Buku
menarik yang ditulis oleh orang yang menarik pula. Dikatakan menarik karena
banyak pejabat menggunakan buku sebagai alat kampanye dini, sehingga mereka
memasang wajahnya di kaver depan. Tidak demikian dengan buku “Revolusi Dari
Desa” , tidak ada wajah sang penulis, Dr. Yansen TP., M.Si., baik di kaver depan maupun belakang buku.
Kaver depan menggambarkan ulat yang sedang berjalan meniti puncak tangkai
tumbuhan untuk kemudian bertransformasi sebagai kupu-kupu. Sesuai semangat isi
buku yang menggambarkan bagaimana seharusnya membangun desa, lengkap dengan
implementasinya.
Siapa
Dr. Yansen, baru kita ketahui ketika
membuka bukunya untuk melihat sisipan dan profil penulis yang berada di halaman
179. Tidak terpampang narsis agar konstituen mudah mengenali, dan memilih untuk
kedua kali atau bahkan memilih sang penjabat untuk menduduki kursi lebih
tinggi.
Bupati
Malinau, Dr. Yansen TP., M.Si., juga
merupakan penulis yang menarik untuk dibahas, karena umumnya alumni Akademi
Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) hanya berakhir sebagai manager wilayah. Sementara
sekolah tersebut mempersiapkan lulusannya sebagai pemimpin di seluruh wilayah
di Indonesia. Berjenjang mulai dari tingkat sekretaris camat (sekcam) hingga setinggi mungkin yaitu kepala Negara. Sayangnya
justru mereka yang tidak berlatar belakang pendidikan APDN nampak kinclong di mata pewarta, karena
visioner dalam membangun daerahnya.
Berbeda
dengan Dr. Yansen, dia memiliki visi misi setelah sebelumnya mengindetifikasi
masalah, mendata sumber daya alam dan sumber daya manusia kemudian mencari
solusi hingga terciptalah cetak biru bagaimana seharusnya membangun desa yang
tertuang dalam buku “Revolusi Dari Desa.”
Walaupun
seperti yang dikatakan Prof.DR. Sadu Wasistiono,M.Si dalam kata pengantarnya
bahwa “Nil Novi Subsole” (dibawah matahari sebenarnya tidak ada yang baru). Maka
gagasan Dr. Yansen bukanlah sesuatu yang baru, tetapi merupakan reaktualisasi
konsep. Sebelumnya Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sudah memperkenalkan konsep
pembangunan komunitas, dan Park Chung Hee, Presiden Korea Selatan menggagas
Saemaul Undong. Demikian pula presiden Julius Nyerere dari Tanzania dengan
Ujamaa Villages. Indonesia sudah sejak lama mengenal pembangunan desa yang kemudian
diubah namanya menjadi pembangunan masyarakat desa dan terakhir dirumuskan
dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 mengenai pemberdayaan desa dengan kekuatan sendiri.
Namun
“Revolusi Dari Desa” yang ditawarkan dan telah berhasil diimplementasikan dalam
bentuk Gerakan Desa Membangun (Gerdema) lebih membumi dibanding konsepsi Mbangun Deso ala Bibit Waluyo –
Rustriningsih ketika melaju ke kursi Jateng 1 tahun 2008 yang memilih
slogan “Bali Ndeso Mbangun Deso”. Buah pemikiran
Dr. Yansen lebih realistis. Tidak perlu bersusah payah mengajak mereka yang
enggan pulang ke kampung halaman tapi mengacu pada pemilik ‘Ndeso” itu sendiri
yaitu warga desa.
Bak
koki yang menyoba resep masakan, Dr. Yansen meracik pembangunan daerahnya. Bagaimana
menyinergikan kebutuhan dan harapan warga desa, pihak swasta dan kemampuan pemerintah
daerah. Semua dimusyawarahkan setiap tahun melalui Musrenbangdes (Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Desa) dengan tujuan mempersempit kesenjangan si miskin
dan si kaya. Sehingga tidak ada lagi kisah penderita gizi buruk, warga desa
harus menjadi TKI, kesenjangan pendidikan
dan lain-lain.
Tidak
hanya perencanaan pembangunan, fungsi pengawasan, penilaian hasil akhir dan
yang terutama adalah estafet
kepemimpinan juga dirumuskan dan diimplementasikan agar keberhasilan
Gerakan Desa Membangun bisa berkelanjutan.
Untuk
memperjelas hasil kerjanya Dr. Yansen
melampirkan foto-foto khas pejabat pemerintah seperti mengunjungi
kelurahan, meresmikan kantor serta
bercanda dengan masyarakat. Yang menarik adalah terobosannya membagikan ponsel
bagi aparat desa dan terwujudnya sarana komunikasi Vsat bagi seluruh kantor
camat perbatasan, pedalaman dan terpencil se-Malinau. Sungguh patut diacungi
jempol karena tidak hanya memudahkan komunikasi tapi setiap daerah bisa
melaporkan hasil pembangunan dalam akun media sosial, lebih baik lagi jika
dirangkum dalam blog/web dan di-update
secara periodik. Hal yang seharusnya dikembangkan oleh setiap kepala daerah di
Indonesia.
Buku
“Revolusi Dari Desa” sukses membuat saya membuka peta untuk mengetahui letak
kabupaten Malinau di Kalimantan Utara berbatasan dengan Negara lain yang konon
sering membuat warga Indonesia berimigrasi karena iming-iming fasilitas dan
infrastruktur yang lebih menggiurkan. Halmana bisa diminimalisir jika
pemerintah daerah mau mendengar aspirasi warga dan memenuhi kebutuhannya.
Buku
ini juga sangat tepat dijadikan referensi bagi kebijakan publik serta mereka
yang peduli pembangunan desa. Karena fokus pemerintahan daerah Malinau
menjadikan Kabupaten Pariwisata dan menggarap sektor ekonomi kreatif. Sektor
yang sangat diandalkan tatkala sumber daya alam menipis. Beberapa diantaranya
adalah produk rotan dan seni budaya yang berhasil ditumbuh kembangkan kabupaten
Malinau. Mungkin itu pula penyebab buku ini masuk kelompok bisnis di toko
Gramedia.
Dan
tentunya semoga menjadi inspirasi kepala daerah lain untuk membuat buku yg
memuat keberhasilan mereka. No pic hoax
berlaku bagi mereka yang ingin maju sebagai pemimpin di semua wilayah
Indonesia. Semakin banyak calon pemimpin dan yang pernah memimpin yang memiliki
jejak keberhasilan, maka warga akan semakin leluasa memilih calon kepala daerah,
calon legislatif maupun calon presiden
yang kompeten.
Warga
desa semakin pandai, mereka enggan hanya menjadi ladang suara yang dipanen
setiap 5 tahun sekali, untuk kemudian ditinggalkan.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buku : Revolusi Dari Desa
(Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat)Penulis : Dr. Yansen TP., M.Si
Editor : Dodi Marwandi
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Kota Terbit : Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Cetakan : Ke-1 ISBN : 978-602-02-5099-1
Wah baca buku serius niih ambu..kerenlah masih sempet :D
ReplyDelete