sumber: instagram.com/@lizafficial |
Suara
ayam jago bersahut-sahutan membangunkan emak. Berisik sekali.
“Kuruyukkkkk!!” , temannya menjawab: “Kukuruyukkkkk!!”
Ah,
emak harus bergegas membangunkan anak-anaknya. Agar makanan mereka,
cacing-cacing nan lezat dengan mudah ditemukan di tanah yang gembur. Yang
pertama bangun pastinya si Ceria. Dengan sigap dia bangun dan mulai
meloncat-loncat, seolah dalam tidurpun dia berlompatan dengan ceria
Kemudian
si Cantik, Emak menamakan Cantik karena bulu-bulunya berkilauan indah kala tertepa
sinar matahari. Putih dengan gurat – gurat hitam legam. Semburat kuning
keemasan mewarnai tengkuk hingga ekornya yang panjang membulat. Matanya bulat
sayu. Cantik selalu mengibaskan sayapnya dengan penuh gaya. Seolah setiap mata
siap memandang liuk tubuhnya yang mempesona.
Yang
terakhir, si Gembul. Dinamakan Gembul karena dibanding kedua
saudaranya, dia paling banyak makan. Dia juga malas sehingga tubuhnya gemuk.
Hobinya tidur, seusai makan dia pasti tertidur dengan nyenyak.
Kali
ini, seperti pagi-pagi yang lain, Gembul malas bangun. Suara riuh –rendah disekelilingnya
tak membuatnya terganggu. Emak yang berulangkali membangunkan, hanya
dijawab: “Sebentar mak, sebentar. 5 menit lagi saya bangun, masih ngantuk nih”.
Tentu
saja emak tidak bisa menunggu terlalu lama. Jika hari semakin siang , sulit menemukan cacing-cacing segar siap
santap. Karena cacing senang wara-wiri di pagi hari, enggan berjalan-jalan di cuaca terik yang
menyakitkan tubuh mereka yang tidak berpelindung.
Emakpun
berangkat bersama Ceria dan Cantik, meninggalkan Gembul dalam lelap tidurnya.
Keempat burung gereja itu tinggal di wuwungan rumah kosong. Terletak di
pedesaan yang asri di antara pepohonan yang tumbuh rapat. Musuh besar mereka
hanya kucing yang tanpa diduga sering muncul mengganggu emak dan anak-anaknya.
Suami emak, bapak Ceria, Cantik dan Gembul pernah terluka ketika melindungi
emak. Lukanya sangat parah sehingga harus menghembuskan nafas terakhir,
meninggalkan emak mengurus anak-anaknya sendirian.
Hari
ini hari pertama emak mengajak anak-anaknya berburu makanan. Biasanya emak
mencari cacing sendiri dan membawanya ke sarang. Emak tidak ingin anak-anaknya
yang masih rapuh sayapnya, harus berhadapan dengan musuh mereka. Tapi kali ini,
anak-anak harus belajar mencari makan sendiri, agar bisa hidup mandiri. Juga berlatih menguatkan
sayap-sayap mereka yang mungil.
Karena
masih pagi, perburuan mereka tidak jauh, dengan cepat mereka menyantap makanan yang mudah didapat. Perut Emak, Ceria dan Cantik dengan segera
terisi penuh. Kenyang sekali. Emakpun mengajak pulang sambil membawa pulang
seekor cacing untuk si Gembul. Ah, pantas tubuhnya gemuk, berburu makananpun
terlewatkan olehnya.
Hari
kesekian ....
Hari
ini emak kesiangan bangun. Badannya agak lemah karena kurang tidur. Semalaman dua ekor kucing mengeong bising
sekali. Keduanya mengelilingi rumah tempat sarang emak dan anak-anaknya berada. Saling bersahut-sahutan dengan suaranya yang
terkeras. Membuat emak dan anak-anaknya ketakutan. Menjelang subuh, barulah
suara-suara itu mereda.
Bergegas
emak membangunkan anak-anaknya dan terbang agak menjauh karena takut kedua
kucing masih disekitar sarang. Sayang, rupanya matahari mulai terik, membuat
cacing-cacing bersembunyi di bawah semak dan rerumputan. Atau bergelung di
dalam tanah gembur yang hangat. Emakpun harus berburu cukup jauh dan semakin
jauh.
Gembul
terbangun. Sinar mentari menghangatkan sarang dan sayapnya. Ah, kemana emak?
Kemana si Ceria dan si Cantik? Mengapa hening sekali?
Duh ….. Gembul merasakan
perutnya keroncongan minta diisi. Biasanya sesiang ini emak sudah menyiapkan
makanan baginya, dan Gembul akan makan dengan lahap.
Aduh, kemanakah emak? Tak
terasa air mata Gembul menetes. Dia sedih sekali karena terbangun dalam sepi
dan lapar.
Akhirnya
Gembul beranjak. Dia harus cari makan, perutnya berdetam-detam, tanda lapar tak
terkira. Hmmm……, emak pernah mengajarkan cara mencari cacing. Mudah kok, hanya
mencari gerakan cacing yang khas kemudian serbu dengan menukikkan tubuh.
Sayang,
hari menjelang siang. Tak nampak gelagat gerakan cacing. Sepi. Hanya sesekali suara
kawanan burung gereja lainnya terdengar.
Mungkin sedang bercengkrama. Duh, sayang Gembul tak mengenal mereka, Gembul
jarang bermain-main keluar sarang seperti kedua saudaranya karena baginya tidur
lebih mengasyikkan.
Dan
kini, dia amat menyesal. Air matanya menetes lagi. Perutnya lapar tapi tak ada
seekorpun buruan yang terlihat. Sementara untuk meminta bantuan dia malu, dia
tidak punya teman.
Suara
ranting terinjak membuat Gembul waspada, dirapatkannya tubuhnya ke balik
dedaunan. Dia mulai takut. Telah sering emak mengingatkan agar hati-hati
terhadap kucing.
Dan sumber ketakutan itu datang. Seorang kucing berwarna hitam
mendatanginya. Bulunya riap-riap berdiri. Mata hijaunya yang tajam memancarkan
sinar menakutkan. Tanpa sadar Gembul menggigil ketakutan. Dia berusaha
mengepakkan sayapnya agar bisa terbang menjauh. Tetapi usahanya selalu gagal. Sayapnya
lemah karena jarang dilatih.
Oh
emak, tolonglah aku, rintih Gembul perlahan. Ditutupnya kepalanya dengan sayap
mungilnya yang gemetar. Matanya
terpejam. Paruhnya gemeletuk tanda ketakutan. Pelan tapi pasti dia mendengar
suara itu. Suara dan bayangan besar yang melingkupi tubuhnya.
“Gembul”,
….. ah bukankah suara itu…..suara emak? Benarkah itu?
“Gembul, bangunlah….yuk
kembali ke sarang”, …… betul itu suara emak, tak mungkin bukan.
Gembul sangat
hafal suara emak. Perlahan Gembul mengangkat sayap dan membuka matanya.
Sungguh
ini emak, emak yang sangat disayanginya. Emak yang sabar melihat kemalasannya.
Emak yang selalu mengantarkan cacing
yang gemuk dan lezat.
Ah, emak ……., dengan segera Gembul memeluk emak. Tak
kuasa menahan rasa gembira, Gembulpun menangis keras-keras.
“Lho,
kok nangis Gembul, kenapa?”
“Gembul
takut dimakan kucing”.
Emak
tertawa. “Lihatlah, kucing-kucing itu maksudmu?” “Mereka sedang kawin, sehingga
tak akan mempedulikan kita”.
Dengan
perlahan Gembul menengok kearah yang ditunjuk emak. Benarlah, ada dua kucing
disana sedang berasyik masyuk. Oh syukurlah, dia salah sangka, kucing jantan
yang berwarna hitam mendatangi sang betina, bukan dirinya.
“Yuk,
kita pulang. Emak sudah menyiapkan makanan untukmu”.
Gembul
mengangguk patuh dan terbang mengikuti emak. Gembul bersyukur dalam hati bahwa
dirinya tidak diterkam kucing. Dia juga bersyukur karena memiliki emak yang
selalu sabar dan selalu menyayanginya.
Dia
berjanji, mulai hari ini akan patuh pada emak. Gembul ingin menjadi burung
gereja yang berbadan kuat yang pandai mencari makan dan tangkas ketika bertemu
musuh.
“Ah
emak”, bisik Gembul, “maafkan anakmu
yang selalu melawan ini, tunggulah aku dewasa dan kuat, kelak akulah yang akan
menjaga emak dan membawakan makanan yang lezat”.
Seolah
mendengar janji si Gembul, emak menoleh dan tersenyum. Senyum bangga.
Sumber
gambar:
Semangat Gembul... dengerin kata emak ya...
ReplyDeleteAmbu mendadak nulis ini pasti ada alasannya nih. Hehehe. Loteng rumah ambu jadi sarang burung gereja juga kah? Rumah saya di kampung ramai lotengnya jadi saran burung gereja. Soalnya emang di anjungan atap bagian atas itu ada yang dibiarkan ayah saya terbuka. Makanya di rumah saya itu ramai banget suara burung. Pasti ada juga yang seperti Gembul. Hehehehe
ReplyDeleteNah Gembul dapat pelajaran berharga juga, ya. Semoga kali ini patuh terus sama emaknya. Kasihan juga emaknya sudah bersusah payah mencari makan untuk anaknya ^_^
ReplyDeleteaaah sukaaaaa. wkt kemarin baca lomba ngeblog di kompasiana, ada topik tentang fabel, terlintas pengen bikin cerita binatang non kucing. tp ya begitulah. saiyah sering berhenti di rencana 😌 tp semoga dr baca cerita si gembul, terpacu buat seriusin.
ReplyDeleteGembul saya pikir ceritanya pembuka namun keywordnya memberikan hikmah sang anak ingin memotivasi diri agar berubah dihadapan emak. Perasaan takut yang menyelimuti disebabkan karena belum terbiasa terutama pada kucing. Bravo gembul good job
ReplyDeleteBelum nemu sarang burung gereja nih, padahal biasanya mereka pada nangkring berjejer di kabel listrik. Nggak takut kesetrum apa ya? Kalo ada yang nangkrinya di tempat rada rendah, tapi masih ada jarak dengan para mpuss..jadilah mpuss pun ngajakin si burung ngobrol haha. Mungkin buat diajak jadi menu makan siangnya.
ReplyDelete👏👏👏 ambu ini sungguh luar biasa. Menulis fiksi fabel begini juga keren lohh😍 Ayo Mbul ucapkan sayang pada Ambu.. eghhhh pada emak 😄❤
ReplyDeleteDuh lucunya Mbak Maria. Ada harunya juga. Bagaimana kasih seorang ibu tak ada batasnya ya. Mau seperti apapun anaknya, ibu selalu hadir dan menyayangi kita tanpa pamrih.
ReplyDeleteGembul ditegur lewat mimpi, jadi pelajaran berharga untuk gak malas lagi.
ReplyDeleteMalas itu memang penyakit banget ya ambu. Malas gerak badan jadi lamban. Kalau manusia, malah jadi sakit kalau kebanyakan ga gerak. Semua jadi kaku, ga ada lincah-lincahnya. Ngurung diri di rumah terus juga jadi gak gaul, ga punya teman, ga tahu liarnya kehidupan di luar :))
Baca tulisan ini jadi dapat banyak pelajaran, terutama si emak yg takl pernah lelah menyayangi anak2nya. Dan buat si gembul, meski sifatnya begitu tapi dia sudah berucap janji, semoga saat besar kelak dia beneran membalas budi emaknya
ReplyDeleteSuka deh baca cerita kaya begini, udah lama gak baca fabel hehe, bikin lagi mbak!
ReplyDeleteMakanya Gembul jangan jadi anak pemalas. Tapi pelajaran lain aku bisa tarik dari kisah ini agar anak sadar kadang gak perlu nasehat dan Omelan panjang lebar ya, ketulusan mamanya menggugah dg sendirinya perasaan si anak. Thanks ya Sangat menginspirasi
ReplyDeleteGembul cute banget, pohon mangga depan rumah suka ada sarang burung. Tapi gak tahu namanya. Sayangnya sekarang lagi pergi. Biasanya tiap hari ada bunyinya.
ReplyDeleteLucunya si gembul ini..ihh nggemesin banget. Dari si gembul ini dapet pelajaran berharga yah Ambu. Kasih sayang ibu sepanjang masa. Dan jangan jadi anak bermalas-malasan. Duh ngena banget nih.. kayaknya pas nih buat dikasih tahu ke anakku hehehhe biar bisa ngerti juga kalau apa yang mamanya katakan dan lakuka adalah bentuk kasih sayang
ReplyDelete