sumber: ptequityworldfuturesnews.blogspot.com |
Sesosok
tubuh tinggi agak gemuk membuatku heran. Berbaju merah pudar, sosok tersebut
sedang membantu mang Endang, tukang sayur kompleks perumahan, menata sayuran di keranjang plastik. Bukankah
dia Mang Dadeng yang pernah pamitan akan membuka kios daging di pasar? Kok
sekarang malah turun pangkat?
“Ada
jurig di pasar, neng. Setiap hari uang saya hilang seratus ribu , pernah lima
ratus ribu. Lama-lama jadi tekor”, jawab Mang Dadeng dengan lesu.
Jurig
(setan)? Bagaimana mungkin ada setan bergentayangan di pasar tradisional pada
siang hari bolong? Alih-alih tertawa, wajah
serius penuh kesedihan Mang Dadeng membuat saya berpikir keras, mencari tahu
penyebabnya. Kemungkinan terbesar adalah mang Dadeng sering salah menghitung
transaksi sehingga mengembalikan uang terlalu banyak pada pembeli.
Sangat
sering saya temui penjual salah menghitung uang kembalian. Suatu kali pernah
terjadi seorang penjual memberi saya uang Rp 48.000, padahal seharusnya hanya
Rp 2.000. Ketika diingatkan, dia
berulangkali mengucap istighfar, wajahnya nampak pias kebingungan. Waktu kerja
seorang pemilik kios di pasar nyaris 12 jam per hari. Stamina kurang prima
mengakibatkan kerap melakukan kesalahan. Tugas yang diembannya sangat banyak,
mulai dari membeli stok barang, menatanya, menghitung harga eceran yang
kompetitif dan tentunya bertransaksi dengan pembeli. Pembeli yang mengantri
memaksa penjual menghitung jumlah dengan
cepat, menerima uang pembayaran dan mengembalikan sisanya, bisa dimaklumi jika
terjadi kesalahan.
Transaksi
non tunai menjadi salah satu solusi bagi pedagang di pasar tradisional. Jeda
waktu memasukkan kartu dan mengetik
jumlah transaksi memungkinkan dia menyadari jika ada kesalahan hitung. Awalnya
terbata-bata, tapi seiring waktu dia akan terbiasa menggunakan mesin electronic data capture (EDC). Karena
transaksi non tunai membawa banyak manfaat bagi kedua belah pihak, penjual dan
pembeli.
Pembeli
tidak harus bergumul dengan uang yang lusuh, penuh selotip dan recehan yang
terjadi akibat kompetitifnya harga yang terjadi antar pemilik kios. Sering terjadi pembeli berpindah kios karena
perbedaan harga Rp 100. Transaksi non tunai juga memperkecil kemungkinan beredarnya
uang palsu.
Dalam
menyosialisasikan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di pasar tradisional,
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Cabang Purwokerto menggandeng BRI
memperkenalkan program smart traditional market di Pasar Manis
Purwokerto. Bank Rakyat Indonesia (BRI) membagikan mesin EDC pada para penjual di
pasar. Tanpa mengenal limit pembayaran, penjual dan pembeli akan terdorong
untuk mengelola uang secara benar.
Langganan
saya, seorang penjual di pasar Andir mengaku memiliki omzet Rp 2 – 5 juta per
hari. Kios berukuran 2 x 3 meter-nya sesak dipenuhi sembako dan aneka kebutuhan
pedagang makanan. Sang pemilik, Nia tidak sempat menyetor uangnya ke bank,
karena uang hanya bertahan 1 – 3 hari untuk kemudian digunakan membeli stok di kiosnya.
Ribuan pemilik kios di Pasar Andir melakukan hal yang sama, jika dihitung
dengan seksama akan diperoleh angka
puluhan milyar rupiah perhari yang
berputar di pasar Andir tanpa pernah singgah di bank.
Pelanggan
kios ibu Nia, para pedagang jajanan,
juga melakukan hal yang sama. Omzet mereka sekitar Rp 100.000 - Rp
500.000 per hari tersimpan di dompet
atau hanya tersimpan dibalik bantal, sangat riskan dan mengundang incaran
pelaku kriminal.
Gerakan
Nasional Non Tunai mendorong perubahan perilaku dengan tujuan memberi manfaat
bagi para pelaku ekonomi mikro ini
Menabung
Menurut
Kartika Wirjoatmojo, pejabat Eksekutif & Finance PT Bank Mandiri Tbk, total
pemilik rekening tabungan di Indonesia hanya 60 juta orang dari total populasi
penduduk Indonesia yang berkisar 250 juta jiwa. Yang berarti 190 juta orang
tidak memiliki tabungan dengan beragam alasan,
prosedur dianggap menyulitkan, menghabiskan biaya dan tidak familier.
GNNT
tidak hanya bermanfaat ketika terjadi transaksi tapi juga mendorong setiap
pelaku ekonomi untuk menyimpan uangnya di bank agar terhindar dari perilaku
konsumtif. Uang Rp 10.000 di tangan akan segera mengalir menjadi jajanan yang
mungkin tidak disuka, dianggap sepele kemudian dibuang. Tapi sejumlah uang yang
sama jika ditabung berturut-turut selama 2 minggu dapat digunakan untuk membiayai
kebutuhan yang lebih besar atau untuk
membeli peralatan bagi usaha mikronya.
Bankable bagi UMKM
Selama
ini pelaku usaha mikro sulit mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Karena
mereka tidak mempunyai laporan keuangan yang memadai. Dengan penyetoran uang di bank, transaksi
keuangan akan tercatat dan memudahkan jika mereka membutuhkan pinjaman berbunga
ringan yang memungkinkan pelebaran usaha.
Fondasi
awal menuju online shop.
Transaksi
non-tunai menjadi fondasi awal wujudkan e-pasar yang mulai berjalan Agustus
silam didua pasar Kota Solo yang diinisiasi
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Adanya e-pasar memungkinkan pembeli
bisa berinteraksi dengan pelaku pasar tradisional untuk mendapat informasi
harga dan stok komoditas di pasar.
Menghemat
uang kartal
“Setiap
tahun, BI mengeluarkan belanja sebesar Rp 3 triliun untuk biaya mencetak ,
menyimpan, mendistribusikan dan memusnahkan uang”, kata Kepala Divisi Kebijakan dan Pengembangan
Sistem Pembayaran BI, Yura Djalins di Jakarta, Senin (18/8)
Transaksi
non-tunai dapat menekan produksi uang kartal sehingga Bank Sentral dapat
menghemat biaya operasional
Pada
akhirnya seiring semangat presiden Jokowi untuk meningkatkan daya saing pasar
tradisional, perlu penerapan dan sosialisasi transaksi non-tunai dengan lebih
intens. Karena transaksi non-tunai akan
menjadi data rekam yang menunjukkan daya beli dan kecenderungan belanja
masyarakat yang bisa menjadi rujukan berbagai pihak untuk menentukan daerah
prioritas pembangunan dan model pembangunan yang tepat untuk suatu daerah.
Sumber:
Merdeka.com
Antaranews.com
Solopos.com
No comments