"Micin" yang Disayang, "Micin" yang Dibully


 
sumber: mayafellernutrition.com

Ada yang tau asal usul nama micin alias MSG ?

Micin berasal dari kata Ve-Tsin, brand  monosodium glutamat (MSG)  yang pertama kali beredar di Indonesia.  Mirip kasus brand pasta gigi "Odol" , yang pertama kali menjejakkan produknya  di tanah air. Sayang, si odol  kini entah kemana jejaknya. Konsumen lebih mengenal  ‘Pepsodent’ sebagai ‘merk’ dan mengira ‘Odol’ adalah ‘jenis barang’nya.

Nampaknya si MSG yang masuk ke tatar Sunda bermerk Ve-Tsin. Urang Sunda yang kesulitan melafalkan huruf "V", memlesetkan Ve-Tsin menjadi mecin dan akhirnya dipermudah menjadi "micin"

Sungguh aya aya wae ☺☺      
                                                                  
Bagaimana dengan Jawa Tengah? Provinsi yang tak punya masalah dengan pengucapan huruf "V"?

Rupanya Brand yang beredar di Jawa Tengah bukan Ve - Tsin, melainkan Ayinomoto. Disingkat menjadi “moto” saja.  Jadi jika kamu kebetulan sedang di wilayah Jawa Tengah, dan mendengar ada yang mau membeli “moto”, sudah tahu kan yang dimaksud adalah si “micin”, bukan motor alias sepeda motor.  🤣🤣

Si Moto, si Micin atau si MSG sekarang sudah bertransformasi ke kaldu ayam/sapi bubuk. Sehingga para ibu rumah tangga merasa tidak bersalah lagi jika membubuhkan MSG pada masakan.

Rasa bersalah timbul karena kencang berhembus tuduhan bahwa si “micin” menyebabkan seorang anak menjadi bodoh. Tak heran muncul bullyan “kebanyakan micin”,  terhadap anak yang memiliki nilai akademis kurang bagus.

sumber: tokopedia.com

Asal Muasal “Micin” Jadi Tertuduh

Nampaknya, ada 2 penyebab yang menjadikan “micin” sebagai bulan-bulanan.  Yang pertama adalah keberadaan monosodium glutamat  sebagai produk pabrikan. Berbeda dengan gula penghasil rasa manis, garam penghasil rasa asin dan asam kandis penghasil rasa asam, yang dikenal sebagai bahan penyedap alami.

Konsumen MSG merasa emejing melihat serbuk putih yang menghasilkan rasa gurih. Rasa ke-5 dari 4 rasa yang telah dikenal lama, yaitu: manis, asin, pahit dan asam.

Kisah bermula  dari seorang profesor asal Tokyo Imperial University Jepang, Kikunae Ikeda yang selalu takjub dengan masakan istrinya. Kaldu Dashi sebagai bagian masakan Jepang, menurut Ikeda memiliki rasa yang unik, bukan asin, bukan asam, bukan asam, terlebih bukan pahit.

Dasar profesor ya? Serba mau tahu dan gandrung meneliti.  Ikeda berpendapat bahwa kombu/rumput laut kering sebagai bahan dasar kaldu dashi, harusnya bisa diekstrak menjadi bumbu penyedap masakan seperti gula dan garam. Agar para ibu ngga ribet  merebus  rumput laut dan ikan kering untuk mendapatkan kaldu yang gurih.

Pada tahun 1908, akhirnya Ikeda berhasil menemukan rumus monosodium glutamat, sebuah senyawa yang sebetulnya tak asing bagi manusia. Bahkan tubuh manusia menghasilkan senyawa ini.  Ikeda memperkenalkan temuannya sebagai bumbu penyedap rasa umami. Umami berasal dari kata umai yang berarti lezat.

Perusahaan pertama yang membeli hak paten Ikeda adalah Ajinomoto, yang tentu saja harus bekerja keras memasarkan produknya.

Walaupun  Ikeda bertujuan menemukan bumbu penyedap pada masakan yang tawar, bukan menambahkan pada masakan yang sudah memiliki rasa umami.  Namun perusahaan berpendapat lain,  semakin banyak yang membeli MSG,  bukankah akan menaikkan omzet perusahaan?

Jadi apakah konsumen akan menyampurkan  MSG pada masakan yang sudah sangat lezat/sangat gurih? Ya sabodo amat lah yaaaa .....

Terlebih banyak pedagang masakan /pemilik catering yang baru merasa masakannya mantap sesudah dibubuhi MSG.

sumber: thekitchen.com

Kecanduan “Micin” Akibat Salah Kaprah

Ditemukan Ikeda pada tahun 1908, “micin” menjadi bumbu penyedap paling  newbie dibanding si gula, si garam dan si asam. Ke-3 bumbu terakhir sudah menyatu dalam perkembangan zaman, sehingga penggunanya tak gagap, bahkan ketika berakulturasi dengan budaya yang baru datang.

Sangat berbeda dengan micin, yang memasuki pasar dengan klaim, “mampu menyelesaikan semua masalah masakan”. Tak heran, dengan semangat ‘hajar bleh” semua jenis masakan dibubuhi micin.
Berikut contohnya:

Urap, Pecel, Gado-gado dan Sejenisnya
Urap mendapat rasa umami dari kelapa, sedangkan pecel, gado-gado, ketoprak dan sejenisnya mendapat rasa gurih dari kacang. Terlebih jika mendapat campuran kecap manis, fermentasi kacang kedelai memberikan rasa gurih dan manis.

Telur Dadar
Telur dadar merupakan protein dengan rasa khas. Jangan rusak kesucian rasanya dengan membubuhkan “micin” yang bersembunyi dalam nama kaldu bubuk rasa ayam/sapi/jamur. Cukup beri bumbu lada, garam dan bawang daun pada kocokan telur.
Demikian pula dengan scrumble egg, omelette, serta olahan telur ala western food lainnya. 

Sambal
MSG pada sambal?
Omaygat, ga penting banget.  Sambal merupakan saus untuk hidangan utama yang umumnya protein dengan rasa gurih yang khas seperti ayam, ikan, tempe dan tahu. Menambahkan “micin” pada sambal membuat rasa masakan menjadi too much.

Jika ingin menambahkan rasa gurih pada sambal, bisa tambahkan terasi , ikan teri, ikan wader, ikan cumi. Atau justru diberi rasa lain dari sayuran seperti tomat,  jeruk limau, daun jeruk, dengan kata lain sambal merupakan saus yang bisa dikreasi dengan berbagai macam bahan. Jadi jangan rusak rasa sambal dengan MSG.

Masakan bersantan dan  kelapa parut
Contoh:  opor, gulai dan sambal goreng, sudah mendapat rasa gurih dari santan serta proteinnya, ayam/dagng sapi.

Santan  dan kelapa parut merupakan protein yang menghasilkan rasa gurih, seperti juga daging ayam serta daging sapi.

Jenis masakan lain yang tidak membutuhkan “micin” adalah masakan  berbahan baku kacang kacangan, seperti tempe, oncom dan tahu. Lainnya adalah European Food seperti perkedel, aneka sup dan pasta yang mendapat rasa umami dari susu, keju dan telur.

Jadi bagaimana seharusnya?

Kembali pada tujuan awal ditemukannya “micin”, yaitu agar para ibu rumah tangga tidak riweuh bin ribet ketika mau membuat kaldu gurih, sementara tak satupun protein ditemukan dalam lemari pendingin.

Jadi, mulailah percaya diri dan kembali ke khittah. Hanya menambahkan “micin” ketika membuat sup, soto dan mi bakso berkuah. Dan saat masakan tersebut tidak berprotein atau menggunakan protein dalam jumlah minim.

Jadi jika sudah membuat kaldu gurih yang lezat dari  daging sapi/ayam/seafood, mengapa harus menambahkan MSG atau micin?

sumber: tophealthjournal.com

“Micin” dan  Chinese Restaurant Syndrom (CRS)

Profesor lain, Dr. Ho Man Kwok rupanya berpandangan buruk mengenai bumbu penyedap ”micin” si produk pabrikan. Dia mengklaim mengalami sakit di leher belakang hingga ke lengan dan punggung, disertai lemas dan berdebar-debar, paska  makan di restoran Cina. (sumber)

Tak tanggung-tanggung, penyakit yang dinamakan Chinese Restaurant Syndrom (CRS) ini ditulis dalam New England Journal of Medicine, sebuah jurnal kesehatan. Kwok memperkuat dugaannya dengan memaparkan beberapa penelitian mengenai micin. Salah satunya merupakan penelitian Dr. John W. Olney dari Universitas Washington.

Olney menyuntikkan micin sebanyak 4 gram/kg berat tubuh tikus. Hasilnya tikus tumbuh lebih kerdil, gemuk, dan beberapa ada yang mandul.

Food and Drug Administration (FDA), semacam BPOMnya Amerika Serikat, memberi tanggapan dengan meminta   Federasi Masyarakat Amerika untuk Biologi Eksperimental, melihat dampak sebenarnya dari micin.

Hasilnya, beberapa kelompok yang mengonsumsi  3 gram micin tanpa makanan, menunjukkan respon buruk. Mirip percobaan pada tikus Olney dari Universitas Washington.

Respon buruk ditunjukkan mereka yang mengonsumsi micin dalam jumlah benyak. Padahal rata-rata orang hanya mengonsumsi 0,55 gram/hari, sebagai bumbu penyedap.

FDA akhirnya menetapkan micin/ MSG sebagai GRAS (Generally Recognised As Safe) alias bumbu penyedap yang aman dikonsumsi. Karena hasil dari beberapa penilitian tidak membuktikan tuduhan micin sebagai penyebab Chinese Restaurant Syndrom.

sumber: madeinchina.com

Benarkah Micin Penyebab Lemot (Lemah Otak)?

Dilansir dari hellosehat.com, dr.  Ivena menulis bahwa
Kandungan asam glutamat dalam micin membuat sel-sel saraf otak lebih aktif sehingga menciptakan sensasi gurih nikmat saat makan yang bikin ketagihan. (sumber)

 Selanjutnya Ivena menjelaskan mengenai micin yang diduga menyebabkan  “lemot” atau menurunnya kemampuan otak untuk berpikir logis, mengambil keputusan, mengingat, menyelesaikan masalah, dan menjaga konsentrasi.

Otak manusia memiliki  banyak saraf reseptor yang bertugas menerima rangsangan. Letaknya di bagian otak bernama hipotalamus. Adanya glutamat direspon secara khusus  responsif oleh reseptor. Semakin banyak manusia mengonsumsi micin, reseptor akan terangsang bekerja semakin aktif.

Bila terjadi terus-menerus, aktivitas reseptor otak yang berlebihan dapat menyebabkan kematian neuron. Neuron adalah sel-sel saraf yang berperan sangat penting untuk menjalankan fungsi kognitif otak. Kematian neuron akan menyebabka fungsi kognitif otak menurun alias ‘lemot’.

Namun, “lemot” setelah makan tidak selalu disebabkan masakan bermicin. Akibat kekenyangan (terlepas makan masakan bermicin atau tidak) kerap membuat seseorang menjadi mengantuk dan sulit fokus.

Apa solusinya?

Dr. Ivena menyarankan untuk mengurangi atau bahkan sama sekali tidak menggunakan micin, dan menggantinya dengan bumbu penyedap alami seperti bawang putih, bawang merah, lada, merica, cabe segar, daun jeruk, kunyit, dan sebagainya. 

Serta membatasi makanan cepat saji dan makanan kemasan, karena kedua jenis makanan ini sudah mendapat campuran micin dan bahan pengawet.

Setuju banget ya?

14 comments

  1. Yess setujuu.. tapi jujur saya masih sulit ehehe.. soalnya kadang terjebak milih pesan online gitu. Tapi semangat nih besok mau lebih samngat mencoba mengurangi micin dan pengawet

    ReplyDelete
  2. Waduhh saya micin mania kayaknyaaa huhu
    Iya juga ya, salah kaprah tp udah jd kebiasaan dilakukan dan nyaman di lidah haha

    ReplyDelete
  3. Setuju banget, Ambu! Tapi terkadang, ketika waktu yang mepet ku jadi nekad ambil jalan pintas alias shortcut, micin ber-initial R pun jadi andalan. Haha.

    Btw, dapat insight berharga ttg asal muasal micin, nih, dari artikel Ambu. Haturnuhun pisan, Ambu. Suka deh gaya menulisnya! Keren!

    ReplyDelete
  4. Mecin yang tertuduh...kasihan juga :( benar, kita ini salah kaprah. Segala masakan dikasih mecin, padahal bahan lain juga sudah menyumbangkan rasa gurih alami. Nggak semua harus ditambah mecin..

    ReplyDelete
  5. Saya biasa makan di luar, kayaknya warung-warung pake mecin Bun... Saya jd biasa makan pake mecin, tp kalau di ciki, saya nggak sanggup sama mecinnya kalau kebanyakan.

    ReplyDelete
  6. Saya waktu kecil sering makan dengan micinnya, mama saya pecinta micin hihihi.
    Tapi sejak 10 tahun lalu, pertama kalinya hamil, sampai hari ini, udah nggak ada lagi micin di rumah :D

    Masih sering sih makan makanan micin, tapi kalau masak sendiri nggak pernah pakai micin, hanya berbekalkan baput, merica atau keju aja.
    Atau pakai kaldu udang, anak-anak saya suka :D

    ReplyDelete
  7. Ah setujuuu banget, Ambuuu
    Aku bukan profesor atau peneliti ilmiah sih yaa.
    Tapi menurutku, setiap aku selesai makan BAKSO atau MIE PANGSIT di warung, dan so pasti buanyaaakk micin yg dituangkan... daku merasa badanku malah lunglai, otak susah diajak kompromi gitu deh :)) Bawaannya mualesss bin ngantuk :)

    ReplyDelete
  8. Huhu, aku masih pake bumbu kaldu penyedap nih untuk tiap masakan. Padahal itu sama juga dengan micin ya Ambu. Kudu mulai dikurangi banget deh ih

    ReplyDelete
  9. iya lho, jaman kecil saya dulu kenalnya penyedap masakan itu namanya moto, karena saya tinggal di Jawa Tengah.

    Jadi ternyata, nggak semua masakan itu perlu micin ya, kalau sudah mengandung protein nggak perlu

    ReplyDelete
  10. Owalah aku baru tau malahan... Ve-Tsin�� aku di rumah gak pake micin, pakenya masako.. hehe sama aja gak ya?

    ReplyDelete
  11. nggak tau ya saya malah jarang masak dengan micin. Paling kenceng bumbu kaldu sapi atau bumbu kaldu ayam. Baru baru ini saya pakai micin kalau kedua bumbu kaldu itu nggak ada semua. Tujuannya pun hanya sebagai penguat rasa saja. Tentu garam, gula, lada bubuk itu bumbu penting belum lagi buat masakan yang butuh ketumbar, kemiri, kunyit.

    ReplyDelete
  12. Hai mba... Kebetulan sy bukan pemakai produk permicinan 😁, tpi sy ga anti siih, hanya sj jrg pake, kebiasaan sy kl masakam itu biar gurih ya gula dan garam sebagai penajam rasa, apalgi kalo masakannya emng bahan"nya udh pas rasanya sprti kacang, santan, sambelan, kyknya emng ga perlu lgi dimicinin,,, kl mau gurih biasanya sy pke ebi, terasi atau kecap ..udh manteb banget.. Apalgi kalo bumbu"nya udh lengkap.... Kasian juga ya nasib si micin 😆.

    ReplyDelete
  13. Aku prnh ngerasain sambel yg dipakein micin. Rasanya malah jd aneeeh :p. Ada gurih2nya, sementara sambel itu hrsnya pedes, sedikit manis tp seger kalo dijadiin cocolan lalap kan :D.naah setelah tambah micin, malah jd eneg :p.

    Memang sih, micin itu sebaiknya dipake utk menu tertentu. Bukannya malah semua masakan :D.

    ReplyDelete
  14. Setuju banget, Ambu, kalau sebaiknya penggunaan micin harus dikurangi atau kalau bisa gak pake micin sama sekali. Tapi sepertinya sulit, udah kebiasaan masak pake micin. Kalau gak pake micin gak enak gitu. Sebenarnya masak dengan menggunakan micin yang murni micin gitu jarang, pakenya micin dengan kedok baru: kaldu bubuk. Bahkan saus tiram yang biasa aku pake masak juga mengandung MSG.😱

    ReplyDelete