"Mbak, Hudi di
ruang gawat darurat rumah sakit. Pingsan di kamarnya. Kita bawa ke rumah sakit tapi
udah beberapa jam ngga diapa-apain, nunggu jaminan”. Hudi yang dimaksud adalah
adik bungsu saya.
Diketemukan pingsan
di kamar kostnya di Jatinangor oleh teman-temannya yang segera membawanya ke
rumah sakit terdekat yang jaraknya kurang lebih 10 km. Sayang, teman-teman Hudi
terkendala uang jaminan, hingga salah seorang dari mereka teringat nomor
telepon saya. Saya datang sangat terlambat. Walau bagian kepalanya sempat
dioperasi untuk mengeluarkan sejumlah cairan, nyawa Hudi tidak tertolong.
Kejadian yang
berlangsung pada tahun 1993 itu sering menghantui. Bagaimana jika terjadi lagi?
Dan memang beberapa kali mengalami ketakutan ketika anak sakit panas selama
berhari-hari, sementara uang ditangan hanya cukup untuk berobat ke klinik
terdekat. Sering berpikir, ah andaikan ada jaminan kesehatan yang dimiliki
setiap warganegara Indonesia. Tidak terbatas pada sekelompok orang secara
eksklusif seperti waktu itu. Dananya bisa berasal dari penyisihan penghasilan
per bulan. Jangan terlalu besar agar tidak memberatkan. Yang penting harus ada
dan mudah menunjukkannya pada pihak rumah sakit.
Semua bisa sakit, tak
mengenal usia, kelas sosial, jenis pekerjaan dan jenjang jabatan. Sayangnya
ketika badan sehat, manusia sering terlena, menunda menyisihkan penghasilannya
untuk anggaran kesehatan. Melupakan bahwa uang ibarat air yang mengalir dari
telapak tangan. Sekuat apapun digenggam, ia akan mengalir dari sela-sela jari.
Sangat apes ketika saldo tabungan kosong, tiba-tiba salah seorang anggota
keluarga sakit parah. Sehingga apa boleh buat harta benda yang dimiliki
terpaksa dijual, termasuk rumah yang sedang dihuni.
Ah andaikan ada
lembaga pengelola biaya kesehatan bagi masyarakat. Yang menerima dan menyimpan
hasil penyisihan penghasilan dari setiap keluarga, untuk kemudian menyalurkannya
tatkala perlu. Karena faktanya setiap keluarga produktif mampu menganggarkan
cadangan bagi kesehatan.
Seorang supir
angkutan umum berceritera bahwa setiap hari dia harus mengeluarkan uang jajan
untuk kedua buah hatinya sebesar Rp 15.000 per anak. Jika dia mampu
mengeluarkan biaya jajan yang notabene bukan pengeluaran primer, tentunya dia
bisa menyisihkan Rp 1.000 per hari atau Rp 30.000 per bulan untuk setiap
anggota keluarga.
Harapan saya terkabul
pada tahun 2014 dengan diluncurkannya jaminan kesehatan nasional melalui
lembaga yang ditunjuk pemerintah yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Setiap warganegara di setiap lapisan masyarakat bisa
menikmati layanan kesehatan, dengan “hanya” membayar iuran.
Mengapa “hanya”?
Karena seperti kisah supir angkutan umum di atas, sebetulnya setiap warga
masyarakat bisa menyisihkan penghasilannya untuk kebutuhan mereka yang teramat
penting yaitu kesehatan. Dan jumlah iuran yang disetor sebetulnya sangat kecil
dibanding pengeluaran lainnya, terlebih yang bersangkutan bisa menerima layanan
kesehatan sangat besar.
Diluar ekspektasi
peserta BPJS Kesehatan menerima semua layanan kesehatan meliputi tindakan
promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif. Contohnya, selain pengobatan
umum, peserta bisa menikmati layanan imunisasi dasar, pembersihan karang gigi
dan pembuatan protesa gigi/gigi palsu. Layanan pembersihan karang gigi
diberikan dengan pertimbangan karang gigi bisa menyebabkan radang gusi, gigi
goyah bahkan gigi lepas. Sedangkan protesa gigi/gigi palsu dibutuhkan lansia
yang kehilangan giginya agar bisa menjalankan aktivitas secara normal.
Konsul ke dokter
spesialis juga merupakan layanan kesehatan yang diterima peserta BPJS
Kesehatan. Layanan ini sangat membantu karena kondisi saya sekarang tak
memungkinkan untuk berobat ke dokter spesialis, sementara tanpa obat, penyakit
saya akan kambuh dan menghalangi rutinitas kerja.
Berbekal surat
rujukan (yang ternyata telah diterbitkan secara online) yang diberikan oleh
dokter umum di puskesmas yang ditunjuk, saya mendatangi rumah sakit swasta
tempat dokter ahli berpraktek dan mendapat pelayanan yang sama seperti ketika
harus membayar langsung dari kocek pribadi.
Bukan itu saja,
seorang teman berkisah bahwa adik iparnya menderita kanker . harta benda yang
dimiliki jelas tak mungkin menutup semua tagihan rumah sakit, tapi berkat
kepesertaan BPJS Kesehatan pasien bisa pulang tanpa mengeluarkan uang
sepeserpun.
Berbagai keberhasilan
yang diraih BPJS Kesehatan membuat banyak perusahaan swasta mengalihkan
anggaran kesehatan pegawainya ke BPJS Kesehatan. Rasa aman dana kesehatan
dikelola lembaga nirlaba yang ditunjuk pemerintah, menjadi penyebabnya. Juga
nyaman karena uang yang disetor murni digunakan untuk membiayai kesehatan
masyarakat, tidak diputar dulu dalam sektor bisnis lain sehingga terbebas rasa
was-was jika merugi/bangkrut.
Keberhasilan BPJS
Kesehatan sangat berkaitan dengan penerapan Pancasila sebagai way of life
bangsa Indonesia yaitu gotong royong. Kebiasaan bergotong royong tercermin
dalam perilaku sehari-hari. Jika tempo dulu masyarakat Indonesia bersama-sama
membangun rumah kerabatnya, kini semangat gotong royong spontan timbul ketika
anggota masyarakat lain mengalami kemalangan. Koin Peduli Prita yang
dikumpulkan untuk Prita Mulyasari contohnya. Juga untuk Darsem, TKI yang
akhirnya lolos dari hukuman pancung. Dan yang terkini adalah aksi netizen
mengumpulkan sumbangan untuk pemilik warung, ibu Saeni di Serang Banten.
Kejadian tersebut merupakan gotong royong spontan, sedangkan BPJS Kesehatan
mengelola dana masyarakat secara kontinyu untuk menjamin Indonesia sehat.
Bukankah setiap
anggota masyarakat membutuhkan anggota masyarakat lainnya agar tetap sehat.
Orang tua murid misalnya, membutuhkan seorang guru yang sehat agar kegiatan
ajar- mengajar di sekolah berlangsung lancar. Seorang pemilik pabrik mengharap
kesehatan bagi pegawainya agar proses produksi berjalan lancar. Begitu
seterusnya.
Agar tercipta kondisi
masyarakat yang sehat, iuran kesehatan yang mereka simpan setiap bulannya
digunakan untuk menolong yang sakit, apakah itu si murid, orang tua murid,
guru, pemilik pabrik atau pegawainya. Bahkan lintas masyarakat, tidak pandang
status sosial, jabatan dan kelas ekonomi, semua membutuhkan kesehatan prima
untuk menjalankan aktivitas keseharian.Dalam hal ini BPJS bertindak selaku
operator yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola biaya kesehatan yang disetor
masyarakat dan dari APBN untuk membiayai warga miskin yang tidak mampu
menyisihkan dana bagi kesehatannya.
Banyak masyarakat
tidak mampu tertolong dengan adanya program jaminan kesehatan. Pada tahun 2014
tercatat sebagian besar peserta dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah atau
pekerja informal yang berjumlah lebih dari 9 juta jiwa yang sebelumnya
kesulitan untuk mendapat akses kesehatan.
Dalam upaya
mewujudkan Indonesia sehat, program jaminan kesehatan nasional (JKN)
berkontribusi positif pada perekonomian nasional. Menurut Pusat Data Bisnis
Indonesia (PDBI), selama 2014 JKN menyumbang Rp 18,6 triliun bagi ekonomi
Indonesia. Jumlah tersebut berasal dari peningkatan layanan kesehatan Rp 4,4
triliun, kenaikan pendapatan industri farmasi Rp 1,7 triliun, penambahan
lapangan pekerjaan sektor kesehatan Rp 4,2 triliun dan pembangunan rumah sakit
Rp 8,36 triliun. Sungguh tak terduga. Menjadi peserta BPJS Kesehatan yang
disiplin membayar iuran ternyata tidak hanya menjamin kesehatan diri sendiri
serta keluarga tetapi juga membantu sesama warga yang membutuhkan. Mewujudkan
Indonesia Sehat berarti turut serta menghapus lelucon: “Orang Miskin Dilarang
Sakit” di bumi Indonesia. Karena dibutuhkan warga masyarakat yang sehat dalam
membangun Indonesia. Sehat fisik serta psikis. Esensi Indonesia sejahtera dan
makmur yang sesungguhnya. Sumber data: www.beritasatu.com
sangat membantu ya,
ReplyDeletenamun lebih baik jaga kesehatan agar tidak sakit ya
terima kasih info-nya