Namaku Asep, Aku Pemulung

pemulung di Pusdai (dok. Maria G Soemitro)


Sebetulnya namaku Usep, hanya Usep yang kuingat. Karena setelah mengelana, meninggalkan kampung halaman, nama menjadi tidak penting buatku.

Tanpa kartu tanda penduduk , tanpa rumah tetap, tanpa pekerjaan menjanjikan, aku hanya sesosok mahluk hidup tanpa identitas.

‘Mang, jangan ngacak-ngacak sampah atuh”, gertak seorang ibu dengan suara garang. 

Kali berikutnya, ibu yang lain memanggilku: “Mang, dieu mang. Loba sampah plastik yeuh”. (Bhs. Sunda: Mang, kesini mang. Banyak sampah plastik nih)

Ya, aku memang pemulung, suatu profesi yang mengharuskanku mengaduk-aduk sampah untuk mencari barang yang yang bisa dijual ke pengepul.

Tapi namaku bukan ‘Mang’, juga bukan ‘Si Emang’, aku yakin namaku Usep, seperti sering diteriakkan emak ketika marah: ”Useppp ... !!!”,

Nah namaku Usep bukan? Karena ketika hatinya sedang senang , emak hanya memanggil “Sep, makan Sep”. atau “Sep, tulungan emak”. (Bhs. Sunda: tulungan = tolong). Dia melupakan ada huruf U di depan kata sep.

Sesudah emak meninggal, namaku makin pudar dalam ingatan banyak orang.

Aku bukan siapa-siapa di kampung, bukan orang kaya yang mampu menderum-derumkan sepeda motor barunya dengan keras ketika pulang kampung. Bukan pula orang yang mampu mendermakan uang cukup banyak bagi masjid dan kerabat. Mereka tahu, uang yang kubawa nyaris terlampau sedikit untuk anak istri.

Tapi itu dulu ketika aku masih menjadi kenek tukang bangunan dan terkadang pulang kampung. Seiring makin sedikitnya proyek bangunan, aku tersingkir. Tanpa keahlian.

sumber: detik.com

Anakku terkecil dibawa ibunya sedangkan si sulung bersamaku sekarang.
Kami tinggal dalam bedeng darurat di belakang sebuah perumahan.

Bersebelahan dengan saluran pembuangan air. Kata teman-temanku, kami aman. Ini tanah negara dan tibum (Satpol PP) enggan mengusir kami.

Teman-temankupun memanggil “Mang” atau “Kang”. Tak ada nama disini, kalaupun ada, apa bedanya? Kami tak mengenal KTP, tak mengenal kartu keluarga, apalagi kartu berobat untuk orang tak mampu. Bahkan si Darwin, anak sulungku berubah namanya menjadi “Ujang”, nama panggilan anak laki-laki Sunda.

Si Ujang, eh si Darwin akhirnya berprofesi sama denganku: memulung. Umurnya baru 12 tahun. Tapi aku tak mampu menyekolahkannya. Walaupun katanya sekolah gratis, tapi aku tidak punya uang untuk pernak pernik seragam dan buku.

Pasti mahal dan tak terbeli, katanya beratus-ratus ribu rupiah sedangkan penghasilanku dan si Darwin hanya Rp 30.000 per hari. Hanya cukup untuk makan dan minum air putih. Hampir tidak bersisa untuk berobat apalagi untuk biaya sekolah si Darwin. Si Darwin juga tidak punya akte lahir, KTP orang tua, padahal katanya orang harus punya itu kalau mau sekolah.

Mata Darwin kerap berbinar ketika di gundukan sampah menemukan apel atau potongan ayam goreng yang aku tahu berasal dari restoran bergambar orang bule, berpakaian kolonel berwarna merah. Kok kolonel berbaju merah ya? Tapi ah apa peduliku? Aku hanya bisa tersenyum melihat Darwin menggosokkan temuannya ke baju untuk menghilangkan kotoran yang menempel kemudian makan dengan lahap.

Hari ini Darwin tergolek sakit. Badannya panas. Aku sudah memberinya obat cacing kalung yang katanya mujarab. Harganya Rp 2.000 seplastik kecil. Ibu penjual mie instan rebus yang bercerita bahwa obat itu bisa mengobati semua sakit, mulai panas biasa hingga demam berdarah dan typhus.

Apakah penyakit anakku demam berdarah atau typhus? 
Entahlah, teman-temanku hanya mengatakan bahwa air hujan yang kerap membuat melimpahnya isi got di depan bedeng kami adalah penyebabnya. Selokan air itu biasanya penuh oleh sampah, sampah yang tidak bisa kami jual karena kebanyakan styrofoam dan keresek. Sedangkan lapak penerima hasil keringat kami tidak menerima keresek apalagi styrofoam.

Seorang teman yang baru memulung pernah ditertawakan ketika membawa hasil berupa styrofoam yang besar-besar. Mungkin dipikirnya laku dijual karena berwarna putih kinclong. Hingga kantung besarnya penuh. Ah ternyataaaaaa………, keciannya kamuh 🤣🤣

Senja hampir menutup matahari yang tersisa, hasilku memulung hari ini belumlah banyak. Penyebabnya, aku berangkat sesudah sinar matahari bersinar terik. Sesudah merawat si Darwin yang muntah-muntah.

Badan Darwin panas tapi dia menggigil kedinginan. Entah berapa lapis baju yang kupakai untuk menyelimutinya. Baju rombeng yang mulai berlubang, namun cukup hangat.

anak pemulung (dok. Maria G Soemitro)


Kurengkuh karung plastik berisi berbagai plastik dan kertas. Hanya sepertiga terisi. Mungkin karena semakin banyak orang memulung. Semakin banyak saingan.

Kuperkirakan hanya sepuluh ribu rupiah yang bisa kudapat hari ini. Ah, bisakah uang sepuluh ribu menyenangkan Darwin? Membelikannya bubur ayam kesukaannya dan obat cacing kalung lagi.

Semoga bisa, semoga cukup. Untuk perutku protes, yang belum diisi sejak dini hari tadi, cukuplah semangkuk mie instan.

Aku berbalik arah dan pulang.

Meninggalkan matahari tenggelam dibelakangku.



Catatan:
dari setoran Fiksiana Community Kompasiana 2015




20 comments

  1. Ambuuu.. hatiku tersayat sayat bacanyaaaa.. aku sendiri juga punya sahabat pemulung di seputar kelapa dua, Insya Allah semakin akan kurangkul mereka .. makasih ya ambu sentilannya

    ReplyDelete
  2. Aku sedih banget mbak bacanya. Inilah potret kemiskinan, tanpa identitas, otomatis tidak tercatat dalam program kesejahteraan pemerintah. Usia anak sekolah juga gak bisa sekolah. Sedih banget.

    ReplyDelete
  3. Cerpen ya Mbk? Tapi merinding makan cacing hehe.... Semoga makin terasah nulis fiksinya Mbk. Idenya oke.

    ReplyDelete
  4. InsyaAllah uangnya cukup ya Darwin, semoga pemerintah kita lebih memperhatikan rakyatnya aamiinn

    ReplyDelete
  5. Ya ampun, Mbak. Mewek aku bacanya, semoga Tuhan selalu memberkahi orang-orang yang terus berjuang demi bertahan hidup tanpa berusaha melakukan hal buruk.

    ReplyDelete
  6. Kerasnya hidup yang masih dialami oleh sebagian dari kita.
    Semoga kepedulian pemerintah juga masyarakat makin membumi dan menyentuh lapisan terbawah.
    .
    Cerpen yang bagus, Mbak. Saya sangat menikmatinya:)

    ReplyDelete
  7. Ya Allah... hatiku perih membacanya. Linu... ternyata masih ada yang begini di negeri ini. Bagaimana cara kita membantunya menjadi warga negara agar haknya bisa dipenuhi oleh masyarakat. Ini yang pertama dan terutama dulu. Kemudian, semua akan menyusul bersamanya.
    Semoga ada yang membantu. Aamiin.

    ReplyDelete
  8. itulah kita harus bersyukur terhadap yang sudah kita punya, semoga darwin bisa sekolah dan memperbaiki taraf hidup orang tuanya. Amin

    ReplyDelete
  9. Ah, ibu yang ngasih botol plastik itu kayak aku. Suka manggil pemulung yang membuka tempat sampah depan rumah

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah, menyedihkan
      aku juga hatiku teriris bila melihat mereka
      kalau ngelihat mereka, biasanya kusholawatin, sama kusemangatin dalam hati

      Delete
  10. Huhuhuhu ... Sedih bacanya. Usep dan putranya sosok-sosok yang tangguh. Belum tentu aku sesabar itu berada di posisi mereka. Jadi, harus mendustakan nikmat mana lagi yang sudah diberikan Tuhan untuk kita, ya? Semoga Darwin punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Aamiin.

    ReplyDelete
  11. Satu kata untuk menggambarkan keadaan seperti ini, perih.
    Sering lihat begini di tv. Jadi gak tega.

    ReplyDelete
  12. Ya Allah.... aku mewek bacanya Ambu.
    Hidup memang sungguhlah keras yaaaa
    semoga selalu ada jalan keluar bagi pemulung dan keluarganya

    ReplyDelete
  13. Aku nangis bacanya Ambu dalem banget, nyata ada dalam kehidupan sehari-hari. Tapi kadang yang seperti mang Usep atau Darwin lebih menikmati hidup karena tak tersentuh teknologi. Iya juga ya sekolah gratis tapi seragam sama buku tulisnya kan enggak

    ReplyDelete
  14. Sedih banget sih mbuu...duh Indonesia masih banyak yang seperti ini .semoga allah luaskan rezeqinya aamiin

    ReplyDelete
  15. Kalo baca artikelnya ambu itu aku selalu khusyu karena penuturannya yang sederhana tapi ngena. Baca pemulung ini bikin aku banyak bersyukur..

    ReplyDelete
  16. Sedih bacanya Ambu. Tapi, ini realita di sekitar kita. Ada banyak sekali Usep dan Darwin yang begini. Entahlah, aku bingung. Belom bisa membantu apa pun untuk Usep-Usep dan Darwin-Darwin seperti ini. :(

    ReplyDelete
  17. Aduh, apakah ini kisah nyata ? Tapi di akhir tulisan ada mention fiksiana. Sementara fotonya asli dan menggambarkan. Membacanya membuatku bersyukur dengan apa yang ku miliki sekarang

    ReplyDelete
  18. Suka sama gaya tulisan Ambu. Foto pendukungnya bikin meringis karena mereka nyata dan ada di sekitar kita.

    ReplyDelete
  19. sedihhh... begitu kerasnya hidup

    ReplyDelete