Abah
pulang. Seusai mengucap salam diusapnya peluh yang membasahi wajah.
Kemudian seperti kebiasaannya setiap sore, di simpannya sebilah bambu di
atas balai-balai di depan rumah. Bambu tersebut alat yang membantunya
memanggul kerupuk. Karena pekerjaan Abah menjajakan kerupuk. Tiap hari
Abah mengambil kerupuk aci di pabrik kerupuk Haji Ujang dan berjalan
keliling kota, sambil berseru lantang:
“Puk…puk…” Demikian
berulang-ulang, hingga ada yang memanggil dan membeli dagangannya.
Abah
sering bercerita bahwa kerupuk aci yang dibawanya terkenal enak.
Rasanya gurih berkat resep rahasia keluarga pak Haji Ujang. Karena itu
jika dagangannya habis sebelum petang, Abah mengambil lagi kerupuk dan
kembali berkeliling kota.
Capek
pastinya. Bolak-balik ke pabrik kerupuk dan menjajakannya. Tapi Abah
tidak pernah mengeluh. Seperti kini, dia tersenyum padaku. Wajahnya
mengeriput penuh gurat waktu. Kehitaman karena terlalu lama terpanggang
sinar matahari.
“Sedang belajar apa, Sep?” tanya Abah.
“Belajar teori olah raga. Asep mau ikut lomba lari. Tapi harus ikut tes teori dulu.”
Abah
mengangguk-anggukkan kepala sambil melihat-lihat isi buku pelajaran.
Isinya tentang berbagai jenis olah raga, negara asalnya hingga ukuran
lapangan. Cukup rumit dan banyak sekali yang harus dihapal.
“Tolong doakan Asep ya, Bah. Asep ingin dapat juara pertama, hadiahnya sepeda.”
Abah
memandang wajahku. Lama. Entah apa yang dipikirkan. Kami memang terlalu
miskin untuk memiliki sepeda. Karena itu, lomba kali ini merupakan
jalan satu-satunya agar aku bisa memiliki sepeda. Agar bisa meneruskan
sekolah ke sekolah lanjutan pertama (SMP) yang letaknya sangat jauh dari
rumah. Bahkan mungkin bisa membantu Abah berjualan seusai sekolah. Ah impian yang sungguh indah.
Abah
mengangguk-anggukkan kembali kepalanya. Dia juga mengusap rambutku yang
berminyak. Kemudian Abah beranjak masuk. Tak lupa dilepasnya kaos
oblong berkeringat yang seharian dipakainya. Dulu kaos tersebut hadiah
dari majikan tempat emak mencuci baju. Ada gambar iklan makanan di
punggung kaos yang kini telah memudar. Aku ingat dulu warna kaos itu
putih bersih. Sekarang kecoklatan. Betapapun kerasnya emak menyuci.
*****
Rasa
bahagia meletup-letup di dadaku. Bersama 9 orang lainnya aku lolos tes
tertulis. Mungkin ini hadiah ketekunananku menghapal begitu banyak nama
persatuan jenis olah raga, turnamen olah raga termasuk nama kota dan
tahunnya, selain tentu saja nama-nama pahlawan olahraga yang
mengharumkan nama Indonesia.
Aku
menghapalnya selama dalam perjalanan berangkat dan pulang dari sekolah,
selama waktu istirahat sekolah, sewaktu menggembalakan kambing pak Haji
Kasan. Juga menjelang terlelap di tengah malam
Rasa
bahagia berganti tekad karena aku harus memenangkan lomba. Harus. Untuk
itu aku menyiapkan diri berlatih berlari di tanah kosong di belakang
rumah pak Haji Ujang. Tak peduli berapa banyak brangkal, paku, beling
dan sampah yang tanpa kusadari terinjak dan masuk ke sepatuku yang
bolong.
Aku
harus menang. Harus. Walau alas sepatuku mulai menipis dan bebatuan
yang tajam mulai menghujam telapak kaki. Aku tak peduli. Aku harus
menang.
*****
Saat
itu tiba. Sesudah mendengar aba-aba pertanda, aku mulai berlari.
Berlari dan berlari. Aku tak peduli kanan dan kiri. Aku berlari dan
berlari, tak peduli lawan berlariku ada di depan atau di belakang.
Aku
berlari seperti ketika berlatih di tanah kosong pak Haji Ujang. Hanya
membayangkan kereta api berlari membawa lari sepeda idamanku. Aku harus
berlari mengejarnya. Aku harus
berlari secepat angin. Tak peduli jalan berlubang, batu-batu besar
berserakan, aku tak peduli. Aku berlari dan berlari. Aku harus menang.
Aku harus meraih sepeda. Aku harus bersekolah lanjut. Aku harus bisa
membantu abah menyekolahku dan kedua adikku. Aku harus memenangkan
sepeda. Aku harus. Dan …………… hupz……… sepedaaaaaaaaa!!!!!
*****
Sudah
tiga hari Abah sakit. Kata pak Mantri Kesehatan, Abah sakit demam
berdarah. Tidak perlu dirawat di rumah sakit asalkan banyak istirahat.
Juga harus banyak minum air putih dan sari buah jambu batu.
Walaupun
Emak tidak mengeluh, aku tahu, persediaan uang Emak menipis. Harus beli
obat sementara bulir beras hanya nampak setengah kaleng bekas susu.
Emakpun tak bisa meninggalkan Abah untuk menyuci di rumah majikannya.
Karena
itu sesudah diizinkan Abah dan mendapat pelukan penuh doa dari Emak,
aku pergi ke pabrik pak Haji Ujang. Ternyata mudah, aku diperbolehkan
membawa 100 bungkus plastik kerupuk. Setiap bungkus berisi 10 buah
kerupuk. Harga dari pak Haji Ujang Rp 800 sedangkan harga jualnya Rp
1000 setiap bungkus.
Dan akupun berteriak lantang:
“Pukkkkkkk…………Pukkkkkkkkkkkkk……………Kerupukkkkkkkkkkk!!!!!!!
*****
Aku
melangkah lunglai. Kuintip Abah dari balik pintu kamar yang sudah rapuh
dimakan rayap. Ternyata Abah tidak tidur. Dia sedang memandang
langit-langit. Mulutnya komat kamit. Tangannya menguntai tasbih. Abah
sedang berdoa.
Pelan-pelan
kudatangi Abah dan duduk di pinggir balai-balai. Tempat Abah tidur
beralaskan kasur tipis. Selembut mungkin aku mulai memijit kaki Abah,
mulai dari telapak kaki hingga ke betis.
“Ada apa Sep, kerupuknya laku?”
Aku menggeleng.
“Hanya laku sedikit Bah, padahal Asep ingin hasilnya lebih banyak dibanding Abah. Asep kan naik sepeda.”
“Asep sudah melewati jalan-jalan tempat langganan Abah?”
“Sudah Bah, malah sudah 2-3 kali balikan. Sudah teriak keras-keras. Tapi tidak ada yang beli.”
Air mataku mulai mengalir dan tenggorokanku rasanya tersekat.
“Hehehe………,”Abah tertawa, “Mungkin Abah bisa menduga penyebabnya.”
“Apa Bah?” Semangatku timbul dan kubuang air mata serta ingus dari wajahku.
“Sep, Asep teh
sedang jualan atau sedang lomba lari? Kalau Asep sedang lomba lari,
sebaiknya memang tidak usah pedulikan lawan. Tetapi jika Asep sedang
berjualan, apalagi naik sepeda, jangan-jangan pelanggan yang mau membeli
tidak bisa mengejar Asep. Misalnya dia sedang di dapur, ketika
mendengar suara Asep, dia buru-buru keluar, tetapi ternyata Asep sudah
terlalu jauh dan sulit dikejar.
“Oh.”
“Asep
juga harus memberi jarak antar teriakan puk..puk.. Karena jangan-jangan
Asep asyik berteriak sendiri. Sehingga ketika ada pembeli memanggil,
tidak terdengar. Hehe… penjual dan pembeli saling berteriak puk…puk,
jadinya.”
“Oh.” mau tak mau aku tersenyum malu.
“Tidak
apa-apa Sep, Abah juga dulu begitu. Berteriak keras menjajakan kerupuk
sambil keliling kampung. Hingga ada ibu-ibu yang protes dan meminta Abah
berjalan lebih perlahan. Sesudah itu Abah lebih memperhatikan
rumah-rumah pelanggan dan hanya berjalan cepat di daerah yang nampaknya
kosong tak berpenghuni.
Aku
mengangguk-angguk, hatiku tidak sedih lagi. Hari ini aku mendapat
pelajaran baru dari Abah bahwa setiap tujuan memiliki strategi berbeda
untuk meraihnya. Asalkan tekun dan sabar, pasti akan berbuah manis. Aku
tersenyum penuh semangat pada Abah.
“Terimakasih Abah. Besok, Asep akan mengikuti petunjuk Abah. Asep harus bisa berjualan sebanyak Abah.”
Abah tersenyum dan meneruskan dzikirnya.
No comments