Buzzer Positif, Mengisi
Kemerdekaan Dengan Konten Bermanfaat
“Saya selalu merasa seram saat mendekati Pilkada, “ kata Kang Maman Suherman, penulis yang juga mantan pemimpin redaksi di Kompas Gramedia Grup.
Ucapan senada diungkap Romo Benny
Susetyo, sosok pluralis di acara “Titik Pandang” yang disiarkan Kompas TV
(8/9/2020). Keduanya menyoroti berita hoaks dan ujaran kebencian yang kerap memanaskan suhu pilkada.
Bedanya Romo Benny menekankan
pentingnya persatuan yang tercantum dalam sila ke-3 Pancasila sebagai pemersatu
bangsa. Sedangkan Kang Maman mengingatkan tentang peran setiap warga agar
mengisi kemerdekaan dengan konten positif di media sosial.
Buzzer, merupakan kelompok masyarakat yang kerap
dituduh sebagai biang kerok. Mereka kerap mengadu domba, sehingga
perbedaan semakin melebar dan memicu kata-kata kasar.
Siapakah “buzzer”?
Kok terdengar nyeremin?
Lebih seram dibanding Yakuza di Jepang dan Mafia Italia. Mereka mampu memecah
belah bangsa gitu lho, hebat bener!
Menurut pengamat media sosial,
Enda Nasution, buzzer merupakan
akun-akun di media sosial yang tidak mempunyai reputasi untuk dipertaruhkan
(Kompas.com).
Lebih lanjut Enda menjelaskan
bahwa buzzer adalah kelompok orang yang tidak jelas siapa identitasnya, lalu
kemudian biasanya memiliki motif ideologis atau motif ekonomi di belakangnya,
dan kemudian menyebarkan informasi.
“Mereka melakukannya karena tidak
ada konsekuensi hukum juga menurut saya, ketika ada orang yg mau mem-bully
atau menyerang atau dianggap melanggar hukum, dia tinggal tutup aja akunnya
atau menghapus akunnya atau dibiarkan saja hingga tidak aktif lagi,"
lanjut Enda.
“Sedangkan bila ada yang memiliki
nama serta latar belakang jelas, akan disebut influencer, contohnya Denny
Siregar, atau selebritis atau profesi lainnya yang punya follower besar
dan punya sikap atau preferensi untuk mendukung sesuatu atau tidak mendukung
sesuatu” kata Enda melengkapi penjelasannya mengenai buzzer.
Pertanyaanya: “Apa nama kelompok
yang bersuara positif namun nggak punya followers yang besar?”
Nah, di sini letak blunder
penjelasan Enda Nasution. Netizen di Indonesia nggak semua bersuara negatif
hingga disebut buzzer. Banyak yang followersnya cuma ratusan dan kerap “berdengung”
melalui media sosial mereka.
![]() |
sumber: freepik.com |
Beda Netizen, Influencer dan Buzzer
Menurut detik.com,
pengguna internet mencapai 175, 2 juta dari 272, 1 juta populasi atau sekitar
64 persen. Mereka berusia 16 sampai 64 tahun. Masing-masing memiliki perangkat mobile
phone (96%), smartphone (94 %), non-smartphone mobile phone (21%), laptop atau
komputer desktop (66%), table (23%), konsol game (16%), dan virtual reality
device (5,1%).
Data yang sama juga menyebutkan 160
juta pengguna aktif media sosial (medsos). Yang paling teratas adalah YouTube,
WhatsApp, Facebook, Instagram, Twitter, Line, FB Messenger, LinkedIn,
Pinterest, We Chat, Snapchat, Skype, Tik Tok, Tumblr, Reddit, Sina Weibo.
Para pengguna internet inilah yang
layak disebut netizen atau warga yang menggunakan internet, baik yang
bersuara melalui aksi memosting konten, menyuarakan like dan comment.
Atau sekedar membaca tulisan di Kompasiana dan menonton tayangan YouTube.
Salah satu pelopor internet,
Hauben dalam tulisannya, The Net and Netizens: The Impact the Net Has on
People’s Lives mengatakan:
“Anda adalah Netizen (seorang penduduk Net) dan anda hadir sebagai warga di dunia ini, karena konektifitas global yang bisa diwujudkan oleh Net. Anda memandang semua orang sebagai warga senegara anda. Secara fisik mungkin anda sedang hidup di satu negara, tapi anda sedang berhubungan dengan sebagian besar dunia melalui jaringan komputer global. Secara virtual, anda hidup bersebelahan dengan setiap Netizen di seluruh dunia. Perpisahan secara geografis sekarang diganti dengan keberadaan di dunia virtual yang sama.”
Sepakat ya? Seorang netizen bisa jadi adalah ABG labil yang kerap menyuarakan kebencian. Bisa pula seorang ibu rumah tangga santun yang dengan khidmat mendengar tausiah ustaz Aam Amirudin melalui channel YouTube, fanspage Facebook atau podcast di Spotify. Sedangkan merunut dictionary.com:
buzzer berarti seseorang/benda yang berdengung.
Apakah bunyi dengung itu salah?
Atau orang – orang yang berdengung pasti bersalah? Nggak kan?
Darimana penghakiman tersebut
berasal? Apakah penyebabnya sekelompok orang yang berdengung negatif?
Menyuarakan kebencian yang berpotensi memecah belah bangsa.
Bagaimana dengan kelompok lain
yang juga berdengung positif? Para aktivis lingkungan misalnya, mereka
berdengung, menyuarakan kepedulian di facebook, di instagram dan Twitter.
Apakah mereka ditahbiskan sebagai influencer
atau key opinion leader (KOL) karena
peran mereka yang mampu mempengaruhi orang lain? Tapi kok jumlah follower-nya
hanya sedikit? Sementara Enda Nasution mensyaratkan ribuan follower, selain memiliki
nama dan status jelas.
Sangat banyak, warga internet yang
berdengung positif. Mereka memperbincangkan banyak hal. Mereka juga yang
menjadi rambu bagi buzzer yang berujar kebencian dan diluar norma.
Karena itu, saya cenderung membagi menjadi 2, yaitu buzzer
negatif, kelompok netizen yang gemar menyuarakan kebencian. Mereka kerap
berlaku brutal, tak segan merisak dan
melukai orang yang dianggapnya berseberangan. Contohnya kasus Ninoy
Karundeng.
Sedangkan yang kedua adalah buzzer
positif atau kelompok netizen yang menyuakan hal positif seperti mendorong
pemerintah menaikkan harga rokok, mengimbau orang tua agar menghindari
terjadinya stunting pada anak, dan sebagainya.
![]() |
sumber: freepik.com |
Jadi Buzzer Positif Untuk Mengisi Kemerdekaan
Setiap netzen berpotensi menjadi
buzzer positif yang membagikan konten bermanfaat, atau minimal tidak membagikan
konten negatif yang bisa mengadu domba dan membuat ricuh.
Pada webinar “Mengisi Kemerdekaan
Dengan Konten Positif” yang diselenggarakan Kementerian Perlindungan Perempuan
dan Anak Indonesia pada 14 Agustus 2020,
Kang Maman Suherman dan narasumber lain:
Ani Berta dan Amy Kamila mengajak
segenap netizen untuk membuat konten positif dalam rangka mengisi kemerdekaan
RI.
Yuk, kita simak perbincangannya.
Saya sesuaikan dengan opini saya yang berkelindan.
Amy Kamila:
“Bagaimana mengubah ide menjadi
konten positif ?” tanya Amy Kamila.
Pilih konten keren atau konten
viral?
Ah, saya teringat konten sensitif
yang dibagikan seorang warga twitter, yaitu video seorang dokter perempuan, berusia setengah
baya yang telanjang bulat. Dalam keterangannya tertulis, dokter ini mengalami
gangguan jiwa setelah anak dan suaminya meninggal terkena Covid 19.
Konten tersebut viral!
Namun bukan viral karena sambutan
hangat, melainkan hujatan. Warga net lainnya mempertanyakan norma dan empati
yang dimiliki pemosting.“Gimana kalo ibu/istri/saudara perempuan kamu yang mengalami
gangguan mental?”
Kabar terakhir, si pemosting
dipanggil yang berwajib. Nah, lho.
Andai dia mau jadi buzzer positif,
pastinya nggak akan setega itu. Berharap kontennya viral, eh malah dimarahi
netizen lain dan diciduk polisi.
Mungkin ini yang dimaksud konten
viral yang nggak keren seperti kata Amy Kamila yang menjelaskan:
Good contents are inspiring audience
Konten keren adalah konten yang
bermakna dan menginspirasi untuk berperilaku positif
Lebih jauh Ami menerangkan bahwa berawal
dari ide, pembuat konten harus memiliki alasan yang bermakna (inspiratif,
bermanfaat, informatif atau aktual), jangan asal mau viral, karena konten merupakan
tanggung jawab pembuatnya.
Ide biasanya muncul karena ada
masalah/ ada gap antara teori dan
realita. Kemudian ide dikembangkan dengan meletakkan “rasa” didalamnya, dan
melakukan kroscek dengan norma agama,
konten perlindungan anak, norma bangsa, dan lainnya.
Ani Berta:
Pembicara kedua, Ani Berta,
memperjelas keberadaan konten yang menjadi corong informasi bagi pemerintah dan
warga.
Contoh kasus dokter/tenaga medis di
atas ternyata tidak terkait pandemi atau hoaks.
Daripada mengupload konten hoaks
mengenai dokter yang kebetulan bernasib malang, mengapa tidak membagikan kisah
tenaga medis yang menjadi garda depan
saat Pandemi Covid 19?
Seperti kejadian di Bandung, saat sekelompok
masyarakat yang peduli akan kesehatan tenaga medis menyiapkan ruangan
beristirahat di belakang katedral di Jalan Merdeka, Bandung. Selain fasilitas istirahat yang dibuat senyaman mungkin,
mereka juga bergotong royong menyediakan makanan/minuman bergizi. Harapannya,
para tenaga medis dapat “mengisi baterai” dengan maksimal.
Konten positif seperti inilah yang
seharusnya dibagikan ke media sosial, agar warga masyarakat lain tahu dan bisa
turut berpartisipasi. Pihak pemerintah juga jadi mengetahui lokasi rehat tenaga
medis, sehingga memudahkan pengiriman bantuan.
Kang Maman
Sebelum
menyuarakan konten positif, Kang Maman menyarankan untuk mengambil langkah
berikut:
- Perbanyak iqra (membaca). Contoh kasus, membaca mengenai tenaga medis yang kelelahan dan kekurangan APD.
- Lakukan riset. Bisa riset data atau lapangan. Terkait tenaga medis yang kelelahan , buzzer mendengar ada sekelompok masyarakat yang menyediakan tempat di belakang Katedral Bandung, kemudian mendatangi lokasi.
- Tentukan sudut pandang dengan melihat masalah secara keseluruhan. Agar tulisan bisa fokus dan pembaca bisa menangkap tujuannya.
- Konten harus reliable atau tingkat kesalahan mendekati nol. Jadi nggak boleh ngarang atau menduga-duga. Kesempatan mendatangi lokasi digunakan untuk wawancara dan memotret data lapangan.
- Tulislah, jangan sekedar angan/ide. Indonesia membutuhkan banyak penulis. Dengan sering menulis, pembuat konten akan memiliki alur pikiran yang terstruktur.
· Sip bukan? Menjadi warga net memang mudah, asalkan bisa mengoperasikan gadget dan terhubung internet. Namun, tidak semua pemegang gadget bisa menjadi buzzer positif yang bermanfaat bagi orang lain.
Saatnya memilih, mengisi
kemerdekaan dengan menjadi buzzer positif yang hidupnya insyaalllah berkah,
atau buzzer negatif yang harus bersiap diciduk pak polisi.
Keputusan ada di tangan Anda.
Maksud kita memang bagus, membagi buzzers menjadi buzzer postif dan buzzer negatif. Tetapi pada tahun ini, konotasi buzzer cenderung negatif, lantaran begitu banyaknya konten buzz negatif yang terekspos dibandingkan konten buzz positif yang terekspos. Makanya, saya sendiri sebagai seorang buzzer (yang selalu berusaha positif) memilih tidak lagi megidentifikasi diri sebagai buzzer. Supaya tidak sampai kena stigma.
ReplyDeleteMasyarakat awam masih banyak yang belum paham tentang industri media, terutama industri buzzer. Karena tidak paham inilah, mereka lebih sering mengkonotasikan buzzer sebagai pelaku konten negatif. Mungkin masih perlu waktu lebih lama untuk mengedukasi masyarakat awam bahwa buzzer itu juga banyak yang positif.
Wuah, benar-benar mengispirasi banget ya kan. Semakin banyak membaca dan memastikan konten yang kita buat itu tidak menyesatkan. Mau bagaimana pun bentuk tulisan itu. Beban moral menjadi tanggung jawab penulis.
ReplyDeleteTulisab ini jadi pengen langsung saya bintangin deh.
Setuju banget Mba!
ReplyDeleteSebarkan konten positif, bermanfaat, menyemangati.
Dan yang pasti minim hoaks yang malah bikin perdebatan panjang ga berujung plus bikin perpecahan pula.
Terlebih di masa-masa seperti sekarang ya.
Konten positif dan menyemangati itu penting banget :)
Dan biar kontennya bisa dipertanggung jawabkan, maka iqra is a must! :D
Wah ini bagus banget mba Maria. Krn banyak org mikir buzzer ya jelek. Jadi suka sedih sama buzzer2 positif ataupun sama teman2 yg hanya ingin menyuarakan hatinya trus disebut buzzer bayaran.
ReplyDeleteAku setuju dengan membuat konten yg baik supaya banyak yg teredukasi. Atau misal supaya orang yg baca jadi happy gitu. Bukan yg mengundang kebencian dan jari jemari komen ga jelas
Saking ramainya dunia "keributan via medsos" konotasi kata Buzzer lebih dikenal dari sisi negatifnya ya. Dan mereka juga yg lebih rame dan heboh ditanggapi oleh netizen. Apalagi mereka² ini, konon kabarnya, dapat fee yg menjanjikan
ReplyDeletePadahal banyak buzzer positif yg mampu menyuarakan hal² yg bermanfaat. Sayangnya perhatian publik tidak seheboh menanggapi buzzer negatif.
Bener banget, Buzzer selama ini selalu dikaitkan dengan hal negatif. di Kepala saya sendiri ketika mendengar kata Buzzer yang teringat langsung seputar politik, pemilu, dan ujaran kebencian haha. Tapi saya baru kepikiran kalau buzzer itu bisa saja membuat kontennya denganriset kalau dia serius dengan pekerjaannya. Insight yang menarik :)
ReplyDeletewah mantap bgt mbaaa. aku semakin paham apa bedanya buzzer dan influencer, yang jelas sih beda sama netizen biasa. menarik bgt bacaannya ini...
ReplyDeleteSetuju dengan komen Mbak Vicky di atas, saya pun tidak menyebut diri saya sebagai buzzer. Ya karena konotasinya sudah seperti itu, padahal tidak semua seperti itu. Tapi ya masyarakat mana peduli juga mau dijelaskan. Hihhi..
ReplyDeleteMenjadi Blogger juga secara tidak langsung sudah menjadi influencer jika kontennya banyak memengaruhi pola pikir pembaca Bu :)
ReplyDeleteOleh karena itu kita wajib belajar supaya bisa menjadi blogger yang dapat meng-influence dengan baik :)
Wah saya baru tau beda antara buzzer dengan influencer. Edukasi konten penting banget. Baru tau dech antara konten viral atau keren....sangat memikat edukasinya sebelum pilkada
ReplyDeleteKadang saya nggak habis pikir dengan kecepatan jempol netizen yang melebihi kecepatan cahaya. Apakah mereka sudah membaca baik-baik beritanya atau hanya membaca judul lalu berkomentar tanpa tedeng aling-aling. Padahal begitu dibaca baik-baik, judul dan isi berita nggak nyambung. Jadi harus lebih hati-hati saat membuat judul agar tidak menjebak pembaca.
ReplyDeleteBener banget tuh mbak.. Kemerdekaan memang perlu diisi dengan hal bermanfaat dan positif ☺
ReplyDeleteBuzzer bisa dikatakan “semenyeramkan itu” jika dipandang dari sisi negatif juga. Tapi malah sebaliknya jika kita memandangnya dr sisi positif. Menjadi buzzer yang positif tentu menjadi hal yang banyak orang sukai dan semoga bisa hilang dan jauh dr buzzer2 yg negatif
ReplyDeleteMenarik sekali bahasannya ambuu, saya sebel sendiri kalau liat buzzer yg negatif gtu. Huhu jd gak enak aja baca hal" negatif apalagi di masa pandemi skrng ini. Padahal masih banyak hal baik dan bermanfaat yg bsa dibagi drpada hal jelek yg menimbulkan perpecahan :"
ReplyDeletejadi ngerti nih beda netizen, buzzer, influencer. Setuju dengan Ambu yang suka membagikan konten positif, makasih.
ReplyDeletemenarik banget bun untuk tulisan perbedaan buzzer, influencer dan juga konten kreator ini yaaa, noted banget untuk jaman sekarang ini ya bun
ReplyDeleteSemoga makin banyak orang yang bijak dalam menyebarkan berita positif dan menyuarakan apa yang memang sehrusnya disuarakan (tentunya dalam ranah positif). Terima kasih mbak sharingnya sangat bermanfaat :)
ReplyDeleteBuzzer, influencer atau blogger kalo kita memberikan informasinya bener dan berkualitas insyallah netizen ga akan komen negatif sih. Kalo komen negatif sih sah2 aj namanya juga netizen ada hak bersuara
ReplyDeleteKalo pantengin trending topic di twitter kenapa ya jarang hal positif yang viral. Isinya ghibahan melulu :(
ReplyDeleteeh tapi ga boleh putus asa. terus sebarkan hal-hal baik.
Nah, jadi tahu perbedaan buzzer dan influencer. Mudah2an makin banyak netizen yang gemar mencipta serta menyebarkan konten-konten positif di media sosial ya.
ReplyDeleteYang maksudnya positif aja sesekali diterimanya negatif, apalagi kalau bener-bener dari awalnya negatif, apa kata dunia ya. Terima kasih untuk mengingatkan agar terus sharing hal-hal yang positif.
ReplyDeleteKayaknya sekarang orang pada nggak mau disebut buzzer. Padahal dulu santai aja. Itu karena ada pergeseran makna ya, Bu
ReplyDelete