![]() |
source: Getty Images |
Ramadan tiba ... Ramadan
tiba ...
Lagu khas dari salah
satu iklan di televisi itu selalu muncul menjelang bulan Ramadan dan saat
Ramadan. Sangat khas. Mengingatkan saya saat-saat indah Ramadan di waktu masih
kecil, di kota kecil Sukabumi.
Pernah dengar nama Kota
Sukabumi? Atau justru pernah ke sana?
Sukabumi merupakan kotamadya
terkecil di Jawa Barat. Hanya 48,42 km2
dengan jumlah penduduk 340.756 jiwa. Bandingkan dengan kota Bandung yang
memiliki luas 167.67 km2 dan dipadati 2.497.938 jiwa penduduk. Jomplang banget
ya?
Tapi Kota Sukabumi
sungguh bikin terkenang-kenang, kota yang konon ditemukan oleh Andries
Christoffel Johannes de Wilde, seorang ahli bedah dan administratur perkebunan
kopi dan teh berkebangsaan Belanda (Preanger Planter). (sumber: Wikipedia)
Dialah yang mencetuskan
nama "Soekaboemi" ( 13 Januari
1815) untuk pertama kali, sekaligus mengundang kontroversi. Apakah berasal dari kata Bahasa Sunda, yaitu Suka dan
Bumen (Menetap), yang artinya suatu
kawasan yang disukai untuk menetap karena udaranya yang sejuk.
Atau Sukabumi mengutip kata Bahasa Sanskerta, yang berarti Suka (kesenangan, kebahagiaan, kesukaan) dan
Bhumi (Bumi, Tanah). Dengan kata lain Sukabumi adalah "Bumi yang disenangi" atau
"Bumi yang disukai".
Kota Sukabumi lah saksi
saya lahir dan tumbuh.
Berlari-lari melalui jalannnya
yang asri dan rindang oleh tumbuhan, menuju sekolah, gereja, pasar, rumah
teman, ke sekolah lagi, ke gereja lagi.
Kok gereja sih?
Yups lahir dengan nama
baptis Maria Goreti, saya tumbuh besar sebagai penganut agama Katolik. Sesudah
pindah ke Bandung, barulah saya menjadi mualaf di usia 28 tahun.
Sehingga ingatan Ramadan
semasa kecil nyaris ngga punya khususnya
bareng keluarga. Karena hingga kini, mereka masih menganut agama Katolik.
Tapi saya beruntung
tinggal di kota Sukabumi yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Padahal
kota ini pernah menjadi pusat agama Katolik, sebelum akhirnya pindah ke kota
Bogor.
Nah, nostalgia memiliki
tetangga dan teman yang beragama Islam yang ingin saya share kali ini. Di kota
kecil Sukabumi, tradisi ini seolah mengakar, tapi ternyata sekarang menguap
pergi.
![]() |
source: |
Potluck
munggahan
Munggahan atau tradisi
menyambut bulan Ramadan biasanya diwarnai dengan menggelar tikar atau permadani
untuk makan bareng/botram. Bisa di
pelataran rumah, di aula sekolah atau di tempat-tempat yang bisa menampung
banyak orang.
Seorang teman berkisah,
di kompleks perumahannya, jalan tertentu ditutup untuk munggahan. Setiap
keluarga akan membawa potluck atau makanan yang diolah dari rumahnya
masing-masing untuk disantap bareng sambil bersenda gurau, kemudian diakhiri
dengan bermaaf-maafan.
Tradisi inilah yang kini
hilang di Sukabumi. Menurut teman yang masih berdomisili di kota yang mulai
riuh dan macet, awalnya munggahan di rumah bergeser dengan makan di restoran. Sayang makin jarang dilakukan
dengan alasan sibuk.
Pergeseran budaya dengan
alasan praktis, emang membawa konsekuensi. Untuk munggahan dengan mendatangi rumah makan berarti
harus menyediakan sejumlah uang, harus berpakaian tertentu dan seterusnya.
Beda halnya dengan
potluck di depan rumah. Peserta bisa bawa
masakan seadanya, mungkin hanya ikan asin, sambel dan lalap. Pakaianpun ngga
harus khusus, cukup pakaian bersih. Nggak harus bersepatu, cukup memakai
sendal, toh nanti dicopot.
![]() |
source: theculturetrip.com |
Pesta
Lodong/Meriam bambu
Bum ...
Suara meriam bambu
menggelegar, mewarnai suasana ngabuburit di kota Sukabumi. Tak lama kemudian terdengar suara yang sama
dari arah lain. Saling bersahutan. Suaranya bisa lebih memekakkan telinga,
kemungkinan juga lebih lebih lemah. Tergantung kepiawaian pembuat meriam bambu/meriam
lodong.
Rumah yang kami tempati
berada di jalan Siliwangi, jalan protokol yang cukup prestisius dengan adanya beberapa
tuan tanah. Merekalah yang membuat dan menghangatkan jalan Siliwangi dengan
meriam bambu.
Sementara itu di belakang rumah yang saya tinggali, berbatas
sawah, aliran sungai dan jalan menanjak menuju perkampungan penduduk asli
setempat. Di sanapun penghuninya membuat meriam bambu, lebih leluasa dan mudah
karena rumpun bambu masih tumbuh dengan suburnya.
Nggak heran suara meriam
bambu saling bersahutan, antara meriam
bambu milik keluarga tuan tanah yang
berdetum di area jalan protokol, dengan meriam bambu milik penduduk setempat yang berlokasi cukup jauh.
Meriam bambu rupanya
menjadi cikal bakal petasan dan kembang api aneka warna, yang kini sering mewarnai langit pada hari-hari
tertentu, seperti Lebaran dan Tahun Baru.
Alat penggembira
tradisional ini terbuat dari bambu Bitung atau Gombong yang kuat dan tebal. Dengan
menggunakan gergaji dan golok, bambu dipotong
2 meter. Bagian depan dan buku bambu harus berlubang.
Di bagian ujung belakang
dibuat lubang persegi empat untuk memasukan karbit, bahan peledak yang bisa dibeli di toko besi.
Sebelum memasukkan karbit, bambu harus berisi air secukupnya.
Cara memainkannya memang
tricky bagi yang belum terbiasa. Masukan karbit secukupnya ke dalam bambu
berisi air lalu tutup. Tunggu 1 sampai 2 menit, setelah itu buka penutupnya dan
nyalakan api dengan menggunakan tongkat. Tak lama kemudian akan keluar dentuman yang cukup keras.
Meriam lodong tak
terdengar lagi seiring waktu, bahkan semasa saya masih tinggal di Sukabumi. Banyak
penyebabnya. Selain faktor keamanan, juga pembuatannya yang riweuh, lebih mudah
membeli petasan, hasilnyapun lebih meriah.
Bedanya, dalam pembuatan
meriam lodong diperlukan team yang bekerja sama agar hasilnya sempurna.
Pengalaman networking inilah hilang ketika konsumen beralih pada petasan
modern.
![]() |
source: 123RF.com |
Bedug
Ramadan berarti suara bedug bertalu. Mulai awal Ramadan seolah pemberi pengumuman bahwa Ramadan
telah tiba. Selama bulan Ramadan, pengingat buka puasa dan sahur. Serta sewaktu
takbiran, pertanda masa berpuasa telah usai.
Pemukul bedug ngga hanya
orang dewasa, juga anak-anak. Bergantian mereka memukul bedug. Ketika masuk
bulan Ramadan, mereka akan membentuk barisan, dengan membawa peralatan seadanya sambil berseru:
sahur .... sahur ...!
Menurut historia.id,
masyarakat Indonesia mengenal bedug sejak mayoritas penduduknya masih beragama
Hindu. Namun kemudian Laksamana Cheng
Ho. seorang China Muslim memberikan hadiah bedug pada raja dari Semarang dengan
mengatakan bahwa dirinya hanya ingin
mendengarkan suara bedug dari masjid. Sejak itulah bedug menjadi bagian dari
masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai
alat komunikasi ritual keagamaan.
Bedug juga tak dapat
dipisahkan dengan gerakan Islamisasi yang dilakukan Walisanga sekitar abad
ke-15/16. Ditempatkan di masjid-masjid, bedug dibunyikan untuk mengajak umat Islam melaksanakan salat lima
waktu. Ya zaman baheula kan belum ada speaker yang bisa membantu mengumandangkan
adzan pengingat 5 waktu serta waktunya sahur dan imsak.
Sayang kehadiran bedug
akhirnya mengundang kontroversi antar kelompok agama. Nahdlatul Ulama (NU)
menyetujui bedug, tidak demikian halnya kelompok Persatuan Islam (Persis) dan
Muhammadiyah yang menganggap bedug sebagai bid’ah.
Apakah perbedaan
pendapat ini yang mendasari raibnya bedug?
Juga tradisi mukul bedug yang
dilakukan sekelompok pemuda/anak-anak, sambil menyusuri jalan-jalan , mengingatkan
sahur, serta tanda bersuka cita saat mampu melaksanakan puasa hingga akhir? Entahlah,
tak ada jawaban yang memuaskan.
Yang pasti, rasanya
hangat mendengar suara bedug di awal puasa, semasa puasa dan di akhir bulan
puasa. Karena di sana ada canda ria anak-anak yang tidak hanya belajar
berpuasa, juga bersilaturahmi, saling menggenggam, saling menolong, yang akan diingat
hingga mereka dewasa kelak.
Banyak orang mencemooh
tradisi dan menganggapnya kuno. Mereka lupa bahwa tradisi mucul disebabkan
budaya dan kebutuhan, sesuai zamannya. Beberapa puluh tahun lalu, budaya
kekeluargaan masih amat kental. Saling memberi, saling menerima. Seiring waktu,
budaya berganti menjadi elu-elu gue gue, menyebabkan angka kriminalitas tinggi.
Atau mungkin kita hanya
kurang arif memilah dan memisah.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, budaya lokal kian terkikis. Banyak yang menganggap itu kuno dan ketinggalan zaman
ReplyDeletemeriam bambu tuh sudah gak ada diganti dengan petasan dan kembang api
ReplyDelete