melalui aplikasi yang telah diakrabinya. Tetapi nggak tahu harus mulai dari mana? Tak heran banyak aplikasi yang “nabrak-nabrak”.

Salah satunya aplikasi bank sampah yang dianggap sebagai solusi mengumpulkan sampah plastik. Saat mereka mendatangi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan di perkotaan, mereka kecewa: Datanya nggak lengkap! Banyak bank sampah yang sudah tidak beroperasi.

Andai mereka menyadari  suatu fakta penting: 

“setiap barang yang digunakan manusia berasal dari alam dan akan berakhir di alam”

Fakta lainnya:

 “mikroorganisme akan mengurai semua sampah sehingga bisa kembali ke alam, kecuali sampah yang berasal dari penambangan (termasuk plastik)”

Maka dengan mudah mereka akan menemukan bahwa bank sampah bukan solusi satu-satunya.

2. Memberi Generasi Z “The Big Picture”

“The big picture is look at the situation as a whole, considering the main facts and implications”

Sebelum memulai pengerjaan proyek pemetaan titik persampahan di Kota Bandung, mungkin mereka merasa excited. Semangat mereka luruh saat mendatangi lokasi demi lokasi.

Seperti diketahui, untuk mendapatkan data, surveyor harus melakukan wawancara sesuai budaya setempat (Kota Bandung). Sementara teman-teman generasi Z ini mayoritas mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di luar Kota Bandung,  bahkan luar Pulau Jawa.

Yang harus dilakukan adalah memberi mereka situasi persampahan Kota Bandung secara keseluruhan. Duduk permasalahan dan terobosan-terobosan yang hendak/bisa dilakukan. Serta kontribusi mereka dalam memberi manfaat bagi Kota Bandung.

Dengan demikian mereka bisa menemukan cara yang pas dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan.

3. Generasi Z Menyukai Kolaborasi, Bukan Kompetisi

Menurut penelitian, 88 persen generasi Z menyukai  budaya kolaborasi daripada yang kompetitif.

Berbanding terbalik dengan generasi sebelumnya yang cenderung mendorong anggota team agar saling berkompetisi. Terlihat dari pemberian hadiah/penghargaan bagi anggota yang “ter”.  

Kolaborasi memungkinkan hasil yang sempurna bagi generasi Z. Dengan melepas keharusan membuat blog, bisa saja mereka menemukan cara yang lebih mudah mengkampanyekan  hasil lapangan. Misal si A membuat video, si B membuat Instagram berkolase dan seterusnya.

Kolaborasi antar anggota team bisa membuat proyek sukses melebihi ekspektasi.  Karena kolaborasi menumbuhkan komunikasi yang berdampak:

  • Merangsang aliran ide dari anggota
  • Anggota team akan lebih memahami satu sama lain dan berkontribusi lebih banyak
  • Solusi akan lebih cepat ditemukan sehingga lebih banyak masalah dipecahkan bersama.
  • Komunikasi menghancurkan penghalang
  • Komunikasi meningkatkan kepuasan kerja

Generasi Z merupakan pencipta perusahaan. Untuk mewujudkannya, mereka percaya kesuksesan berasal dari jejaring ketimbang kemampuan diri. Mereka cenderung menyukai  tempat kerja yang tanpa hierarki. Batasan-batasan yang diberikan pimpinan proyek peta pengelolaan sampah membuat mereka terpaksa mengerjakan hal yang tidak disukai.

Padahal sebagai anggota masyarakat, generasi Z juga merasa tertekan dengan masalah ekonomi dan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya. Mereka ingin mengubah menjadi lebih baik. Tentunya sesuai dengan cara pandang mereka.

 

 

 

12 comments

  1. Tipsnya mantab betul, Ambuu
    Memang dibutuhkan pendekatan yg baik dan asik untuk Gen Z ini ya.
    Siappp praktikkan!

    ReplyDelete
  2. Beda generasi beda pola pikir dan perilakunya. Dari sisi energi mereka kelebihan sayangnya semangat gak dibarengi dg perencanaan. Sabar mba

    ReplyDelete
  3. Masalah diet kantong plastik di kota bandung mungkin baru di pusat kota saja ya. Sayangnya di daerah2 bandung pinggir masih belum melek sama diet ini. Karena saya termasuk yg tinggal di wilayah bandung pinggir.

    ReplyDelete
  4. Tentunya menjadi pengalaman tak terlupakan ya bekerja sama dengan Gen Z. Sebelum ttd kontrak semestinya mrk sdh lolos seluruh persyaratan admin kmdn lanjut memiliki komitmen kuat terkait proyek yang dikerjakan.

    ReplyDelete
  5. Saya dan adik bungsu saya usianya terpaut lumayan jauh, Ambu. Saya masih masuk generasi Y sedang adik saya generasi Z. Saya akui generasi Z itu memang sedikit ajaib ya,hehe. Kalau saya merasa mereka generasi instan. Mungkin karena kemudahan teknologi yang didapat di zaman mereka. Tetapi, semoga tidak menyurutkan daya juang mereka, karena apa-apa bisa didapat dengan mudah dan praktis,hehe

    ReplyDelete
  6. Hufftt, generation gap memang rentan menimbulkan friksi ya Ambu.
    Tips yg Ambu sampaikan sangat relatable dan bisa diterapkan nih

    ReplyDelete
  7. Benar sekali mbak, generasi Z lebih suka kolaborasi..
    Makanya kolaborasi menjadi salah satu kecerdasan di masa depan yg harus dumiliki

    ReplyDelete
  8. Banyak hal positif yg dimiliki generasi z seperti kreativitas dan kolaborasi. Ini membuat mereka lbh menikmati hidup dibanding generasi sebelumnya..

    ReplyDelete
  9. pendekatan yang asik biasanya lebih cepat diserap sama generasi zaman now itu yah

    ReplyDelete
  10. Beda generasi tentulah beda juga sikap dan pemikirannya. Menurut pengamatanku genZ ini banyak yang ingin kerja instan. jadi saat berkomunikasi dan berkolaborasi dengan mereka emang mesti bener-bener sabar.

    ReplyDelete
  11. Wuih keren banget tulisannya, Ambu. Aku nih, walopun gak terlalu jauh bedanya dengan generasi Z, masih suka kesulitan lho berkomunikasi dengan mereka. Kadang susah ditebak juga maunya gimana. Ari sayanya, suka gampang marah. Dan gak sabaran. Wkkwkw...

    ReplyDelete
  12. Iyes ada banyak gap dengan gen Z ini tapi beberapa pola pikirnya kalo bisa nyambung ngobrolnya ya ada yang out of the box tapi bisa diaplikasikan. Suka banget sama kenyataan yang seneng kolaborasi dan bukan kompetisi, bisa sejalan dengan maksud teamwork. Meski sering ajaib juga pemikirannya 🤣 mau ah cobain tipsnya! mana ini WFH.. challenging banget jadi perlu banget tips ini. Tq mbak

    ReplyDelete